Aroma Liberal dan Syiah Mulai Dipancarkan dari
Muhammadiyah
Benarkah Prof. Dr. Syafii Ma’arif Berpahaman
Liberal?
Kerancuan Teologi Syafi’i Ma'arif
Sebuah Catatan untuk Prof. A. Syafii Maarif.
Sunni Biang Perpecahan dan Diberhalakan?
Syafi’i Ma’arif Sebut Sunni & Syi’ah Tak
Ada Dizaman Nabi, Habib Zein Alkaf: Dia Sudah Pikun!
October 12, 2016
Maarif Institute bekerjasama
dengan Mizan menerbitkan buku Fikih Kebinekaan (Agustus 2015). Buku yang
tebalnya 360 halaman itu, berisi artikel-artikel yang ditulis lebih dari 16
penulis. Intinya bila dikaji seksama buku ini mendukung faham pluralisme dan
kepemimpinan non Muslim di Indonesia.
Sebelum buku ini diluncurkan
20 Agustus 2015 lalu, Maarif Institute pada Februari lalu mendahuluinya dengan
membuat seminar yang bertema Halaqah Fikih Kebinekaan. Acara ini dilaksanakan
24-26 Februari 2015 lalu di Jakarta. Harian Kompas membuat liputan acara ini
hampir setengah halaman (28/2/2015).
Dalam acara itu selain
dihadirkan intelektual-intelektual yang selama ini dikenal pemikirannya
liberal, juga dihadirkan dua lurah. Dua kepala desa itu adalah Susan Jasmine
kepala desa Gondangdia Jakarta dan Halidja Marding kepala desa Morea Minahasa
Tenggara. Susan mewakili lurah non Islam memimpin daerah mayoritas Islam dan
Halidja lurah Muslim memimpin daerah mayoritas non Islam.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Amin Abdullah menyatakan bahwa Indonesia yang majemuk merindukan
bacaan kitab suci yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial setempat. “Di
negeri ini kita perlu bacaan yang toleran terhadap perbedaan interpretasi
keagamaan dan tidak memonopoli kebenaran,” tulis Kompas.
“Pertimbangkan kebinekaan
dalam pembuatan legislasi dan regulasi demi menjaga kehidupan harmonis dan mencegah
konflik,” ujar Khelmy K Pribadi Manajer Program Islam dan Media Maarif
Institute dalam acara itu.
Kelanjutan dari Buku Fiqih
Lintas Agama?
Buku Fiqih Kebinekaan ini
sebenarnya mirip dengan buku Fiqih Lintas Agama (FLA) yang diterbitkan atas
kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina dan Asia Foundation (2004). Buku FLA ini
sempat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat karena isinya menjustifikasi
kebenaran agama lain dan mendekontruksi hal-hal yang sudah ‘muhkamat’ dalam
Islam.
Bagi masyarakat awam membaca
buku Fikih Kebinekaan mungkin biasa saja. Tapi bagi mereka yang mendalami
keilmuan Islam, akan menganggap bahwa buku ini membahayakan masyarakat. Karena
penulis-penulisnya intinya menjustifikasi bahwa kepemimpinan non Muslim di
wilayah mayoritas Muslim (Indonesia) adalah suatu keniscayaan demokrasi, karena
itu tidak perlu dipermasalahkan.
Siti Ruhaini Dzuhayatin di
dua aline terakhirnya artikelnya menulis: “Pada saat ini masyarakat cenderung
berfikir substantif ketimbang simbolis sehingga dualisme kepemimpinan itu dapat
diterima realistis bahwa kepemimpinan politik diarahkan untuk mendistribusi
keadilan dan kesejahteraan siapapun dan apapun latar belakangnya. Sedangkan
pada masalah agama, mereka lebih kritis, seiring meningkatnya pendidikan
sehingga otoritas agama tidak lagi bersifat tunggal. Terlebih lagi privatisasi
dan domestifikasi agama nampak semakin menggejala sehingga ikatan kolektivitas
terhadap figur karismatik semakin memudar…”(halaman 315).
Sedangkan Wawan Gunawan Abdul
Wahid menulis: “Di tempat lain Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keadilan merupakan
syarat terpenting bagi seorang pemimpin. Sedemikian pentingnya tentang keadilan
ini, Ibn Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil
meskipun kafir (pemimpinnya). Dunia itu dapat tegak dengan memadukan antara
kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat tegak dengan modal kezhaliman dan
keislaman.” Kalimat Ibn Taimiyah di atas kiranya mengisyaratkan bahwa kepala
negara yang mampu mengejawantahkan keadilan meskipun non Muslim lebih baik
daripada kepala negara yang beragama Islam tetapi tidak mampu mengejawantahkan
keadilan.” (halaman 321)
Untuk membenarkan pendapatnya
bahwa pemimpin non Muslim tidak masalah, Wawan Gunawan selanjutnya mengutip
tokoh Islam Muhammad Abduh. “Kata Abduh, ayat-ayat yang dikutip para ulama yang
menolak menjadikan non Muslim sebagai pemimpin sama sekali tidak dapat ditolak
kebenarannya.
Yang tidak disebutkan kata
Abduh, bahwa mereka yang dilarang untuk dipilih itu adalah karena mereka
memusuhi umat Islam. Ketika entitas non Muslim itu tidak memusuhi umat Islam
dan mereka bersama-sama umat Islam dalam satu entitas negara sebagai warga
negara maka mereka dapat dipilih sebagai kepala negara. Abduh melandasi
argumentasinya dengan Surah al Mumtahanah ayat 7, 8 dan 9…” (halaman 323).
Akhirnya Wawan Gunawan, Dosen
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengurus Muhammadiyah ini menyatakan :
“Karena itu pula tulisan ini dapat ditutup dengan penegasan. Memilih pemimpin
non Muslim di tengah masyarakat Muslim hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan
pada dua hal.
Pertama, masalah kepemimpinan
dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut (al mutaghayyirat).
Kedua, larangan memilih pemimpin non Muslim dikaitkan dengan sebab yang
menyertainya. Yaitu manakala mereka (non Muslim) melakukan penistaan kepada
umat Islam. Dalam suatu masyarakat majemuk dimana antara umat Islam dan non
Muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka antara keduanya bisa
merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.” (halaman 325).
Tidak ada Pemimpin Muslim
yang Adil di Negeri ini?
Pernyataan Ibn Taimiyah
‘sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir (pemimpinnya)’
atau ‘pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pemimpin Muslim yang zalim’
banyak dipakai para politisi menjelang pemilu gubernur Jakarta 2012 lalu. Salah
seorang tokoh Gerindra mengampanyekan Ahok (yang mendampingi Jokowi) di
berbagai tempat saat itu dengan dalil ini. Kini Gerindra menyesal dan berdiri
di barisan depan DPRD untuk mengkritisi atau melengserkan Ahok dari kursi
gubernur DKI Jakarta.
Pernyataan Ibn Taimiyah tentu
saja tidak salah. Tapi seperti kata Sayidina Ali itu adalah kalimat haq tapi
yang dimaksudkan batil. Pernyataan Ibn Taimiyah ini tentu perlu dilihat
konteksnya. Misalnya kini umat Islam di Mesir yang tertindas di bawah ‘presiden
Muslim’ diktator yang zalim (as Sisi), merasa lebih menderita dibandingkan umat
Islam yang hidup di Inggris dibawah PM Tony Abbot (non Muslim).
Tapi ketika dihadapkan
kenyataan politik di negeri ini –yang kini menganut demokrasi- tentu umat Islam
harus mencari atau memilih pemimpin Islam yang adil. Tentu hal yang mustahil di
antara jutaan umat Islam di negeri ini baik dalam pilkada maupun pemilu
presiden tidak ada pemimpin Muslim yang adil. Dan mengapa pilihannya kok
pemimpin Muslim yang zalim dan pemimpin kafir yang adil? Kenapa pilihannya
tidak pemimpin Muslim yang adil dan pemimpin kafir yang zalim.
Dalam pandangan Al
Qur’an/Islam orang kafir –bagaimanapun baiknya—ia tidak bisa bersifat adil
(zalim). Ia telah menzalimi Tuhan yang menciptakannya. Dalam surat Luqman ayat
13 diterangkan : “Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) itu adalah kezaliman
yang besar.” Jadi dalam Islam, selain kezaliman kepada manusia juga ada
kezaliman kepada Tuhan.
Karena itu Rasulullah saw
dalam hadits-haditsnya menekankan perlunya pemimpin yang adil. Jadi bila
ditelaah secara benar, maka pemimpin non Islam (kafir) sejatinya tidak akan
pernah berlaku adil.
Maka kewajiban Muslim mencari
pemimpin yang adil (dan Muslim). Dalam sejarah Islam, pemimpin-pemimpin yang
berhasil yang tercatat dalam sejarah mesti pemimpin Muslim. Tidak ada pemimpin
non Muslim yang diagungkan oleh para ulama, sejarawan Muslim atau umat Islam.
Karena pemimpin dalam Islam adalah teladan. Bagaimana ia bisa menjadi teladan
rakyatnya yang Muslim padahal ia tidak pernah shalat dan menyebut nama Allah
dan Rasul-Nya Muhammad saw?
Ayat-ayat Al Qur’an jelas
melarang mengambil pemimpin non Islam. Apalagi di daerah mayoritas Islam dan
mereka mampu memilih pemimpin Muslim (yang adil): “Janganlah orang-orang mu’min
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu).(Ali Imran 28)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al Maidah 51)
Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menghukummu) (An Nisa’ 144)
Ayat-ayat tentang kepemimpinan
yang sudah jelas ini (muhkamat) tidak bisa dibatalkan dengan surat al
Mumtahanah 7,8 dan 9. Dan bila diteliti secara mendalam, ayat-ayat Mumtahanah
itu isinya adalah hubungan baik Muslim dan non Muslim, selama non Muslim itu
tidak menzalimi atau memerangi umat Islam.
Ayat-ayat ini tidak bicara
tentang masalah kepemimpinan. Jadi meskipun Wawan Gunawan mengutip pendapat
Abduh, maka dalam hal ini pendapat Abduh adalah lemah. Apalagi bila dikaji
lebih jauh, Abduh adalah salah satu tokoh Timur Tengah yang kontroversial dalam
masalah politik.
Walhasil, buku Fiqih
Kebinekaan yang diterbitkan Maarif Institute (dan Mizan) itu bukanlah
persembahan untuk umat Islam. Tapi persembahan bagi non Muslim atau ‘donatur’
yang berada di belakangnya.
Buku yang diterbitkan Maarif
Institute (MI) itu jelas membahayakan Islam dan umat Islam Indonesia di masa
depan. MI mencoba meruntuhkan ketetapan dalam Al Quran dan Hadits yang
jelas-jelas mengharamkan pemimpin non Islam di wilayah mayoritas Islam.
Bila ide-ide Maarif Institute
(MI) ini disebarkan, maka ke depan kaum Muslim Indonesia akan menyerahkan
banyak kepemimpinan daerah atau pusat ke pemimpin ke non Muslim. Tidak ada
usaha untuk menciptakan pemimpin-pemimpin Islam. Padahal kata mantan Ketua
PBNU, KH Muzadi, “Mereka (non Muslim) telah menguasai ekonomi. Mereka ingin
menguasai politik.”
Begitu pula Rais Am Syuriah
NU, KH Makruf Amin pernah menyatakan bahwa skenario non Muslim di Indonesia ke
depan adalah menjadikan non Muslim sebagai presiden atau wakil presiden,
setelah beberapa daerah mereka menjabat sebagai gubernur, walikota atau
wakilnya.
Karena itu, mantan Ketua Umum
Muhammadiyah Prof Amien Rais pernah mengeluhkan Syafii Maarif yang sudah
berusia senja, membuat Maarif Institute. MI seperti diketahui banyak aktivitasnya
yang mengarahkan Islam ke liberal. Maka tidak heran bila Harian Kompas banyak
memberikan ruang bagi MI baik liputannya maupun tulisan-tulisan aktivisnya.
Begitu pula salah satu
pimpinan Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas mengeluhkan peluncuran buku Fikih
Kebinekaan di gedung PP Muhammadiyah.
“Buku Fikih Kebinekaan bukan
urusan Muhammadiyah. Penerbit buku itu hanya meminjam tempat di Muhammadiyah.
Itu diterbitkan Maarif Institute, walaupun mungkin banyak orang-orang
Muhammadiyah, (tapi) secara kelembagaan tidak ada hubungannya,“ kata Prof
Yunahar.
Walhasil, how low can you go
Maarif Institute?
Penulis: *Nuim Hidayat
(Mantan Redaksi Majalah Tabligh Muhammadiyah)