Oleh
Ustadz Abu Minhal
Kondisi sulit
menyelimuti umat Islam dalam kurun dua abad terakhir. Terutama dengan munculnya
konspirasi dari musuh-musuh Islam, misalnya upaya memberangus Khilafah
Islamiyyah, cengkeraman Barat (Nashara) terhadap negeri-negeri Islam secara
militer, politik maupun ideologi, dan dengan kegigihannya, mereka juga
bermaksud memporak-porandakan keutuhan masyarakat muslim melalui putra-putri
Islam sendiri yang telah dicekoki konsep-konsep kufur dan atheisme. Upaya ini
kian memperburuk keberadaan kaum Muslimin. Apalagi ditambah dengan berkembangnya
arus kebodohan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Muslimin.
Salah satu dampak
buruk dari konspirasi itu, kemudian muncul berbagai pemikiran baru yang secara
langsung maupun tidak telah bersinggungan dengan ‘aqidah Islamiyyah. Misalnya
dengan berkembangnya rasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan sosialisme.
Pemikiran-pemikiran ini telah merasuki otak dan pola pikir sebagian kaum
Muslimin.
MENGAPA RASIONALISME
BERBAHAYA BAGI KAUM MUSLIMIN?
Rasionalisme, sebuah
cara berpikir yang mengagungkan kemampuan akal, dan memposisikan akal lebih
tinggi dari agama (wahyu). Rasionalisme juga memberikan wewenang untuk
membicarakan alam ghaib. Nash-nash syar’i yang berasal dari Allah l dan
Rasul-Nya dikalahkan. Akal menjadi segala-galanya dalam menentukan dan menerima
suatu hukum. Demikian pemikiran yang diusung oleh paham yang dikenal dengan
istilah ‘aqlaniyyun. Keburukan konsep mereka tersembunyi di balik gelar megah,
yaitu “Cendikiawan Muslim”. [1]
Konsep berpikir
Mu`tazilah, yang mengutamakan akal di atas wahyu nampak kuat keberadaannya
mempengaruhi kalangan akademisi, maupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai
“cendikiawan muslim”. Tokoh-tokoh tersebut bisa kita sebutkan, misalnya: Dr.
Thâha Husain, Muhammad Farid Wajdi, Dr. Ahmad Zaki Abu Syâdi, Salâmah Musa,
Syaikh ‘Ali ‘Abdur-Razzâq, Qâsim Amin, Dr. Muhammad Husain Haikal, Dr. Ahmad
Amin dan putranya Husain Ahmad Amin, Syaikh Mahmud Abu Rayyah, Muhammad Ahmad
Khalfullah, Khalid Muhammad Khalid.
Tokoh-tokoh yang
semuanya berasal dari Mesir ini, merujuk pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani
dan Syaikh Muhammad ‘Abduh dari perguruan rasionalisnya (madrasah ‘aqliyyah).
Arus pemikiran ini menyebar ke banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia.
Banyak karya-karya mereka yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Dan
telah bermunculan pula cendikiawan-cendikiawan model mereka di negeri ini.
GELAR-GELAR YANG
DISEMATKAN MEREKA KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Pada topik ini,
hanya akan ditampilkan seputar pandangan kaum Rasionalis terhadap Nabi Agung
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengklaim diri sebagai kaum
Rasionalis Muslim. Konon mereka pun telah melakukan pengkajian secara
menyeluruh peri kehidupan dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kenabiannya, serta seluruh ajaran yang dibawa oleh beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saking banyaknya hasil kajian empirik mereka, hingga
membutuhkan sebuah perpustakaan yang besar untuk menampungnya.
Banyak sisi
kehidupan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi bahan
“penelitian” mereka, sebelum nubuwwah maupun pasca kenabian. Dari kajian
tersebut, mereka menyimpulkan, bahwa Muhammad adalah seorang manusia jenius
lagi istimewa (?!), tidak ada hubungan antara beliau dengan kekuatan ghaib di
luar jasad beliau, baik Malaikat Jibril secara khusus maupun lainnya.
Dari pemikiran ini,
mereka kemudian mengaitkan segala yang muncul dari beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yang berbentuk ilmiah dan amaliah, termasuk juga wahyu yang turun
kepada beliau, semata-mata hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang jenius,
unggul, reformis sosial yang agung, politisi yang piawai, pendobrak tatanan,
pimpinan kudeta kebebasan, dan seterusnya. Suatu gelaran nama-nama yang di mata
sebagian orang sekarang ini sebagai gelar-gelar yang “populis”, “ngetrend” dan
“mentereng”. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Justru julukan-julukan
tersebut telah menjauhkan beliau n dari nilai-nilai wahyu luhur, nubuwwah, dan
keimanan yang tidak bisa dipisahkan dari diri beliau.
Bahkan kemudian,
gelar-gelar jahiliyyah pun mereka sematkan pada diri beliau. Seperti:
nabiyul-istirakiyyah (nabi sosialisme), rasûlul-hurriyyah (rasul kebebasan),
nabiyyul-‘arûbah (nabi bangsa Arab), râidul-Qaumiyyatil ‘Arabiyyah (Panglima
Kebangkitan Arab), dan sebutan-sebutan lainnya yang tidak pantas, atau
mengenyampingkan tugas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam dimensi
kehidupan yang lebih sempit.
Julukan-julukan di
atas tidak mengherankan. Sebab, definisi kenabian yang mereka pegang, sangat
jelas memisahkan pribadi para nabi dari keterkaitan mereka dengan wahyu ilahi.
Sebut saja, apa yang disampaikan Syaikh Muhammad ‘Abduh, yang merupakan tokoh
penting madrasah ‘aqlaniyyin. Syaikh Muhammad ‘Abduh berkata:
إِنْسَانٌ فُطِرَ عَلَى الْحَقِّ عِلْماً وَعَمَلاً بِحَيْثُ لاَ يَعْلَمُ
إِلاَّ حَقَّا وَلاَ يَعْمَلُ إِلاَّ حَقَّا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ
“(Manusia yang
tercipta di atas fitrah al-haq dalam ilmu dan amaliah, dimana ia tidak mengenal
kecuali hanya kebenaran saja, dan tidak berbuat kecuali kebenaran semata
berdasarkan nilai-nilai hikmah)”.
Dr. Nashir al-‘Aql
menyampaikan hasil analisanya berkaitan dengan definisi di atas. Menurut
beliau, definisi tersebut menunjukkan adanya unsur tasâhul (menggampangkan) dan
tawassu’ (kelonggaran) dalam memberi makna nubuwah. Sebab, definisi itu bisa
berlaku pada seorang nabi dan lainnya. Pasalnya anak Adam tercipta dalam
keadaan fitrah. Terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan taufik
kepada kalangan shalihin, hingga mereka tidak berbuat kecuali tindakan yang
benar.
Konsekwensi dari
definisi kaum Rasionalis di atas berarti tidak menegaskan isthifâ (pilihan)
dari Allah terhadap para nabi. Sehingga para tokoh Sufi dan Syiah pun bisa
masuk ke dalamnya. Begitu pula meniadakan keberadaan wahyu yang merupakan unsur
tak terpisahkan dengan nubuwwah. Karenanya, para ulama mendefiniskan nabi
sebagai orang yang diberi wahyu. Bila diperintah untuk menyampaikan maka ia
adalah Rasul.[2]
YANG DILUPAKAN OLEH
KAUM RASIONALIS
Pada dasarnya, bahan
kajian mereka sangat parsial, timpang dan tidak komprehensif (tidak menyeluruh)
sebagaimana klaim mereka. Obyek kajian mereka terbatas hanya berkutat pada
[Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu]. Mereka
melupakan, atau pura-pura tidak mengetahui, sehingga mengesampingkan sisi lain
yang menjadi keistimewaan Rasulullah n atas orang lain, yang sebenarnya telah
terkandung dalam lanjutan ayat di atas. Yakni, [yang diwahyukan kepadaku:
“Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa”] –al-Kahfi/18 ayat 110.
Tinjauan “ilmiah”
mereka hanya menitikberatkan pada aspek kejeniusan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Tujuannya, tidak lain, ialah untuk menisbatkan segala
perbuatan dan ucapan beliau kepada tingkat kejeniusan beliau yang sangat
fantastis, dan bukan dalam bimbingan wahyu. Karena menurut mereka, dimensi
wahyu, kenabian, dan risalah adalah perkara-perkara ghaib yang tidak bisa diuji
berdasarkan “riset ilmiah”. Menurut penuturan mereka, hal-hal demikian tidak
bernilai dalam perspektif ilmu modern, karena hanya membawa kepada pemikiran
khurafat dan dongeng fiktif belaka. Sedangkan kejeniusan dan intelegensia
merupakan sifat manusiawi, sehingga, menurut mereka ilmu modern mampu
mencernanya dan menghormatinya. Dan kaum Muslimin pun juga dapat membuktikannya
melalui penelitian empirik, kata mereka.
Semua alasan yang
begitu jelas dipaksakan ini, tiada lain menunjukkan indikasi inhizamiyyah
(mental rendah diri) di hadapan peradaban Barat yang mengedepankan hasil karya
akal, keimanan yang lemah kepada Allah dan risalah-risalah-Nya, serta bentuk
kebodohan terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.[3]
Bukti paling jelas
tentang hal itu, bahwa tulisan-tulisan mereka kebanyakan hanya menuliskan nama
Muhammad, tanpa mengusung gelar nubuwwah maupun risalah (yaitu Nabi atau
Rasulullah Muhammad), yang merupakan keistimewaan Rasulullah n yang terpenting.
Jangan tanyakan tentang penyebutan shalawat dan salam bagi beliau. Hingga
terkadang tersimpulkan, jika mereka malu atau – angkuh – untuk melantunkan
shalawat dan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai misal, dapat
dilihat di buku-buku karya mereka, antara lain: ‘Abqariyyatu Muhammad (‘Abbâs
Mahmud Aqqâd), Insaniyyatu Muhammad (Khâlid Muhammad Khâlid), Hayâtu Muhammad
(a- Haikal), Muhammad wal-Quwal Mudhaddah (Muhammad Ahmad Khalfullah), Muhammad
(Mushthafa Mahmud), Muhammad (Taufiq al-Hakim). Tindakan ini mereka lakukan
dengan mengatasnamakan kajian ilmiah dan modernisasi pikiran yang telah dicapai
manusia. Bentuk “kemajuan” yang mengagung-agungkan ‘abqariyyah (kejeniusan).
Sebagian malah mendudukkan antara kejeniusan dan nubuwwah secara berdampingan.
APA KOMENTAR MEREKA
TENTANG RASULULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ?
Berikut ini beberapa
komentar tentang Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
termaktub di karya-karya kaum Rasionalis.
Muhammad Farid Wajdi
berkata tentang sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sungguh, bila kita
berjalan di atas kaidah ilmu dalam menetapkan peristiwa-peristiwa dan kita
kaitkan dengan sebab-sebabnya yang paling dekat, maka akan terbentuk sebuah
kejadian besar yang membuat ilmu pengetahuan terpukau keheranan, tanpa mampu
menjelaskan mengapa hal itu bisa muncul dari seorang diri manusia. Dan
selanjutnya, dengan terpaksa mengakui bahwa Muhammad benar-benar seorang jenius
dari jenis yang istimewa, yang mengalahkan seluruh kalangan jenius. Ini adalah
kemenangan besar buat orang-orang yang mengakui kenabiannya. Pasalnya,
pengertian jenius menurut pandangan ilmu pengetahuan berbeda dengan makna yang
dimengerti oleh orang-orang awam. Ia bermakna suatu kemampuan yang terdapat
pada jiwa orang jenius, berupa ilmu, tindakan tanpa diiringi oleh pengerahan
kemampuan untuk meraihnya. Ia datang tiba-tiba tanpa ada yang pernah
mendahuluinya, tidak ada padanan dan tidak bisa ditiru …”.[4]
Ambil contoh juga
pada tulisan al-‘Aqqâd dalam ‘Abqariyatu Muhammad. Untuk melihat lebih jelas
betapa besarnya perhatian mereka terhadap aspek kejeniusan dibandingkan dengan
kenabian, wahyu maupun keimanan. Dapat dilihat dari daftar isi kitab tersebut,
yang menuliskan: “Muqaddimah, tanda-tanda kelahirannya, sisi keunggulan wahyu,
kejeniusan Muhammad dalam politik, kejeniusan Muhammad dalam mengatur strategi
perang, kejeniusan menejemen Muhammad, Muhamamd yang jujur, Muhammad seorang
pimpinan negara, Muhammad sebagai suami, Muhammad sebagai ayah, Muhammad
sebagai pimpinan, Muhammad sebagai ahli ibadah, Muhammad sebagai seorang
lelaki, Muhammad dalam perjalanan sejarah”.
Silahkan pembaca
menilai, dari kerangka isi kitab tersebut, manakah yang menunjukkan kerasulan,
kenabian, keimanan, hidayah, agama dan Islam? Apakah ada perbedaan antara
Rasulullah Muhammad dengan seluruh orang-orang jenius lainnya yang tidak punya
agama? Bahkan sebagian merupakan orang-orang yang zhalim dan diktator? Sub
judul sisi “keunggulan wahyu” pun tidak bisa menjawab pertanyaan di atas.[5]
Khâlid Muhammad
Khâlid pun menegaskan komentar yang serupa, bahwa Muhammad adalah manusia
biasa. Seandainya bukan rasul, ia sudah masuk dalam kategori seorang rasul.
Aspek risalah dan kenabian betul-betul dikesampingkan di sini.
Khâlid Muhammad
Khâlid berkata: “Seandainya Muhammad bukan seorang rasul, niscaya ia akan
menjadi manusia yang berada di tingkatan rasul. Seandainya ia tidak menerima
perintah dari Rabbnya [Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Rabbmu] -al-Maidah/5 ayat 67- maka ia akan menerima perintah dari dirinya
sendiri: “Wahai manusia, kerjakanlah apa yang berdenyut pada hati nuranimu”.
Jadi, sumber keagungan, pertama kali datang dari sisi kemanusiaan Muhammad,
dari jalan yang membentuk pribadinya.[6]
Subhanallah! Dengan
ungkapannya ini, Khâlid Muhammad Khâlid telah menghilangkan nilai-nilai
kenabian, risalah dan pilihan Allah. Dia menyangka, bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan risalah dari Allah dan perintah dari-Nya.
Pasalnya, bila Allah tidak menetapkan perintah, niscaya hati nuraninyalah yang
akan mengambil alih. Andai Allah tidak mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rasul, niscaya kematangan akalnya akan mengantarkan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tingkat kenabian dan risalah. Ucapan
Khalid bahwa keagunganan Muhammad murni bersumber dari pribadinya, juga
merupakan pernyataan yang tidak tepat. Karena, keagungan yang beliau peroleh
tidak lain bersumberkan dari nubuwwah dan risalah, serta pertolongan dan
dukungan secara langsung dari Allah, lebih besar dari apa yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terima sebelum kenabian.[7]
Mereka itu, paling
tidak, meski tidak berani mengingkari nubuwwah dan risalah secara vulgar, akan
tetapi telah memberi perhatian yang sangat berlebihan terhadap sisi kejeniusan
dan kemanusiaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam “penelitian
ilmiah” mereka. Aspek risalah, nubuwwah dan wahyu mereka kesampingkan dan
dikaburkan di hadapan aspek kejeniusan. Maka tak disangsikan lagi, anggapan
seperti ini telah melahirkan bahaya besar terhadap akidah Islamiyyah, dan tidak
bisa dilihat dengan sebelah mata. Sebab, kenabian, risalah, wahyu, dan seluruh
sisi keimanan lainnya, merupakan landasan Islam secara menyeluruh.
Semua rincian dan
penjelasan tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul,
hari Akhir, dan takdir, juga rukun-rukun Islam, hukum-hukum syarit, semuanya
tidak bisa diketahui melainkan hanya melalui wahyu dan risalah-Nya. Kejeniusan
manusia (dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mempunyai
andil dalam masalah ini.
Bahkan sebelum masa
nubuwwah, beliau tidak mengetahui tentang wahyu dan risalah. Sebagaimana
difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Dan demikianlah Kami
wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`ân) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`ân) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`ân itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
[asy-Syurâ/42:52].
Akibatnya, dari
tulisan para “cendikiawan muslim” ini, kemudian berkembang perbincangan di
tengah masyarakat adanya istilah-istilah baru dari kaum Rasionalis. Misalnya,
Islam dikatakan dengan istilah dînu Muhammad (agama Muhammad), syarî’atu
Muhammad (syariat Muhammad), ta’alîmu Muhammad (ajaran-ajaran Muhammad),
ad-Dînul-Muhammadi (agama Muhammad), al-wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad).
Dr. Nâshir al-‘Aql
mengatakan, ungkapan al-Wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad) bisa bermakna bahwa
wahyu itu bukan dari Allah. Kata-kata lainnya juga tidak pernah termaktub dalam
Al-Kitab dan as-Sunnah ataupun ungkapan-ungkapan generasi Salaf. Padahal dalam
perkara syar’i yang taufiqi, haruslah mengikuti petunjuk nash syar’iyyah.
Anggapan lainnya dari
kaum Rasionalis, misalnya, ketika Rasulullah mengangkat senjata untuk
berperang, tidak lain sebagai pahlawan perang saja. Dan ketika memerintah
Daulah Islam, status beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sebagai
pemimpin negara atau raja. Tidak ada kaitannya baik dengan agama, wahyu, maupun
nubuwwah. Pendapat aneh ini dapat dilihat dalam tulisan ‘Abdur-Razzâq di
kitabnya, al-Islam wa Ushul Ahkâm.
Lebih parah lagi yang
dikatakan oleh Dr. Thâha Husain. Dia menyatakan, bahwa risalah Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
rangkuman dari berbagai ideologi, seperti idiologi jahili (paganisme), Persia,
Nashara, Yahudi dan Yunani. Pendapat Dr. Thâha Husain, nampaknya hanya sekedar
mengadopsi pemikiran para orientalis Barat dan tokoh-tokohnya. Bukan murni
hasil penelitian empiris yang ia lakukan!
Kekeliruan fatal ini
terbantahkan oleh Al-Qur`ân, as-Sunnah, dan Ijma` kaum Muslimin, serta fakta
sejarah itu sendiri. Allah berfirman untuk membantah para pendahulu Dr. Thâha
Husain yang mengatakan kalau Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan talaqqi (menerima pengajaran) dari orang lain. Firman Allah, yang
artinya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya
Al-Qur`ân itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal
bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa
‘Ajam, sedang Al-Qur`ân adalah dalam bahasa Arab yang terang. [an-Nahl/16:103].
Islam adalah manhaj
yang tiada duanya dalam penetapan ushul dan furu’, tentu tidak sinkron dengan
apa yang ditunjukkan oleh Dr. Thâha Husain. Justru, Islam datang dengan ajaran
yang sangat berbeda dengan ideologi-ideologi yang disebutkan dan sekaligus
untuk mengoreksi dan menggantikannya. Bahkan unsur-unsur dari Yahudi, Persia
(Majusi), Nashara, Yunani telah memunculkan kekeruhan dan perpecahan di tubuh
umat Islam. Maka bagaimana mungkin pernyataan Dr. Thâha Husain bisa diterima?
PENUTUP
Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, secara moralitasnya
maupun kematangan dan kemampuan akalnya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung -al-Qalam/68 ayat
4-, sebagaimana juga, beliau adalah manusia yang paling cerdas. Pada diri
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat seluruh sifat keagungan,
kemuliaan, kedermawanan, kecakapan dan seluruh sifat utama yang ada pada
manusia.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala memilih beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam bagi kaum
muttaqin dan rahmat bagi sekalian alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkannya
di atas seluruh rasul, mewahyukan Al-Qur`ân kepadanya, sebagai sumber peraturan
dan manhaj kehidupan. Tugas ilahi telah dijalankan oleh beliau dengan
sebaik-baiknya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Segala ketetapan yang
beliau keluarkan merupakan aplikasi dari perintah Allah dan bukan bersumber
dari kejeniusan ataupun ketinggian kedudukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanyalah seorang hamba, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah
Ta’ala, yang artinya: Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku –al-Ahqâf/46 ayat 9- Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
–al-Jâtsiyah/45 ayat 18.
Tulisan ini bukan
untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Terlebih lagi
sebagian dari mereka telah meninggal. Semoga Allah memberi curahan rahmat untuk
mereka. Hanya saja, lantaran pemikiran-pemikiran mereka yang “kurang tepat”
tersebut masih dan bahkan terus berkembang, baik langsung melalui
murid-muridnya maupun melalui hasil karya mereka, maka dirasa perlu untuk
mengangkat pemikiran mereka untuk diwaspadai. Semoga Allah mengampuni kita dan
kaum Muslimin pada umumnya.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1].
Al-Mauqiful-Mu’ashirul minal-Manhajis-Salafi fil-Bilâdil-‘Arabiyyah (Dirasah
Naqdiyyah). Dr. Mufarrij bin Sulaimân al-Qausi, Dârul-Fadhilah, Riyadh, KSA,
Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
[2].
Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, Prof. Dr. Nâshir bin ‘Abdul-Karîm
al-‘Aql, Dârul-Fadhilah, Cet. I, Th. 1422 H – 2001 M, hlm. 190.
[3].
Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah.. hal. 225
[4].
Majallatul-Azhar, Tahun X, Edisi 1, Th. 1358, hlm. 15, Vol. 10. Dikutip dari
Al-Ittijahât, hlm. 226.
[5].
Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.
[6]. Insaniyyatu
Muhammad, hlm. 9, Dikutip dari al-Ittijahâtul, hlm. 227.
[7].
Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.