Segala puji bagi Allah,
Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad ,
keluarganya yang suci dan para sahabat beliau yang terbaik. Waba’du:
Kita Ahlussunnah mengenal
Asyura adalah hari puasa pada tanggal 10 Muharram yang keutamaannya bisa menghapus
dosa setahun yang lalu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam.
Dua bid’ah di hari Asyura
Namun qaddarallahu, Asyura’
juga bertepatan dengan mati syahidnya Husain radhiallahu’anhu. Ini tentu
musibah besar, meski kalah besar dengan terbunuhnya Ali, Utsman, Umar
radhiyallahu’anhum. Maka dalam hal ini, ada dua kelompok dari umat Islam yang
menyimpang dari sunnah:
Kelompok pertama menjadikan
Asyura’ sebagai hari meratap dan menyiksa diri, dengan cara memukul-mukul
kepala dan dada dengan tangan sambil menyanyi dengan nyanyian ratapan. Atau
dengan memukul punggung dengan rantai dan pedang, dan melukai kepala dengan
pisau atau pedang sampai berdarah lalu dipukul-pukul biar darah banyak mengalir
dan biar pahala pun mengalir. Kelompok ini adalah kelompok Syiah yang di
Indonesia menamakan diri sebagai Syiah Ahlul Bait lalu disingkat Ahlul Bait
atau Jamaah Ahlul Bait. Tentu penamaan ini salah dan melecehkan istilah Ahlul
Bait yang sangat dicintai oleh Ahlussunnah.
Kedua adalah kelompok
Nawashib yaitu musuh-musuh keluarga Nabi yang senang dengan wafatnya Husain
sehingga mereka menjadikannya sebagai hari pesta dan kenduri.
Artikel ini khusus mengupas
tentang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, namun ternyata mereka
justru merusak nama Ahlul Bait. Mengapa demikian? Sebab mereka menjadikan nama
Ahlul Bait sebagai topeng untuk menjajakan kebid’ahan dan kesesatan mereka.
Mereka sejatinya tidak mengikuti Ahlul Bait tapi mengikuti imam-imam yang
sesat, yang kebanyakan berasal dari Persia. Setelah sebelumnya mengikuti ajaran
al-wala’ wal bara’ buatan Abdullah bin Saba’ al-Yahudi.
Para imam Ahlul Bait
Menegaskan soal Asyura
Berikut adalah
Kalimat-kalimat dari para Imam Ahlul Bait yang sesungguhnya tentang masalah
‘Asyura’. Ucapan-ucapan tersebut bersesuaian satu sama lain, dan bersesuaian
dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan perbuatan para Sahabat Nabi
radhiallahu’anhum. Nukilan-nukilan tersebut sangat banyak. Anda bisa melihatnya
pada kitab Man Qatala al-Husain (Siapakah Yang Membunuh al-Husain?)
Secara ringkas bisa saya
sebutkan sebagai berikut:
Muhammad bin ‘Ali bin
al-Husain yang diberi gelar dengan as-Shaduq (Ibnu Babawaih al-Qummiy, Syaikhul
Muhadditsin (306-381), penulis Kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, dan kitab
‘Ilalus Syarayi’, ia berkata, “Diantara lafazh-lafazh Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak mungkin diterjang adalah:
« النِّيَاحَةُ
مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ »
“Niyahah (meratapi mayit)
adalah termasuk perbuatan jahiliyah.” (Ibnu Babawaih al-Qummii, Man La
Yahdhuruhul Faqih (4/271-272)).
Ja’far as-Shadiq (Abu
Abdillah, imam mereka yang ke-6, 83-148 H) dari bapak-bapaknya berkata,
« نَهَىٰ
رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الرَّنَّةِ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ، وَنَهَىٰ عَنِ النِّيَاحَةِ
وَاْلاِسْتِمَاعِ إِلَيْهَا »
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tangisan pada saat musibah dan melarang
niyahah serta mendengarnya.” (Al-Huri al-‘Amili, Wasailus Syi’ah (2/915)).
Ali bin Abu Thalib (imam
pertama, abul Hasan al-Murtadha, 23 SH-40 H) radhiallahu’anhu, berkata:
« ثَلاَثٌ
مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَزَالُ فِيْهَا النَّاسُ حَتىَّ تَقُوْمَ
السَّاعَةُ: الاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ
وَالنِّيَاحَةُ عَلىَ الْمَوْتىَ »
“Ada tiga perkara termasuk
perbuatan jahiliyah, tidak henti-hentinya manusia berada di dalamnya hingga
terjadinya hari kiamat; meminta hujan dengan bintang, mencela nasab, dan
niyahah atas mayit.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar, (82/101))
Ali ibn Abi Thalib berkata:
“Siapa yang memukulkan tangannya pada pahanya ketika musibah maka amal
shalihnya menjadi lebur.” (Nahjul Balaghah)].
Ali Ibn Abi Thalib telah
berwasiat kepada istrinya Fatimah binti Rasulillah : “Jika aku mati maka kamu
jangan mencakar wajah, jangan meneriakkan kata-kata celaka, dan jangan
menunggui orang yang meretap.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 51).
Imam Husain bin Ali sendiri
telah berwasiat kepada Zainab saudari perempuannya: “Hai saudariku, aku
bersumpah demi Allah, wajib atas kamu memelihara sumpah ini, jika aku terbunuh
maka janganlah kamu merobek bajumu dan jangan mencakar wajahmu dengan
kuku-kukumu, dan jangan meneriakkan kata celaka dan binasa atas kesyahidanku.”
(Abbas al-Qummi, Muntaha al-Amal, 1/248)]
Ja’far as-Shadiq rahimahullah
berkata,
« لاَ
يَصْلُحُ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ يَنْبَغِيْ، وَلَكِنَّ النَّاسُ لاَ
يَعْرِفُوْنَ »
“Tidak benar berteriak atas
mayit, dan tidak layak, akan tetapi manusia tidak mengetahui.” (al-Kulaini,
al-Kafi (2/226)
Dia juga berkata,
« لاَ
يَنْبَغِيْ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ بِشَقِّ الثِّيَابِ »
“Tidak layak berteriak
(histeris) atas mayit, dan tidak layak pula merobek-robek baju.” (al-Kafi,
3/225)
Dari Fadhl bin Muyassir, dia
berkata, ‘Dulu kami berada di sisi Abu ‘Abdillah (Ja’far as-Shadiq), kemudian
datang seorang laki-laki yang mengeluhkan musibah yang menimpanya, maka Abu
‘Abdillah berkata kepadanya:
« أَمَّا
إِنَّكَ إِنْ تَصْبِرْ تُؤْجَرْ، وَإِلاَّ تَصْبِرْ يُمْضِى عَلَيْكَ قَدَرُ اللهِ
الَّذِيْ قُدِّرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ مَأْزُوْرٌ »
“Adapun kamu, jika kamu
bersabar, kamu akan diberi pahala, dan jika tidak bersabar maka taqdir Allah
yang telah ditaqdirkan atasmu tetap berlaku atasmu sedang kamu diberi dosa.”
(al-Kafi, (3225))
Perhatikanlah wahai para
pembaca bahwa kewajiban yang dilakukan saat tertimpa musibah adalah bersabar
dan berharap pahala, tidak dengan berkeluh kesah dan berkeberatan. Karena tidak
mungkin merubah musibah sedikitpun, karena telah terjadi, selesai dan telah
berlalu padanya putusan Allah Ta’ala. Sabar atau tidak sabar, orang yang diuji
tersebut tidak akan bisa merubah sesuatu. Akan tetapi jika dia bersabar dia
akan diberi pahala dan berhasil meraih pahala, namun jika dia tidak bersabar
dan marah, maka dia berdosa dan kehilangan pahala serta tidak bisa merubah
sesuatu.
Selama 14 abad, manfaat apa
yang kita peroleh dari tangisan, memukul-mukul kepala dan dada, dan menyakiti
diri sendiri, dan bahkan kadang membunuhnya?! Yang kemudian musibah tersebut
berubah menjadi dua musibah; terbunuhnya al-Husain radhiallahu’anhu, menyakiti
diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah dan juga
dilarang oleh para Imam.
Jadi, larangan tersebut telah
valid dari para imam Syi’ah, juga telah shahih dari para Imam Ahlussunnah. Di
antara ulama Ahlussunnah yang menyatakan masalah ini adalah:
Hari Asyura Menurut Syaikhul
Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari
‘Asyura'(10 Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna
tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada
asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah? Demikian
pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan,
kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di hadapan
umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu semua memiliki
asal?!
Maka beliau rahimahullah
menjawab, “Alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari
semua itu yang diriwayatkan dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau,
dan tidak ada satupun di antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya
baik, tidak imam empat tidak juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang
menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan hal tersebut, tidak dari Nabi ,
tidak dari para sahabat, tidak juga dari para tabi’in, tidak yang shahih,
maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih, tidak pada kitab-kitab
sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits tersebut tidak ada
satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.” (al-Fatawa
al-Kubra (1/194)).
Karena inilah maka kita
ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk perayaan atau pesta apapun
pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada hari kesepuluh (hari Asyura`),
karena hal itu bukanlah hari raya, tidak dirayakan, dan bahkan kami
berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi sunnah Nabi dan sunnah
Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.
Berkaitan dengan terbunuhnya
Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan bahwa al-Husain
radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid,
dan tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Adapun orang yang telah membunuh al-Husain
radhiallahu’anhu atau yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu,
maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu
Taimiyah, Majum’ al-Fatawa (4/487))
Inilah sikap beliau terhadap
al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap orang-orang yang membunuhnya.
Puasa Asyura dan Keutamaannya
Mengenai puasa Asyura`
ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah shahih dari
Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para Imam.
Telah shahih bahwa Nabi
mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura sebagai hari puasa
dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan memakaikan
perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah memerintahkan kaum
muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10, dan ditambah dengan
hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981; Muslim: 2613, 2614,
2619, 2620).
Nabi mengabarkan bahwa puasa
hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu. (HR. Muslim: 2700)]
5 hal yang menyedihkan
Pertama; bahwa
riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama
syiah.
Kedua: mereka juga tidak
pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah
dilakukan oleh para Imam tersebut.
Ketiga: saat mereka menyebut
tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan ahlul Bait
yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui
riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!
Sebenarnya pembunuh al-Husain
radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah sendiri –semoga Allah memperlakukan
merek dengan keadilan-Nya – bukan selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai
mereka selain mereka sendiri. Merekalah yang berdusta terhadap al-Husain
radhiallahu’anhu, menipunya, mengkhianatinya, membiarkannya sendirian,
sebagaimana mereka membiarkan bapaknya (Ali radhiallahu’anhu), dan saudaranya
sebelumnya.
Keempat: mereka tidak pernah
menyebut saudara-saudara al-Husain radhiallahu’anhu yang mati syahid bersamanya
di padang Karbala`. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, putra-putra ‘Ali
bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, [juga Abu Bakar putranya sendiri dan Abu Bakar
putra Hasan bin Ali ra] Mengapa…? Bahkan tidak pernah ditemui untuk mereka
sekedar penyebutan atau belas kasihan,
Mengapa mereka bersikap
demikian?
Jawabnya adalah, bahwa tidak
disebutnya nama mereka hanyalah kekhawatiran terhadap pertanyaan orang-orang
awam syi’ah, “Mengapa Imam ‘Ali menamai putra-putranya dengan nama-nama
tersebut (Abu Bakar, Umar dan Usman)? Mengapa Imam Husain dan Imam Hasan
menamai putranya dengan Abu Bakar? Bukankah penamaan menunjukkan akan kecintaan
dan keridhaan?”
Kelima: bahwa umat di zaman
sekarang hidup dalam ujian, musibah, perpecahan, dan kelemahan. Bersamaan
dengan itu Anda akan mendapati bahwa para khatib di mimbar al-Husaini tidak
memiliki apapun untuk disampaikan kecuali mengoyak sejarah, menghidupkan
fitnah, dan membuat-buatnya, serta mengobarkannya, padahal tidak memiliki
landasan yang shahih.
Kita Menolak Acara Asyura ala
Syiah
Sikap kita, Ahlussunnah
terhadap acara ratapan tersebut adalah sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata tentang orang-orang yang menjadikan ‘Asyura` sebagai acara ratapan
nestapa dan nista, “Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya
terhadap musibah –jika musibah itu baru terjadi- adalah hanya bersabar, ihtisab
(berharap pahala) dan istirjâ’ (mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi
râji’ûn)… maka, jika Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar dan
ihtisab saat musibah baru terjadi, maka bagaimana pula jika musibah itu telah
berlalu sekian lama. Maka menjadikan hari ‘Asyura` sebagai acara kesedihan
termasuk perkara yang dihias-hiasi syetan untuk orang-orang sesat lagi membangkang.
Demikian pula nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan, dalam bentuk ratapan), dan
pelantunan sya’ir-sya’ir sedih. Kedua kelompok tersebut telah melakukan
kesalahan, keluar dari sunnah. Rasulullah , dan Khulafaur Rasyidin tidak pernah
menyunnahkan satu perbuatan dari perbuatan tersebut pada hari ‘Asyura`, tidak
syi’ar-syi’ar kesedihan, tidak juga syi’ar-syi’ar kegembiraan.” (Majmû’ul
Fatawa (25/308-309))
Setelah ini kita katakan,
“Telah banyak para Nabi yang terbunuh, tetapi Rasulullah tidak pernah melakukan
yang seperti itu sama sekali. Demikian pula terbunuh sejumlah keluarga Nabi ,
seperti Hamzah, dan Ja’far di zaman Nabi , dan beliau tidak pernah melakukan
sesuatupun untuk keduanya. Beliau juga tidak membangun kuburan untuk keduanya,
tidak juga membuat musim-musim untuk menziarahinya, tidak juga yang lainnya,
padahal keduanya adalah orang yang sangat utama, dan beliau al-Mushtafa sangat
mencintai keduanya, demikian pula keadaannya terhadap Khadijah
radhiallahu’anha.”
Demikian pula waktu
terbunuhnya ‘Ali radhiallahu’anhu, putra-putranya tidak pernah melakukan
sesuatupun, termasuk yang paling utama di antara mereka adalah al-Hasan dan
al-Husain radhiallahu’anhuma. Maka apakah Rasulullah dan putra-putra ‘Ali
radhiallahu’anhu berada di atas kesalahan..?!
Maka lihatlah wahai para
pembaca yang budiman, dengan pandangan tafakkur (perenungan), i’tibar
(pengambilan pelajaran), tidak dengan pandangan kesombongan dan penentangan!!
Ketahuilah bahwa tidak ada bagi anda di akhirat kecuali apa yang telah anda
perbuat di dunia yang berupa amal shalih setelah rahmat Allah Ta’ala.
Aku memohon kepada Allah agar
dengan kalimat-kalimatku ini, Allah Ta’ala membuka hati-hati yang lalai, serta
mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli. Allâhumma âmîn.
Ya Allah, janganlah Engkau
menjadikan kami termasuk orang-orang yang sesat mengikuti perbuatan mereka di
kehidupan dunia, sementara mereka menganggap bahwa mereka telah berbuat bagus
dalam perbuatan mereka.*
Penulis: Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
(Anggota Dewan Syura ANNAS, Aliansi Nasional Anti Syiah, Penulis buku-buku
Islam)