Nasehat Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad Tentang Qîla wa
Qôla
Pertanyaan :
Apa nasehat Anda
terhadap sebagian penuntut ilmu yang
terlalu tergesa-gesa di dalam menvonis orang lain dan meng-ilzam-kan
(mengharuskan) sesuatu yang tidak harus serta membesar-besarkan masalah yang
memang ada perbedaan pendapat di dalamnya. Bahkan terhadap perbedaan pendapat
yang ada kelapanga di dalamnya dan sebagiannya adalah perkara yang memang
diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Hal ini menyebabkan pertikaian di
antara para penuntut ilmu, bahkan (sebagian dari) mereka berlebih-lebihan di
dalam mencela orang yang berbeda pendapat dengan mereka dan mereka pun
menyebarkannya di beberapa situs internet sehingga menyebabkan fitnah diantara
para penuntut ilmu?
Jawaban :
Yang wajib bagi setiap
muslim, (termasuk) para penuntut ilmu adalah, hendaknya mereka bertakwa kepada
Alloh Azza wa Jalla dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan
bersemangat di dalam menuntutny, serta hendaknya mereka mengetahui bagaimana
metoda dan cara para ulama senior semisal Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu
‘Utsaimîn, Syaikh asy-Syinqithî dan Syaikh al-Albâni rahimahumullâhu.
Maksudnya, mereka ini seharusnya berupaya berada di atas metoda para ulama
senior tersebut yang mana para ulama ini sibuk dengan ilmu.
Adapun mereka yang
menyibukkan diri dengan qîla wa qôla, sibuk mencari-cari kesalahan dan
mentahdzîr person-person yang dituduh begini dan begitu, atau person tersebut
berkata begini atau begitu, kemudian mereka menyibukan diri dengan hal-hal yang
mengalihkan mereka dari menuntut ilmu syar’i yang padahal tidak sepatutnya
mereka sibuk dengan hal-hal seperti ini. Seharusnya mereka berupaya untuk
menyibukkan diri memetik ilmu yang bermanfaat dari ahli ilmu (ulama) dan
kembali (merujuk) kepada mereka.
Apabila didapati ada
sebuah kesalahan dari mereka, sedangkan dia adalah dari kalangan ahlus sunnah,
(dari kalangan) orang-orang yang sibuk dengan ilmu syar’i, maka tidak sepatutnya
mereka dihajr, dibantah dan ditahdzîr. Bahkan, kalian seharusnya tetap menimba
faidah darinya, namun dengan tetap menolak kesalahannya dan memperingatkan dari
kesalahannya. Jika ia dihajr, ditelantarkan dan ditahdzîr, maka ini bukanlah
termasuk jalan kebajikan dan bukan pula cara untuk mendapatkan ilmu. Karena
ahlus sunnah, jika mereka menggunakan cara-cara seperti ini, yaitu menghantam
setiap hal walaupun kecil, maka tidak akan tersisa satu orang pun dari kalangan
ahlus sunnah yang selamat (dari hajr, tahdzîr, dls).
Oleh karena itu, wajib
bagi penuntut ilmu untuk berupaya menuntut ilmu dan menyibukkan diri dengannya,
dan tidak malah menyibukkan diri dengan qîla wa qôla. Karena siapa saja yang
sibuk dengan hal ini maka ia tidak akan mendapatkan ilmu (yang bermanfaat) dan
tidak akan tersibukkan dengan menuntut ilmu, mereka hanya akan sibuk dengan
qîla wa qôla. Hal ini tidak mendatangkan manfaat sama sekali, bahkan hal ini
akan mendatangkan madharat bagi mereka ketika mereka berbicara buruk tentang orang
lain. Hal ini akan memutuskan jalan kebaikan dan ishlâh (perbaikan).
Sumber : Transkrip
Liqô’ul Maftuh dalam acara Imâm Dârul Hijrah al-‘Ilmiyyah (3/7/1431)
di Masjid Qiblatain
Madînah. (http:/albaidha.net/vb)
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Terhadap Jama’ah
Yang Gemar Menghajr Dan Membid’ahkan
Oleh
Asy-Syaikh al-Allamah
Sholih Fauzan al-Fauzan
Asy-Syaikh al-Allamah
Sholih Fauzan al-Fauzan -hafidhahullahu- berkata saat pengajian tentang Aqidah
dan Dakwah (III/69) sebagai berikut :
“Diantara
kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian ini adalah mengakibatkan
perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, disebabkan disibukkannya mereka satu
dengan lainnya dengan mentajrih (mencela) dengan gelar-gelar yang buruk.
Tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan diri mereka dari yang lainnya dan
merekapun menyibukkan kaum muslimin dengan perihal mereka. Yang mana hal ini
menjadi melebihi mempelajari ilmu yang bermanfaat. Sesungguhnya banyak dan
banyak dari para penuntut ilmu yang bertanya sampai kepada kami bahwa semangat
dan kesibukan mereka hanyalah memperbincangkan manusia dan kehormatan mereka,
baik di majelis-majelis maupun perkumpulan mereka, sembari menyalahkan ini dan
membenarkan itu, memuji ini dan menyatakan itu sesat… Tidaklah mereka ini
disibukkan melainkan hanya memperbincangkan manusia..”
Syaikh al-Allamah
ditanya saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/57) sebagai berikut :
Pertanyaan.
“Apa pendapat yang
mulia tentang merebaknya celaan-celaan baik yang tertulis maupun yang didengar
yang merebak di kalangan para ulama?? Tidakkah Anda memandang bahwa duduknya
mereka untuk diskusi adalah lebih mulia?? Karena betapa banyak aturan-aturan
islam yang rusak karena hal ini!!”
Jawaban.
“Para ulama yang
mu’tabar (dikenal keilmuannya) tidak ada pada diri mereka sedikitpun dari apa
yang disebutkan dalam pertanyaan. Mungkin hal ini terjadi diantara para
penuntut ilmu dan pemuda yang bersemangat, kami memohon hidayah dan taufiq
Allah untuk mereka. Kami menyeru mereka untuk meninggalkan perbuatan tercela
ini dan supaya mereka saling bersaudara di atas kebajikan dan ketakwaan, serta
mengembalikan kepada para ulama terhadap perkara-perkara yang mereka sulit
menentukan kebenarannya, dan agar mereka -para ulama- menjelaskan kepada mereka
mana yang benar, dan supaya mereka tidak memberikan pengaruh pada fikiran
dengan syubuhat sehingga mereka berpaling dari manhaj yang benar. Namun,
janganlah difahami dari hal ini, meninggalkan bantahan terhadap kesalahan dan
penyimpangan yang terdapat di sebagian buku-buku termasuk bagian nasehat bagi
ummat.”
Syaikh ditanya pula
saat pengajian Aqidah dan Dakwah (III/332) sebagai berikut :
Pertanyaan.
“Syaikh yang mulia,
apakah nasehatmu bagi para pemuda yang meninggalkan menuntut ilmu syar’i dan
berdakwah kepada Allah dengan menceburkan dirinya ke dalam masalah perselisihan
diantara pada ulama tanpa ilmu dan bashirah??
Jawaban.
“Aku nasehatkan kepada
seluruh saudara-saudaraku dan khususnya para pemuda penuntut ilmu agar mereka
menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang benar, baik di Masjid, sekolah,
ma’had maupun di perkuliahan. Agar mereka sibuk dengan pelajaran-pelajaran
mereka dan apa-apa yang bermashlahat bagi mereka. Dan supaya mereka
meninggalkan menceburkan diri kepada perkara ini -perselisihan ulama-,
dikarenakan tidak ada kebaikannya dan tidak bermanfaat masuk ke dalamnya… hanya
membuang-buang waktu saja dan merisaukan fikiran…
hal ini termasuk
penghalang amal shalih, termasuk mencela kehormatan dan menghasut kaum
muslimin. Wajib bagi kaum muslimin umumnya dan para penuntut ilmu khususnya,
supaya meninggalkan perkara ini dan agar mereka mengupayakan perdamaian
(ishlah) semampu yang mereka bisa. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah kedua golongan saudara
kalian tersebut, bertakwalah kepada Allah semoga engkau dirahmati.” (al-Hujurat
: 10). Terhadap orang-orang yang anda lihat melakukan kesalahan, maka wajib
bagi anda menasehatinya dan menjelaskan kesalahnnya secara empat mata, dan
memohon kepadanya agar ia mau rujuk (kembali) kepada kebenaran. Inilah yang
dibutuhkan nasehat.
Syaikh Hafidhahullahu
berkata saat pengajian Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat takfir wa Dhawabithuha,
sebagai berikut :
“Oleh karena itu, wajib
bagi para pemuda Islam dan penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat
dari sumbernya dan dari ahlinya yang dikenal akan keilmuannya. Kemudian setelah
itu, mereka akan tahu bagaimana berbicara dan bagaimana meletakkan sesuatu pada
tempatnya, karena Ahlus Sunnah dulu maupun sekarang mampu menjaga lisannya dan
mereka tidaklah berucap melainkan dengan ilmu..”
[Dinukil dan di alih
bahasakan oleh Abu Salma bin Burhan dari kutaib Aqwalu wa Fatawa Ulama fi
tahdzir ‘ala Jama’atil Hajr wat Tabdi’]
Sumber: almanhaj.or.id
Menggiring manusia untuk bersama sebagian ulama seraya
menjatuhkan sebagian ulama yang lain
(sebuah catatan untuk mereka yang mengaku sebagai salafi
sejati)
Nasehat syaikh shalih
al fauzan hafizhahullahu ta’ala untuk para penuntut ilmu
Syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan hafizhahullah menutup pelajaran beliau, Syarh Kitab Ash Shiyam
min Dalil Ath Thalib, dengan wasiat yang bermanfaat untuk para penuntut ilmu di
tengah umat Islam. Kita memohon agar dengannya Allah memberikan manfaat.
Pertanyaan:
Apakah Anda dapat
menyampaikan kalimat yang bermanfaat untuk mengarahkan murid-murid dan
saudara-saudara Anda, para penuntut ilmu,
di tengah umat Islam seluruhnya?
Syaikh Shalih Al Fauzan
hafizhahullahu ta’ala pun mengatakan:
Na’am. Saya wasiatkan
kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. Terus menuntut ilmu, bersemangat di
atas itu, mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan kepada kalian, berdakwah
kepada Allah ‘azza wa jalla, mengajarkan ilmu kepada manusia apa yang telah
kalian pelajari, dan meninggalkan permusuhan yang sekarang ini terjadi di
tengah para penuntut ilmu. [Meninggalkan] saling bermusuhan, saling mencela,
dan membuat perpecahan di tengah mereka sampai mereka memecah-belah umat.
Memecah-belah para penuntut ilmu.
“Hati-hati dari
Fulan!“. “Jangan bermajelis dengan Fulan!“. “Jangan belajar kepada Fulan!“.
Yang seperti ini tidak boleh. Jika Fulan memiliki kesalahan, maka nasehati ia.
Antara dirimu dan dirinya saja. Adapun jika engkau sebarkan itu di tengah
orang-orang, engkau peringatkan orang darinya—sedangkan ia adalah orang yang berilmu,
penuntut ilmu atau seorang yang shalih tetapi ia keliru, maka tidak semestinya
untuk disebarkan seperti itu.
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ
الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا
وَالْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya,
orang-orang yang senang tersebarnya perbuatan keji di tengah orang-orang
beriman, untuk merekalah azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Dan
Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nur: 19)
Karena
itu, yang wajib, saling menasehati di antara kaum muslimin. Yang wajib, saling
mencintai antara kaum muslimin. Apalagi di antara para penuntut ilmu. Apalagi
dengan para ulama. Menghormati para ulama.
Menghilangkan penggiringan manusia agar bersama sebagian ulama dan
mengeluarkan tahdzir dari sebagian ulama yang lain. Yang seperti ini
memunculkan kerusakan-kerusakan yang banyak. Menyebabkan saling bermusuhan dan
saling membenci. Menyebabkan fitnah. Jauhilah oleh kalian semua perkara ini.
Jazakumullahu
khairan. Jadilah kalian seperti apa yang Allah subhanahu wa ta’alainginkan.
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dan
sesungguhnya inilah umat kalian, umat yang satu.” (QS. Al Mukminun: 52)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا
وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan
janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah dan berselisih
setelah datang kepada mereka petunjuk. Dan untuk mereka itulah azab yang sangat
pedih.” (QS. Ali Imran: 105)
Bersungguh-sungguhlah
kalian untuk saling bersaudara. Bersungguh-sungguhlah kalian untuk saling
menasehati di antara kalian. Bersungguh-sungguh pulalah kalian untuk saling
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Jauhilah oleh kalian apa-apa yang dapat
membuat perpecahan di tengah kaum muslimin, terkhusus di zaman ini.
Kaum
muslimin sekarang ini sangat perlu untuk bersatu. Sangat perlu menyingkirkan
perselisihan di antara mereka. Sangat perlu saling menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan.
Jangan
kalian jadi penolong musuh dalam membuat kaum muslimin pecah-belah dan
porak-poranda. Jika terjadi perpecahan antara ulama dan para penuntut ilmu,
maka siapa lagi yang tersisa untuk umat?
Orang-orang
awam tidak memiliki kesungguhan. Kesungguhan itu ada pada para penuntut ilmu.
Yang mereka ini memperbaiki keadaan manusia. Yang mereka ini mengajari
orang-orang.
Tinggalkan
oleh kalian perkara-perkara tersebut. Permusuhan-permusuhan itu. Ucapan-ucapan
provokatif dan hal-hal yang tercela lainnya.
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
“Dan
janganlah sebagian kalian meng-ghibah sebagian yang lain. Apakah salah seorang
kalian suka memakan bangkai saudara kalian?” (QS. Al Hujurat: 12)
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ O هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ O مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ O
“Dan
jangan engkau ikuti setiap yang bersumpah sekaligus hina. Yang banyak mencela,
yang ke sana-sini menebar fitnah. Yang banyak menghalangi kebaikan, yang
melampaui batas serta banyak dosanya.” (QS. Al Qalam: 10-12)
Jangan
taati orang-orang itu, sehingga kalian jadi penolong setan dalam memecah-belah
dan membuat lemah umat.
Siapa
saja di antara kalian mendapati kesalahan saudaranya, kalian nasehati ia, jika
memang betul itu. Jangan kalian benarkan desas-desus.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa
berita, maka periksa dulu kebenarannya oleh kalian, supaya kalian tidak
menimpakan musibah kepada satu kaum dengan ketidaktahuan itu yang membuat
kalian menyesal nanti.” (QS. Al Hujurat:6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى
إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika kalian pergi berperang di jalan Allah, maka
periksa dulu kebenarannya. Dan jangan kalian katakan kepada orang yang
mengucapkan kepada kalian, ‘Salam’, ‘Engkau bukan mukmin’.” (QS. An Nisa’: 94)
Allah
jalla wa ‘ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu dan memerintahkan
mereka untuk satu kalimat serta saling tolong-menolong dan saling
nasehat-menasehati. Kita tidak mengatakan, “Biarkan kesalahan itu.” Kita
katakan, “Perbaikilah kesalahan itu.” Akan tetapi, kalian perbaiki kesalahan
itu dengan cara-cara yang syar’i.
Mudah-mudahan
Allah memberi taufik kepada semuanya untuk melakukan apa yang Allah cintai dan
ridhoi.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله
وأصحابه أجمعين.
RUJUKAN:
https://m.soundcloud.com/abualgareeb/brrctsjs2nyq (file audio) diakses
pada tanggal 14 April 2015.
Berikut
ini transkrip nasehat syaikh shalih al fauzanhafizhahullahu ta’ala tersebut:
نصيحة الشيخ صالح الفوزان –حفظه الله- لطلاب
العلم
ختم الشيخ صالح بن فوزان الفوزان –حفظه الله-
درسَه “شرح كتاب الصيام من دليل الطالب” بوصية نافعة لطلاب العلم في جميع الأمة
الإسلامية، نسأل الله أن ينفع بها.
السؤال
:
هل من كلمة مباركة توجهونها لأبنائكم وإخوانكم
طلاب العلم في الأمة الإسلامية جمعاء؟
الشيخ ]صالح بن فوزان الفوزان حفظه الله[
نعم، نوصيكم بتقوى الله، ومواصلة طلب العلم،
والحرص على ذلك، والعمل بما علّمكم الله، والدعوة إلى الله عزّ وجلّ، وتعليم الناس
ما تعلّمتم، وترك التشاحن الذي الآن حصل بين طلبة العلم، التشاحن والسباب والتحريش
بينهم، حتى فرّقوا الأمة، وفرقوا طلبة العلم: احذروا من فلان، لا تجلسوا مع فلان،
لا تقرؤوا على فلان! هذا ما يجوز. إذا كان فلان عنده خطأ فناصحه بينك وبينه، أما
إنك تنشر هذا بين الناس، وتحذّر منه، وهو عالم أو طالب علم أو رجل صالح لكنه أخطأ،
فلا يوجب هذا النشر
{إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي
الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} (النور: 19) .
فالواجب التناصح بين المسلمين، الواجب المودة
بين المسلمين، ولا سيما طلبة العلم، لا سيما مع العلماء، احترام العلماء، وعدم
التوصية لبعضهم والتحذير من بعضهم، هذا سبَّبَ أشرارًا كثيرة، سبَّبَ تشاحنًا
وتبغاضًا، وسبَّبَ فتنة. تجنبوا هذه الأمور، جزاكم الله خيرًا، وكونوا كما أراد
الله سبحانه:
{وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً} (المؤمنون: 52)
{وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ} (آل
عمران: 105) .
احرصوا على التآلف، احرصوا على التناصح بينكم،
احرصوا على التعاون على البرّ والتقوى، واحذروا ما يفرّق بين المسلمين، خصوصًا في
هذا الزمان. المسلمون الآن بحاجة إلى الاجتماع، بحاجة إلى قطع النزاع بينهم، بحاجة
إلى التعاون على البرّ والتقوى، لا تصيروا عونًا للعدوّ على تشتيت المسلمين وتفريق
المسلمين. إذا حصلت الفرقة بين العلماء وطلبة العلم مَن يبقى للأمة؟! العوام ما
عليهم شَرْه، الشَرْه على طلبة العلم، الذين يصلحون بين الناس، الذين يعلّمون
الناس.
اتركوا هذه الأمور، وهذه التشاحنات، وهذه
المهاترات، وهذه الخَصْلة الذميمة،
{وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا} (الحجرات: 12)
{وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ
بِنَمِيمٍ (11) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (21) } (القلم: 10- 12) .
لا تطيعوا هؤلاء فتكونوا عونًا للشيطان على
تفريق الأمّة، وعلى إضعاف الأمّة.
مَن أدرتكم عليه خللاً فناصحوه، إذا ثبت هذا،
لا تصدّقوا الشائعات،
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ} (الحجرات: 6)
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ
لَسْتَ مُؤْمِنًا} (النساء: 94)
الله -جلّ وعلا- حث على اجتماع المسلمين، وعلى
وحدة كلمة المسلمين، وعلى التعاون، وعلى التناصح، ما نقول: اتركوا الخطأ، نقول:
أصلحوا الخطأ، لكن تصلحونه بالطرق الشرعية
.
وفق الله الجميع لما يحب ويرضى، وصلى الله وسلم
على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.
RUJUKAN:
http://jeyad35.blogspot.com/2013/07/blog-post_10.html atau
dihttps://app.box.com/s/9lza60rfuq0h8i7ls9wpe9k12ff24r5h yang diakses pada
tanggal 14-15 April 2015.
Sumber
: dakwahislam.net
Nasehat Syaikh Ali Hasan : Bantahlah Dengan Lemah Lembut
Sungguh aku berwasiat
kepada saudara-saudaraku salafiyyin -dimanapun ia berada- untuk bertakwa kepada
Allah Ta’âlâ di dalam pena-pena dan tulisan-tulisan mereka, di dalam melakukan
bantahan, menerangkan kesalahan dan mengomentari mereka…
Aku tidak mengatakan
pada mereka -saudara-saudaraku salafiyin-:
Jangan kalian tulis!!
Jangan kalian bantah!!
Jangan kalian
komentari!!
Tidak!!! Bahkan
tulislah, akan tetapi dengan ilmu…
Bantahlah….akan tetapi
dengan santun…
Berikanlah
komentar…akan tetapi dengan lembut…
Dan sungguh (sebagian
saudara-saudaraku) yang bersemangat -atau memiliki kecemburuan- terhadapku bergegas
mengatakan:
“Akan tetapi (wahai
syaikh!,) mereka yang menyelisihimu itu(!) telah mencerca, berbohong, berbuat
kedustaan, mencela dan menuduh!
Maka aku katakan
-sebagai jawaban-:
Janganlah kalian
melakukan seperti apa yang mereka lakukan.
Jjanganlah kalian
berjalan di belakang mereka (mengikuti cara mereka, ed.),
Janganlah kalian
terbakar emosi dengan perbuatan-perbuatan mereka!!!
Sesungguhnya Allah Maha
Bijaksana lagi Maha Mdil -Mahasuci Ia-,
Doakanlah mereka dengan
hidayah dan kebaikan…
Ikhlaskan niat karena
Rabb kalian ketika dalam membantah mereka….
Berbuat jujurlah
bersama diri kalian…
Jangan jadikan tujuan
kalian -baik besar maupun kecil!- hanya sebagai pembelaan -semata- terhadap
Fulan atau ‘Allan!! (Meskipun perbuatan tersebut -jika sesuai dengan kadarnya-
adalah sesuatu yang disyariatkan tidak dilarang)
Jadikanlah tujuan
kalian untuk menolong agama dan manhaj kalian (dari hal-hal) yang ditimpa
ghuluw, maupun keangkuhan… yang ditimpa tamyî‘ (sikap lembek),hal yang
merusak,ataupun keburukan!!
Janganlah kalian
kelewat batas di dalam memuji, dan jangan pula berlebihan dalam mencela…
Akan tetapi bersamaan
dengan itu saya katakan –dalam mengakui kenyataan yang tidak dipungkiri- :
Sesungguhnya serangan
(yang menghancurkan) itu -yang tidak mengenal belas kasih- , penjatuhan
(kredibiltas) yang sangat keras ini, dan bantahan yang kejam -yang diarahkan
pada kami- akan menghantarkan –dan ini adalah suatu keharusan- kepada balasan
perbuatan yang sebaliknya! Yaitu dengan sedikit sikap keras.
Aaku tidak mengatakan :
sama seperti sikap keras mereka!! bahkan –hampir- tidak sampai sepersepuluhnya
atau kurang dari itu!
Dan ini -atas
keadaannya sebagai orang yang menyelisihi- lebih sesuai dengan perkara yang
tertanam dalam tabiat jiwa, sebagaimana Rabb kita -mahasuci Ia- berfirman:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ
فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيل
“Dan
sungguh orang-orang yang membela diri setelah dizhalimi tidak ada satu dosapun
terhadap mereka.” (QS asy-Syûrâ: 41)
Hanya
saja setiap dari kita hendaknya mencurahkan kesungguhan yang pada dirinya
sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk melawan hal yang mendorongnya
untuk membalas, atau mengembalikan permusuhan-, sebagaimana firman Allah Ta’âlâ
:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan pada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Ankabût : 69)
[Dialihbahasakan oleh al-Akh Fachri
Dari
Muqoddimah Manhaj Salaf hal 35-37 cet-2
karya
Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî,
dengan
sedikit pembenahan oleh Abu Salma
Beradablah dalam Menasihati Da’i Ahlus Sunnah, Jagalah
Persatuan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Metode
Mengkritik dan Mengoreksi Antara Para Da’i
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
الحمد لله رب العالمين , والصلاة والسلام على
نبينا محمد النبي الأمين , وعلى آله وصحبه ومن اتبع سنته إلى يوم الدين أما بعد
Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk berbuat adil dan melakukan perbaikan,
melarang dari kezaliman, melampaui batas dan permusuhan. Dan sungguh Allah
ta’ala telah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dengan
membawa ajaran yang juga dibawa oleh seluruh rasul, yaitu dakwah kepada tauhid
dan mengikhlaskan ibadah hanya bagi Allah ta’ala semata. Dan Allah ta’ala
memerintahkan beliau untuk menegakkan keadilan dan melarang dari kezaliman,
yaitu melarang peribadahan kepada selain Allah ta’ala, perpecahan, perselisihan
dan pelanggaran atas hak-hak para hamba.
Dan
sungguh telah tersebar di zaman ini, banyak sekali orang yang menisbatkan diri
kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, yang mereka itu merendahkan kehormatan
saudara-saudara mereka para da’i yang sudah masyhur. Mereka berbicara
menjatuhkan kehormatan para penuntut ilmu, du’at dan para penceramah. Mereka
lakukan itu secara rahasia di majelis-majelis mereka. Dan terkadang mereka
merekamnya di kaset-kaset lalu disebarkan di tengah-tengah manusia. Dan bisa
jadi pula mereka lakukan hal itu secara terang-terangan pada ceramah terbuka di
masjid-masjid.
Metode
ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya dari banyak sisi:
Pertama:
Hal itu adalah tindakan melampaui batas terhadap hak-haknya kaum muslimin,
bahkan orang-orang khusus di antara mereka, yaitu para penuntut ilmu dan para
da’i yang telah mengerahkan segenap potensi mereka untuk mengarahkan dan
membimbing manusia serta memperbaiki aqidah dan manhaj mereka. Dan juga telah
berusaha mengatur pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan menulis buku-buku
yang bermanfaat.
Kedua:
Perbuatan tersebut memecah belah persatuan kaum muslimin dan mengoyak barisan
mereka. Padahal, para penuntut ilmu dan da’i itu sendiri lebih butuh kepada
persatuan dan jauh dari perselisihan, perpecahan dan banyaknya desas desus di
antara mereka. Secara khusus, bahwa para da’i yang direndahkan tersebut adalah
dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah dikenal dalam memerangi
bid’ah dan khurafat, melawan para da’i yang mengajak kepada kesesatan,
menyingkap borok-borok dan tipu daya mereka. Maka kami tidak melihat
kemaslahatan dalam perbuatan ini kecuali bagi musuh dari kalangan orang-orang
kafir, munafiq dan sesat yang selalu menunggu-nunggu hal ini terjadi.
Ketiga:
Perbuatan tersebut merupakan bentuk kerja sama dan pertolongan terhadap
orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, yaitu kaum sekuler, pengekor Barat
dan selain mereka dari kalangan orang-orang sesat yang telah dikenal dalam
menjatuhkan para da’i dan berbuat kedustaan serta memusuhi para da’i dalam
tulisan maupun rekaman mereka. Maka tidaklah orang-orang yang terburu-buru
tersebut menunaikan hak ukhuwah Islamiyah jika mereka menolong musuh-musuh
mereka untuk memerangi saudara-saudara mereka dari kalangan penuntut ilmu, para
da’i dan selain mereka.
Keempat:
Sesungguhnya perbuatan tersebut akan merusak hati orang-orang umum maupun
khusus, menebarkan dan menyiarkan kedustaan dan kebatilan, dan menjadi sebab
semakin banyaknya ghibah dan namimah, serta membuka pintu-pintu keburukan atas
orang-orang yang lemah jiwanya, yang selalu menyebarkan syubhat-syubhat,
mengobarkan fitnah dan berkeinginan besar untuk menyakiti kaum muslimin dengan
sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Kelima:
Bahwa banyak ucapan yang dikatakan tersebut adalah sesuatu yang tidak memiliki
hakikat, melainkan sekedar persangkaan yang mana setan telah menghiasi dan
menipu mereka sehingga keburukan nampak baik dalam pandangan mereka. Dan Allah
ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.”
[Al-Hujurat: 12]
Dan
seorang mukmin sepatutnya membawa ucapan saudara muslimnya kepada makna yang
paling baik. Berkata sebagian Salaf,
لا تظن بكلمة خرجت من أخيك سوء وأنت تجد لها في
الخير محملا
“Janganlah
engkau berprasangka buruk terhadap satu kalimat yang keluar dari saudaramu,
sedang engkau mendapati kemungkinan makna yang baik baginya.”
Keenam:
Apa yang terdapat pada ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkara
yang dibolehkan padanya ijtihad, maka seorang yang berijtihad tidaklah dihukum
dan dicela apabila dia memang layak berijtihad. Jika dia menyelisihi selainnya
dalam ijtihad, sepatutnya dia didebat dengan cara yang terbaik, dengan
keinginan besar agar dia mencapai kebenaran dari jalan yang paling dekat dan
menolak was-was dan pemecahbelahan yang dilakukan setan di antara manusia.
Jika
cara terbaik itu tidak memungkinkan, dan seseorang melihat bahwa dia harus
menerangkan adanya penyimpangan maka hendaklah dengan ungkapan yang paling baik
dan isyarat yang paling halus. Tanpa menyerang, atau melukai, atau berbuat
zalim dalam ucapan yang dapat membawa kepada penolakan terhadap al-haq atau
berpaling darinya. Dan juga tanpa disertai serangan terhadap pribadi, menuduh
niat atau menambah ucapan yang tidak patut. Dan Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda dalam perkara yang semisal ini,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَ
“Mengapakah
orang-orang tersebut mengucapkan ini dan itu (yakni Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam menyebutkan kesalahan mereka tanpa menyebutkan nama mereka secara
terang-terangan, pen).” [HR. Muslim]
Maka
yang aku nasihatkan kepada Ikhwan yang telah menodai kehormatan para da’i dan
melukai mereka hendaklah bertaubat kepada Allah ta’ala dari apa yang mereka
tulis dengan tangan-tangan mereka, atau yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka
yang telah menyebabkan rusaknya hati sebagian pemuda dan membakar mereka dengan
kedengkian dan kebencian, menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat
dan dakwah kepada Allah ta’ala, dengan desas desus dan pembicaraan tentang
fulan dan fulan, mencari-cari dan memburu apa yang mereka anggap salah, hingga
berlebih-lebihan dalam hal itu.
Sebagaimana
aku nasihatkan kepada mereka untuk meralat apa yang telah mereka lakukan dengan
suatu tulisan atau selainnya yang dapat melepaskan mereka dari perbuatan
seperti ini dan berusaha menghilangkan pengaruh buruk yang ada dalam benak
orang-orang yang mendengarkan ucapan mereka. Dan hendaklah mereka bersegera
melakukan amalan-amalan yang dapat menghasilkan pendekatan diri kepada Allah
ta’ala dan bermanfaat bagi para hamba. Juga hendaklah mereka berhati-hati dari
sikap tergesa-gesa dalam memutlakkan pengkafiran, pengfasikan dan pembid’ahan
kepada selain mereka tanpa ada bukti dan dalil. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam telah mengingatkan,
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa
yang berkata kepada saudaranya wahai kafir, maka ucapan tersebut pasti kembali
kepada salah satu dari keduanya.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan
yang disyari’atkan bagi para da’i dan penuntut ilmu, apabila ada perkara rumit
dalam ucapan orang-orang yang berilmu atau selain mereka, maka hendaklah dia
merujuk kepada para ulama yang mu’tabar dan bertanya kepada mereka agar
mendapatkan keterangan yang jelas dan sampai kepada hakikatnya serta
menghilangkan keraguan dan syubhat, sebagai pengamalan dari firman Allah
ta’ala,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ
الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي
الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا
قَلِيلًا
“Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Andaikan mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul
dan Ulil Amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa’: 83]
Dan
kepada Allah jualah kita memohon untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin
seluruhnya dan menyatukan hati serta amalan mereka di atas ketakwaan,
memberikan taufiq kepada seluruh ulama kaum muslimin dan seluruh da’i yang
mengajak kepada kebenaran untuk melakukan amalan yang Dia ridhoi dan bermanfaat
bagi hamba-hamba-Nya, menyatukan kalimat mereka di atas hidayah, melindungi
mereka dari sebab-sebab perpecahan dan perselisihan, menolong kebenaran dan
menghinakan kebatilan dengan mereka, sesungguhnya Dia adalah Penolong dalam hal
itu dan Maha Mampu melakukannya.
.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه , ومن اهتدى
بهداه إلى يوم الدين
[Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz
rahimahullah, 7/311-314].
sumber
: Beradablah dalam Menasihati Da’i Ahlus Sunnah, Jagalah
Persatuan(nasihatonline.wordpress.co)
abunamira.wordpress.com
abunamira.wordpress.com
Nasihat Bagi Sebagian “Salafiyyin” yang Mudah Mentahdzir
Saudaranya
Muwaazanah… Suatu Yang
Merupakan Keharusan…?
Iya, Dalam Menghukumi
Seseorang Bukan Dalam Mentahdzir !!
Oleh Ustadz Firanda
Andirja, M.A
(Mahasiswa pascasarjana
Universitas Islam Madinah, KSA)
Merupakan suatu
kenyataan yang sangat pahit tatkala kita melihat praktek sebagaian
saudara-saudara kita yang sangat mudah menghukumi saudaranya sebagai Ahlul bid’ah
–hanya karena sedikit berbeda dengannya-. Padahal saudaranya yang ia vonis dan
diberi stempel mubtadi’ pada dasarnya sama dengan dirinya (yang memvonis) dalam
perkara aqidah, cara beribadah, cara berdalil, dan cara memahami nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Buku-buku yang dijadikan pegangan adalah sama, ulama
kibar yang dijadikan rujukan juga sama, bahkan penampilan dan cara berpakaian
juga sama. Bisa jadi kita katakan 95 persen sama antara mereka berdua, hanya
sebagian kecil yang timbul perbedaan antara mereka berdua, yaitu pada
permasalahan-permasalahan yang bukan merupakan perkara yang prinsip, bukan
merupakan perkara aqidah, tapi hanya perkara mu’aamalah.
Apakah perbedaan
sedikit yang ada pada saudaranya tersebut mengharuskan saudaranya divonis sebagai
Ahlul Bid’ah??, apakah kebaikan-kebaikannya berupa aqidah yang benar dan
tamassuk(berpegang teguh) di atas sunnah harus dibuang dan dilupakan??!! Lantas
akhirnya orang inipun segera dihukumi sebagai mubtadi’??. Akibat dari sikap
tasarru’ (terburu-buru) dalam memvonis timbulah sikap hajr hajr yang membabi
buta, sehingga seorang sunni bahkan seorang salafy, bahkan seorang da’i salafy
harus disikapi sama dengan seorang mubtadi’, bahkan disikapi sama dengan
seorang penyembah kubur…??, bahkan lebih keras lagi !!??.
Dan merupakan kesalahan
yang dilakukan oleh sebagian saudara-saudara kita adalah sikap menggampangkan
dalam membid’ahkan saudara-saudaranya. Praktek ini tidak hanya dilakukan oleh
sebagian orang yang memiliki ilmu diantara mereka, bahkan juga dipraktekkan
oleh orang yang baru ngaji, yang belum mengenal tauhid dan bid’ah secara baik,
namun begitu berani menyatakan saudara-saudaranya yang lain adalah ahli bid’ah.
Sungguh sangat menyedihkan.
Diantara mereka ada
yang memvonis saudarany sururi, namun tatkala ditanya apakah yang dimaksud
dengan Sururiyyah? Bagaimana ciri-cirinya? Maka ia terdiam seribu bahasa; atau
ia berkata, “Pokoknya ia adalah Sururi sebagaimana kata ustadz Fulan….”
Subhanallah, apakah demikian sikap seorang Ahlus Sunnah dalam membid’ahkan
saudaranya tanpa dalil dan bayyinah? Hanya dengan taqlid buta? Bukankah kita
mengenal manhaj Salaf karena lari dari taqlid? Lantas kenapa tatkala kita
mengenal manhaj Salaf justru mempraktekan taqlid buta? Kalau taqlid dalam
perkara hukum yang berkaitan dengan diri sendiri maka perkaranya masih ringan,
namun taqlid dalam memvonis dan men-tabdi’ orang lain, sementara terdapat
hukum-hukum yang berat yang dibangun di balik vonis, maka perkaranya adalah
besar. Apakah yang akan ia katakan di Akhirat kelak jika dimintai pertanggung
jawaban oleh Allah? Bagaimana mungkin seseorang memvonis orang lain dengan
perkataan yang ia sendiri tidak paham maknanya? Pantaskah seseorang mengatakan
orang lain sebagai musyrik jika ia sendiri tidak memahami makna syirik? Pantaskah
seseorang mengatakan saudaranya ahli bid’ah, sementara ia sendiri tidak paham
makna bid’ah? Dikhawatirkan justru dialah yang merupakan ahli bid’ah dengan
pembid’ahan ngawur yang dilakukannya. Pantaskah seseorang mengatakan saudaranya
Sururi, padahal ia tidak paham makna Sururiyyah? Jangan-jangan ia sendiri yang
terjatuh dalam praktek Sururiyyah sedangkan ia tidak menyadarinya. Yang sangat
disesalkan demikianlah kenyataannya, ternyata sebagian mereka justru terjatuh
dalam praktek Sururiyyah, seperti melakukan demonstrasi –yang mereka namakan
“menampakkan kekuatan”, tetapi substansinya sama saja-, mencela pemerintah di
hadapan khalayak, dan lain-lain yang merupakan ciri-ciri Sururiyyah Sururiyyah.
(sebagaimana telah diakui sendiri oleh salah seroang dai besar mereka)
Yang agak pintar
sedikit dari kalangan mereka berkata, “Saya punya dalil bahwa Fulan adalah
Sururi ?. Dalilnya adalah Fulan bermu’amalah dengan salah satu Masalah
yayasan Sosial `tertentu` dari
Kuwait .” Sungguh aneh tapi nyata, adakah ulama yang mengatakan demikian, bahwa
siapa yang bermu’amalah dengan tersebut maka otomatis menjadi sururi ? Kalau demikian berarti ulama kibar
yang merekomendasikan yayasan ini semuanya sururi! Subhanallah !!!.
Ternyata sebagian orang
yang hobinya memvonis saudaranya dengan sururi akhirnya juga divonis dengan
mubtadi’ juga. Senjata yang biasanya dia gunakan untuk menembak secara membabi
buta terhadap saudara-saudaranya sesame salafy ternyata menembak dirinya
sendiri. Dalam istilah kita “Senjata makan tuan”.
Sebagian mereka
–setelah belajar ke luar negeri- lalu pulang ke tanah air, akhirnya memvonis
guru-guru mereka sebagai sururi dan ahlul bid’ah. Ternyata… hal itupun menimpa
mereka, murid-murid mereka yang balik dari luar negeri juga menuduh mereka sebagai
ahlul ahwaa (pengikut hawa nafsu).
Bahkan yang lebih
parah, bukan hanya ditahdzir dan ditabdi’ oleh murid-murid mereka, bahkan guru
mereka sendiri yang dahulunya dikatakan sebagai al-’Alim Al-Muhaddits Al-Faqiih
ternyata mereka musuhi. Namun sang guru Al-Muhaddtis Al-Faqiih tidak menerima
hal itu akhirnya juga mentahdziir
mereka. Jadilah kondisi mereka lebih buruk dari ulah perbuatan mereka
sendiri.
Mereka yang dahulunya
tatakala baru pulang dari luar negeri memvonis sururi kepada guru-guru mereka
yang di tanah air, ternyata akhirnya mereka sendiri divonis sebagai pengikut
hawa nafsu dan pendusta oleh murid-murid mereka sendiri bahkan oleh guru mereka
sendiri yang dahulunya mereka agung-agungkan. Wallahul musta’aan…??!!
Jangan terburu-buru
dalam memvonis mubtadi’!!
Syaikh Shalih Alu
Syaikh berkata, “Siapakah yang dihukumi sebagai ahli bid’ah? Bid’ah adalah
hukum syar’i. Menghukumi pelaku bid’ah sebagai seorang ahli bid’ah adalah hukum
syar’i yang berat. Sebab terdapat hukum-hukum syar’i yang mengikuti hukum si
pelaku. Si Fulan kafir, si Fulan ahli bid’ah, si fulan Fasiq, masing-masing
dari hukum ini hanyalah dilakukan oleh ahli ilmu. Sebab, tidak ada kelaziman
antara kekufuran dan pelakunya. Tidak semua orang yang melakukan kekafiran maka
otomatis ia menjadi kafir. Dua perkara ini tidak saling melazimkan. Begitu juga
tidak semua orang yang melakukan bid’ah maka secara otomatis ia menjadi ahli
bid’ah. Tidak semua orang yang melakukan kefasikan maka secara otomatis ia
adalah orang yang fasik…. Karena itu, tabdi’, menghukumi bahwa orang yang
mengucapkan suatu perkataan sebagai ahli bid’ah, juga menghukumi bahwa
perkataannya tersebut merupakan bid’ah, bukanlah hak semua orang dari Ahlus sunnah. Ini adalah hak ahli ilmu karena
hukum yang demikian tidak dijatuhkan kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat
dan tidak didapatkan penghalang-penghalang (istifa` asy-syuruth wa intifa`
al-mawani’). Permasalahan ini kembali kepada ahli fatwa, dimana (mengetahui)
terkumpulnya persyaratan dan hilangnya penghalang adalah pekerjaan seorang
mufti (ahli fatwa).
Oleh sebab itu, tidak
boleh ceroboh dalam men-tabdi’ seseorang yang belum dihukumi oleh para ulama
yang kokoh keilmuannya bahwa ia adalah ahli bid’ah. Hendaknya ia dihukumi
sebagaimana hukum para ahli ilmu, (mengikuti) apa yang mereka katakan dan apa
yang tidak mereka katakan. Barangsiapa yang menghukumi (bahwa si Fulan adalah
ahli bid’ah), maka ini adalah ijtihad darinya. Jika ia termasuk orang yang
mampu ber-ijtihad, maka itu adalah haknya. Ia akan mendapat udzur, namun tetap
tidak boleh diikuti, karena yang boleh diikuti adalah para ulama yang kokoh
keilmuannya. Dan jika ia bukan termasuk ahli ijtihad, maka perkataannya
tertolak, dan ijtihad tersebut bukan pada tempatnya.” (Dari ceramah Syaikh
Shalih Alu Syaikh yang berjudul an-Nashiihah lisy Syabaab.)
Muwaazanah…kaidah emas
yang terlupakan
Berikut ini penulis
mencoba ingin menjelaskan manhaj yang dipilih oleh para ulama salaf dalam
menghukumi seseorang sebagai ahlul bid’ah atau bukan. Yang pada hakekatnya
manhaj mereka dibangun di atas muwaazanah (yaitu menimbang antara bid’ah dan
sunnah yang terdapat pada seseorang yang akan dihukumi tersebut)
Namun ingat bukanlah
yang dimaksud dengan muwazanah di sini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh
sebagian orang, yaitu wajib menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang sedang
disanggah dan tidak boleh menyebutkan kesalahan-kesalahannya saja. Kaidah
tersebut adalah kaidah bid’ah yang mengakibatkan mentahnya peringatan ulama
terhadap kesalahan-kesalahan ahli bid’ah. Namun muwazanah yang dimaksud oleh di
sini adalah dalam menghukumi seseorang, apakah termasuk Ahlus Sunnah ataukah
ahli bid’ah, maka harus dibandingkan antara kebaikannya dengan kesalahannya.
Jika seseorang terkenal dengan sikapnya yang mengikuti dalil dan mencintai
Sunnah, kemudian terjatuh dalam satu bid’ah, maka tidak dikatakan bahwa ia
adalah seorang ahli bid’ah, karena kebaikannya yang banyak.
Perhatikanlah antara
dua bentuk muwazanah ini, karena begitu banyak orang yang rancu dalam memahami
hal ini.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Jika seseorang ingin memberikan penilaian (taqwim)
kepada suatu pihak, maka wajib baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan
keburukan-keburukannya. Sebab Allah berfirman:
??? ???????? ?????????
???????? ???????? ??????????? ??????
Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maa-idah:
8)
Oleh karena itu,
tatkala para ulama mereka membicarakan keadaan seseorang maka mereka
menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukannya.
Adapun jika engkau sedang
berada pada posisi membantah kesalahan-kesalahannya, maka janganlah engkau
menyebutkan kebaikan-kebaikannya…. Sebab jika engkau menyebutkan
kebaikan-kebaikannya maka akan lemah sisi bantahanmu kepadanya. Bisa jadi orang
lain terpukau dengan kabaikan-kebaikannya sehingga ia pun melupakan
kesalahan-kesalahan orang tersebut….
Namun jika engkau
berbicara tentang orang ini dalam majelis apa saja, lalu engkau melihat bahwa
menyebutkan kebaikan orang tersebut ada faedahnya, maka tidaklah mengapa engkau
menyebutkannya. Namun jika engkau khawatir timbulnya mudharat maka janganlah
engkau menyebutkannya….” Liqaa’ al-Baab al-Maftuuh, no (128).
Jika volume air telah
mencapai dua qullah maka tidak ternajisi
Penjelasan Syaikh Ibnu
Al-’Utsaimin rahimahullah di atas mengingatkan kita agar tidak bermudah-mudah
untuk memvonis seseorang sebagai ahlul bid’ah, terlebih lagi jika orang
tersebut dikenal beraqidah salaf dan bermanhaj salaf. Bahkan meskipun orang
tersebut jelas-jelas terjerumus dalam sebuah kesalahan akan tetapi bukan
merupakan kesalahan yang fatal yang berkaitan dengan prinsip aqidah.
Hal ini juga telah
jauh-jauh diingatkan oleh para ulama terdahulu, karena satu atau dua atau tiga
atau empat kesalahan tentunya tidak menjadikan puluhan kabaikan atau ratusan kebaikan
menjadi terlupakan dan hilang.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda “Jika (volume) air telah mencapai dua qullah
maka tidak ternajisi”.
Syaikh Al-’Utsaimiin
berkata, “Ibnu Rajab berkata dalam muqaddimah kitab Qawaa’id-nya, ‘Orang yang
adil adalah orang yang memaafkan kesalahan seseorang yang sedikit pada
kebenarannya yang banyak.’ Tidaklah seorang pun mengambil kesalahan dan lupa
dengan kebaikan melainkan ia telah menyerupai para wanita. Sebab jika engkau
berbuat baik kepada seorang wanita sepanjang zaman lalu ia melihat satu
keburukan padamu niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali tidak melihat
kebaikan pada dirimu.’ Tidak ada seorang lelaki pun yang ingin kedudukannya seperti ini, yaitu
seperti wanita, yang mengambil satu kesalahan kemudian melupakan kebaikan yang
banyak.” (Liqaa’ al-Baab al-Maftuuh, no (120), side A)
Imam adz-Dzahabi
berkata, “Kalau saja setiap orang yang keliru dalam ijtihad, sementara
keimanannya benar dan selalu berusaha mengikuti kebenaran, kemudian kita
“habisi” dia dan kita nyatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah, maka sangat sedikit
Imam yang akan selamat….” (Siyar A’lam an-Nubalaa’ (XIV/376), pada biografi
Ibnu Khuzaimah)
Beliau juga berkata,
“Kalau setiap kali seorang Imam bersalah pada ijtihadnya pada sejumlah masalah
dengan kesalahan yang ia dimaafkan, lantas kita menyikapinya dan
membid’ahkannya serta meng-hajr-nya, maka tidak akan ada yang selamat dari
kita, tidak juga Ibnu Nashr –yaitu Muhammad bin Nashr Al-Marwazi-, tidak juga
Ibnu Mandah, tidak juga yang lebih besar dari keduanya…, maka kita berlindung
(kepada Allah) dari hawa nafsu…” (Siyar A’lam an-Nubalaa’ (XIV/40), pada
biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi.)
Beliau berkata pada
biografi Qatadah rahimahullah, “Mungkin saja Allah memberi udzur kepada
orang-orang yang semisal Qatadah, dimana mereka terjatuh dalam perkara bid’ah
dengan niat mengagungkan dan mensucikan Allah, sementara ia telah berupaya dan
berusaha (untuk mencari kebenaran, pen)… kemudian apabila seorang Imam besar
dari kalangan ulama, jika banyak kebenaran padanya, diketahui bahwa ia selalu
berusaha mencari kebenaran, ilmunya luas, tampak kecerdasannya, dikenal
keshalihannya, sifat wara’-nya dan peneladanannya terhadap Sunnah Nabi `, maka
kesalahan-kesalahannya dimaafkan. Kita tidak menyatakan bahwa ia sesat, tidak
membuangnya dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya. Kita tidak mengikutinya
dalam kebid’ahan dan kesalahannya, dan kita berharap ia bertaubat dari hal
tersebut.” (Siyar A’lam an-Nubalaa’ (V/271), pada biografi Qatadah bin Di’amah
As-Sadusi)
Syaikh ‘Abdul Muhsin
al-‘Abbad berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis
menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas
dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan
sampai-sampai men-tabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang
banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap yang menyelisihinya
sebagai ahli bid’ah.” (Sebagaimana yang beliau sampaikan di masjid Nabawi pada
malam Rabu, tanggal 12 September 2005, tatkala menjelaskan Sunan at-Tirmidzi.
Alangkah miripnya ucapan beliau dengan fenomena yang terjadi di Indonesia.)
Pembicaraan tentang
tabdi’ (pemvonisan mubtadi’) sama dengan takfiir (pemvonisan kafir)
Syaikh al-Albani
berkata, “Wajib bagi kita untuk mengetahui siapakah orang yang bisa divonis
sebagai mubtadi’? Hal ini sama persis sebagaimanapula wajib bagi kita untuk
mengetahui siapakah orang yang bisa divonis sebagai kafir?! Maka di sini ada
sebuah pertanyaan… “Apakah setiap orang yang terjatuh dalam kekafiran maka
otomatis menjadi kafir?”, dan demikian pula, “Apakah setiap orang yang terjatuh
dalam bid’ah maka otomatis ia menjadi seorang mubtadi’??, ataukah tidak
demikian?”.( Silsilah al-Huda wan Nuur, kaset no 666)
Syaikh al-Albani juga
berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis
menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah. Jatuhnya seorang ulama dalam
perbuatan haram –yaitu menyatakan bolehnya sesuatu yang haram dikarenakan hasil
ijtihad-nya- tidaklah berarti ia telah melakukan perbuatan yang haram. Aku
katakan, atsar Abu Hurairah yang nashnya menyebutkan bahwa beliau berdiri pada
hari Jum’at sebelum pelaksanaan shalat Jum’at untuk memberi nasehat dan
mengingatkan orang-orang layak menjadi contoh yang baik bahwa suatu bid’ah
terkadang dilakukan oleh seorang ulama, namun bukan berarti ia adalah seorang
ahli bid’ah. Sebelum kita lebih dalam lagi untuk menjawab pertanyaan ini, maka
aku katakan: Pertama, yang dimaksud dengan ahli bid’ah adalah orang yang
kebiasaannya melakukan bid’ah dalam agama. Bukanlah termasuk ahli bid’ah orang
yang (hanya) melakukan satu bid’ah, meskipun pada kenyataannya ia melakukan
bid’ah tersebut bukan karena lupa, tetapi karena hawa nafsu. Meskipun demikian
yang seperti ini tidaklah dinamakan ahli bid’ah. Contoh yang paling dekat
dengan hal ini adalah seorang hakim yang zhalim terkadang berbuat adil pada
beberapa keputusan hukum, namun tidak dikatakan bahwa ia seorang hakim yang
adil. Sebagaimana halnya seorang hakim yang adil terkadang berbuat zhalim dalam
bebarapa keputusan hukumnya, namun tidak dapat dikatakan bahwa ia adalah
seorang hakim yang zhalim. Hal ini menguatkan kaidah fiqh Islam bahwa
“seseorang itu dihukumi berdasarkan perkara yang dominan padanya, baik berupa
kebaikan maupun keburukan.”
Jika kita sudah
mengetahui hakikat tersebut, maka kita mengetahui siapakah yang disebut ahli
bi’dah, dimana ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli
bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang
pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya.
Jika kita mengambil dua
syarat tersebut, kemudian kita aplikasikan pada atsar Abu Hurairah sebelumnya,
niscaya kita dapati bahwa kedua syarat ini tidaklah terdapat dalam diri Abu Hurairah.
Kita katakan, perbuatan beliau benar merupakan bid’ah, karena ia menyelisihi
Sunnah –dan akan datang penjelasannya-, namun kita tidak katakan bahwa Abu
Hurairah sebagai seorang ahli bid’ah.” (Silsilah al-Huda wan Nuur, kaset no.
785)
Peringatan :
Sebagian orang
berpendapat bahwa tabdi’ (menyatakan seseorang sebagai ahli bid’ah) tidak sama
dengan takfir (mengafirkan seseorang). Seseorang yang terjatuh dalam tindak
kekufuran karena ta`wil maka mendapat udzur dan tidak bisa dikafirkan. Berbeda
dengan orang yang melakukan bid’ah, meskipun ia melakukannya karena ta`wil
tetap ia tidak mendapat udzur dan dikatakan sebagai ahli bid’ah. Pendapat
seperti ini tidak benar dan telah disanggah oleh Syaikh al-Albani.
Beliau pernah ditanya,
“Bagaimana pendapat anda tentang ungkapan berikut: “Ta`wil menghalangi takfir
namun tidak menghalangi tabdi’? Dengan kata lain, setiap muta-awwil (pelaku
ta`wil) adalah ahli bid’ah, namun tidak setiap muta-awwil adalah kafir. Apakah
ungkapan ini secara mutlak benar, ataukah ada perinciannya? Semoga Allah
memberi keberkahan kepada Anda.”
Syaikh al-Albani
menjawab, “Pernyataan tersebut tidak benar…. Pendapat kami tentang tabdi’
adalah sama dengan pendapat kami tentang takfir, sebagaimana yang sudah
disebutkan di awal pengajian. Kami tidak mengafirkan kecuali orang yang sudah
ditegakkan hujjah terhadapnya dan kami tidak men-tabdi’ kecuali orang yang
telah ditegakkan hujjah terhadapnya, meskipun ia berbuat bid’ah, namun bid’ah
yang dilakukannya terkadang karena ijtihad yang salah… sebagaimana halnya
seorang mujtahid kadang terjatuh dalam penghalalan perkara yang diharamkan oleh
Allah. Namun ia tidak menyengaja untuk menghalalkan perkara yang diharamkan
oleh Allah…. Jika demikian, maka tidak ada perbedaan antara orang yang
menghalalkan perkara yang haram karena ijtihad-nya dengan orang yang melakukan
bid’ah karena ijtihad-nya, begitu juga dengan orang yang terjatuh dalam
kekafiran karena ijtihad-nya. Sama sekali tidak ada bedanya. Setiap orang yang
membedakan antara satu perkara (dengan yang lain) dari tiga perkara ini, maka
perkataannya rancu dan saling kontradiksi.” (Silsilah al-Huda wan Nuur, no 782)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
ditanya, “Seseorang tertentu tidaklah dihukumi sebagai seorang yang kafir atau
fasik kecuali setelah ditegakkan hujah, dan pertanyaannya adalah apakah tabdi’
sama dengan takfir dan tafsik yaitu butuh untuk ditegakkan hujah”?
Syaikh menjawab,
“Benar, semua aib yang seseorang disifati dengan aib tersebut maka butuh untuk
menetapkan perkara-perkara yang mewajibkan dia disifati dengan aib tersebut.
Adapun mensifati setiap orang bahwasanya ia adalah mubtadi’ atau dia seorang
yang sesat tanpa disertai dalil maka hal ini tidak boleh” (Fatawa Al-Haram
An-Nabawi, kaset no 64 side B).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
juga berkata, “Pernyataan Imam Nawawi (dalam men-ta`wil- nash-nash yang
berkaitan dengan sifat Allah, pen) adalah suatu bid’ah, akan tetapi beliau
sendiri bukanlah seorang ahli bid’ah. Sebab pada hakikatnya beliau terjatuh
dalam bid’ah tersebut karena ta`wil. Pelaku ta`wil jika bersalah karena ijtihad
maka mendapat pahala. Lantas bagaimana mungkin kita katakan bahwa beliau adalah
ahli bid’ah dan menjauhkan masyarakat darinya? Karena itu, (hukum) ucapan
tidaklah sama dengan (hukum) pengucapnya. Terkadang seseorang mengucapkan kalimat
kekufuran namun ia tidak kafir.
Tidakkah engkau
perhatikan (hadits shahih tentang) seorang pria yang kehilangan untanya (yang
membawa seluruh perbekalannya, sedangkan ia berada di tengah padang); lalu ia
putus asa dan berbaring di bawah pohon menunggu kematiannya. Tiba-tiba untanya
muncul di hadapannya, maka ia pun segera mengambil untanya tersebut dan (salah)
berucap karena terlalu gembira, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah
rabb-Mu.”
Kalimat ini adalah
kalimat kekufuran, tetapi pengucapnya tidak kafir, karena Rasulullah `
bersabda, “Ia salah (ucap) karena terlalu gembira.”
Tidakkah engkau
perhatikan (hadits shahih lainnya tentang) seorang lelaki yang melakukan banyak
dosa, lalu ia berkata kepada keluarganya, “Jika aku meninggal maka bakarlah aku
dan tebarkanlah debuku di laut. Demi Allah, sekiranya Allah mampu untuk
mengembalikan aku, niscaya Ia akan mengadzabku dengan adzab yang sangat pedih
yang Ia tidak pernah mengadzab seorang pun di alam semesta ini dengan adzab
yang seperti itu.” Lelaki ini mengira dengan dibakarnya dan ditebarkan debunya
di lautan maka ia akan selamat dari adzab Allah. Hal ini merupakan suatu
keraguan atas kekuasaan Allah, sedangkan keraguan atas kekuasaan Allah
merupakan kekafiran. Namun lelaki ini tidaklah kafir. Selanjutnya Allah pun
mengumpulkan kembali jasadnya dan bertanya kepadanya, “Kenapa engkau melakukan
demikian?” Lelaki itu menjawab, “Karena takut kepada-Mu.” Maka Allah pun
mengampuninya.” (Lihat Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hal 314-315, penjelasan
hadits no. 28)
Praktek para ulama
tentang muwaazanah terhadap Imam
An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar rahimahumallah
Karena itulah Imam
an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajr tidak keluar dari barisan Ahlus Sunnah,
meskipun mereka terjatuh dalam sejumlah bid’ah dalam ‘aqidah, baik dalam tauhid
asmaa’ wa shifaat maupun dalam tauhid uluuhiyyah. Keduanya bukan saja terjatuh
dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah, bahkan terjatuh dalam penyelisihan
terhadap perkara-perkara aqidah yang disepakati oleh Salaf. Meskipun demikian,
keduanya tetap merupakan ulama Ahlus Sunnah. Sebab keduanya terkenal berpegang
kepada al-Kitab dan as-Sunnah serta berusaha mencari kebenaran. Tidak
sebagaimana praktek kelompok Haddadiyyun yang membakar buku-buku Imam an-Nawawi
dan Ibnu Hajr karena saking kenceng-nya mereka, juga karena salah dalam
penerapan tabdi’ dan hajr .
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Tidakkah engkau perhatikan, jika seseorang dari penganut
madzhab Hanbali memilih suatu pendapat madzhab Syafi’i, maka apakah kita
katakan ia adalah pengikut madzhab Syafi’i? Jawabannya adalah tidak….”
Selanjutnya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa karena itulah Imam
an-Nawawi dan Imam Ibnu Hajr tidak dinyatakan sebagai pengikut sekte
Asy’ariyyah, meskipun keduanya terjatuh dalam sejumlah paham Asy’ariyyah.
(Lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, hal 316-317, penjelasan hadits no 28).
Syaikh Al-Albani juga
ditanya, “Apakah kesalahan-kesalahan Ibnu Hajar dalam permasalahan aqidah dalam
kitabnya Fathul Bari mengeluarkannya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah?”
Beliau menjawab,
“Al-Hafidz Ibnu Hajar dan An-Nawawi serta para ulama yang lainnya yang keliru
dalam beberapa permasalahan aqidah, hal ini tidaklah mengeluarkan mereka dari
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena yang menjadi patokan adalah pemikiran yang
sahahih dan amalan shalih yang mendominasi seseorang. Kapan seseorang dikatakan
seorang yang shalih?. Apakah disyaratkan agar seseorang dikatakan seorang yang
shalih dia tidak boleh terjatuh dalam sesuatu dosapun atau maksiat?. Jawabannya,
tentu tidak. Bahkan merupakan tabi’at seorang manusia yaitu sering terjatuh
dalam dosa dan kemaksiatan. Jika demikian kapankah seorang hamba menjadi
seorang yang shalih??, (jawabannya) jika kebaikannya mendominasi kejelekannya,
keshalihannya mendominasi kesesatannya, dan seterusnya. Demikian juga sema
persis tentang permasalahan ilmiah, sama saja apakah permasalahan aqidah
ataupun permasalahan fiqhiah. Jika orang alim ini yang mendominasinya ilmu yang
shahih maka dia adalah orang yang selamat. Adapun jika ia memiliki sebuah
kesalahan atau kesalahan-kesalahan dalam permasalahan fikih atau aqidah maka
hal ini tidaklah mengeluarkan dia dari aqidah shahihah yang mendominasinya.
Maka Ibnu Hajar dengan kesalahan-kesalahan yang engkau (yaitu si penanya) sebutkan
tidaklah mencegah kita untuk mengambil faedah dari buku-bukunya dan untuk
mendoakan rahmat baginya serta untuk memasukkannya dalam kelompok para ulama
kaum muslimin yang berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Semua orang
pasti salah, dan tidak bisa seseorang terlepas dari kesalahan karena Allah
tatkala menciptakan manusia maka Allah telah mentaqdirkan bahwa mereka
bagaimanapun juga pasti akan bersalah…” (Silsilah al-Huda wan Nuur, kaset no
727)
Syaikh Al-Albani
ditanya, “Kitab “Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari” (karya Al-Hafizh Ibnu
Hajar), sebagian ulama memandang bahwa kitab ini adalah termasuk kitab-kitab
Islam yang terbaik dan terbanyak faedahnya serta seorang penuntut ilmu tidak
bisa merasa cukup(tidak butuh) dengan kitab ini. Dan di sana ada pendapat yang
lain dari sebagian penunutut ilmu dari kalangan salafiyin, yaitu bahwasanya
Ibnu Hajar telah memberi kemudaratan terhadap kitab Shahih Al-Bukhari dan
merusaknya karena ta’wil-ta’wil dan tahrif-tahrif yang dilakukannya yang menyelisihi
manhaj salafi dan sesuai dengan akidah ahlul bid’ah. Mereka yang berpendapat
demikian tidaklah suka penyebutan gelar-gelar yang memuji Ibnu Hajar seperti
“Al-Hafidz” dan “Syaikhul Islam” dan yang semisalnya. Mereka juga berkata
bahwasanya orang-orang semisal Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnul Jauzi, Ibnu Hazm,
dan yang semodel dengan mereka, tidaklah layak untuk dipuji atau dihormati
(dimuliakan) bahkan sebaliknya mereka berhak untuk dibenci karena Allah
disebabkan manhaj mereka yang tidak lurus. Bagaimanakah pendapat Anda
-barokallahu fiik-?”
Syaikh menjawab, ((Aku
katakan bahwasanya perkataan seperti ini timbul dari orang-orang mutahammisiin
(yang semangat tanpa ilmu-pen) dan bukan dari ulamanya kaum muslimin. Mereka
adalah sebuah kelompok yang tidak mungkin mendukung terwujudnya masyarakat
islami kecuali dengan menggunakan pedang. Dan kita di negeri Syam ada ungkapan,
“Agama Muhammad adalah agama pedang”, ungkapan ini adalah perkataan yang dusta.
Agama Nabi Muhammad adalah agama dakwah, pengarahan, dan agama hidayah.
Rasulullah bersabda
????????? ?????
???????????
Mudahkanlah dan
janganlah menyusahkan (HR Al-Bukhari I/38 no 69 dan Muslim no 1734)
….Mereka menghendaki
sosok seorang alim yang tidak ada cacatnya.
???????? ????????? ???
?????? ?????? ?????? ?????????
Engkau menghendaki
seorang teman yang tidak ada aibnya
Maka apakah ada kayu
gaharu yang mengeluarkan bau wangi tanpa asap??
Ini adalah sesuatu yang
mustahil.
Al-Hafidz (Ibnu Hajar)
-mereka kehendaki atau tidak- tetap saja (digelari) Al-Hafidz. Dan keadaan Ibnu
Hajar yang menta’wil beberapa ayat atau hadits atau sifat-sifat Allah tidaklah
mengurangi gelar beliau ini khususnya pada perkara-perkara
(kelebihan-kelebihan-pen) yang memang ada pada diri beliau. Cukup bagi kita
mengakui keilmuan beliau dan keutamaan beliau, bukan hanya pada ilmu hadits
saja bahkan juga pada ilmu bahasa, ilmu adab, pengetahuannya tentang
madzhab-madzhab ulama kalam, ulama fikh, firqoh-firqoh, dan seterusnya.
Memang benar pada
dirinya ada sebagian penyimpangan dari manhaj salafi akan tetapi bukan seluruh
penyimpangan dari manhaj salafi. Kita tidak ingin merugikan dunia Islam dengan
tidak memperoleh ilmu dan faedah orang ini (Ibnu Hajar) yang pada dirinya
terdapat penyimpangan-penyimpangan dengan mengikuti perkataan (celaan) yang
berlebih-lebihan terhadapnya, yang dilontarkan oleh orang-orang yang baru saja
tumbuh dalam dakwah yang kita sebut dengan dakwah salafiyah. yaitu dakwah yang
menyeru untuk kembali kepada Ak-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj
as-Salaf as-Shaleh, akan tetapi mereka tidak mempelajari Al-Kitab dan
As-Sunnah. Mereka tidak mengetahui bahwasanya seorang alim manapun yang mereka
jadikan rujukan mereka (tetap) akan menemukan suatu penyimpangan dalam
buku-buku atau pembahasan-pembahasan alim tersebut. Sekarang kita ambil
contoh.., kitab yang agung yang disyarah oleh Ibnu Hajar yaitu kitab Shahih
Al-Bukhari (tentang penulisnya yaitu Imam Al-Bukhari). Kira-kira apakah yang
akan mereka katakan tentang apa yang dilakukan oleh Imam Al-Bukhari tatkala
beliau mengatakan bolehnya seorang muslim berkata, “Pelafalanku terhadap
Al-Qur’an adalah makhluk”??. Apakah kita jatuhkan i’tibar (yaitu kita tidak
lagi memandang kedudukan Imam Al-Bukhari) dan kita berkata, “Perkataan kita
bahwasanya Al-Bukhari adalah Amirul Mukminin (dalam ilmu hadits), imamnya para
ahli hadits, juga perkataan kita bahwa bukunya (yaitu Shahih Al-Bukhari) adalah
buku yang paling benar setelah Al-Qur’an, perkataan kita ini merupakan sikap
guluw (berlebih-lebihan) terhadap Al-Bukhari” karena ia telah mengucapkan
sebuah kalimat yang menyelisihi imamnya (gurunya) dalam ilmu hadits dan aqidah
yaitu Ahmad bin Hanbal ???!!. Apakah kita menolak keutamaan beliau (Imam
Bukhari) hanya karena kesalahan seperti ini –jika memang perkataan beliau ini
merupakan kesalahan, padahal perkataan beliau ini bisa dita’wil (ditafsirkan
kepada makna yang benar yang tidak menyelisihi Imam Ahmad-pen)- ???. Adapun
mereka para mutsyaddidun (yang memiliki sikap keras) –tatkala menyikapi
perkataan Imam Al-Bukhari ini- maka mereka akan melihat permasalahannya seperti
melihat adanya dua orang imam yaitu seorang guru (Imam Ahmad) dan seorang murid
(Imam Al-Bukhari). Sang guru mengingkari apa yang diucapkan oleh sang murid dan
sang murid membenarkan perkataannya –yang diingkari oleh sang guru-. Orang yang
berakal tentunya akan memilih salah satu dari dua pendapat ini, akan tetapi hal
ini tidaklah menjadikannya menghancurkan hak-hak (keutamaan dan kemuliaan-pen)
masing-masing pihak yang berselisih –yaitu pada perkara-perkara yang merupakan
kekhususan masing-masing mereka-, sama saja apakah ia mendukung pendapat pihak
ini atau pihak itu. Sikap ini sebagaimana firman Allah
????? ???????????????
??????? ?????? ????? ??????
Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS.
5:8)
Mereka (para
mutasyaddidun) bukanlah orang-orang yang bertakwa, mereka adalah pengikut hawa
nafsu. Mereka termasuk pengikut Khawarij. Khawarij yang terdahulu tidaklah
punah, khawarij terus berlanjut hingga sampai pada masa kita sekarang ini. Dan
kita masih sering mendengar (munculnya khowarij) dari satu waktu ke waktu yang
lain –meskipun jarak antara satu waktu dengan waktu yang lain sejengkal atau
semeter, dua jengkal atau dua meter, dan bisa jadi antara satu waktu dengan
waktu yang lain bertahun-tahun lamanya karena ini adalah masa. Kita melihat
mereka keluar dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Mereka merupakan
sebab terhambatnya kemajuan dakwah yang tadinya telah maju berkembang. Hal
disebabkan karena mereka seperti kuda binal yang liar, tanpa nasehat, tanpa
tarbiah yang Islami, dan tanpa ilmu yang benar. Orang yang membaca shahih
Al-Bukhari dan syarahnya (Fathul Bari) maka tidak mungkin baginya kecuali
mengakui kemuliaan dan keutamaan orang ini (Ibnu Hajar). Akan tetapi tetap
harus waspada dengan ta’wil-ta’wilnya, dan hal ini (waspada dari ta’wil-ta’wilnya)
alhamdulillah adalah perkara yang mungkin…
Jika kita meninggalkan
kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Atsqolani apakah mungkin (menurut
mereka) kita mengganti Fathul Bari dengan Umdatul Qori’ (Syarah Shahih
Al-Bukhari) karya ‘Al-‘Aini?, tentunya lebih tidak mungkin lagi. Jika
perkaranya demikian (kita katakan kepada mereka yang melarang membaca Fathul
Bari), “Carikan bagi kami pengganti Fathul Bari (untuk memahami Shahih
Al-Bukhari)?”. Kenyataannya pada hakikatnya menurutku belum pernah ada orang
yang lahir di atas muka bumi ini seperti Ibnu Hajar Al-‘Atsqolani. Aku tidak
mengatakan “Tidak akan lahir orang seperti beliau”, karena perkataan ini
merupakan sikap mendahului Allah. Akan tetapi sesuai dengan apa yang kami
ketahui dan berdasarkan pengetahuan kami tidak ada para wanita yang melahirkan
seperti orang ini (Ibnu Hajar).
Sebagaimana yang
dipahami dari perkataan mereka, maka jika kita ingin memperingatkan para ikhwan
salafiyin untuk menjauhi dan tidak mengambil faedah dari kitab ini (Fathul Bari)
maka dari kitab apakah mereka bisa memahami Shahih Al-Bukhari??, dari kitab
Al-‘Aini (Umdatul Qori’)?, Al-‘Aini adalah seorang penganut madzhab Hanafi dan
beraqidah Maturidiah, jadi ditinggalkan. Dan Ibnu Hajar lebih baik daripada
Al-‘Aini. Jika kita katakan bahwa kejelekan-kejelekan Ibnu Hajar banyak, maka
pada kenyataannya kejelekan-kejelekan Ibnu Hajar lebih sedikit dari pada
kejelekan-kejelekan Al-‘Aini. Dan tentunya kita mengambil kejelekan yang paling
ringan, dan ini merupakan kaidah ilmiyah yang berlaku.
Intinya kita tidak
menemukan di muka bumi ini sebuah pengganti yang bisa menggantikan posisi kitab
Fathul Bari. Oleh karena itu kita mengambil faedah dari beliau dan memegang
tali beliau kecuali pada perkara-perkara yang menyimpang dari jalan as-Salaf
as-Shalih” (Silsilah al-Huda wan Nuur, kaset no. 285. Lihat juga kaset no 635)
Praktek muwaazanah
terhadap Syaikh Muqbil rahimahullah
Demikian juga Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –rahimahullah- yang pernah terjatuh dalam kesalahan
fatal yang berkaitan dengan manhaj. Beliau pernah mencela pemerintah kerajaan
Arab Saudi dengan sangat keras sampai-sampai sebagian orang memahami bahwa
beliau mengkafirkan pemerintah Arab Saudi. (Padahal tidaklah demikian
sebagaimana hal ini beliau telah jelaskan dalam ceramah terakhir beliau yang
berjudul “Musyaahadati fil Mamlakah al-‘Arobiyah As-Su’uudiyah”. Beliau
menyatakan bahwa semenjak beliau dikeluarkan dari Arab Saudi beliau tidak
pernah mengkafirkan pemerintah Arab Saudi.)
Adapun sikap-sikap
keras Syaikh Muqbil terhadap pemerintah Arab Saudi sebagaimana beliau ungkapkan
dalam buku-buku beliau (seperti dalam Tuhfatul Mujib dan Al-Makhroj minal
Fitan) dan juga dalam kaset-kaset ceramah beliau.
Perlu diingat
alhamdulillah Syaikh Muqbil semenjak tahun 1419 H (sebelum beliau sakit dan
sebelum beliau diizinkan masuk ke daerah Arab Saudi) memerintahkan untuk
menghapus perkataan-perkataan beliau yang tegas dan keras terhadap pemerintah
Arab Saudi dari buku-buku beliau (sebagaimana pengakuan pemilik penerbit
buku-buku Syaikh Muqbil –lihat catatan kaki “Musyaahadati fil Mamlakah
al-‘Arobiyah As-Su’uudiyah” hal 19 ).
Tentunya kesalahan
syaikh Muqbil ini merupakan kesalahan fatal yang merupakan salah satu kesalahan
utama sururiyun, karena diantara ciri utama sururiyun adalah mencela pemerintah
sehingga memotivasi masyarakat untuk memberontak terhadap pemerintah. Tatkala
beliau terjatuh dalam kesalahan ini banyak ulama yang membantah beliau dan
mencela beliau akibat kesalahan beliau ini, namun tidak seorangpun dari para ulama
kibar yang menyatakan bahwa Syaikh Muqbil adalah mubtadi’. Dan Alhamdulillah Syaikh Muqbil di akhir
hayat beliau ruju’ dari sikap beliau ini –rahimahullahi rahmah wasi’ah-
Lihat pernyataan rujuk
beliau dari sikap mencela pemerintah Arab Saudi dalam ceramah beliau terakhir
sebelum beliau wafat yang berjudul “Musyaahadati fil Mamlakah al-‘Arobiyah
As-Su’uudiyah”
Diantara udzur yang
menyebabkan Syaikh Muqbil bersikap keras terhadap pemerintah Arab Saudi adalah
karena beliau merasa dizolimi oleh pemerintah Arab Saudi sebagaimana pernyataan
beliau sendiri dalam “Musyaahadati fil Mamlakah al-‘Arobiyah As-Su’uudiyah” hal
20.
Beliau dilarang untuk
masuk dalam wilayah Arab Saudi sekitar 20 tahun sehingga beliau tidak bisa
mengerjakan ibadah umroh dan haji. Ini diantara perkara-perkara yang mungkin
menjadikan Syaikh bersikap keras terhadap pemerintah Arab Saudi. Dan sikap
ruju’ beliau (kembali kepada kebenaran) menunjukan bahwa beliau adalah
benar-benar seorang ulama.
Kalau ada yang berkata,
“Kesalahan Syaikh Muqbil ini tidak pas untuk dijadikan contoh mengingat beliau
telah rujuk di akhir hayat beliau”. Kita katakan memang benar beliau rujuk
diakhir hayat beliau, dan tuduhan bahwa beliau mengkafirkan pemerintah Arab
Saudi adalah tuduhan yang tidak benar, beliau telah mengingkari hal ini. Namun
perlu diingat bahwa sikap beliau mencela pemerintah Arab Saudi dengan celaan
yang sangat keras terus menjadi sikap beliau semenjak beliau keluar dari Arab
Saudi hingga menjelang wafat beliau, yaitu sikap ini berlangsung selama puluhan
tahun. Dalil akan hal ini bahwasanya buku-buku Syaikh Muqbil dahulu dilarang
masuk dalam wilayah kerajaan Arab Saudi. Bahkan sampai sekarangpun masih sulit
jika seseorang masuk melalui bandara di wilayah kerajaan Arab Saudi dengan
membawa buku-buku karya Syaikh Muqbil. Hal ini tidak lain dikarenakan sikap
beliau yang tegas dan keras dalam mencela kerajaan Arab Saudi. Kendati demikian
di masa beliau belum rujuk dari sikap beliau tersebut, tidak ada seorangpun
dari kalangan ulama kibar yang menyatakan beliau adalah mubtadi’!!!.
Kapan seseroang
disikapi seperti menyikapi mubtadi’?
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Memang benar bahwa barangsiapa yang
menyelisihi (1) al-Qur-an yang jelas, (2) Sunnah yang mustafidhah (masyhur),
atau (3) ijma’ (konsensus) Salaf, dengan suatu penyelisihan yang tidak ada
udzurnya, maka orang seperti ini disikapi sebagaimana menyikapi ahli bid’ah.”
(Majmuu’ Fataawa XXIV/172)
Perhatikanlah ucapan
beliau, “suatu penyesilihan yang tidak ada udzurnya”, ini merupakan isyarat
bahwa terkadang seorang ulama menyelisihi salah satu dari ketiga perkara di
atas namun ia tidak disikapi sebagaimana menyikapi ahli bid’ah, karena adanya
udzur yang menghalangi hal tersebut.
Beliau juga berkata,
“Banyak mujtahid dari kalangan Salaf dan Khalaf mengatakan atau melakukan
perkara yang sebenarnya merupakan bid’ah, namun mereka tidak mengetahui bahwa
perkara tersebut adalah bid’ah. Hal ini bisa jadi disebabkan hadits-hadits
lemah yang mereka sangka sebagai hadits shahih, atau karena ayat-ayat yang
mereka pahami dengan pemahaman yang kurang tepat dengan maksud ayat tersebut,
atau karena mereka berpendapat pada suatu permasalahan yang sudah ada nash-nash
(yang jelas) dalam permasalahan tersebut (yang berseberangan dengan pendapat
mereka), namun nash-nash tersebut tidak sampai pada mereka.
Dan jika seseorang
sudah berusaha bertakwa kepada Allah semampunya berarti ia telah masuk dalam
firman Allah:
???????? ???
???????????? ??? ????????? ???? ??????????? (?????? : 286 )
(Mereka berdoa), “Ya
Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.
(al-Baqarah: 286)
Dalam hadits yang
shahih disebutkan bahwa Allah ta’ala menjawab, “Telah aku kabulkan….” (Majmuu’
Fataawa XIX/191-192)
Jika ada seseorang yang
sudah dikenal mengikuti al-Kitab dan Sunnah kemudian terjatuh dalam suatu
bid’ah –meskipun kebid’ahan tersebut telah disepakati oleh para ulama maka
tidak secara otomatis ia menjadi seorang ahli bid’ah. Dengan kata lain, tidak
semua orang yang terjatuh dalam bid’ah menjadi ahli bid’ah, sebagaimana tidak
semua orang yang terjatuh dalam tindak kekufuran menjadi kafir.
Harus lebih
berhati-hati lagi jika ternyata kesalahan yang dilakukan oleh seorang salafy
tersebut pada permasalahan yang pelik dan rumit
Terlebih lagi jika
ternyata kesalahan tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang pelik,
tentunya lebih dimaklumi lagi.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam
perkara yang rumit dimaafkan bagi umat ini, meskipun kesalahan tersebut terkait
dengan perkara-perkara ‘ilmiyyah (‘aqidah). Jika tidak demikian, maka binasalah
mayoritas orang-orang mulia dari umat ini. Jika Allah memaafkan orang yang
tidak tahu tentang haramnya khamr karena tumbuh di daerah (yang penuh
kebodohan), sementara ia sendiri tidak menuntut ilmu, maka orang mulia yang
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sesuai dengan apa yang ia dapati di
zamannya dan daerahnya, jika tujuannya adalah mengikuti Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
semampunya, maka ia lebih berhak untuk Allah terima kebaikan-kebaikannya
dan Allah memberi ganjaran atas kesungguhannya sekaligus tidak menghukumnya,
sebagai realisasi firman-Nya:
}???????? ???
???????????? ??? ????????? ???? ???????????{
“Ya Rabb kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah” (al-Baqarah:
286) (Majmuu’ Fataawa XX/165)
Madinah, 29 Dzul Hijjah
1431 / 05 Desember 2010
Abu ‘Abdilmuhsin
Firanda Andirja