Bertakwa
Tapi Tak Dikenal
Saat pemuda itu mati syahid, bumi seakan-akan menolak
jasadnya. Burung nasar pun menghabiskan tubuhya.
Seorang penyembah patung yang menjadi
beriman mengungguli orang-orang yang lebih dulu beriman.
SAAT pasukan hendak Romawi menyerbu Syam, ada seorang bernama Abu Qudamah
tampil berkhotbah di hadapan khalayak. Ia memotivasi mereka untuk cinta kepada
akhirat dan tidak terlalu memikirkan urusan dunia serta membakar semangat mereka untuk
berjihad dan berkorban di jalan Allah.
Ia ingatkan
mereka dengan firman AllahSubhanahu Wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan
di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At
Taubah: 38).
Selesai
berkhotbah, Abu Qudamah pun turun dari mimbar. Tiba-tiba ada seorang wanita
mencegatnya seraya memanggil, “Wahai Abu Qudamah!”
Abu Qudamah
tak menoleh sedikit pun.
“Wahai Abu
Qudamah!” panggil wanita itu sekali lagi. Abu Qudamah tetap tidak menoleh.
Tampaknya, Abu Qudamah mengkhawatirkan dirinya terkena fitnah.
Untuk ketiga
kalinya, wanita itu kembali memanggil, “Wahai Abu Qudamah! Bukan seperti itu
akhlak orang-orang shalih!”
Akhirnya,
terpaksa Abu Qudamah menanggapinya. Ia menanyakan keperluan wanita itu. Wanita
itu berkata, “Aku tadi mendengar engkau memotivasi orang-orang untuk berjihad
di jalan Allah. Aku tidak memiliki harta dunia selain dua buah ikat rambut ini.
Ambillah dan gunakan untuk tali kekang kudamu ketika engkau nanti berjihad di
jalan Allah.”
Mengetahui
tekad wanita tersebut, Abu Qudamah menangis. Betapa ia adalah wanita yang
sangat bersemangat menaati Allah. Abu Qudamah mengambil ikat rambut tersebut.
Belum lama
ia beranjak, tiba-tiba datang seorang remaja memanggilnya, “Wahai Abu Qudamah!”
Selanjutnya, pemuda itu memohon kepadanya dengan mengatasnamakan Allah, untuk
memboncengkan dirinya agar ia bisa ikut berperang di jalan Allah melawan
pasukan Romawi.
Tadinya Abu
Qudamah menolak, lantaran menurutnya anak itu masih terlalu muda. Tapi, anak
itu terus mendesak. Akhirnya Abu Qudamah mau mengajaknya. Abu Qudamah
memberikan syarat kepadanya, kalau nanti dia terbunuh, ia harus mau memberikan
syafaat untuknya di sisi Allah. Pemuda itu setuju.
Ketika pecah
pertempuran dengan pasukan Romawi, anak muda itu meminta tiga buah anak panah
kepada Abu Qudamah untuk memanah musuh. Lagi-lagi Abu Qudamah menyangsikan
pemuda ini, sehingga tidak diberikannya. Sebab, anak panah barang mahal.
Tapi
lagi-lagi, anak muda itu memohon kepadanya dengan menyebut nama Allah. Akhirnya
Abu Qudamah pun memberikan anak panah yang ia minta. Abu Qudamah kembali
mensyaratkan syarat tadi, pemuda itu setuju saja. Sejurus kemudian, pemuda itu
mengambil anak panah pertama, sembari berujar, “Salam sejahtera untukmu wahai
Abu Qudamah, Bismillah!”
Tepat
sasaran. Satu tentara Romawi berhasil ia bunuh. Ia melakukan hal sama pada
panah kedua, dan hasilnya pun sama.
Ia ambil
panah ketiga dan ia bidikkan, sembari berkata, “Salam sejahtera untukmu wahai
Abu Qudamah, Bismillah!” Satu lagi tentara Romawi menjadi korban ketiga.
Tak lama
kemudian, satu anak panah musuh bersarang pada tubuh anak muda ini. Ia pun
tersungkur, jatuh ke tanah. Abu Qudamah segera menghampirinya, mengingatkan
kepadanya akan syarat yang telah ia minta, yaitu memberinya syafaat nanti di
sisi Allah.
Sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, anak muda itu memberikan sebuah geriba kepada
Abu Qudamah dan berpesan agar memberikannya kepada ibunya.
“Siapakah
ibumu?” tanya Abu Qudamah.
“Wanita
pemilik dua buah ikat rambut,” tegas pemuda itu.
Begitu
meninggal dunia, pasukan kaum muslimin hendak menguburkannya. Tapi anehnya,
bumi seolah menolak jasad pemuda itu. Karena tak berhasil menguburnya, mereka
membiarkan tubuhnya di permukaan tanah begitu saja. Lalu turunlah sekawanan
burung dan memakan daging-dagingnya, hingga hanya tersisa tulang belulangnya
saja.
Abu Qudamah
segera pergi ke rumah si pemuda. Sesampai di sana, kakak perempuan pemuda itu
menyambut, “Anda ke sini membawa berita duka ataukah berita gembira?”
“Berita
gembira!” jawab Abu Qudamah.
“Alhamdulillah
kalau begitu!” sahut perempuan itu. “Dulu… ayahku terbunuh dan kami hanya
mengharap pahalanya di sisi Allah. Sekarang, kami harus kehilangan adik bungsu
kami, maka kami pun akan mengharap pahalanya di sisi Allah.”
Tak lama
kemudian, giliran ibunya keluar. Ia bertanya kepada Abu Qudamah, “Anda membawa
berita duka ataukah berita gembira?”
“Berita
gembira!” jawab Abu Qudamah. Sang ibu itu hanya mengucap tahmid, pujian kepada
Allah, tak lebih.
Kemudian Abu
Qudamah memberikan geriba air pesanan si pemuda. Dari dalam geriba itu, sang
ibu mengeluarkan seutas tali. Sebelum itu, Abu Qudamah mengisahkan kejadian
aneh yang menimpa pemuda itu ketika terbunuh. Maka sang ibu berkisah, anaknya
selalu melaksanakan shalat malam. Jika ia kelelahan, ia bersandar kepada tali
tersebut. Dalam shalat ia selalu memohon kepada Allah agar membangkitkannya
pada hari kiamat dari perut-perut burung nasar.
Mendengar
penuturan sang ibu, pahamlah Abu Qudamah mengapa bumi menolak jasad pemuda itu
ketika akan dikuburkan, yang kemudian turun beberapa kawanan burung memakan
dagingnya dan hanya menyisakan tulang belulangnya. Berarti Allah telah
mengabulkan doa si pemuda. Dan ini termasuk keajaiban dari apa yang Allah
lakukan terhadap keluarga-Nya, sesungguhnya Allah tidak mungkin menelantarkan
wali-wali-Nya.
AHLI sejarah bernama ‘Abdul Wahid berkisah bahwa ia dan teman-temannya pernah
berlayar dengan kapal. Begitu tiba di tengah laut, tiba-tiba kapal pecah dan
mereka terdampar ke satu pulau di tengah laut.
Di sana mereka mendapati seorang lelaki yang sedang
menyembah patung. Mereka bertanya kepada lelaki itu, “Apa yang kamu sembah?”
Lelaki itu
menunjuk ke patung tersebut. Ia balik bertanya, “Lantas apa yang kalian
sembah?”
Mereka
menjawab, “Kami menyembah Allah, yang singgasananya di langit, kekuasaan-Nya di
bumi, dan keputusan-Nya berlaku untuk semua yang hidup dan yang mati.”
Lelaki itu
bertanya penasaran, “Apa bukti kalian akan hal itu?”
‘Abdul Wahid
menjawab, “Dia telah mengutus seorang Rasul kepada kami.”
“Di mana
utusan tersebut?” tanyanya lagi.
“Ia telah
diwafatkan oleh Allah,” jawab kami.
“Lalu, apa
bukti kalian yang menunjukkan dia ada?”
“Ia wariskan
sebuah kitab bersumber dari Allah, Sang Raja, untuk kami.”
“Perlihatkan
kitab itu kepadaku!”
‘Abdul Wahid
berkisah, “Kami menyodorkan mushaf Al-Quran kepadanya.”
“Wah, aku
tidak bisa membaca tulisan seperti ini!” kata orang itu.
Akhirnya
kami membacakan kepadanya salah satu surat dalam Al-Quran. Begitu mendengarnya,
ia menangis dan berujar, “Sungguh, yang perkataannya seperti ini tidak layak
ditentang.”
‘Abdul Wahid
melanjutkan, “Setelah itu, kami mengajarkan kepadanya syariat-syariat Islam.
Kami juga shalat bersama, lalu beranjak tidur.”
Lelaki itu
bertanya, “Apakah Tuhan yang kalian sembah itu tidur?”
“Tuhan kita
Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri. Dia tidak tidur!” jawab kami.
“Sungguh,
kalian adalah hamba yang kurang ajar. Tuhan kalian tidak tidur, sementara
kalian malah tidur!”
Kami
benar-benar takjub dengan lelaki ini.
Setelah
beberapa lama, kami berhasil sampai di tempat bernama ‘Abadan. Kami menggalang
dana untuk kami berikan kepada lelaki itu.
Ketika dana
tersebut hendak kami berikan kepadanya, ia berkata, “Maha Suci Allah, kalian
menunjukkan kepadaku jalan yang belum pernah aku tempuh! Dulu aku menyembah
patung dan Allah tidak menelantarkanku! Maka, mana mungkin ia akan
menelantarkanku setelah aku mengenal-Nya?”
Sungguh,
sekali lagi kami dibuat takjub kepadanya.
Hingga suatu
ketika, orang ini jatuh sakit. Kami pun pergi ke rumahnya untuk menjenguk. Kami
bertanya kepadanya, “Apakah engkau butuh bantuan?”
Ia menjawab,
“Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku sudah memenuhi semua kebutuhanku.”
Tak lama
kemudian, tutur Abdul Wahid, lelaki itu meninggal. Dalam mimpi, aku melihatnya
berada di sebuah tenda dan di sampingnya ada seorang wanita. Ia berkata, “Salam
sejahtera untukmu karena kesabaranmu, sungguh itulah sebaik-baik negeri akhir.”
Kisah ini
tercantum dalam kitab berjudul Ghidza’ul Albab (Santapan
Akal). As-Safaroyani menukilnya dari Ibnul Jauzi.
Dari kisah
ini, kita bisa merasakan apa yang terjadi ketika ayat-ayat itu mampu menembus
lubuk hati seseorang. Ia bisa mengubah jalan hidup dan cara berpikir seseorang.
Ia menjadikan diri malu kepada Allah, bertawakal dan kembali kepada-Nya di
waktu siang dan malam. Sehingga, hati tidak akan lagi tergantung dengan makhluk
dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.
Orang
seperti ini tidak akan rugi dan terlantar, serta tidak akan sengsara, baik
ketika di dunia atau pun di akhirat. Bahkan sangat mungkin ia mampu mengungguli
orang lain yang keislamannya lebih dulu, karena keajaiban imannya.*/Sa’id Abdul Azhim, seperti tertera dalam bukunya Bertakwa
Tapi Tak Dikenal.
Orang
Shalih, Tapi Tak Merasa Shalih Dibanding Manusia
SYEIKH ABU GHANAIM suatu saat datang
ke majelis Syeikh Ahmad bin Ali Ar Rifa’i, seorang ulama sufi bermadzhab Asy
Syafi’i. Saat itu Syeikh Ahmad duduk di antara para muridnya yang jumlahnya sepuluh ribu
orang.
“Memujilah
Allah atas apa yang diberikan kepadamu.” Kata Syeikh Abu Ghanaim.
“Nikmat itu
banyak, namun apa yang engkau maksudkan itu?” Kata Syeikh Ahmad.
“Dengan
tunduknya hati-hati kepadamu.” Jawab Syeikh Abu Ghanaim.
“Aku akan
menderita kerugian bersama Fir’aun dan Haman jika terbesit di hatiku perasaan
bahwa aku memiliki keutamaan daripada mereka (para murid,-pent).” Kata Syeikh
Ahmad (Al Kawakib Ad Durriyah, 2/219).*