Ditulis pada 6 Mei 2016 oleh abuzahrahanifa
Oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penulisan dan
pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama
Zaman Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada
hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para
Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang
yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan
mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau
menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit,
permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an
sangat banyak.
Dalam
kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang
disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku
Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para
sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur
Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab,
Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.
Tahap Kedua
Pada zaman
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya
adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di
antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an
darinya.
Maka Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak
hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak
mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan
pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar
untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di
samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya
engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak
meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”,
Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an
dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang”.
Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang
oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar
Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu
seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap
perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali
Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang
yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang
yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Tahap Ketiga
Pada zaman
Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima
Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an
sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman
Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut
menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian
bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam
kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman
Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari
perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan
mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai
Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!”.
Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan
kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada
dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu
mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian
Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id
Ibnul Ash dan Abdurrahman
Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu
‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya.
Zaid Ibn
Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari
Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika
kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka
tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek
tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai,
Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan
tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar
naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman
Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para
sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia
mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa
yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami
semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku
berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja
sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah
baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar
mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia
katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin
Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang
dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar
Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan
antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu
Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu
Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam
satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin
untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh
dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu
pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan
tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah :Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam
satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu
pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada
perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang
didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang
besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan,
kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun
bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan,
tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf
Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum
muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari
orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan
tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian
alam.
[Disalin
dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah,
Penerjemah Farid Qurusy].
[1].
Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor
3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad
jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an,
hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj,
jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban
Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in
mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12.
Related articles
Bantahan Terhadap Syi’ah Dan Ingkar Sunnah: Sejarah
Pengumpulan Al-Qur’an. Fungsi-Fungsi As-Sunnah (Hadits) Dalam Kaitannya Dengan
Al-Qur’an