Selasa, 18 Oktober 2016
16:51
Suatu kali, Anas bin Malik
mendatangi Nabi Muhamad SAW. Ia mendapati beliau SAW sedang berbaring di atas
alas tipis di atas tanah padang pasir yang panas membara. Di bawah kepala
beliau SAW terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang diisi serabut
kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas
kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat
bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.
Sesaat kemudian, masuklah
Umar bin Khatthab menemui Nabi SAW dan mendapati beliau masih dalam kondisi
berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan
seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya. Nabi SAW kemudian bertanya, “Apa yang membuat
engkau menangis wahai Umar?”
Umar bin Khattab menjawab,
“Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rasulullah, sementara aku
mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada
Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya
di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti
yang aku lihat?!”
Sejurus kemudian, Nabi SAW
bersabda, “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi
kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rasulullah”.
Dalam kesempatan dan kondisi
yang tepat, Rasulullah SAW mengajarkan kepada Umar bin Khattab dan seluruh
umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan
cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini
tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian
seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya.
Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak
dunia serta lalai akhiratnya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menekankan
poin penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.
Konsep Zuhud
Sebagaimana diketahui, di
antara pelajaran terpenting dan mendasar yang selalu terselipkan dalam setiap
syariat Islam adalah konsep hidup zuhud. Zuhud merupakan pagar hati seorang
hamba agar tidak terbelenggu dengan dunia dan selalu fokus dengan akhirat.
Sahabat Abu Dzar al Ghifari –radhiyallohu ‘anhu- pernah menjelaskan tentang
zuhud dengan perkataannya; “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang
halal, bukan pula dengan menyia-nyiakan harta. Bersikap zuhud terhadap dunia adalah
dengan menganggap apa yang ada di Tangan Allah lebih dipercaya dari pada apa
yang ada di kedua tanganmu dan menjadikan pahala musibah ketika engkau
mendapatkannya lebih engkau cintai jika musibah itu masih berlangsung
bersamamu”.
Imam Ahmad pernah ditanya
tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “Jika
dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu
bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud
dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali
bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan
membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.
Harapan ingin bertemu dengan
Allah SWT dalam kondisi terbaik dan berprestasi di hadapan-Nya menjadi motivasi
kuat yang lahir dari zuhud terhadap dunia. Dari sikap zuhud pula muncul spirit
berkorban dan mempersembahkan terbaik untuk Allah ta’ala. Karena sang hamba
yang zuhud senantiasa berfikir bagaimana akhiratnya menjadi kehidupan terindah.
Tidak mengherankan jika Allah ta’ala mencintai orang-orang zuhud. Sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi saat ditanya tentang amalan yang mengundang kecintaan
Allah ta’ala, beliau pun menjawab: ازْهَدْ
فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ
“Bersikap zuhudlah kamu
terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu.”(HR.Ibnu Majah)
Bermula dari zuhud inilah
kaum muslimin menjadi penakluk dunia. Dunia berhasil digenggam dalam tangannya,
tak secuilpun dari keindahannya mampu membelenggu hatinya. Justru yang terjadi
dunia merengek-rengek untuk diambil olehnya. Ibarat orang yang mengejar sumber
cahaya, maka secara otomatis bayang-bayang dirinya selalu mengikutinya. Adapun
orang yang terbelenggu hatinya oleh dunia, seperti orang yang mengejar
bayang-bayangnya sendiri dan menjauh dari sumber cahaya. Gambaran yang jelas
tentang perbandingan antara pemburu dunia dan pemburu akhirat adalah seperti
yang disampaikan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam salah satu
nasehatnya :
«مَنْ
كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ
لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ،
وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ»
“Barang siapa yang menjadikan
dunia tujuannya, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan
kefakiran di antara kedua matanya dan tidaklah datang kepadanya bagian dunianya
melainkan apa yang sudah ditetapkan untuknya. Dan barang siapa akhirat menjadi
niat tujuannya niscaya Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan
di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam kondisi hina.” (HR. Ibnu
Majah)
Pemburu Akhirat
Orang-orang zuhud adalah para
pemburu akhirat. Para hamba yang menjadikan obsesi akhirat selalu dalam pokok
urusannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mudah terbeli dengan dunia
seisinya. Sumber energy mereka adalah keikhlasan untuk Allah. Tidak mengherankan
jika para penguasa dunia tunduk-takluk di hadapan hamba zuhud.
Dalam perang Yarmuk,
peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafirin salibis Romawi
di tahun 13 H, Jenderal al Qoiqolan –salah seorang jenderal terkemuka di masa
Kaisar Heraklius- mengutus mata-mata untuk mengetahui bagaimana kekuatan tempur
kaum muslimin. Kemudian berangkatlah pasukan mata-mata menjalankan tugasnya.
Seusai mendapatkan informasi yang dibutuhkan, pasukan tersebut bergegas
melaporkan kepada Sang Jenderal al Qoiqolan.
Informasi tentang kekuatan
tempur kaum muslimin diungkapkan oleh mereka dalam satu kalimat: “Kami
mendapati mereka adalah kaum yang di malam harinya seperti para rahib-rahib
sementara di siang harinya mereka adalah para ksatria tangguh. Demi Allah kalau
anak raja mereka mencuri pastilah mereka akan memotong tangannya, kalaupun ada
yang berzina pastilah mereka akan merajamnya.”
Mendengar informasi tersebut,
Jenderal al Qoiqolan langsung berkomentar: “Jikalau engkau jujur dengan apa
yang engkau sampaikan, tentulah perut bumi (kematian) lebih baik (bagi mereka)
dari pada punggungnya”. Sang Jenderal mengetahui bahwa pasukan yang akan dia
hadapi adalah pasukan berani mati yang tidak mudah dikalahkan.
sabuk_camel_trekking
Benar saja, tatkala berhadapan
dua pasukan besar. Jenderal Mahan –salah seorang jenderal senior kaisar
Heraklius- mengajak negosiasi dengan Khalid bin al Walid yang saat itu menjadi
penglima jihad kaum muslimin. Jenderal Mahan berkata kepada Khalid:
“Sesungguhnya kami mengetahui sebab keluarnya kalian dari negeri kalian yaitu
karena kekeringan dan kelaparan. Maka kemarilah kalian agar aku berikan setiap
orang dari kalian 10 dinar, sandang dan pangan agar kalian bisa pulang ke
negeri kalian. Di tahun berikutnya kami akan mengirimkan lagi dengan kadar
serupa.”
Perhatikan dalam perkataan
tersebut, bagaimana Jendral Mahan hendak merendahkan martabat kaum muslimin.
Sang jenderal mengira kaum muslimin adalah kaum yang mudah terbeli dengan
sekeping dunia.
Dengan tegas, Khalid bin al
Walid menyanggah anggapan miring dari Jenderal Mahan dan mencoba menciutkan
mentalnya seraya berkata; “Sesungguhnya kami tidaklah keluar dari negeri kami
karena apa yang engkau sebutkan, akan tetapi kami adalah kaum yang sudah
terbiasa minum darah (berperang) dan telah sampai kepada kami kabar bahwa tidak
ada darah yang lebih baik dari pada darahnya bangsa Romawi, maka kami datang
untuk itu”.
Khalid bin al Walid dengan
tegas menolak tawaran dan iming-iming dunia dari Romawi. Kalaupun yang
berhadapan saat itu orang yang mencintai dunia pastiah tawaran menggiurkan itu
akan diterimanya. Namun yang berhadapan saat itu adalah Khalid bin al Walid
seorang pengikut nabi dan panglima kaum muslimin yang zuhud. Tentu saja,
iming-iming dari Mahan itu tidak seberapa dengan apa yang dijanjikan oleh Allah
dari surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.
Akhirnya peperangan tersebut
dimenangkan secara gemilang oleh kaum muslimin. Kekaisaran Romawi yang
kekuatannya pernah mendominasi dunia secara berabad-abad harus menelan pahit
kekalahan. Kekuatan 210.000 pasukan Romawi harus bertekuk lutut di hadapan
24.000 pasukan kaum muslimin. Tentu saja, hasil akhir peperangan tersebut
merubah total geopolitik dunia.
Sejak itulah, Islam menjadi
kekuatan perubahan baru dalam pentas kepemimpinan dunia. Di balik kemenangan
kaum muslimin saat itu tentunya ada sebuah rahasia besar yang tersimpan hingga
menghantarkan kaum muslimin menguasai dunia selama berabad-abad. Di antara
rahasianya adalah sikap zuhud mereka terhadap dunia ini. Inilah kezuhudan yang
menaklukan dunia. Wallahu a’lam.
Oleh: Abu Harits, Lc., dai
tinggal di Jakarta.