Wajibnya
Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas
Wajibnya mencintai dan
mengagungkan nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta larangan ghuluw
(berlebih-lebihan)[1]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat
tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan
syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama
akan menyebabkan kebinasaan.
A. Wajibnya Mencintai Dan
Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Pertama-tama, wajib bagi setiap
hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan orang-orang yang
beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]
Ahlus Sunnah
mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya
sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum mencintai beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka,
sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu,
yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia
berkata:
كُنَّا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ،
َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.
“Kami mengiringi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi
apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai
melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah
saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai
‘Umar.’” [2]
Berdasarkan hadits di
atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan
harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan
kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah
adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada
Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan
kepada Allah.
Orang yang beriman
akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia
cintai.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ
إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ
أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.
“Ada tiga perkara
yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari
selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya
karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah
menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.”
[3]
Mencintai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan
keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
Al-‘Allamah Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia
hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah.
Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang
mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai
konsekuensi dalam mencintai Allah.” [4]
Maksudnya, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang
lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]
‘Amr bin al-‘Ash
-sebelum ia masuk Islam- berkata: “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun
yang lebih aku benci dari-pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Namun
setelah ia masuk Islam, tidak ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan
lebih ia agungkan daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengatakan:
“Seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak
pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
‘Urwah bin Mas’ud
berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke
Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun
yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat
Radhiyallahu anhum kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah,
mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan
mereka kepadanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidaklah beliau berdahak
kecuali ditadah dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian
dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa
air bekas wudhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]
B. Konsekuensi Dan
Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
1. Mencintai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya pengagungan,
memuliakan, meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat:
1]
2. Mentaati apa yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
Allah memerintahkan
setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa’:
13]
3. Membenarkan apa
yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
4. Menahan diri dari
apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]
5. Beribadah sesuai
dengan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan
kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah
sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah
kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan
semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’
menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu
dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
[Ali ‘Imran: 31]
Berkata Imam Ibnu
Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi
setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam
pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”
[7]
Di antara tanda cinta
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan
Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta
berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan
melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah
sesat.[8]
Dr. Shalih bin Fauzan
bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan
berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa
Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua
setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya,
sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
Karena itu tidak
boleh membuat keragu-raguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh
membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau
penjelasan makna-maknanya kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada
zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap
awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan
hadits-hadits, dan menilai cacat para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca
beberapa buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka dan ummat. Karena itu
hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan menahan diri pada batasannya.[9]
C. Wajibnya Mentaati
Dan Meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.[10]
Kita wajib mentaati
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya
dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari
syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak
ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentaati
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi
dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…” [An-Nisaa’: 59]
Dan masih banyak lagi
contoh yang lain. Di samping itu terkadang perintah tersebut disampaikan dalam
bentuk tunggal, tidak dibarengi kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam
firman-Nya:
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa mentaati
Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [An-Nisaa’: 80]
وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatlah kepada
Rasul supaya kamu diberi rahmat.” [An-Nuur: 56]
Tekadang pula Allah
mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan)
atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Artinya hendaknya
mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa
pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain
yang dise-gerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah
dan ampunan atas dosa-dosanya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ
تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” [An-Nuur: 54]
Allah mengabarkan
bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang
baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak
menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab: 21]
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang
meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan,
perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan,
kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menanti pertolongan dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga Allah
senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari Kiamat.”[11]
Dalam Al-Qur-an,
Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih
membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa
dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman, sebab jika
seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di dunia
sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka akan mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai
ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau
contohkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Shalatlah
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [12]
Juga sabdanya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خُذُوْا عَنِّي
مَنَاسِكَكُم.
“Ambillah dariku
manasik (haji)mu.” [13]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيهِ أَمرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu
tertolak.” [14]
Dan sabdanya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَن رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Barangsiapa yang membenci
Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [15]
Dan masih banyak
dalil-dalil lain yang menunjukkan perintah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan larangan menyelisihinya.
[Disalin dari kitab
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan
Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1].
Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 148-151) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin
‘Abdillah al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Syarah Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-‘Urwatul Wutsqa fii Dhauil Kitaab was
Sunnah oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan kitab-kitab lainnya.
[2].
HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu.
[3].
HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624),
an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu.
[4].
Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam
(hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[5].
‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 149), oleh Dr. Shalih al-Fauzan.
[6].
Perkataan ‘Urwah bin Mas’ud z ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam
Shahiihnya (no. 2731, 2732), Kitaabusy Syuruut bab Syuruuth fil Jihaad.
[7].
Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.
[8].
Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti:
Perayaan dan peringatan Maulid Nabi j, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan
orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah
di-lakukan oleh Nabi j dan para Sahabatnya.
[9].
‘Aqiidatut Tauhiid (hal 154).
[10].
Diringkas dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 155-157).
[11].
Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.
[12].
HR. Al-Bukhari (no. 631)
[13].
HR. Muslim (no. 1297) dan lainnya.
[14].
HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1719 (18)).
[15].
HR. Al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
Anjuran bershalawat kepada
nabi. Larangan ghuluw dan berlebih-lebihan dalam memuji nabi
Kewajiban Ittiba’ Kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam ( oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas)
Hakikat Cinta Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Antara Sunnah Dan Bid’ah ( Oleh Al-Ustadz Yazid
bin ‘Abdul Qadir Jawas)
Mana Bukti Cintamu Pada Nabi?
Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para
sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara
seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya.
Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun
punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut
benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada
tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ
تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan
Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka
yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah
wajib.
Bahkan tidak boleh
seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah
Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى
بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya)
lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab:
6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika
ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa
mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena
itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri
sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam
berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata,
”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali
terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
لاَ وَالَّذِى نَفْسِى
بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
”Tidak, demi yang
jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih
engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi
Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu
telah sempurna).”[3]
Mengapa Kita Harus
Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mencintai seseorang
dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama:
berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin sempurna
orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa
dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat
beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang
pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,
لَقَدْ جَاءَكُمْ
رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
”Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Alasan kedua:
berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:
[1] Mendapatkan
manisnya iman
Dari Anas
radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ
فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang
membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena
Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam
api.”[4]
[2] Akan menjadikan
seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas bin Malik,
beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk
menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.
Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ
أَحْبَبْتَ
“(Kalau begitu)
engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]
Dalam riwayat lain,
Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira
kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man
ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun
mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku
pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh
kesempurnaan iman
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
“Seseorang tidaklah
beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang
tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]
Dengan dua alasan
inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.[8]
Bukti Cinta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan
dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ
وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah
telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih
Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik
dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]
Di antara bentuk
mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun
yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya
bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang
didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah
sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua: Membenarkan
segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip
keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang
dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan
datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا
هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
(3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
”Demi bintang ketika
terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di
sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab
kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian
yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan
oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama
adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي
مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil
(pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak
bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’
(mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada
petunjuknya.
Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: “Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا
تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran
Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca:
bid’ah) adalah sesat .”[12]
Kelima: Berhakim
kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum
dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip
mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam).
Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya
syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan
diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di
antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati
mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]
Keenam: Membela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan
pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ
الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga) bagi orang
fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda
mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al
Hasyr: 8)
Di antara contoh
pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan
dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada
perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap
perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum
musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai
Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga
dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang
diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati
padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami
mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak
ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang
mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk membela Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para
sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا
مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
”Janganlah mencaci
maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara
kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud
(yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]
Di antara hak-hak
para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا
مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada
yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka
sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya
rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul.
Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti
sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu
sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela
sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka
adalah mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela para
isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik
rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas
dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.”
Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab,
”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah
Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah,
pen),
يَعِظُكُمَ اللَّهُ
أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan
kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika
kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Ketujuh: Membela
ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk membela
ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang
berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan
membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan
kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah
mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan
sabdanya,
نَضَّرَ اللَّهُ
امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ
أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah
memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi
berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]
Kedelapan:
Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara
kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي
وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku
walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah
kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya,
konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai
ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang
tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya,
walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat
suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara
tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran
beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam
ajarannya.[23]
Contoh cinta Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid
nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan
tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang
disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari
ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal
-yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini
semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang
merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.”[24]
Pandangan Ulama Ahlus
Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama] Muhammad
bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal
dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan,
“Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah,
nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya
terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana
digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu
wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran
beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan
perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam
syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid
terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar,
Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?]
Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan
waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau
melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa
diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan
[?]”[25]
[Kedua] Seorang ulama
Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al
Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang
tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil
Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah
mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan
As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah
(teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama
terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat
digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula
disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di
mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram),
maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah).
Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang
meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan
ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak
bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam
agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut
mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]
Penutup
Cinta pada Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta
pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’)
setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia
juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ
الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ
Tatkala banyak orang
yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron:
31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau
mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan
amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya Allah, pada
kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh
orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara
Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan pada
tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan
syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali
disebutkan nama beliau Shallallahu 'alaihi wassalam. Karena memang shalawat
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wassalam merupakan ibadah mulia yang
diperintahkan oleh Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
(artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah
salam kepadanya”. (Al Ahzab: 56)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barangsiapa
bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan
shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh
Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)
Demikianlah kedudukan shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dalam agama
Islam. Sehingga di dalam mengamalkannya pun haruslah dengan petunjuk Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam.
Sebaik-baik shalawat, tentunya yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wassallam dan sejelek-jelek shalawat adalah yang menyelisihi
petunjuknya Shallallahu 'alaihi wassallam. Karena beliau Shallallahu 'alaihi
wassalam lebih mengerti shalawat manakah yang paling sesuai untuk diri beliau
Shallallahu 'alaihi wassallam.
Diantara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
wassalam kepada umatnya, yaitu:
اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya,
sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah
kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah
kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi shalawat yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
wassallam . Adapun shalawat-shalawat yang menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu
'alaihi wassalam maka cukup banyak juga, diantaranya beberapa shalawat yang
biasa dilantunkan oleh orang-orang Sufi ataupun orang-orang yang tanpa disadari
terpengaruh dengan mereka.
Beberapa Shalawat ala Sufi
1. Shalawat Nariyah
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin.
Dengan suatu keyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi
atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami
Nabi Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan
semua kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala
keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan
siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat ini pun
tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang
Engkau miliki.”
Para pembaca, bila kita merujuk kepada Al
Qur’an dan As Sunnah, maka kandungan shalawat tersebut sangat bertentangan
dengan keduanya. Bukankah hanya Allah semata yang mempunyai kemampuan untuk
melepaskan semua ikatan kesusahan dan kesulitan, yang mampu memenuhi segala
kebutuhan dan memberikan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih?!
Allah Ta'ala berfirman :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا
إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
(artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku
tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
tertimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
khabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raf: 188)
Dan juga firman-Nya :
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ
فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
(artinya): "Katakanlah (wahai Muhammad):
Panggillah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka
tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula
memindahkannya." (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan, ayat ini turun
berkenaan dengan kaum yang berdo’a kepada Al Masih, atau malaikat, atau sosok
orang shalih dari kalangan jin. (Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wassallam , lalu mengatakan: مَا شَاءَ اللهَُ وَ شِئْتَ
"Berdasarkan kehendak Allah dan
kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا ؟!
“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai
tandingan bagi Allah? Ucapkanlah: مَا شَاءَ اللهَُ وَحْدَهُ “Berdasarkan
kehendak Allah semata”. (HR. An-Nasa’i dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj
Al-Firqatin Najiyah hal. 227-228, Muhammad Jamil Zainu)
Maka dari itu, jelaslah dari beberapa dalil
diatas bahwasanya Shalawat Nariyah terkandung padanya unsur pengkultusan yang
berlebihan terhadap diri Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam hingga
menyejajarkannya dengan Allah Ta'ala. Tentunya yang demikian ini merupakan
salah satu bentuk kesyirikan yang dimurkai oleh Allah dan Nabi-Nya.
2. Shalawat Al Faatih (Pembuka)
Nash shalawat tersebut adalah:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا
أُغْلِقَ …
"Ya Allah! berikanlah shalawat kepada
Baginda kami Muhammad yang membuka segala yang tertutup ….”
Berkata At-Tijani pendiri tarekat Sufi
Tijaniyah - secara dusta - : “….Kemudian beliau (Nabi Shallahu 'alaihi
wassalam) mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya, bahwa satu kali membacanya
menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, menyamai
dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan menyamai membaca Al Qur’an 6.000
kali, karena ini termasuk dzikir.” (Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad
Utsman)
Para pembaca, demikianlah kedustaan,
kebodohan dan kekafiran yang nyata dari seorang yang mengaku berjumpa dengan
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam , karena ia berkeyakinan bahwa perkataan
manusia lebih mulia 6.000 kali lipat daripada firman Allah Ta'ala.
Bukankah Allah telah menegaskan dalam
firman-Nya :
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلاً
(artinya): “Dan siapakah yang perkatannya
lebih benar dari pada Allah? (An Nisaa’:122)
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ
وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan sungguh telah sempurna kalimat
Tuhanmu(Al Qur’an),sebagai kalimat yang benar dan adil.”(Al An’am:115)
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi
wassalam telah menegaskan dalam sabdanya (artinya): “Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah perkataan Allah “. (HR. Muslim)
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al
Qur’an , maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali
semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif laam miim itu satu huruf,
namun alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan
yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud yang dishahihkan oleh Asy Syaikh
Al-Albani)
Wahai saudaraku, dari beberapa dalil di atas
cukuplah bagi kita sebagai bukti atas kebatilan shalawat Al Faatih, terlebih
lagi bila kita telusuri kandungannya yang kental dengan nuansa pengkultusan
terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang dilarang dalam agama yang
sempurna ini.
3. Shalawat Sa'adah (Kebahagiaan)
Nash adalah sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِيْ
عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ …
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Baginda
kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal
seperti kekalnya kerajaan Allah …”.
Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah
menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000
kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali,
maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul
287-288)
Wahai saudaraku, mana mungkin shalat yang
merupakan tiang agama dan sekaligus rukun Islam kedua pahalanya 600. 000 di
bawah shalawat sa’adah ini?! Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas
kepalsuan dan kebatilan shalawat tersebut.
4. Shalawat Burdatul Bushiri
Nashnya adalah sebagai berikut:
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا
وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ
“Wahai Rabbku! Dengan perantara Musthafa
(Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam ) penuhilah segala keinginan kami
dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, wahai Dzat Yang Maha Luas
Kedermawanannya.”
Shalawat ini mempunyai beberapa (kemungkinan)
makna. Bila maknanya seperti yang terkandung di atas, maka termasuk tawasul
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang beliau telah meninggal dunia.
Hal ini termasuk jenis tawasul yang dilarang,
karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang melakukannya disaat ditimpa
musibah dan yang sejenisnya. Bahkan Umar bin Al Khathab ketika shalat istisqa’
(minta hujan) tidaklah bertawasul dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam
karena beliau telah meninggal dunia, dan justru Umar meminta Abbas paman Nabi
Shallallahu 'alaihi wassalam (yang masih hidup ketika itu) untuk berdo’a.
Kalaulah tawasul kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam ketika beliau telah
meninggal dunia merupakan perbuatan yang disyari’atkan niscaya Umar
melakukannya.
Adapun bila mengandung makna tawasul dengan
jaah (kedudukan) Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam maka termasuk perbuatan yang
diada-adakan dalam agama, karena hadits: تَوَسَّلُوا بِجَاهِي “Bertawasullah
dengan kedudukanku”, merupakan hadits yang tidak ada asalnya (palsu). Bahkan
bisa mengantarkan kepada kesyirikan disaat ada keyakinan bahwa Allah Ta'ala
butuh terhadap perantara sebagaimana butuhnya seorang pemimpin terhadap
perantara antara dia dengan rakyatnya, karena ada unsur menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
(Lihat Al Firqatun Najiyah hal. 85)
Sedangkan bila maknanya mengandung unsur
(Demi Nabi Muhammad) maka termasuk syirik, karena tergolong sumpah dengan
selain Allah Ta'ala.
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda
(artinya): “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah
berbuat kafir atau syirik.” ( HR At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya dengan
sanad yang shahih)
Para pembaca, dari sekian makna di atas maka
jelaslah bagi kita kebatilan yang terkandung di dalam shalawat tersebut.
Terlebih lagi Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabatnya tidak
pernah mengamalkannya, apalagi mengajarkannya. Seperti itu pula hukum yang
dikandung oleh bagian akhir dari Shalawat Badar (bertawasul kepada Nabi
Muhammad, para mujahidin dan ahli Badar).
5. Nash shalawat seorang sufi Libanon:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ
مِنْهُ الأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
"Ya Allah berikanlah shalawat kepada
Muhammad sehingga Engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha
berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya)." Padahal Allah Ta'ala
berfirman (artinya): ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam sendiri
pernah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana
orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang
hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al
Bukhari).
Wallahu A’lam Bish Shawab
Hadits-Hadits Palsu Dan Dha’if Yang Tersebar
Di Kalangan Umat
Hadits Anas bin Malik Radiyallahu 'anhu:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِيْنَ
مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبَ ثَمَانِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa bershalawat kepadaku pada malam
Jum’at 80 kali, niscaya Allah akan mengampuni segala dosanya selama 80 tahun.”
Keterangan:
Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang bernama Wahb bin Dawud bin Sulaiman Adh Dharir. Al
Khathib Al Baghdadi berkata: “Dia seorang yang tidak bisa dipercaya.” Asy
Syaikh Al Albani berkata: “Sesungguhnya ciri-ciri kepalsuan hadits ini
sangatlah jelas.” (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 215)
(Sumber: Buletin Islam Al Ilmu, Jember Edisi
50/II/IV/1426. Dikirim oleh Al Akh Hardi Ibnu Harun via Email)
Hakikat Tasawuf dan Sufi
Bashrah, sebuah kota di negeri
Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di
masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam
beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam), hingga akhirnya
mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Meski kelompok ini tidak
mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah
mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف).
Oleh karena itu,
lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena nisbat kepadanya dinamakan
Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf
terdepan di hadapan Allah Ta’ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk
pilihan Allah (الصَّفْوَةُ مِنْ
خَلْقِ اللهِ)
karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ)
dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun
secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena
antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah
yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya
dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita
tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba,
maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian
yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam
! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding
petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam biasa mengenakan
pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari
Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).
Siapakah
Peletak/Pendiri Tasawuf ?
Ibnu ‘Ajibah seorang
Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu ‘Ajibah -
mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah
berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai
bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat, dan
ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan
membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu
hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan
Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, kemudian Al Hasan Al
Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5
dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).
Asy Syaikh Muhammad
Aman Al Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan
tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, ia
menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah
seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang
keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia
mampu, karena Allah Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya):
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan
jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak
menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67)
Beliau juga berkata:
“Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini
merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin
mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu sendiri
yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim
rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu ‘anhu ia
berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu
‘anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah
dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepadamu?” Maka Ali pun
marah lalu mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam belum pernah
merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya
saja beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang
empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu ‘anhu berkata: “Apa empat perkara itu
wahai Amirul Mukminin ?” Beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang
tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah
melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang
yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal.
7-8).
Hakikat Tasawuf
Bila kita telah
mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib
Radiyallahu ‘anhu, maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?
Asy Syaikh Ihsan
Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari
lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka,
maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak
pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya
yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini.
Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf
Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28). [1]
Asy Syaikh
Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu
daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah
Ta’ala di dalam memerangi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak
sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di
dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan
mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah,
Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme
Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19). [2]
Beberapa Bukti
Kesesatan Ajaran Tasawuf
1. Al Hallaj seorang
dedengkot sufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq
Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah Ta’ala
telah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy
Syuura : 11)
رَبُّهُ قَالَ رَبِّ
أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
“Berkatalah Musa :
“Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.”
Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di
dunia-pen)………” (Al A’raaf : 143).
2. Ibnu ‘Arabi, tokoh
sufi lainnya, berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya
tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam).[3] Betapa
kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan
gembongnya ini ?!
3. Ibnu ‘Arabi juga
berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan
aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]
Padahal Allah Ta’ala
telah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat :
56).
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang
pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah
dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).
4. Jalaluddin Ar
Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : “Aku seorang muslim, tapi aku
juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama …
masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” [5]
Padahal Allah Ta’ala
berfirman :
يَبْتَغِ غَيْرَ
الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
(Ali Imran : 85)
5. Pembagian ilmu
menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada
tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi
kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan
larangan dalam agama ini.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman
bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling
berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan
Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan
sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya
(karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak
lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’
Fatawa, juz 11 hal. 401).
6. Dzikirnya
orang-orang awam adalah لا إله إلا
الله
, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus “الله / Allah”, “هو
/ Huu”, dan “آه / Aah” saja.
Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
أَفْضَلُ الذِّكْرَ
لاَ إِلهِ إِلاَّ الله
“Sebaik-baik dzikir
adalah لا إله إلا الله .” (H.R.
Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh
Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).[6]
Syaikhul Islam
rahimahullah berkata : “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله dzikirnya orang awam, sedangkan
dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هو / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah
Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)
7. Keyakinan bahwa
orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang
tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ
مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ
أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali
Allah.” (An Naml : 65)
8. Keyakinan bahwa
Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nuur /
cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah (Wahai
Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang
diwahyukan kepadaku …” (Al Kahfi : 110).
إِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
“(Ingatlah) ketika
Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia
dari tanah liat.” (Shaad : 71)
Wallahu A’lam Bish
Shawab
Hadits-hadits palsu
atau lemah yang tersebar di kalangan umat
Hadits Abu Umamah
عَلَيْكُمْ
بِلِبَاسِ الصُّوفِ، تَجِدُوْا حَلاَوَةَ الإيْمَانِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ
“Pakailah pakaian
yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di
hati kalian”(HR Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman).
Keterangan : Hadits
ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban
berkata : “Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits”. (Lihat
Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu’ah, no:90)
Footnote :
[1][2] Dinukil dari
kitab Haqiqatut Tashawwuf karya Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan,
hal.7
[3][4][5] Dinukil dari kitab Ash Shufiyyah Fii
Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.
24-25.
[6] Lihat kitab
Fiqhul Ad ‘Iyati Wal Adzkar, karya Asy Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin
Al Badr, hal. 173.
(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi
46/III/I2/1425, Jember.
Dikirim via email
oleh al Al Akh Hardi Ibn Harun.)
Diposkan oleh abu
usamah sufyan al atsari