Dalam ceramahnya yang telah
dibukukan, syaikh Abdullah Azzam rahimahullah pernah memuji salah satu pemimpin
negara. Syaikh mengatakan bahwa kedua matanya tidak pernah melihat seorang
pemimpin negara yang lebih utama dari pemimpin satu ini. Syaikh juga mengatakan
bahwa dirinya belum pernah melihat seorang sosok pemimpin yang berbicara dengan
hatinya atau saat ia menjawab (pertanyaan) dengan tetesan air matanya.
Seorang pemimpin yang mampu
berbicara di depan khalayak ramai dari dasar kalbunya. Ia seolah seorang khotib
yang sedang berkhotbah di masjid. Pemimpin ini berkhotbah (dengan demikian
bebasnya) padahal kalau kita melihat para khotib masjid, mereka sangat
berhati-hati dan penuh perhitungan dalam menyampaikan khotbah.
Di layar televisi yang
dipancarluaskan ke seluruh dunia, ia berbicara, “Saya bertemu dengan duta
Rusia, lalu saya katakan padanya, ‘Kalian telah menembus angkasa dengan
pesawat-pesawat luar angkasa dan satelit-satelit kalian, namun tampaknya kalian
tidak belajar pada sejarah.’
Mereka bertanya, ‘Apa maksud
Anda.’ Ia menjawab, ‘Andai kalian
belajar dari sejarah, kalian pasti tidak
akan masuk ke Afghanistan. Apakah kalian tidak tahu bahwa bangsa Afghan telah
mengalahkan bangsa-bangsa yang masuk negeri mereka’.”
Siapakah dia hingga syaikh
Abdullah Azzam menyanjungnya? Dia adalah presiden Pakistan ke-6 sekaligus
presiden yang menduduki jabatan terlama sekitar 11 tahun, yaitu Muhammad Zia-ul
Haq.
Muhammad Ali Jinnah
Media-media mainstream sering
menyudutkan Zia dalam pemberitaan selama ini. Entah dalam penulisan biografi
atau kebijakan politiknya yang dinilai diktator dan bertangan besi. Padahal Zia
hanya berusaha mengembalikan Pakistan sebagai negara Islam yang merupakan
warisan perjuangan dari Muhammad Ali Jinnah. Karena Muhammad Ali Jinnah
memisahkan diri dari India bertujuan untuk mendirikan negara Islam Pakistan.
Mengenal Muhammad Zia-ul Haq
Presiden ke-6 Pakistan ini
lahir di Jalandhar Pakistan pada tanggal 12 Agustus 1924. Ia merupakan putra
sulung dari Muhammad Akbar, seorang guru di sekolah Militer British. Setelah
menyelesaikan Sekolah Tingkat Atas (STA) di Shimla, melanjutkan pendidikan B.A
Honors di St. Stephen College Delhi. Ia pernah menjabat sebagai perwira di angkatan
tentara Inggris pada tahun 1943 dan bertugas di Burma, Malaya dan juga di
Indonesia ketika perang dunia ke 2 berlangsung.
Zia kecil bersama ayahnya,
Muhammad Akbar
Dikabarkan Zia memiliki peran
yang besar dan harus diketahui oleh masyarakat Indonesia. Ketika pasukan
Inggris yang sedang bertempur bersama pejuang-pejuang Indonesia dalam rangka
mempertahankan kemerdekaannya di Surabaya, ada beberapa pasukan dari Pakistan
dan juga India (Gurkha) yang didatangkan oleh tentara inggris. Salah satu
pasukan Pakistan yang ikut dalam misi tersebut adalah Jendral Zia-ul Haq.
Tentara tentara Pakistan mulai terketuk hatinya ketika melihat banyak
musuh-musuh yang di hadapi adalah saudara-saudara mereka seiman dan mereka
menyautkan takbir, bahkan mereka membelot dari pasukan Inggris dan membantu
rakyat-rakyat Surabaya dalam memerangi Inggris.
Ketika perang Dunia ke 2
selesai, ia bergabung dengan angkatan
darat Pakistan pada masa perjuangan Pakistan merebut kemerdekaan dari Inggris.
Sebagai Mayor ia mendapat kesempatan untuk melakukan pelatihan di Komandan
Sekolah Staf di Amerika Serikat pada
tahun1963-1964. Selama perang pada tahun 1965, ia bertindak sebagai
Asisten Quartermaster 101 divisi infantri yang mana ia berada di sektor Kiran,
kemudian pada tahun 1967 sampai 1970
diposkan di Jordania dan bergabung dengan pelatihan militer Jordan, kemudian
ditetapkan sebagai Komandan Kesatuan di Multan
pada tahun 1975.
Pada tanggal 1 April 1976,
secara mengejutkan Perdana Menteri Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto, menunjuk
Jenderal Zia-ul Haq menjadi kepala tentara Pakistan menggantikan 5 Jendral
atasannya. Keputusan Bhutto seakan menunjukkan keinginannya untuk menjadikan
seorang kepala angkatan perang, yang tidak akan bisa mengancam kedudukannya
pada waktu itu.
Tapi bagaimanapun juga,
sejarah membuktikan bahwa Zia-ul Haq memiliki pemikiran yang lebih cemerlang
dibandingkan dengan Perdana Menteri Zulfiqar Ali Bhutto. Saat itu suasana
perpolitikan di Pakistan semakin memanas, dan memuncak ketika terjadi kebuntuan
antara Bhutto dan kepemimpinan Aliansi Nasional
Pakistan pada masalah pemilihan umum.
Selain itu pamor Ali Bhutto
menurun setelah terjadinya berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM dan
memaksakan kebijakan yang berhaluan sosialis dimana notebene Pakistan adalah
negara Islam. Pada saat itulah Zia-ul Haq mengambil sebuah kesempatan, maka
pada tanggal 5 Juli 1977, ia melakukan kudeta tak berdarah menggulingkan
pemerintahan Bhutto dan menegakkan Militer Darurat di negeri Ali Jinnah ini.
Alasan lain kudeta itu
dilakukan adalah karena tindakan pengkhianatan dari Ali Bhutto. Ia berkhianat
dengan usahanya membawa Pakistan ke arah
negara sekuler, dan mengingkari sejarah Pakistan yang berspisah dengan India,
karena faktor agama. Berbeda dengan anggapan media-media sekuler bahwa Zia
melakukan kudeta berdarah dan ilegal, justru apa yang dilakukan Zia adalah
upaya penyelamatan dari pengkhianatan.
Peta Pakistan
Setelah penggulingannya,
sebenarnya Ali Bhutto sempat masuk kembali ke dunia politik. Namun, karena Ali Bhutto
terjerat dalam kasus pembunuhan (Ali didakwa mendalangi pembunuhan lawan
politiknya) maka secara tegas vonis hukuman mati diberikan pada Maret 1978.
Eksekusi hukuman mati dilakukan setahun kemudian pada tanggal 4 April 1979.
Kasus inilah yang sering dijadikan media sekuler untuk menjatuhkan nama Zia.
Media mendiskreditkan Zia sebagai pelaku kudeta berdarah, padahal hukuman
gantung yang diijatuhkan kepada Ali Bhutto karena kasus yang lain.
Penataan Ulang Pakistan
Menjadi Negeri Islam
Hal pertama kali yang
dilakukan Zia adalah mengadakan pemilihan umum
dalam 90 hari ke depan dan menyerahkan kekuasaannya kepada wakil
rakyat.Akan tetapi, pada bulan Oktober 1977, ia mengumumkan penundaan pada
rencana Pemilihan Umum. Dalam sebuah pernyataan, ia mengatakan
bahwa, keputusan ini berubah
karena adanya tuntutan yang sangat kuat dari masyarakat, untuk mengawasi
pemimpin-pemimpin politik yang terlibat dalam penyelewengan pada masa sebelumnya.
Zia memulai islamisasi
pemerintahan Pakistan dengan mengganti sistem parlemen dengan sisten Majelis
Syura. Hampir seluruh anggota dewan Syura yang berada di bawah kepemimpinan Zia
adalah para intelektual tinggi, cendikiawan, ulama dan jurnalis yang
profesional. Majelis Dewan Syura ini bertindak sebagai Penasehat Presiden, yang
mana sekitar 284 anggotanya diajukan langsung oleh presiden, sehingga tidak ada
tempat lagi untuk menduduki dewan ini.
Pada tahun 1980, Zia menepati
janjinya dengan menggelar pemilihan umum. Referendum pemilihan umum telah
disebarkan di berbagai daerah di Pakistan, guna memilih siapa yang berhak
menjadi pemimpin negara kedepannya. Dengan adanya referendum ini, hampir 98%
mendukung Zia untuk tetap menjadi presiden Pakistan.
Berbagai kebijakan telah
dilakukan Zia dan mendapat dukungan penuh dari rakyat Pakistan. Mayoritas
rakyat Pakistan mendukung islamisasi Pakistan
yang meliputi hukum, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
Kebijakan-kebijakan ini mendapat kritikan dan penolakan dari kaum sekuler,
minoritas dan liberal. Dan justru mendapat dukungan penuh dari partai
Islam,seperti Jamaat e Islami.
Pemerintahan Zia menggalakkan
pendidikan Islam, menghapus riba bank dengan menerapkan sistem bagi hasil dan
menetapkan kewajiban zakat mal 2,5% bagi yang telah memenuhi nishab dan haul.
Dari ranah hukum, Zia berupaya menerapkan hukum hudud dengan jenis hukuman
seperti rajam, cambuk dan amputasi yang masuk ke dalam aturan sipil. Hingga
aturan menjaga shalat masyarakat serta penyediaan mushala bagi pekerja.
Dukungan Penuh Pada Mujahidin
Ketika Uni Soviet melakukan
invasi militer ke Afghanistan pada tahun 1980, Zia menjadi penyangga perlawanan
Afghanistan membendung auman Beruang Merah. Zia menjadi donatur, perantara
sekaligus pelaksana bantuan bagi Afghanistan untuk melawan komunis Uni Soviet.
Selain itu, Zia juga
memobilisasi para mujahidin, dukungan intelijen dan mendistribusikan bekal
persenjataan bagi para pejuang Islam. Bahkan saat itu, Pakistan menampung lebih
dari 3 juta pengungsi dari Afghanistan. Bisa dibilang bahwa saat itu Pakistan
menjadi pusat konsolidasi bagi para mujahidin yang akan berjuang ke
Afghanistan. Zia yang merupakan seorang jenderal turut menyusun strategi perang
melawan Soviet.
Bukan hanya itu, Zia juga
mengkampanyekan perjuangan melawan Soviet kepada seluruh para pemimpin Dunia
Islam. Zia melakukan hubungan dengan tokoh gerakan Islam, bertujuan
memobilisasi para mujahidin dari seluruh dunia, dan usaha itu berhasil. Para mujahidin dari negara-negara Arab,
Afrika, Asia, Chechnya, dan bahkan dari negara Eropa dan Amerika. Mereka semua bersatu
di bawah panji Islam, berjihad melawan Soviet.
Peperangan yang berlangsung
selama lebih dari satu dekade itu dimenangkan oleh para mujahidin atas izin
Allah. Pasukan komunis hengkang meninggalkan Afghanistan di tahun 1989.
Kemenangan ini mempunyai pengaruh yang luas bagi kebangkitan Islam di seluruh
dunia. Tumbuhnya jihad di Bosnia, Chechnya,
di negara-negara Arab, Afrika, dan Asia dalam rangka menghapus segala
bentuk penjajahan Barat sampai hari ini, semua bermula dari kemenangan jihad yang berlangsung di Afghanistan.
Sikap Mulia Zia-ul Haq
Dr Abdullah Azzam menuturkan
dalam Tarbiyah Jihadiyah bahwa Zia adalah seorang pemimpin yang mulia. Di saat
para pemimpin Islam lainnya takut bersuara dan mempermasalahkan jihad di
Afghanistan, Zia berdiri tegak membela dan dengan berani mencela Rusia sebagai
perusak kedamaian yang ada.
Syaikh Abdullah Azzam
rahimahullah
Saat itu, salah seorang
penguasa Arab yang menjadi utusan OKI mengatakan kepada Zia, “Kami harap Anda
sudi menandatangani. Kami ingin menghentikan perang dan kami ingin segera
memecahkan persoalan Palestina.”
Zia-ul Haq menjawab, “Apakah
Anda berpikir bahwa jihad di Afghanistan hanyalah beberapa tembakan peluru di
daerah perbatasan? Atau seseorang meletakkan sebuah ranjau dan kemudian lari? Ketahuilah
bahwa dari data statistik yang berhasil direkam satelit pemerintah Pakistan,
pesawatpesawat tempur yang hancur dan rontok selama peperangan sampai permulaan
tahun 1988 sebanyak 2080 buah.” Mendengar penuturan Zia-ul Haq, si penguasa
Arab ini hanya bisa berseru, “Ha” dan “Ha” saja.
“Dengarlah,” kata Zia-ul Haq
melanjutkan, “Tank-tank Rusia yang berhasil dihancurkan sebanyak 17.000 buah
dan kendaraan-kendaraan pengangkutnya sebanyak 11.000 buah.” Utusan itu semakin
ternganga mulutnya dan berkata, “Demi Allah, saya tidak tahu kalau demikian
keadaannya.” Ia pikir Mujahidin hanya memasang dua ranjau saja untuk menghadang
tank-tank Rusia. Selesai persoalan, kemudian lari ke Afghanistan. Ia tidak tahu
bahwa Rusia tidak mampu keluar sejak masuk ke Afghanistan. Mereka terperangkap
di Afghanistan selama sembilan tahun.
Akhirnya si penguasa ini
kembali dan mengatakan kepada rekan-rekannya, “Saudara-saudara sekalian, saya
telah mendengar dari penuturan Zia-ul Haq sesuatu yang sangat menakjubkan. Ia
mengatakan begini dan begini. Tapi, solusi yang disepakati dalam konferensi
internasional harus kita pegang agar kita bisa segera memecahkan persoalan
Palestina. Jika kita berhasil, mereka akan mengembalikan Masjidil Aqsha dan
menghentikan peperangan di kawasan teluk yang telah menelan banyak korban.”
Kemudian mereka mengadakan
sebuah konferensi perdamaian di kota Karachi. Kaum Muslimin dan para dai datang
dalam konferensi itu. Mereka memuji Gorbachev dan Rusia karena cinta perdamaian
dan mau menarik pasukannya dari Afghanistan. Dalam kesempatan itu, Zia-ul Haq
turut hadir memberikan sambutan. Tatkala bicara, ia lupa bahwa dirinya adalah
seorang pemimpin negara dan seluruh dunia memperhitungkan kata-katanya. Ia
seolah dai yang sedang berkhutbah di atas mimbar.
Dia berkata, “Saya tidak tahu
atas dasar apa kita menyanjung dan memberikan pujian kepada Rusia. Rusia adalah
pencuri yang masuk sebuah rumah, membakar harta benda yang ada di dalamnya dan
membunuh penghuninya. Lantas pantaskan seorang pencuri mendapatkan pujian?”
Sebuah ungkapan tulus dari
seorang muslim terucap dari bibir Zia. Pembelaan dan sikap tegasnya tetap ia
kedepankan walau pada saat itu para delegasi negara lainnya lebih memilih cari
aman.
Konspirasi Pembenci Islam
Sudah dapat ditebak bahwa
kemenangan demi kemenangan yang diraih mujahidin menimbulkan ketidaksukaan bagi
musuh Islam. Orang-orang sekuler pun
merasa khawatir jika kepemimpinan Zia terus berlangsung maka Islam akan menjadi
kuat dan menguasai dunia. Beberapa konspirasi pun mereka lakukan demi
memutuskan tali kebangkitan Islam.
Tekanan demi tekanan
diberikan kepada Zia dengan cara peledakan bom di kota-kota. Dengan adanya
ledakan ini rakyat Pakistan memojokkan Zia dan mendesak agar memulangkan para
mujahidin ke negeri asalnya. Orang-orang sekuler berkomplot untuk memutus
hubungan Zia dengan para pemimpin mujahidin.
Hingga suatu hari, Zia
mengumpulkan para pemimpin jihad di dalam sebuah pertemuan. Dalam pertemuan itu ia menyampaikan, “Aku
telah menoleh kepada orang-orang di sekelilingku, namun tidak saya dapati
seorang musuh atau kawan pun yang berdiri di belakangku. Sementara, segala daya
dan upaya telah aku curahkan hinggatak tersisa lagi. Pada akhirnya aku tidak
mampu berbuat selain menandatangani perjanjian tersebut, karena Perdana Menteri
Junejo dan Menteri Luar Negeri Nurani menekanku. Demikian pula 13 partai
politik dari 15 yang ada turut menekanku. Mereka meledakkan bom di kota-kota
untuk memojokkan posisiku di mata rakyat Pakistan. Mereka mendesak agar para
Muhajirin dipulangkan ke negeri mereka, karena para Muhajirin Afghan itu
menurut mereka menjadi faktor instabilisasi keamanan di negeri Pakistan.”
Setelah Zia-ul Haq
menyampaikan kesulitannya itu, Syaikh Sayyaf mengatakan, “Wahai saudaraku,
engkau telah mengarungi perjalanan bersama kami sebagai seorang Muslim dan
ksatria. Perjalanan yang luhur sejak delapan tahun yang lalu. Jika di sana ada
tekanan dunia internasional terhadapmu, kami bisa memaklumi posisimu. Katakan
saja pada kami, ‘Keluarlah kalian dari negeri kami, saya sudah tidak sanggup
lagi, karena keberadaan kalian di negeri kami menimbulkan masalah yang tak
mampu lagi kami pecahkan.’ Jangan sampai engkau menandatangani perjanjian
penjualan negeri Afghanistan, kehormatannya, darah, dan jihadnya, serta
melekatkannya pada sejarah (bangsa)mu. Katakan saja pada kami, maka kami akan
keluar. Dengan demikian, bereslah. Engkau dapat udzur di hadapan dunia dan kami
akan kembali ke negeri kami.” Mendengar kata-kata Sayyaf, hati Zia-ul Haq
tersentuh karena ia adalah seorang yang teguh membela kebenaran.
Putra Zia-ul Haq menuturkan,
“Ayah saya pulang dalam keadaan sedih dan berduka. Malam itu mungkin ia tidak
bisa tidur. Pagi harinya, ketika kami sajikan sarapan, ia tidak mau makan. Saya
pun bertanya, ‘Ayah, apa yang membuatmu risau?’ Ia menjawab sambil mendesah,
‘Inilah pertama kali saya terpaksa menelantarkan (tidak memberi pertolongan)
saudara-saudaraku Mujahidin . Saya tak sanggup .’
Akhirnya Zia-ul Haq
menandatangi Perjanjian Jenewa. Namun ia memberikan catatan sebagai ralat atas
isi perjanjian tersebut. Ia mengatakan,
“Pertama, tak mungkin
selamanya saya mengusir Muhajirin Afghan dari Pakistan. Jika mereka rela keluar
dengan keridhaan hatinya, maka biarlah mereka keluar.
Kedua, saya tidak bisa
memberikan jaminan kepada kalian bahwa peperangan akan berhenti di
Afghanistan.” Setelah mengatakan demikian, beliau menandatangani perjanjian
tersebut dan kemudian kembali ke negerinya.
Junejo merasa sangat gembira
karena Amerika, Barat, dan PBB menjanjikan pemberian hadiah “Nobel” padanya.
Nobel adalah medali Perdamaian buatan Yahudi. Nobel ini hanya diberikan kepada
orang yang telah berjasa kepada Yahudi. Naquib Mahfuzh diberi hadiah ini karena
jasanya dalam merekatkan hubungan antara Israel dan Mesir. Ia menulis kisah
yang penuh dengan celaan dan tikaman terhadap Islam berjudul “Anak-Anak Desa
Kami.”
Tatkala Junejo melihat Zia-ul
Haq tidak ingin melaksanakan isi Perjanjian Jenewa, ia pun menekannya. “Saya
akan mengangkat laporan yang menyatakan keenggananmu melaksanakan isi perjanjian
itu ke PBB, Amerika, dan Rusia,” katanya.
Zia-ul Haq mengatakan, “Saya
tak sanggup hidup dalam keadaan hina dalam sisa hidup saya.” Kemudian ia
berhenti dan berpikir lama. Selanjutnya ia mengatakan, “Tidak ada jalan lain
selain memberi kesempatan kepada pemerintahan sipil.” Pada suatu malam ia
mengumpulkan para anggota Majelis Syura dan menyampaikan pendapatnya kepada
mereka, “Saya telah memutuskan akan mengganti bentuk pemerintahan dan Majelis
Syura. Saya mengumumkan dua poin penting:
Pertama, saya akan
memberlakukan syariat Islam, meski hal itu membawa resiko terancamnya
keselamatan keluarga, kedudukan, bahkan jiwa saya.
Kedua, saya akan mendukung
jihad Afghan sampai saya bisa melepaskan orang terakhir dari mereka dalam
keadaan jaya, mulia, dan menang di pintu gerbang Khaibar.
Aslam Khotak, Menteri Dalam
Negerinya, mengemukakan pendapat, “Pihak Barat pasti akan menyingkirkanmu,
Pak.” Zia-ul Haq berkata, “Saudaraku, sesungguhnya yang menentukan keputusan
mati dan hidup ada di langit, bukan di bumi.”
Konspirasi Wafatnya Zia
Zia sudah mempunyai firasat
bahwa tidak akan lama lagi dia akan disingkirkan. Musuh-musuh Islam tidak akan
tinggal diam melihat Islam berkembang dan berjaya. Ia merasa bahwa pihak Barat
telah membuat konspirasi untuk menyingkirkan dirinya. Kemudian ia mengumpulkan
para pimpinan Mujahidin dan berkata kepada mereka, “Ini adalah masa-masa untuk
melenyapkan saya dan kalian secara fisik. Saya tak tahu siapa yang bakal lebih
dahulu menjumpai Allah.”
Qadarullah, ternyata Zia yang
lebih dahulu dipanggil oleh Allah. Pada ,17 Agustus 1988, Muhammad Zia ul-Haq
menjadi korban dalam kecelakaan pesawat Hercules C-130 yang dinaikinya. Zia
ul-Haq wafat bersama para pejabat, politisi, dan para jendral Pakistan yang
mendukung para Mujahidin. Kecelakaan dekat Bhawalpur itu juga menewaskan Duta
Besar Amerika Serikat untuk Pakistan.
Puing-puing pesawat saksi
bisu wafatnya Zia-ul Haq
Kecelakaan ini disinyalir
merupakan agenda konspirasi untuk menyingkirkan Zia. Barat tentu tidak rela
jika kepemimpinan Islam kembali berjaya. Maka, dengan menghalalkan segala cara
mereka membunuh Zia dan aparaturnya yang membela mujahidin. Selamat jalan Sang
Jenderal, ketegasanmu dalam membela
Islam akan diwarisi pemimpin-pemimpin Islam di masa depan… Wallahu a’lam bi
shawab.
Penulis : Dhani El_Ashim
Sumber
Tarbiyah Jihadiyah jilid 11 karya syaikh
Abdullah Azzam rahimahullah