بسم الله الرحمن الرحيم
Dialog antara Pembela Tauhid dengan Aparat
Thaghut. Siapakah
Golongan yang Gemar ‘Mengkafirkan’ (Takfiri)?
Oleh: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim
Al-Maqdisi
Alih Bahasa: Ganna Pryadha
Salah seorang penyidik di kantor
General Intelligence Directorate (Direktorat Intelijen Umum) Yordania
menemui saya (Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisi, Penj.)
* Saya (Syaikh) pun balik bertanya, “Apa maksudnya
takfiri?!”
* Penyidik: “Suka mengkafirkan manusia!”
* Syaikh: “Jika yang Anda maksud dari ‘manusia’ adalah
kaum muslimin, maka saya tidak mengkafirkan ‘manusia’. Saya justru mengkafirkan
orang-orang yang gemar membuat manusia menjadi kafir.”
* Penyidik: “Bagaimana maksudnya?”
* Syaikh: “Sederhana saja. Dengan kekuatan kalian dan
kekuatan pihak-pihak yang kalian angkat sebagai mitra penolong kalian; baik
pihak Amerika dan lain sebagainya, kalian senantiasa berusaha sekuat
tenaga menghalangi kaum muslimin untuk bisa berhukum dengan syariat
Allah. Bahkan, kalian memerangi dan berkonspirasi bersama mereka beserta
para pemerintahan bangsa Arab dan pemerintahan asing lainnya untuk menjegal
siapa saja yang berupaya untuk berhukum dengan syariat Allah. Kemudian kalian
memaksa manusia agar mematuhi segenap undang-undang (UU) dan peraturan buatan
kalian yang bertentangan dengan syariat Allah. Kalian memaksa manusia agar
berhukum dengan UU positif. Dengan demikian, kalian
sama saja memaksa manusia agar menjadi kafir. Sedangkan kami berusaha sekuat
tenaga mencegah manusia agar tidak jatuh ke dalam jurang kekafiran yang kalian
ciptakan. Bahkan kami harus membayar ‘ongkos’ mahal atas upaya-upaya yang
kalian lakukan untuk membuat manusia menjadi kafir; melalui umur kami yang
hilang di tiang-tiang gantungan, di penjara-penjara, dan di ruang-ruang penyiksaan.”
* Penyidik: “Itu tidak benar. Kami tidak pernah memaksa
manusia untuk menjadi kafir.”
* Syaikh: “Kenapa tidak benar?! Bukankah UU positif
kalian membolehkan riba dan memperkenankan orang-orang mengonsumsi riba?!
Bukankah UU kalian membolehkan minuman keras, serta memperkenankan orang-orang
untuk mengonsumsinya?! Bukankah UU kalian melarang dan melakukan kriminalisasi
terhadap kaum muslimim yang berjihad fi sabilillah melawan kaum Yahudi dan
Salibis; para penjajah negeri-negeri kaum muslimin?! Bukankah UU kalian
melarang kaum muslimin untuk berhukum dengan syariat Allah, dan melarang mereka
menganulir UU positif, serta bahkan kalian bahkan menganggap mereka sebagai
pelaku kriminal dan teroris?! Bukankah UU kalian membolehkan ateisme, tindak
kekafiran, dan zina atas nama kebebasan berekspresi dan dalih-dalih lainnya?!
Dengan demikian, orang-orang yang menerima, mendukung, dan membela UU tersebut,
adalah orang-orang yang kalian paksa untuk menjadi kafir. Dan mereka yang tidak
rela kepada UU tersebut, maka kalian akan memaksa
mereka agar mematuhi dan menerimanya, baik melalui cara persuasif
maupun kekerasan. Lalu jika ada orang yang menentang kalian atas UU positif
tersebut, maka kalian akan memenjarakan dan membunuhnya. Renungkanlah hal tersebut!
Bukankah keadaan kalian tidak berbeda dengan golongan
yang telah disebutkan Allah di dalam Al-Quran: “Dan orang-orang yang dianggap
lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak) sebenarnya
tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu
menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu
bagi-Nya,” (Saba`: 33) Allah juga berfirman, “Mereka ingin supaya kamu menjadi
kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka,”
(An-Nisaa`: 89) Dengan demikian, kami tidaklah mengkafirkan manusia. Bahkan
kami justru berusaha untuk menyelamatkan mereka dari proses usaha kalian yang
ingin membuat mereka kafir.”
* Penyidik: “Kami tidak pernah menyuruh manusia untuk
mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah.”
* Syaikh: “Kalian justru
telah melakoninya. Namun permasalahannya, kalian mengira bahwa makna
‘tandingan’ hanyalah berupa batu-batu berhala semata. Kalau saja Anda tahu,
Al-Quran menerangkan bahwa ‘tandingan-tandingan’ Allah pun bisa berwujud sosok
manusia.”
* Penyidik: “Mana di dalam Al-Quran yang menerangkan
bahwa ‘tandingan’ Allah bisa berupa manusia?”
* Syaikh: “Sangat banyak. Bukankah Allah berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syuura: 21) Di ayat ini,
siapakah yang mensyariatkan? Manusia atau batu berhala? Allah juga berfirman,
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha
suci Allah dari apa yang mereka persekutukan,” (At-Taubah: 31)
Terkait ayat ini, terdapat satu
hadits shahih melalui sejumlah jalur periwayatan, yang mana di dalamnya Nabi
Muhammad menegaskan bahwa ketaatan kepada para rahib dalam syariat (baca: UU)
yang tidak diizinkan Allah adalah suatu bentuk peribadatan mereka. Dengan
demikian, mereka telah mengangkat sejumlah rabb (pengatur/legislator) selain
Allah. Allah berfirman lagi, “Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik,” (Al-An’am: 121)
Sebab turunnya ayat ini; adalah ketika ketaatan setan terhadap setan-setan
lainnya dari golongan manusia atau jin dalam satu persoalan penetapan hukum
(tasyri’) yang tidak diizinkan Allah. Tindakan seperti ini adalah sebuah kesyirikan
dan sama saja mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah. Ayat-ayat seperti ini
sangatlah banyak.”
* Penyidik: “Jadi, Anda memvonis saya masuk neraka?!
* Syaikh: “Saya tidak akan pernah memvonis Anda masuk
neraka, kecuali jika Anda memang mati dalam kondisi melakoni profesi Anda saat
ini.”
* Penyidik: “Maksudnya; jika saya mati sebagai pegawai
dinas intelijen, maka saya masuk neraka?!
* Syaikh: “Ya. Saya meyakini bahwa apabila Anda mati
sebagai pegawai dinas intelijen, Anda tidak bertaubat dan tidak meninggalkan
profesi tersebut sebelum meninggal dunia, maka Anda akan kekal di Neraka
Jahanam. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat
sejauh-jauhnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman,
Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan
menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,”
(An-Nisaa`: 167-169) Allah berfirman lagi, “Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolong pun,” (Al-Maa`idah: 72)
* Penyidik: “Berarti Anda seenaknya membagi-bagi manusia
mana yang masuk surga dan mana yang masuk neraka?!”
* Syaikh: “Tidak begitu. Saya tidak membagi-bagi mereka,
dan saya tidak melakukan intervensi untuk membagi mereka antara surga dan
neraka. Tapi kalian tahu sendiri bahwa kalian memerangi agama Allah, kalian
mengangkat musuh-musuh Allah sebagai penolong dan pembela kalian, lalu kalian
menentang syariat-Nya, memaksakan manusia agar mematuhi UU positif buatan
kalian, maka dengan demikian kalian sama saja menggiring diri kalian menuju
neraka. Kalian juga sama saja menggiring para penolong dan pembela kalian untuk
ikut masuk neraka. Allah berfirman, “kepada Fir'aun dan pemimpin-pemimpin
kaumnya, tetapi mereka mengikut perintah Fir'aun, padahal perintah Fir'aun
sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar. Ia berjalan di muka kaumnya di hari
kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat
yang didatangi,” (Huud: 97-98)
Allah juga berfirman, “Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran,” (Al-Baqarah: 221)
Terakhir, saya ingin katakan kepada Anda bahwa perdebatan
yang Anda lakoni secara batil, dan atasan-atasan yang telah mengindoktrinasi
Anda untuk melakukan debat ini, sekali-kali tidak akan pernah berguna ketika
suatu saat malaikat maut mendatangi Anda. Sekali-kali tidak akan pernah
berguna,
tatkala nanti Anda menemui Allah pada Hari Kiamat kelak.
Anda berada dalam front untuk menentang syariat Allah dan memusuhi agama-Nya.
Semua rintangan yang kalian terapkan untuk menghalangi agama Allah, dan
kekuatan yang kalian galang untuk menjegalnya, maka semua itu kelak akan jadi
penyesalan bagi kalian. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka
akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka
akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu
dikumpulkan. supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan
menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain,
lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam.
Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Maa`idah: 36-37)
Saya mengajak Anda untuk memikirkan keadaan Anda dan
keadaan kita semua. Kita ini, sebagaimana difirmankan Allah: “Inilah dua
golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling
bertengkar mengenai Tuhan mereka,” (Al-Hajj: 19)
Kami dan kalian saling memusuhi dan bertengkar mengenai
Allah. Kalian tidak mau berhukum dengan syariat Allah, sedangkan kami ingin dan
berjihad demi syariat Allah. Kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan kaum
Salibis yang menjajah negeri-negeri kami sebagai para pembela dan pelindung.
Sedangkan kami memerangi mereka, dan kalian malah
memerangi kami yang sedang memerangi mereka. Kaliam membunuhi kami yang tengah
memerangi mereka. Kalian memenjarakan kami yang berjihad memerangi mereka.
Kalian menganggap jihad tersebut sebagai tindak kriminal dan terorisme. Maka
kami katakana kepada kalian; bertakwalah kepada Allah. Haramkanlah riba,
minuman keras, perzinaan. Kalian malah menolak hal demikian, serta mengizinkan,
membolehkan, melestarikan, dan menetapkan UU untuk semua itu.
Renungkanlah, siapa di antara kita yang berjalan di atas
kebenaran? Siapakah yang akan mendapatkan keridhaan Allah? Siapakah yang akan
mendapatkan kemurkaan-Nya? Karena pasti hanya salah satu di antara kita yang
berada di atas kebenaran, dan satu lagi berada di atas jalan batil. Allah
berfirman, “maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32) Allah
memerintahkan kami untuk berkata kepada kalian, “dan sesungguhnya kami atau
kamu
(orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau
dalam kesesatan yang nyata,” (Saba`: 24)
Pikirkanlan kondisi kalian dan kami. Pasti hanya salah
satu di antara kita yang berjalan di atas petunjuk Allah, sedangkanlah satu
yang lainnya terjebak dalam jurang kesesatan nyata. Apakah masuk akal jika
pihak yang memerangi syariat dan petunjuk Allah, serta menentang agama dan
hukum-hukum-Nya, akan mendapat petunjuk dari Allah?
Tapi apabila yang kalian inginkan hanyalah perdebatan,
maka kami katakana kepada kalian, “Katakanlah: "Tuhan kita akan
mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan
benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui,” (Saba`: 26)
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Sel No. 32
Penjara Direktorat Intelijen Umum Yordania, 1428 H
“Kewajiban Menaati
Ulil Amri”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya) , “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil
amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih
tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian
beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal
itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Ayat yang mulia ini mengandung
pelajaran:
Terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna ulil amri. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
sebagaima diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad sahih,
beliau berkata, “Mereka -yaitu ulil amri- adalah para pemimpin/pemerintah.
”Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang
lainnya. Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata bahwa mereka itu adalah para
ulama dan pemilik kebaikan. Mujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para ulama. Mujahid juga mengatakan bahwa
yang dimaksudkan adalah para sahabat. Pendapat yang dikuatkan oleh Imam
asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud ulil amri adalah para
pemimpin/pemerintah (lihat Fath al-Bari [8/106] pdf). Oleh
sebab itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhumamengenai tafsir ayat
ini dengan judul ‘Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam
kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat’. Kemudian beliau
menukilkan ijma’/konsensus para ulama tentang wajibnya hal itu (lihat Syarh
Muslim[6/467]). Adapun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa
kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun
umara/pemerintah. Dikarenakan kedua penafsiran ini sama-sama terbukti sahih
dari para sahabat (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235
dan 238] pdf)
Wajibnya menaati pemerintah
muslim selama bukan dalam rangka maksiat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Wajib atasmu
untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan
semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka
itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/469])
Ketaatan kepada
pemerintah muslim ini dibatasi dalam hal ketaatan/ perkara ma’ruf saja,
sedangkan dalam perkara
maksiat maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah
bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda , “Wajib atas setiap individu muslim untuk
selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak
disukainya, kecuali
apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia
diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak
boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh
Muslim [6/470]). Demikian juga hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara
ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihatSyarh Muslim [6/471])
Kewajiban untuk
mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak
tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata maka wajib
untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka. Adapun
memberontak atau memeranginya -sezalim atau sefasik apapun mereka- maka tidak
boleh selama dia masih muslim/tidak kafir (lihat Syarh Muslim[6/472-473], Fath
al-Bari [13/11]). Dalilnya adalah hadits Ubadah bin Shamitradhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali
apabila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari
sisi Allah atas kesalahannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim,
lihat Syarh Muslim [6/473]). al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Yang
dimaksud dengan ‘kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya
itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadits sahih yang tidak menerima
ta’wil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak kepada mereka apabila perbuatan
mereka itu masih mengandung kemungkinan ta’wil.” (Fath al-Bari [13/10]).
Syaikh Ibnu Bazrahimahullah berkata, “… kecuali apabila
kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti
kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapamelakukan pemberontakan
kepada penguasa ini untuk
menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang
memadai. Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah
mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan maka -diduga kuat- akan
timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi
memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kaidah syari’at
yang telah disepakati menyatakan bahwa; ‘tidak boleh menghilangkan keburukan
dengan sesuatu yang -menimbukkan akibat- lebih buruk dari keburukan semula,
akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa
menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya.’…” (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal.
9-10)
Wajib bagi orang-orang yang mampu -dari kalangan ulama atau yang lainnya-
untuk menasehati penguasa muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum
Allah dan Rasul-Nya. Namun hal itu -menasehati penguasa- dilakukan tanpa
menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum. Hal itu sebagaimana disebutkan
dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara
terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya
seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia
menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau
maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum, hal.
23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang
dikutip dalam kitab ini hal. 44). Wajibnya bersabar dalam menghadapi
penguasa muslim yang zalim kepada rakyatnya. Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Akan ada
para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan
petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara
mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di
dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau
menjawab , “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu,
walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar
dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda , “Akan muncul para penguasa yang
kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-.
Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari
kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya,
pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang
meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya. ” Mereka -para sahabat-
bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau
menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR.
Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]). Faedah: an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang
menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa
semata-mata karena diatinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia
meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru
mengikuti kemungkarannya ” (Syarh
Muslim [6/485])
Catatan Penting:
Sebagian orang
terjerumus dalam kesalahan dalam menyikapi penguasa muslim yang melakukan
kekeliruan. Mereka menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk
kemusyrikan. Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh
mayoritas. Di satu sisi mereka telah benar yaitu mengingkari demokrasi yang hal
itu termasuk dalam bentuk kekafiran dan kemusyrikan, penjelasan lebih lengkap
bisa dibaca dalam kitab Tanwir azh-Zhulumat karya Syaikh
Muhammad bin Abdullah al-Imam -hafizhahullah-. Namun, di sisi lain
mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat besar yaitu serampangan dalam
menjatuhkan vonis kafir kepada orang.
Biasanya mereka
berdalil dengan ayat (yang artinya), “Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Ma’idah: 44).
Anggaplah demikian, bahwa mereka -yaitu pemerintah- telah berhukum dengan
selain hukum Allah -meskipun sebenarnya pernyataan ini harus dikaji lebih
dalam-, namun ada satu hal penting yang perlu diingat -dan perkara
inilah yang mereka lalaikan- bahwa tidak semua orang yang berhukum dengan
selain hukum Allah itu dihukumi kafir! Mereka juga berdalih dengan ucapan para
ulama yang menyatakan ‘setiap orang yang berhukum dengan selain hukum
yang diturunkan Allah maka dia adalah thaghut’ (lihat al-Qaul
al-Mufid [2/74]).
Berdasarkan itulah
mereka menyebut pemerintah negeri ini sebagai rezim thaghut dan kafir.Kemudian,
sebagai imbas dari keyakinan tersebut mereka pun mencaci-maki penguasa dan
menuduh orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada penguasa sebagai kelompok
penjilat -sebagaimana tuduhan itu juga ditujukan kepada saya-, bahkan mereka
pun tidak segan-segan menggelari para ulama dengan julukan ulama salathin,
alias kaki tangan pemerintah, Allahul musta’aan
Maka untuk menjawab
kerancuan ini -dengan memohon taufik dari Allah- berikut ini kami
ringkaskan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika
menjelaskan isi Kitab at-Tauhid: Yang dimaksud dengan berhukum dengan selain hukum Allah yang dihukumi
kafir dan murtad -sehingga layak untuk disebut sebagai thaghut- adalah dalam
tiga keadaan:
[1] Apabila dia meyakini bahwa berhukum
dengan selain hukum Allah -yang bertentangan dengan hukum Allah- itu boleh,
seperti contohnya: meyakini bahwa zina dan khamr itu halal.
[2] Apabila dia meyakini bahwa selain hukum
Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.
[3] Apabila dia meyakini bahwa selain
hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah. Lalu, dia bisa dihukumi
zalim -yang tidak sampai kafir- apabila dia masih meyakini hukum Allah lebih
bagus dan wajib diterapkan namun karena kebenciannya kepada orang yang menjadi
objek hukum maka dia pun menerapkan selain hukum Allah. Demikian juga ia
dikatakan fasik -yang tidak kafir- apabila dia menggunakan selain hukum Allah
dengan keyakinan bahwa hukum Allah yang benar, namun dia melakukan hal itu
-berhukum dengan selain hukum Allah- karena faktor dorongan hawa nafsu, suap,
nepotisme dsb.
Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa tindakan orang yang
mengganti syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dikategorikan
sebagai bentuk kekafiran akbar -yang saya dengar dari ceramah Syaikh Abdul Aziz
ar-Rays beliau telah rujuk dari pendapat ini sebelum wafatnya-. Meskipun demikian, orang yang memberlakukan undang-undang
ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti misalnya, apabila dia menyangka bahwa
sistem yang diberlakukannya itu tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka
bahwa hal itu termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau
dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran
(lihat al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).
Dengan menyimak
keterangan beliau di atas jelaslah bagi kita bahwa tindakan sebagian orang yang
dengan mudahnya mengkafirkan penguasa negeri ini -semoga Allah membimbing
mereka- serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut adalah sebuah
tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan, kalau
diteliti lebih jauh ternyata mereka itu telah terjangkiti virus pemikiran
Khawarij gaya baru yang menebar kekacauan berkedok jihad, subhanallah.
Tahkim
Kepada Undang-Undang Buatan Manusia
Minggu, 4 Juni 2006 12:46:07 WIB
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Tahkim kepada undang undang buatan manusia adalah syirik akbar menurut ijma ulama. Bagaimana pendapat anda dengan sikap yang dinyatakan orang-orang bahwa mereka akan menentang hal ini dan akan duduk bersama mereka dalam hal menghalalkan ataupun mengharamkan sementara mereka orang Islam dan sebagian orang kafir.
Jawaban
Pertanyaan ini mukaddimahnya keliru. Sebab pernyataan bahwa "Tahkim kepada undang-undang buatan manusia adalah syirik akbar berdasarkan ijma ulama " adalah salah. Sebab meninggalkan hukum yang telah diturunkan Allah atau berhukum dengan undang-undang buatan manusia akan menjadi kufur akbar harus dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya : Bahwa penguasa berhukum dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah, sebab banyak juga undang-undang buatan manusia yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah.
Sebab kata-kata "undang-undang buatan manusia" harus dikaitkan dengan yang bertentangan dengan syariat. Undang-undang buatan manusia pada zaman ini memang hasil buatan mereka tetapi banyak yang tidak bertentangan dan sesuai dengan syariat, masih dalam cakupan kaedah Islam dan merupakan masalih mursalah. Oleh karna itu para Ulama kita berusaha keras untuk mengkaitkan UU (undang-undang)ini dengan yang bertentangan dengan syariat ataupun hukum Allah dan ketetapan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa sallam. Tahkim undang-undang buatan manusia menurut Ulama, terkadang bisa menjadi kufur akbar, terkadang menjadi kufur asghar, inilah dia ijma ummat dan yang berlandaskan dengan atsar Ibn Abbas :
"Bukanlah kufur sebenarnya apa yang menjadi pendapat kalian sekarang ini, tetapi merupakan kufr duna kufr. Oleh karena itu seluruh ahli tafsir mengambil kata ini ketika menafsirkan ayat : "Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir".
Kesimpulannya Tidaklah seorang penguasa menjadi kafir kecuali jika menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang Allah turunkan.
Oleh karena itu sebenarnya isu-isu yang merusak seputar hal ini selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang Sururi, yang beranggapan bahwa hukum dengan selain yang Allah turunkan kafir dengan sendirinya --alangkah jelek yang mereka katakan-- dan aku tidak pernah tahu ada sorang yang berilmu dan komitment dengan sunnah berkata seperti mereka sebelumnya, dalam hal ini rujukan mereka adalah Sayyid Qutb saja.
Intinya kita harus membeda-bedakah hukum, jika seorang penguasa menghalalkan sesuatu selain yang diturunkan Allah, jika dia mengganggap baik hukum selain hukum Allah, jika dia menyatakan bahwa dia bebas memilih antara hukum Islam dan bukan hukum Islam, jika dia mengatakan bahwa hukum Islam tidak wajib diterapkannya, maka hal ini yang menjadi kufur akbar, ditambah dengan tahaqquq as-syurut wa imtina'ul mawani' (persyaratan tertentu yang lengkap padanya dan tidak adanya lagi hal-hal yang menghalangi).
Adapun jika dia menerapkan hukum ini karena mengikuti hawa nafsu, karena kepentingan tertentu atau karena disuap maka hal ini kufur duna kufr yaitu jatuh pada kategori kufur asghar tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Ini penting diketahui dalam masalah ini. Adapun duduk beserta mereka baik yang jatuh kepada kufur akbar maupun kufur asghar dalam hal ini, maka hukumnya terlarang kecuali bagi para duat mukhlisin yang menasehati mereka untuk ruju' kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Karena hal ini adalah istihza mengolok-olok ayat Allah maka jangalah kita duduk bersama mereka atau bergabung dengan mereka. Sesungguhnya kaum Quraisy memiliki parlemen yaitu Darun Nadwah, tetapi apakah pernah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk dan turut serta dengan mereka? Kecuali bagi da'i yang mukhlis dan mau menyeru mereka dan melarang mereka.
Wabillahi At-Taufiq.
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Tahkim kepada undang undang buatan manusia adalah syirik akbar menurut ijma ulama. Bagaimana pendapat anda dengan sikap yang dinyatakan orang-orang bahwa mereka akan menentang hal ini dan akan duduk bersama mereka dalam hal menghalalkan ataupun mengharamkan sementara mereka orang Islam dan sebagian orang kafir.
Jawaban
Pertanyaan ini mukaddimahnya keliru. Sebab pernyataan bahwa "Tahkim kepada undang-undang buatan manusia adalah syirik akbar berdasarkan ijma ulama " adalah salah. Sebab meninggalkan hukum yang telah diturunkan Allah atau berhukum dengan undang-undang buatan manusia akan menjadi kufur akbar harus dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya : Bahwa penguasa berhukum dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah, sebab banyak juga undang-undang buatan manusia yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah.
Sebab kata-kata "undang-undang buatan manusia" harus dikaitkan dengan yang bertentangan dengan syariat. Undang-undang buatan manusia pada zaman ini memang hasil buatan mereka tetapi banyak yang tidak bertentangan dan sesuai dengan syariat, masih dalam cakupan kaedah Islam dan merupakan masalih mursalah. Oleh karna itu para Ulama kita berusaha keras untuk mengkaitkan UU (undang-undang)ini dengan yang bertentangan dengan syariat ataupun hukum Allah dan ketetapan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa sallam. Tahkim undang-undang buatan manusia menurut Ulama, terkadang bisa menjadi kufur akbar, terkadang menjadi kufur asghar, inilah dia ijma ummat dan yang berlandaskan dengan atsar Ibn Abbas :
"Bukanlah kufur sebenarnya apa yang menjadi pendapat kalian sekarang ini, tetapi merupakan kufr duna kufr. Oleh karena itu seluruh ahli tafsir mengambil kata ini ketika menafsirkan ayat : "Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir".
Kesimpulannya Tidaklah seorang penguasa menjadi kafir kecuali jika menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang Allah turunkan.
Oleh karena itu sebenarnya isu-isu yang merusak seputar hal ini selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang Sururi, yang beranggapan bahwa hukum dengan selain yang Allah turunkan kafir dengan sendirinya --alangkah jelek yang mereka katakan-- dan aku tidak pernah tahu ada sorang yang berilmu dan komitment dengan sunnah berkata seperti mereka sebelumnya, dalam hal ini rujukan mereka adalah Sayyid Qutb saja.
Intinya kita harus membeda-bedakah hukum, jika seorang penguasa menghalalkan sesuatu selain yang diturunkan Allah, jika dia mengganggap baik hukum selain hukum Allah, jika dia menyatakan bahwa dia bebas memilih antara hukum Islam dan bukan hukum Islam, jika dia mengatakan bahwa hukum Islam tidak wajib diterapkannya, maka hal ini yang menjadi kufur akbar, ditambah dengan tahaqquq as-syurut wa imtina'ul mawani' (persyaratan tertentu yang lengkap padanya dan tidak adanya lagi hal-hal yang menghalangi).
Adapun jika dia menerapkan hukum ini karena mengikuti hawa nafsu, karena kepentingan tertentu atau karena disuap maka hal ini kufur duna kufr yaitu jatuh pada kategori kufur asghar tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Ini penting diketahui dalam masalah ini. Adapun duduk beserta mereka baik yang jatuh kepada kufur akbar maupun kufur asghar dalam hal ini, maka hukumnya terlarang kecuali bagi para duat mukhlisin yang menasehati mereka untuk ruju' kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Karena hal ini adalah istihza mengolok-olok ayat Allah maka jangalah kita duduk bersama mereka atau bergabung dengan mereka. Sesungguhnya kaum Quraisy memiliki parlemen yaitu Darun Nadwah, tetapi apakah pernah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk dan turut serta dengan mereka? Kecuali bagi da'i yang mukhlis dan mau menyeru mereka dan melarang mereka.
Wabillahi At-Taufiq.
[Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002.
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]