Fenomena Tahdzir Sesama
Ahlus Sunnah dan Solusinya
Oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin
Al-‘Abbad Al-Badr
Muncul fenomena
belakangan ini, sebagian Ahlus Sunnah sibuk mengomentari sebagian yang lain,
saling mencaci dan saling men-tahdzir, hal demikian ini telah menimbulkan
perpecahan dan perselisihan serta sikap saling hajr (menjauhi) di antara
mereka. Seharusnya mereka saling berkasih sayang dan menyatukan barisan dalam
menghadapi ahlul bida’ dan ahlul hawa’ yang mana mereka adalah sebenar-benar
penentang golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fenomena ini
terjadi akibat dua perkara, yaitu:
Pertama:
Sebagian Ahlus Sunnah pada zaman sekarang memiliki kebiasaan menyibukkan diri
mencari-cari kesalahan orang lain, baik melalui karangan-karangan atau
kaset-kaset. Kemudian, mereka men-tahdzir siapa saja yang didapatinya melakukan
sebuah kesalahan. Bahkan, di antara perkara yang dianggap kesalahan, sehingga
karenanya orang tersebut dapat ditahdzir adalah bekerja sama dengan salah satu
yayasan atau badan sosial agama (Jam’iyyat Khoyriyah) seperti memberikan
ceramah atau turut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial
tersebut.
Padahal Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
rahimahumallah pernah memberikan muhadhoroh untuk yayasan tersebut melalui
saluran telepon. Apakah seseorang dapat dan layak dicela karena ia melakukan
satu hal yang sudah difatwakan ‘mubah’ atau ‘boleh’ oleh dua orang ulama besar?
Dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu daripada
menyalahkan pendapat orang lain, terlebih jika pendapat itu telah mendapat
fatwa dari oleh para ulama besar. Oleh karena itu, sebagian Shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata seusai perjanjian Hudaibiyah, “Wahai
sekalian manusia! Hendaklah kalian mengkoreksi pendapat ro’yu (akal) bila
bertentangan dengan perintah agama.”
Bahkan di
antara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat yang cukup besar, baik
dalam hal memberikan pelajaran, atau melalui karya-karya tulis, atau khutbah.
Ia ditahdzir hanya karena tidak pernah memberikan komentar tentang si Fulan
atau Jama’ah tertentu, misalnya. Bahkan celaan dan tahdzir tersebut merembet
hingga ke bagian yang lainnya di negara-negara Arab dari orang-orang yang
manfaatnya menyebar luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan
menebarkan Sunnah serta berdakwah kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir
seperti ini merupakan tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan
orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan
akhlak mulia.
Kedua: Sebagian
Ahlus Sunnah apabila melihat salah seorang Ahlus Sunnah melakukan kesalahan,
spontan dia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantah
pun membalas dengan menulis bantahan pula. Kemudian masing-masing dari keduanya
saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta memperdengarkan
kaset-kasetnya yang sudah lama untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan
aibnya. Boleh jadi sebagiannya merupakan kekhilafan bicara, ia melakukan hal
tersebut sendiri atau dibantu oleh orang lain. Kemudian masing-masing pihak
berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak
lain. Kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan
bagi pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawan. Dan memaksa
setiap orang yang mereka temui untuk memberikan sikap terhadap orang yang tidak
didukungnya. Jika tidak, maka ia akan divonis bid’ah sebagai konsekuensi vonis
bid’ah terhadap pihak lawan.
Kemudian hal
yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk meng-hajr¬nya. Tindakan para
pendukung dari kedua belah pihak termasuk penyebab utama muncul dan menyebarnya
fitnah dalam skala yang lebih luas. Dan keadaan semakin bertambah parah lagi
apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaannya melalui media
internet. Kemudian generasi muda Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di
berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di website
masing-masing pihak tentang ‘kata si fulan’ dan ‘kata si fulan’ yang tidak
membuahkan kebaikan sama sekali, tetapi hanya membawa dampak kerusakan dan
perpecahan. Hal ini telah membuat pendukung kedua belah pihak yang berseteru
seperti orang yang terpaku di depan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang
tengah tersebar. Tak ubahnya seperti orang yang terfitnah dengan fanatisme
klub-klub olah raga yang masing-masing supporter memberikan dukungan untuk
klubnya. Sehingga hal yang demikian menimbulkan persaingan, keberingasan dan
pertengkaran di antara mereka.
Bagaimana
Solusinya..?
Jalan selamat
dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama:
Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahdzir, perlu diperhatikan
hal-hal berikut.
Orang yang
menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta
men-tahdzir mereka, hendaklah takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukkan
diri memeriksa aib-aibnya sendiri supaya ia dapat memperbaiki diri, daripada ia
sibuk membicarakan aib orang lain. Dan lebih baik ia menjaga konsistensi amal,
jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagikan pahalanya
kepada orang yang dicela dan dicacinya. Sementara ia sangat butuh terhadap amal
kebaikan tersebut daripada orang lain, pada hari yang tiada bermanfaat harta
dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang
suci.
Hendaklah ia
menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat daripada ia sibuk mencela
dan men-tahdzir orang lain. Lebih baik ia giat dan bersungguh-sungguh mencari
ilmu agar ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfaat dan
bermanfaat. Salah satu pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah ia sibuk
menuntut ilmu, belajar, mengajar, berdakwah dan menulis. Apabila ia mampu
melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun,
dan tidak menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari
kalangan Ahlus Sunnah. Serta menutup jalan yang dapat menyebabkan dirinya
mengambil berita dari mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang hancur.
Orang yang sibuk mencela seperti ini, tentu dia tidak akan meninggalkan ilmu
yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. Manusia tidak akan merasa
kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang dapat memberi manfaat.
Justru dengan kepergiannya, mereka merasa selamat dari kejahatannya.
Para penuntut
ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada hendaklah menyibukkan
diri menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan mendengarkan
kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baaz dan
Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, daripada menyibukkan diri mereka dengan menelepon
si Fulan dan si Fulan untuk bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang si Fulan atau si
Fulan?’ dan ‘Apa pula pandanganmu terhadap perkataan si Fulan atau si Fulan?’
dan ‘Perkataan si Fulan terhadap si Fulan?’
Ketika seorang
penuntut ilmu bertanya tentang keadaan orang-orang yang aktif menyebarkan ilmu,
hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ (Tim
Komisi Pemberi Fatwa) di Riyadh untuk bertanya tentang keadaan mereka tersebut.
Apakah mereka berhak dimintai fatwanya dan bolehkah menuntut ilmu darinya atau
tidak? Dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang keadaan orang tersebut
hendaklah ia menulis surat kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ tentang apa yang
diketahuinya tentang orang tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam masalah tersebut.
Supaya hukum yang diputuskan berupa celaan atau tahdzir dikeluarkan oleh
lembaga yang bisa dipercaya fatwanya, dalam hal ini menerangkan siapa yang
boleh diambil ilmunya dan siapa yang bisa diambil fatwanya. Tidak diragukan
lagi bahwa seharusnya lembaga resmilah sebagai tempat rujukan berbagai
persoalan yang membutuhkan fatwa untuk mengetahui siapa saja yang boleh
dimintai fatwanya dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan
dirinya sebagai rujukan dalam persoalan penting seperti ini. Sesungguhnya di
antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan
urusannya.
Kedua: Masalah
yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang keliru, perlu diperhatikan
hal-hal berikut ini.
Bantahan
tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut, disertai harapan
yang tulus untuk menyelamatkan orang yang keliru tersebut dari kesalahannya.
Ketika kesalahan tersebut sudah jelas dan nyata. Dan seharusnya merujuk kepada
bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh bin Baaz rahimahullah untuk
mengambil faedah darinya tentang sebuah metode yang patut diperhatikan dalam
menulis sebuah bantahan.
Apabila
bantahan tersebut ditujukan kepada sebuah kesalahan yang masih belum jelas, dan
termasuk jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan
sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlu merujuk kepada
Lajnah Daimah lil Ifta’. Adapun bila kesalahan tersebut sudah jelas, maka bagi
pihak yang dibantah seharusnya merujuk kembali kepada kebenaran, karena
sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bertahan di atas
kebathilan.
Apabila
seseorang telah memberikan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia
telah melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya ia tidak perlu mengikuti gerak-gerik
orang yang dibantahnya. Tetapi hendaklah dia menyibukkan diri dengan menuntut
ilmu yang akan membawa manfaat yang sangat besar bagi dirinya dan bagi orang
lain, beginilah sikap Syaikh bin Baaz rahimahullah.
Seorang
penuntut ilmu tidak boleh menguji saudaranya, dengan memaksanya untuk memilih
sikap tegas terhadap orang yang dibantahnya atau orang yang membantahnya. Jika
setuju ia selamat, dan jika tidak ia divonis bid’ah dan dihajr. Tidak
seorangpun berhak menisbatkan kepada manhaj Ahlus Sunnah secara ceroboh seperti
ini dalam menjatuhkan vonis bid’ah dan hajr. Begitu juga tidak seorangpun yang
berhak menuduh orang yang tidak menempuh cara yang ceroboh seperti ini sebagai
perusak manhaj Salaf. Hajr yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah hajr
yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua
menghajr anaknya dan seorang guru terhadap muridnya. Dan begitupula hajr yang
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi.
Pengucilan yang mereka lakukan memberi faedah bagi orang yang dikucilkan.
Adapun bila hal
itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi
bila penyebabnya adalah masalah yang tidak sepatutnya menjadi alasan dilakukan
pengucilan, maka hal seperti ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan
sedikitpun, bahkan hal tersebut akan berakibat pada pertengkaran dan perpecahan.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Majmuu Fatawa’ (III/413-414)
ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah, “Pendapat yang benar
adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut
tidak secara khusus dicintai dan dicela. Bersamaan dengan itu, sekalipun dia
seorang yang fasiq atau seorang yang zhalim, maka Allah mengampuni dosa seorang
yang fasiq dan dosa seorang yang zhalim, apalagi bila dia memiliki
kebaikan-kebaikan yang cukup besar. Sesungguhnya Imam Bukhari meriwayatkan
dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أول جيش يغزو القسطنطينية مغفورله
“Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qasthanthiniyyah akan
memperoleh ampunan.”
Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qathanthiniyyah dikomandoi
oleh Yazid bin Mu’awiyah dan turut serta bersama pasukan tersebut adalah Abu
Ayub al-Anshari. Maka yang wajib dalam hal ini adalah bersikap netral, dan
tidak mengomentari Yazid serta tidak menguji kaum muslimin dengannya (yakni
meminta pendapat tentangnya). Karena hal itu termasuk bid’ah yang menyalahi
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ia (Syaikhul Islam) berkata lagi (III/415), “Dan demikian juga
memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Dan ia berkata lagi (XX/164), “Tidak seorang pun yang berhak
mengangkat seorang figur untuk umat ini yang diseru dan diikuti jalannya, yang
menjadi tolak ukur dalam menentukan wala’ (loyalitas) dan baro’ (permusuhan),
kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak seorang pun yang
berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolak ukur dalam loyalitas dan
permusuhan, kecuali perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi
kesepakatan umat. Perbuatan seperti itu adalah kebiasaan mubtadi’ (ahli
bid’ah), mereka mengangkat seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui
itu mereka memecah belah umat. Mereka menjadikan pendapat tersebut atau figur
tersebut sebagai tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan.”
Ia berkata lagi, (XXVIII/15-16), “Apabila seorang guru atau ustadz
memerintahkan hajr terhadap seseorang atau menjatuhkan (wibawanya) dan
menjauhinya atau yang semisalnya, maka si murid harus mempertimbangkannya terlebih
dahulu. Jika orang tersebut melakukan suatu dosa yang secara syar’i berhak
dihukum, maka hukumlah dia sesuai kadar dosanya, tanpa berlebihan. Dan jika dia
tidak melakukan dosa yang secara syar’i berhak untuk tidak dijatuhi hukuman,
maka ia tidak boleh dihukumi dengan hukuman apapun, hanya karena keinginan
seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokkan manusia dan
menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka. Tetapi hendaklah
mereka saling bersaudara, saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan
ketakwaan, sebagaimana firman Allah,
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا
نعاونوا على الإثم والعدون
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan
janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS.
Al-Maa’idah: 2)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam kitabnya Jami’ul
‘Ulum wal Hikam (I/288) mengenai syarah hadits:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا
يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu
yang tidak berguna untuknya.” (Riwayat Tirmidzi no. 2317, dishahihkan oleh
Syaikh Albani dalam Shahih Imam Ibnu Majah no. 3211)
Hadits ini mengandung pokok yang amat penting dari pokok-pokok
adab. Imam Abu ‘Amru bin ash-Sholah telah menceritakan dari Abi Muhammad bin
Abi Zaid (salah seorang Imam madzhab Malikiyyah pada zamannya) bahwa ia
berkata, “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر
فليقل خبرا أوليصمت.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
dia mengucapkan perkataan yang baik atau (lebih baik) diam.” (Riwayat Bukhari
no. 6475 dan Muslim no. 74)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا
يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan
sesuatu yang tidak berguna untuknya.”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat yang
singkat,
لا تغضب.
“Jangan marah.” (Riwayat Bukhari no. 6116)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المؤمن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya
untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari no. 13; Muslim no. 45; an-Nasa’i
VIII/115; Tirmidzi no. 2515; ad-Darimi II/307; Ibnu Majah no. 66; dan Ahmad
III/176,206,251,272,278)
Aku (penulis) berkata, Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu
beradab dengan adab-adab ini yang membawa kebaikan dan faedah bagi meerka dan
orang lain. Serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan
membuahkan apapun kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai
beraikan persatuan dikalangan kaum muslimin.
Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasihati dirinya,
hendaklah ia meninggalkan kesibukan mengikuti apa yang disebarkan melalui
jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang
bertikai.
(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam Rifqaan Ahlas Sunnah
bi Ahlis Sunnah)
Baca juga
dengan isi yang hampir mirip :
Fenomena Tahdzir, Cela-Mencela Sesama Ahlussunnah
Dan Solusinya
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi
Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad
Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]
Nasehat
dalam menghadapi ikhtilaf di antara ikhwah salafiyyin
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad hafidzohullah
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir
Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Pertama
dari Tiga Tulisan [1/3]
[I]. Nasehat
Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, [Ulama besar dan Muhaddits
Madinah Nabawiyah]
Pertanyaan.
Syaikh Abdul
Muhsin Al-Abbad ditanya : Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu
ikhtilaf (perbedaan pendapat) sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tidak
menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah
Jawaban.
Ikhtilaf yang
tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah
ikhtilaf dalam masalah-masalah furu, masalah-masalah yang dibolehkan untuk
berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu inilah yang masih
bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling
bermusuhan (saling menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga
rasa saling mencintai dan menyayangi.
Hal ini
sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahuanhum, dimana mereka
berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu, mereka
radhiallaahu anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan sebab ikhtilaf
tersebut. Setiap shahabat berpegang dengan ijtihadnya (pendapat) masing-masing.
Mereka radhiallaahu anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya
akan mendapat dua pahala sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat
satu pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang artinya:
Apabila seorang
hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan
jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala
[II]. Nasehat
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
[1]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita
terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya-
perselisihan yang terjadi di Indonesia?
Jawaban.
Segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga
terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya,
para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari
kiaman, amma badu:
Sesungguhnya
Kewajiban Seorang Muslim Adalah :
[a]. Mengetahui
al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam
permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah
amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya
Kewajiban
seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq
dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib
bagi mereka untuk mempelajari ilmu syari yang bermanfaat untuk mengetahui yang
haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah
ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui
sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan
gamblang dalam masalah ini.
[b]. Apabila
perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib baginya untuk
bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah
belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih,
tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap
mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam
menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari
mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban
yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
[c]. Kemudian
dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan
kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk
mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana
firman Allah:
“Artinya :
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat
maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia [An-Nisaa:114]
Maka kewajiban
seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci
kebaikan
[d]. Tidak
melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan
menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan
tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
[e]. Bersikap
wasath (netral) antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung
(membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak,
bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan
dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang
tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia
menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan
sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah,
tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas
al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk
bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap
ikhwah
[f]. Jika dia
menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam
perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan
usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu
perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
[g]. Jika dia
melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku
adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim.
Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah
perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah-
setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu
termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan
diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu
disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia
menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam
suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan,
maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan
mereka.
Tidaklah pantas
sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul
Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus
Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda
sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha
untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan
dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya
dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap
seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada
Allah agar memberikan taufiq pada semua ….
[2]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : “Fadilatus Syaikh,…kami berharap agar Anda
menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah: perselisihan yang tidak
mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus sunnah..?
Jawaban:
“Perkara yang
diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: Permasalahan yang diperselisihkan
oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian
orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang
ma’lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam
masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah “apakah ahlul
mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?”, apakah yang melihat Rabb
itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli
mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara
ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai
ahlul bid’ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang
diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang “hukum orang
yang meninggalkan shalat”, juga perselisihan mereka tentang “kafir tidaknya
orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya” dan
perselisihan mereka tentang “orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia
meninggalkan salah satunya karena malas”, semua permasalahan ini menjadi
perselisihan dikalangan ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan
salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid’ah, walaupun
kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli
ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan
udzur (ma’af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada
pendahulunya dari salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan
Adapun
sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah,
terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah
berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul bid’ah. Maka orang tersebut jika
sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk ahlus
sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari
nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan
ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan
salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan
dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan “kurang ilmu”, tapi tidak
mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah
kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba’ah. Mereka menginginkan yang haq tapi
terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian
pendapat ahlul bid’ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah
menyepakati ahlul bid’ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar.
Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan
dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid’ah, karena mereka
menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam
masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok
(tata cara) ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah
dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima’afkan -insya Allah, dan tidak
boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bidah, karena sebagaimana kalian ketahui
bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat
ahlul bidah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang
berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa
penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar,
maka mereka ini bersesuaian dengan ahlul bidah di dalam perkataan-perkataan
mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bidah, karena mereka pada dasarnya
diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yang
hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara
yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul
fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh
ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur
(maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan,
tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari
ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar
kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan
perselisihan.
[3]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, mohon Anda jelaskan contoh
dari hal-hal yang menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yang
menyebabkan ishlah (perdamaian)!
Jawaban.
Hal-Hal Yang
Menambah Perpecahan Adalah :
[a].Taashub
(fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu
karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan
oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena
benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan.
[b].Oleh karena
itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalannya semata-mata
karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukannya yang
akhirnya dia mengukur kebenaran dengan figur/tokoh tertentu, padahal justru
kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang.
Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada diatasnya meskipun
orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah
orang dzalim dari kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya
[c].Menukil
perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara manusia khususnya
dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan, kalian tentunya tahu
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci qilla wa qoola, banyak
bertanya dan membuang-buang harta Qilla wa qoola adalah banyak menukil
perkataan antar manusia: Kata Fulan begini, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan
begini, Fulan dikatakan begitu.. sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya
dengan perkataan ini. Maka inilah diantara sebab yang paling besar yang
menyebabkan kerasnya hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah
dan menambah perpecahan.
Maka kewajiban
penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak menukil perkataan,
tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan sikap dia
ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah menjauhinya dan mengatakan:
Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan
menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat, kecuali jika (menukil perkataan itu)
ada maslahatnya untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.
[d]. Jahil
(bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang disebabkan oleh
kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap
al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada
2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yang tidak
mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela
yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa
jadi karena jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yang mengikuti al-haq).
Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya,
tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut
ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia,
maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yang mengatakan: Kata Fulan begini
kata Fulan begitu.. tentunya seorang yang berilmu itu berbicara sesuai dengan
berita yang disampaikan pada dia.
Maka seharusnya
bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan
terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang tidak pernah
diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan oleh orang
tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataannya, haruslah dia
menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil (tidak
mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama, tidak
pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang
sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan (sebagian
penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara
tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: Kata Fulan
begini,kata Fulan begitu tentunya orang alim itu berbicara sesuai dengan apa
yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar
Seorang hakim
dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka selayaknya jika
kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita menukil sesuai
dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar, karena seorang alim
bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang
dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yang terjadi terhadap mereka,
inilah sebagian dari sebab terjadinya perselisihan.
Adapun
Sebab-Sebab Perdamaian Adalah :
[a]. Niat yang
jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua orang penengah
yang mendamaikan suami-istri yang berselisih: Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu
(An-Nisaa: 35), kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah
menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yang berusaha untuk
mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik
-insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar), karena kejujuran
niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun
menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian
[b]. Doa untuk
kebaikan ikhwah, yaitu mendoakan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat
dalam berdoa agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan
hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran
[c].Menasehati
pihak yang salah, kita katakan pada dia: Anda bersalah, maka kembalilah kepada
al-haq, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak
mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya
[d]. Menasehati
pihak yang benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: Bersabarlah
dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang bersalah) karena merekapun
ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan berarti pula mereka
membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan al-haq, tapi mereka salah.
Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak
masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan
pada temannya: Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa, Ali
bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling utama setelah kematian
Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: (Mereka) adalah saudara-saudara
kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa padahal beliau
adalah orang yang paling utama mudah-mudahan Allah meridhoinya-.
Demikian pula
Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu
dan mengatakan: Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan
mengakui keutamaan beliau, lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan
menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah,
tapi mereka tidak saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui
bahwa saudaranya menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah muamalah yang harus
dilakukan terhadap saudara-saudara kita.
[Risalah ini
disusun oleh. Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan
Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah]
Nasehat
Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin : Tata Cara Menasehati
Oleh
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir
Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Kedua
dari Tiga Tulisan [2/3]
[4]. Pertanyaan
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada
Anda, sudilah kiranya Anda menjelaskan tentang tata-cara menasehati serta
marotibnya (tingkatan) terhadap orang yang menyelisihi kita dalam suatu
masalah..!?
Jawaban :
Kewajiban
Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu Masalah:
[a]. Kita tidak
boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon
(persangkaaan)
[b]. Tatsabut
dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita
harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.
[c]. Kembali
kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman salaf, dan jika ada
problem pada kita, kembalilah kepada ulama.
[d]. Jika kita
telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya
dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali
kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang
dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini
Adapun
langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran
maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah
dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..
Jadi Kewajiban
Kita Adalah :
[a].
Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita
ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum
muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
[b]. Setelah
itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari
dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada
ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama
itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula
para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah
menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim)
memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah
melihat pada ahli ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian
diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan
kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu
seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah
berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada
dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud
pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.
[c]. Kemudian
tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini
adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin
negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari
murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya,
demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah
sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang
lebih besar dengan pengingkaran itu.
Adapun jika
kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada
pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak
boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka
apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !?
Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada
mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan
kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas
kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga
keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan
tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan
tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam
mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang
lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan
untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan
kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan
maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar
(untuk dijauhi)
[5]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin
Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh mudah-mudahan Allah memberikan
kebaikan kepada Anda, seandainya kita pulang ke tanah air, kemudian ditanya
tentang permasalahan ini, maka apakah jawaban yang benar dan tepat sehingga
tidak menambah perpecahan ..?!
Jawaban:
Jawaban
terhadap pertanyaan ini sudah disebutkan tadi, yaitu kalian berusaha untuk
mewujudkan ishlah (perdamaian) berdasarkan al-haq dan memperdekat sudut pandang
mereka serta tidak menambah perpecahan, wajib bagi kita untuk menasehati dan
mendamaikan, jika tidak mampu maka setidaknya tidak menambah perpecahan, dan
kita katakan pada masyarakat umum :
[*] Janganlah
kalian disibukkan oleh hal ini, karena ini bukan urusan kalian, perselisihan
ini adalah urusan para penuntut ilmu, tentunya mereka lebih tahu, adapun kalian
jangan disibukkan dengan hal ini.
[*] Jagalah
agama kalian, juga shalat dan ibadah kalian
[*] Ambillah
faidah dari para penuntut ilmu
[*] Dan jangan
kalian mengadu antara perkataan mereka satu sama lainnya. Adapun para penuntut
ilmu kita katakan pada mereka: Kewajiban kita semua adalah berusaha untuk
mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati mereka diatas al-haq, kalau
toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan dan tidak menambah
perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau berusaha mendamaikan.
[6]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh.. kitab apakah yang Anda
nasehatkan untuk dibaca dalam masalah ini..?
Jawaban.
Kitab para
ulama ahlus sunnah yang menerangkan manhaj yang haq dalam masalah ini, ada
kitab-kitab yang besar dengan pembahasan yang luas, yang mungkin tidak mudah
untuk difahami oleh setiap penuntut ilmu, yaitu kitab tentang pokok-pokok
aqidah dan nukilan perkataan ulama salaf seperti kitab As-Sunnah karangan
Abdullah bin Imam Ahmad, Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah karangan Imam
Al-Laalikai, Kitab As-Sunnah karangan Imam Al-Khollal, kitab As-Sunnah karangan
Imam Ibu Abi Ashim, kitab Al-Ibanah karangan Imam Ibnu Batthoh dan kitab-kitab
yang lainnya. Ini adalah kitab-kitab yang menerangkan manhaj yang haq tapi
mungkin sulit untuk dipahami oleh penuntut ilmu, sehingga perlu membaca
kitab-kitab yang menerangkan manhaj ini, seperti kitab-kitab Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan ulama setelahnya seperti Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, demikian pula para ulama zaman sekarang yang telah menjelaskannya
pada umat serta menjelaskan batasan-batasan yang benar dalam masalah ini yang
dibutuhkan oleh umat sekarang ini
[7]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah menjaga Anda sering sekali kita
mendengar tentang Sururiyah, harap Anda jelaskan hakikatnya ..! jazakumullahu
khairan..
Jawaban:
Sururiyah
termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah berbicara
tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang telah banyak
meneliti pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya, Sururiyah
adalah: mereka yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal Abidin,
yang di dalam manhajnya ada penyelewengan dari manhaj ahlus sunnah dalam
masalah dawah dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari manhaj-manhaj
lain seperti manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya.
Dan orang-orang
yang menisbatkan diri kepadanya sebagian mereka- terkadang berpemikiran sesuai
dengan pemikirannya pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau
tidak. Akan tetapi tidak benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng
dalam masalah ini kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya
sesuai dengan aqidah ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan
mereka, tapi dia telah menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam
pikiran mereka sebagaimana penyimpangan itu terbetik dalam pikiran sururiyyin,
maka tidak boleh kita memecah belah manusia.
Adapun orang
yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho dengan
pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya, karena ada
sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat mereka. Maka kita
tidak boleh memecah belah, sebab jika kita golong-golongkan manusia dan
menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk kembali kepada al-haq setelah
itu, lain halnya jika kita katakan: Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini,
kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.
Kemudian,
pengetahuan tantang jamaah-jamaah yang ada pada zaman sekarang dan pendalaman
pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang penuntut ilmu dan tidak
wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global,
sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahuanhu: Orang-orang bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya
kepadanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya, dalam hal ini
dengan mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan diri
dengan perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang ditulis
Fulan tentang mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini
akan memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek
Maka kewajiban
kita adalah untuk mengetahui pokok-pokok aqidah ahlus sunnah, dasar-dasar ilmu
dan mengetahui masalah-masalah syari yang dengannya kita dapat membedakan ahlul
haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya maka tak akan terpengaruh
dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau tidak, karena
kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah ahlus
sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita tidak butuh untuk
mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang dengannya
kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah
dalam masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si
Fulan pantas untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui
kaidahnya, kita dapat menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia
butuh pada ilmu syari dan dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan
manusia, menukil perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan
kita dari menuntut ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan
berupa bid’ah dan perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri
dengan ilmu dan tashil, kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam
bermuamalah dengan yang menyimpang.
[8]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh Semoga Allah memberikan
kebaikan pada Anda. Apakah penyimpangan sebagian orang dalam manhaj dawah,
mengeluarkan mereka dari lingkup Ahlus sunnah wal jamaah ..? jazaakumullahu
kahoiron..
Jawaban:
Tidak diragukan
lagi bahwa ahlus sunnah mempunyai manhaj yang jelas dalam dakwah dan
pokok-pokok dawah, manhaj yang jelas dan tetap. Maka siapa saja yang menyalahi
ahlus sunnah dalam manhaj ini, atau sebagian pokok-pokok yang umum, tidak
diragukan lagi bahwa dia telah menyelisihi ahlus sunnah, tapi apakah setiap
penyimpangan mengeluarkan orang dari aqidah ahlus sunnah? telah disebutkan tadi
(lihat jawaban Syaikh pada soal no.2 peny)
Terkadang
kesalahan itu jelas bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, tapi kita tidak bisa
menghukumi dia keluar dari aqidah ahlus sunnah, karena kita harus bedakan
antara ucapan dan orang yang mengucapkannya sebagaimana yang kalian ketahui.
Adapun ucapan, kita bisa hukumi bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, seperti
orang yang mencela pemerintah serta menyebarkan aib-aib pemerintah, menghasut
manusia untuk memberontak atau bahkan mengkafirkan pemerintah walaupun
kenyataan tidak kafir.
Pemimpin-pemimpin
umat Islam pada umumnya alhamdulillah menonjolkan hukum Islam, maka tidak boleh
kita menghukumi mereka (para pemimpin) dengan kekufuran, walaupun kita dapati
mereka berbuat maksiat. Adapun pemimpim yang jelas-jelas membela agama dan
mendakwahkannya, sebagaimana di negara Saudi ini, juga di negara lainnya, maka
tidaklah mencela mereka kecuali ahlul bidah, tidak ada yang memalingkan manusia
dari mereka kecuali pengikut hawa nafsu, karena tak ada seorangpun yang mashum,
baik itu pemerintah atau ulama atau para penuntut ilmu.
Barangsiapa
yang menyalahi pokok-pokok manhaj ahlus sunnah dalam dawah, kita sifati
perkataan mereka bahwa itu bukan pendapat dan manhaj ahlus sunnah. Kita harus
melihat keadaan orang yang menyimpang itu, apabila sunnah lebih dominan pada
dirinya dan dia berusaha keras untuk mewujudkannya, kita katakan pada dia: Anda
salah, kemudian kita bersabar dan menasehatinya.
Adapun jika dia
menyalahi seluruh aqidah dan manhaj ahlus sunnah, tidak mau peduli dengannya
tapi justru cenderung dekat dengan ahlul bidah, bahkan berusaha keras untuk
memalingkan manusia dari aqidah ahlus sunnah kepada manhaj lain yang
menyimpang, seperti manhaj Khawarij dan manhaj bid’ah lainnya, maka tidak ragu
lagi bahwa itu adalah penyimpangan dari sunnah, bahkan penyimpangan dari
pokok-pokok manhaj ahlus sunnah. Karena manhaj dalam dakwah bercabang-bercabang
dan itu melihat kepada mashlahat dan mafsadah, jadi tidak ragu lagi orang yang
menyalahinya telah meruntuhkan sebagian pokok-pokok aqidah ahlus sunnah,
seperti berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, bersabar terhadap penguasa
walaupun mereka berbuat dzolim dan lemah lembut dalam berdakwah. Tapi seseorang
yang banyak kebaikannya kemudian dia salah dalam beberapa masalah, kita harus
sabar terhadap dia dan menasehatinya. Beda dengan orang yang berada pada garis
ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj ahlus sunnah dan bersikeras atas
kesalahannya, maka jelas dia bukan ahlus sunnah.
[9]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah memberikan kebaikan pada Anda. Dengan
apakah hujjah itu bias ditegakkan?
Jawaban:
Hujjah itu
tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah
dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu
sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui
kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang
meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu
hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada
dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.
Tapi terkadang
orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa
meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia
tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat
karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam
ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu
kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses
yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil,
yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan
kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia,
adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya
hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan
pada dia.
Penilaian
tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama
besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang
yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita
memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang
menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita
tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa
kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan
oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa
tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah
kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak
dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta
menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan
yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham
tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada
waktu itulah kita dapat menghukuminya.
Sebagian orang
ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang
yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan
dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang
keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada
Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah
tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan
untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali
dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat
orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah
itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang
yang bersalah.
Juga seorang
alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang
ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya,
maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu
masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan
di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu
hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada
Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan
Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya.
Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun
minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua
orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang
seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau
keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah
darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap
hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan
udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
Dan
ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu
tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang
malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal
yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini
berbeda antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya
sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam
hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan.
Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa
ini yaa Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya
untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi
ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat
ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum
muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib
radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas,
sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk
fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya
yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan
dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan
beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394
–pent)
Kerena syubhat
itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus
kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam
melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika
ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan
menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.
[10].
Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Apakah dhowabit (batasan-batasan tahdzir dan hajr..?
Jawaban:
Adapun tahdzir,
kita lihat kesalahannya, tersebar atau tidak, jika kesalahan itu tersebar di
masyarakat, wajib atas kita untuk menasehati orang yang bersalah tadi, kita
katakan padanya: Anda salah, kesalahan Anda telah tersebar, maka kembalilah
kepada yang haq !!. Kita terangkan pada dia yang haq, sehingga hilang kesalahan
itu, karena rujuknya orang yang bersalah dari kesalahannya lebih baik daripada
tahdziran kita terhadapnya.
Contohnya:
kesalahan seorang pengajar di salah satu kelas, kita katakan pada dia : Syaikh
..mungkin Anda lupa atau keliru dan yang benar adalah begini, karena
murid-murid akan membawa kesalahan itu dari Anda, tidak diragukan lagi jika
guru tersebut merujuk kepada yang haq, maka dia akan bersumpah mengakui
kesalahannya. Maka hal ini akan menghilangkan kesalahan dan lebih mengena dalam
menasehati. Beda jika kita katakan: Pengajar itu salah dan mengatakan begini
dan begitu, terkadang bisa hilang kesalahan itu (dengan cara tersebut), tapi
hilangnya kesalahan itu tidak sama dengan rujuknya guru tersebut kepada al-haq,
maka jika kita mampu untuk menasehati dahulu, itulah yang harus dilakukan.
Jika ternyata
orang yang bersalah ini tidak mau kembali pada yang haq, dan kesalahannya
tersebar di khalayak ramai (masyarakat luas), maka kita wajib mentahdzir dia
dan kesalahannya tadi, tapi hanya sebatas tersebarnya kesalahan itu. Contohnya
jika seseorang berbicara pada suatu masyarakat atau kelompok tertentu dan salah
dalam ucapannya, maka kita tahdzir dia sebatas masyarakat atau kelompok dimana
orang itu berbicara dan tidak boleh kita masyhurkan orang tadi di seluruh kota
dan kita katakan: Fulan telah salah dan mengatakan begini dan begitu, karena
hal ini tidak akan mewujudkan mashlahat.
Dan maksud dari
tahdzir itu adalah untuk menghilangkan kesalahan yang ada pada masyarakat
sesuai sesuai dengan kadar tersebarnya kesalahan itu. Jika kesalahan itu
tersebar di suatu negara, maka tidak boleh kita tahdzir pula di negara lain,
jika kesalahan itu tersebar di sebuah kota, maka tidak boleh kita tahdzir di
kota lain. Contohnya juga kesalahan yang terjadi pada penuntut ilmu, bukan
suatu maslahat kita mengumpulkan orang awwam untuk mentahdzir dia, karena
mereka tidak mengetahuinya. Maka tahdzir itu harus sesuai dengan kadar
tersebarnya kesalahan.
Demikian juga
jika kesalahan itu di antara salafiyyin saja, kita tahdzir dia sebatas
salafiyyin, tidak boleh kita bawa ahli bidah serta memasyhurkannya, jika kesalahan
itu sampai pada kelompok tertentu, wajib kita tahdzir sebatas tersebarnya
kesalahan itu, dan jika kita tidak sampai pada kelompok tertentu, maka tidak
boleh membawa kesalahan itu pada mereka, karena mereka tidak tahu tentangnya.
Kemudian ketika
mentahdzir, kita harus membedakan antara kesalahan dengan orang yang berbuat
kesalahan. Adapun kesalahan kita katakan bahwa ini salah, dan adakalanya tanpa
menyebutkan pelakunya dengan mengatakan Fulan bersalah. Misalnya seseorang
bersalah dalam suatu masalah, maka terkadang tahdzir itu tidak perlu untuk
menyebutkan pelakunya, dengan kita katakana Yang benar dalam masalah ini adalah
begini dan begitu tanpa menyebutkan: Fulan salah atau kita katakan: Sebagian
orang atau sebagian penuntut ilmu telah mengatakan begini, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mengatakan:
Kenapa ada kaum yang melakukan begini dan begitu. Semuanya ini adalah tahdzir
dari kesalahan, tidak boleh kita mencela jika orang yang salah itu adalah
mujtahid dari ahlul-haq, apalagi mengecam dan menganggap sebagai ahlul bid’ah.
Adapun jika
kesalahan itu berasal dari ahlul bid’ah atau orang yang bahayanya telah
menyebar dan kita takut masyarakat terpengaruh dengannya, maka kita tahdzir dia,
karena kesalahannya tidak hanya sebatas dalam satu masalah saja, bahkan
kesalahannya telah begitu masyhur dan tersebar di antara manusia, kita katakan
pada orang-orang: Berhati-hatilah dari Fulan karena dia telah menyimpang dari
manhaj dan aqidah
Jika pelaku
kesalahan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga mencapai tingkatan yang
keterlaluan, kita boleh menyinggung pribadi dia dengan mengatakan: Fulan ahlul
bid’ah dan penyebar fitnah ini adalah termasuk nasehat, tapi semuanya ini tidak
dilakukan kecuali jika telah pasti bahwa orang tersebut salah, bukan
semata-mata dengan sangkaan, bukan pula nukilan isu yang kemudian lantas kita
sampaikan pada manusia, inilah batasan-batasan tahdzir.
Adapun masalah
hajr, berbeda sesuai dengan perbedaan maksudnya, ada hajr untuk mashlahat
dakwah, seperti menghajr ahlul bid’ah, pelaku kejahatan dan lainnya, ada pula
hajr untuk mashlahat haajir (yang menghajr), seperti orang yang takut akan
keselamatan diri dan agamanya jika bergaul dengan pelaku bidah dan kejahatan, maka
dia dalam hal ini menghajr untuk kemashlahatan dirinya sendiri, ada pula hajr
untuk kemashlahatan al mahjur (orang yang dihajr), artinya hajr itu terkadang
berpengaruh padanya sehingga diapun kembali kepada al-haq, maka hajr itu
berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan (situasi dan kondisi).
Adapun
batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan haajir (yang menghajr) adalah setiap
orang yang takut akan keselamatan diri dan agamanya jika dia bergaul dengan
fulan atau kelompok tertentu, maka wajib bagi dia untuk menjauhinya. Adapun
batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan al mahjur (yang dihajr), dilihat
keadaannya, apakah hajr itu akan bermanfaat bagi dia atau tidak. Karena hajr
itu bukan sesuatu yang harus sehingga setiap yang menyimpang harus dihajr, tapi
kita lihat apa yang lebih bermanfaat bagi dia, apakah yang lebih bermanfaat
bagi dia itu adalah hajr sehingga dia kembali pada sunnah ataukah yang lebih
manfaat itu adalah talif (pendekatan), tapi kita harus melihat beberapa hal-hal
yang lain:
[a]. Pengaruh
al haajir (orang yang menghajr), sebagian orang ada yang berpengaruh hajrnya,
seperti para ulama, pemerintah atau orang yang mempunyai kedudukan, adapun yang
hajrnya tidak berpengaruh, seperti teman kepada teman yang lain, terkadang
hajrnya tidak berpengaruh terhadap temannya itu, bahkan terkadang hajrnya itu
dipahami dengan yang tidak-tidak. Maka haruslah al haajir (orang yang menghajr)
itu mempunyai pengaruh terhadap yang dihajr.
[b]. Melihat
keadaan yang dihajr, apakah hajr itu berpengaruh pada dia atau tidak, jika hajr
itu malah membuat dia semakin sombong dan keras kepala, maka dia tidak layak
untuk dihajr. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: Nabi
shallallahu alaihi wasallam terkadang menghajr dan terkadang talif (melakukan
pendekatan).
[c]. Melihat
masa hajr, hajr itu harus bermanfaat dan sesuai dengan kesalahan. Berkata Ibnu
Qoyyim rohimahulloh: Hajr itu bagaikan obat, jika kelebihan dosis bisa membunuh
atau membahayakan, dan jika kurang tak akan bermanfaat. Maka masa hajr itu
harus sesuai dengan jenis penyimpangannya, jika kita melihat orang yang dihajr
itu kembali pada al-haq, maka tidak boleh kita menambah masa hajr, karena akan
membahayakan dia.
[d]. Melihat
keadaan masyarakat, jika masyarakatnya adalah masyarakat sunny dimana
mengakibatkan dia kembali pada al-haq, maka kita boleh melakukan hajr dalam
masyarakat itu, adapun jika masyarakatnya adalah masyarakat bid’ah yang mungkin
jika kita hajr orang itu akan diseret oleh ahlul bidah dan dibawa kepada
kesesatan yang lebih besar sehingga bertambah penyimpangan dia, maka tidak
boleh kita hajr. Jadi kita harus melihat keadaan masyarakat yang dilakukan hajr
di dalamnya, inilah batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika hendak
menghajr.
[e]. Sebelum
dan sesudahnya kita harus ikhlas semata karena Allah dalam menghajr, bukan
untuk keuntungan pribadi tapi untuk kemaslahatan syari, karena hajr itu
terkadang dilakukan untuk kemaslahatan dirinya, atau kemaslahatan yang
didakwahi, atau kemaslahatan dakwah secara umum dan kemaslahatan kaum muslimin.
Seperti ada seorang alim dan ahlul bid’ah, jika orang alim itu berhubungan
dengan dia, mungkin bisa bermanfaat bagi ahlul bid’ah itu, tapi di sisi lain
bisa jadi malah menjadi fitnah bagi masyarakat, sehingga mereka berkata: Orang
alim ini tidak akan berkunjung dan duduk dengan dia kecuali karena orang itu di
atas jalan yang benar. Maka orang (ahlul bid’ah tadi) harus dihajr untuk
kemaslahatan dakwah. Adapun orang yang lebih rendah kedudukannya dari alim
tadi, yang tidak berpengaruh terhadap masyarakat, maka boleh baginya untuk
mengajari dan berhubungan dengan ahli bidah tadi.
[Risalah
ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah)
dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)
Nasehat
Dalam Meghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin : Perbedaan Hajr Dan
Tahdzir
Oleh
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir
Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Terakhir
dari Tiga Tulisan [3/3]
[11].
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh adakah perbedaan antara hajr
dan tahdzir, jika ada perbedaan, apakah setiap orang yang kita tahdzir itu
harus dihajr ?
Jawaban:
Ya, ada
perbedaan, tahdzir adalah memperingatkan manusia dari kesalahan atau dari orang
yang bersalah, adapun hajr yaitu memboikot (mengucilkan) seseorang untuk
kemaslahatan baik itu kemaslahatan agama kamu atau kemaslahatan dakwah dan
ummat, tapi tidak setiap yang kita tahdzir itu harus dihajr. Terkadang teman
kita bersalah kemudian kita tahdzir dari kesalahannya dan tidak kita hajr, kita
katakan: si fulan seorang yang baik, mempunyai keutamaan dan ilmu, tapi dia
salah dalam masalah ini . Banyak para ulama yang mentahdzir kesalahan sebagian
ulama yang lain, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang
kesalahan sebagian ulama dalam beberapa masalah, beliau menjawab: Alim fulan
salah dalam masalah ini, tapi beliau tidak menghajr dia, tidak juga mencelanya,
tapi beliau menjelaskan kesalahannya, demikian pula para ulama sebelum beliau
ketika ditanya tentang suatu masalah, mereka menjawab: ini salah, tapi tidak
mengharuskan orang yang salah itu dihajr.
[12].
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh seberapa jauh kebenaran
perkataan bahwa fulan ikhwany tapi aqidahnya salafy, atau tablighy tapi
aqidahnya salafy, jika perkataan ini benar, lantas apa makna perkataan itu ?
Jawaban:
Ikhwanul
Muslimin mempunyai penyimpangan yang banyak dalam aqidah, termasuk kesalahan
mereka yang paling besar dalam manhaj adalah menyatukan manusia (tanpa memilah
aqidah) dan kaidah mereka yang salah yaitu saling memberikan udzur sesama kita
dalam hal-hal yang diperselisihkan, dan bersatu dalam hal-hal yang kita
sepakati, ini sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah waljamaah. Jamaah
Tabligh pun mempunyai banyak kesalahan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan fulan
manhajnya tablighy tapi aqidahnya salafy. Karena aqidah dan manhaj ahlussunnah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan, aqidah dan manhaj tidak mungkin dipisahkan
satu sama lainnya, tapi (jika seorang sunny) salah, kita katakan: fulan salah
dalam masalah ini tapi dia masih di atas pokok-pokok ahlussunnah, seperti
halnya kita katakan murjiah fuqoha, maknanya bahwa mereka adalah fuqoha dan ahlul
ilmi serta murjiah ahlussunnah, artinya dia ahlussunnah, tapi dalam masalah ini
dia salah, ini bisa dikatakan jika kesalahannya bersifat juziy (cabang).
Adapun jika
fulan menyimpang dari manhaj secara keseluruhan, tidak bias kita katakan: dia
manhajnya begini tapi aqidahnya begini, tapi kita harus mengetahui bahwa aqidah
ahlussunnah dan manhajnya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
[13]. Pertanyaan
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullohu khairan atas nasihat ini, sekarang
kami merasa sangat kurang dalam usaha untuk mendamaikan antara ikhwah apalagi
dalam berdoa untuk kebaikan mereka, terutama mendoakan orang yang menyelisihi
kami agar mendapatkan hidayah, juga masalah niat, terkadang ketika menasehati,
kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena tujuan duniawi, maka apakah nasihat
Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam menjaga niat mereka serta
keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya ?
Jawaban:
Wajib bagi
setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam amalannya, manusia
dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dirinya. Sebelum
kita berusaha untuk mendamaikan dan memberikan petunjuk (hidatul irsyad, peny.)
pada manusia, kita harus berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini tidak bisa
kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena Allah semata serta
menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa Allah
senantiasa mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat itu
tersembunyi, sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan
memperlihatkan nasihat, padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita:
Dan apa yang
kalian perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian Allah akan hisab kalian.
[Al-Baqarah: 284], maka wajib atas setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya.
Kaum Salaf
sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya
akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam: Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang paling banyak
menyakiti Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika dia mati, anaknya, yaitu
Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallahuanhu (dan dia adalah seorang
sahabat) datang pada Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Nabi shallallahu
alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya, Nabipun bergegas untuk memohonkan
ampun baginya, tapi Umar radhiyallahuanhu melarang beliau, kemudian Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda: Aku dilarang untuk memohonkan ampun
mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku akan mohon lebih dari tujuh puluh
kali, kemudian turunlah ayat:
Janganlah
kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah
dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. [At-Taubah: 84] [lihat
Shahih Bukhari 1/427 no. 1210 dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400. pent]
Lihatlah
bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seorang munafik
yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah beliau, beliau katakan:
Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali, karena besarnya
keinginan beliau shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada
manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Taala
Wajib atas
setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di bumi-Nya, dan senang
bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan
penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu senang jika
Allah ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika kamu
cinta pada seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan
dibicarakan kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain
maka ini bukan nasihat karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah
ditaati dan tidak dimaksiati, sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang
jika mereka beriman.
Karena itu kita
harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada ikhwah kita.
Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada
ayahnya: Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali yang
mendidih di jalan Allah, artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh
minyak atau air yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah,
dan ini adalah nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk
mengikhlaskan amalannya karena Allah.
Termasuk dari
contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang terjadi pada
Ali radhiyallahuanhu dalam perang tanding sebelum dimulainya peperangan, beliau
mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke tanah, ketika beliau hendak
memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu meludahi muka beliau, maka
beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya mengapa anda tidak
membunuhnya. Jawab beliau: Tadinya saya ingin membunuhnya karena Allah, tapi
orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika saya
membunuhnya karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah), lihat bagaimana
salaf menahan diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan
kecuali dengan muroqobah (merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri
dengan baik. Ini semua berasal dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah
tahu kejujuran niat dan keikhlasannya, Allah pun melindunginya dari segala
sesuatu.
Maka dari itu
sangat sulit bagi seseorang untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya
dalam keadaan seperti ini. Lihatlah ! Beliau tidak senang untuk membunuh orang
kafir itu setelah beliau mampu mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan
jihad. Salah seorang dari kita bisa saja untuk mengatakan: saya membunuh karena
Allah, padahal pada dirinya ada niat lain yang tersembunyi, dia membunuhnya
kerena kepentingan pribadi. Maka merupakan keharusan bagi kita untuk
mengikhlaskan niat karena Allah serta mendoakan saudara-saudara kita, dan
memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam dan pada waktu-waktu
dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap berbicara dan berbuat
hanya karena Allah semata, kita ikhlas ketika berbicara, ikhlas ketika diam,
ikhlas ketika uzlah (mengasingkan diri), sehingga dalam keadaan bagaimanapun
kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika kita kehilangan niat ikhlas
mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya-, walaupun kita berbicara haq,
memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta terwujud kebaikan,
sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia, karena tidak
terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah hadits Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya
pada hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan, dan seluruh
manusia berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang membaca
Al-Quran, orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai banyak
harta. Allah berfirman kepada pembaca Al-Quran: bukankan Aku telah ajarkan
padamu apa yang Aku turunkan pada Rasul-Ku? jawab orang itu: benar ya Robbi,
firman-Nya: apa yang kamu amalkan? orang itu menjawab: saya membacanya siang
malam, firman-Nya: bohong.!! Kata malaikat: kamu bohong!! firman-Nya: kamu
membacanya karena ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu. Kemudian
didatangkan orang yang mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya:
bukankan Aku telah meluaskan rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun?
jawabnya: benar ya Robbi, firman-Nya : Lantas apa yang kamu amalkan dengan
pemberianku itu?, jawabnya: dulu saya menyambung silaturahmi dan bersedekah,
firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu
berinfaq karena ingin disebut dermawan dan telah dikatakan padamu. Kemudian
didatangkan orang yang terbunuh di jalan Allah, Allah berfirman padanya: Apa
yang kamu perangi?, Jawabnya: Saya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu,
saya pun berperang hingga terbunuh, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat:
kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berperang karena ingin disebut pemberani dan
telah dikatakan padamu.. Berkata Abu Hurairah radhiyallahuanhu : Kemudian
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memukul lututnya seraya bersabda: Tiga
orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali untuk mereka.
Yang perlu kita
garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam waqad qiila ini
menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di dunia sebagai alim atau dermawan
atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut atas diri kita,
terkadang orang mengatakan tentang kita: fulan alim, atau fulan ahlussunnah,
dan Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam keadaan ini,
karena jika niat dimasuki riya akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh
makhluk (pada hari kiamat): kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan
sudah dikatakan begitu (di dunia), sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara
yang sangat berbahaya. Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan
dalam perkataan dan perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia
pun kecuali dia lemah, tapi apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas,
kesungguhan dan kesabaran seorang hamba, maka Allah akan memberinya taufiq,
sebagaimana dalam hadits:
“Artinya :
Senantiasa seorang hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan
sunnat) sehingga Aku mencintainya. [Hadits iwayat Bukhari 5/2384 no. 6137. Pent]
Dan sebagai
pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan memperbanyak amal shalih dan
ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, karena
ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan
amal, maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu:
Hubungilah ilmu
dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika tidak, maka
ilmu itu akan pergi.
Ketika kamu
semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka Allah akan melindungimu dari
fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir dan amalan baik, (Allah akan
melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu mempunyai kedudukan
tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam hadits qudsi: Jika seorang
hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku mencintainya, maka Aku
pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia melihat
dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan
dengannya. Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang yang ingin
selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah, inilah yang
bermanfaat.
Demi Allah !!
ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa saja kamu orang yang paling alim tapi
kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu tidak bisa mengambil manfaat kecuali
dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta istiqomah dalam ketaatan. Karena itu
jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat ketika fitnah melanda ummat dan
manusia? Ulamalah yang selamat, tapi apakah mereka selamat karena ilmu saja ?
Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah, Allah melindungi mereka
karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah itu para ulama-ulama suu (jelek)
dan orang-orang yang berbuat karena riya, kita berlindung kepada Allah dari hal
ini, karena seseorang terkadang menjadi hina disebabkan amalannya. Inilah
kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk sungguh-sungguh
melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri kita, apakah kita
akan mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita memperbaiki
rumah orang sementara rumah kita roboh ?
Kita perbaiki
hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi oleh Allah, sibukkanlah diri
kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu sungguh besar, sungguh
berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab, Allah akan menghisab
setiap orang apa yang ada pada dirinya Pada hari diperlihatkan seluruh rahasia
[At-Thoriq: 9]. Akan diperlihatkan pada kita catatan amalan kita yang bagaikan
gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah kemudian dikatakan ini
(amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah dan tidak tersisa
(dari amalan) kecuali amalan yang karena Allah.
Kita doakan
saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika melihat kesalahan maka kita
katakan: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari kesalahan yang
menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di atas kebanyakan
makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar, kita mohonkan bagi mereka hidayah dan
kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan seorang pasien, sebagaimana
kata Ibnu Taimiyah: Ahlul bidah itu bagaikan orang sakit, maka bolehkah kita
memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita melihat orang yang
buntung tangannya, apakah kita perolok ? Orang yang berakal tak akan
melakukannya. Mereka (ahlul bidah) itu fitnahnya lebih besar, karena mereka
diuji dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan kasihanilah
dia, jangan kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan
kesalahannya, tapi kita mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan
menyelamatkannya dari apa yang sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan
kepada Allah dari musibah ini.
[14].
Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim
bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullahu khairan mudah-mudahan Allah
memberikan kebaikan pada Anda di dunia dan akhirat, apakah point-point penting
dari nasihat tadi ?
Jawaban.
Point-Point
Penting Dari Nasihat Tadi Adalah:
[a]. Mengikhlaskan
niat karena Allah dalam perkataan dan perbuatan.
[b]. Menambah
bekal ilmu syariat serta mengetahui apa yang bermanfaat bagi kita, dan ilmu itu
ada yang wajib hukumnya ada juga yang sunnat, maka kita memulai dari apa yang
Allah wajibkan atas kita, kemudian baru yang sunnat.
[c].
Memperbanyak ketaatan dan istiqomah dalam ketaatan pada Allah.
[d]. Menjauhi
bidah dalam perkataan dan perbuatan kita.
[e].
Mempersedikit majelis yang tidak ada manfaatnya, bahkan menjauhi majelis
tersebut dan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah. Setiap majelis yang
mendekatkan diri kita kepada Allah, kita duduk di dalamnya, dan setiap majelis
yang menjauhkan diri kita dari Allah kita jauhi. Ini adalah hal yang dapat
dirasakan oleh setiap orang, terkadang kamu merasa imanmu berkurang setelah
bangkit dari suatu majelis, tapi sebagian majelis lagi justru sebaliknya malah
menambah keimanan. Maka duduklah di majelis seperti itu.
Demikianlah .
Saya memohon pada Allah agar memberikan taufiq pada kita semua, shalawat dan
salam serta barakah semoga tercurah atas Nabi shallallahu alaihi wasallam .
[Risalah ini
disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan
Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)]
Nasehat Dalam
Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin
Adab Menasehati Dalam Islam
Kewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi
Kita Dalam Suatu Masalah Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily mengatakan :
1.Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali
dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)
2.Tatsabut dan
meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita harus
meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.
3.Kembali kepada
nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman generasi sahabat, dan jika ada
problem pada kita, kembalilah kepada ulama.
4.Jika kita telah
yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan
mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan,
tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan
oleh nash-nash yang mengatakan begini.
Adapun
langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran
maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah
dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..
Jadi Kewajiban
Kita Adalah :
1.Mengingkari
kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan
hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini
adalah kewajiban setiap muslim
2.Setelah itu kita
melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari dengan
lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada ulama-ulama
besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara
merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut
ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan
fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang,
apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli
ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta untuk
menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk
tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang
ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat
begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia
(al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud
pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.
3.Kemudian
tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini
adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin
negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari
murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya,
demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah
sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang
lebih besar dengan pengingkaran itu.
Adapun jika
kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada
pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak
boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka
apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !?
Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada
mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan
kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas
kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga
keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan
tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan
tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam
mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar,
maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan
kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau
mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih
besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi).
Hujjah itu tegak
apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu
sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa
kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui
kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang
meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu
hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada
dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.
Tapi terkadang
orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa
meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia
tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat
karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam
ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu
kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses
yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil,
yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan
kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia,
adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya
hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan
pada dia.
Penilaian tentang
tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar,
dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang yang
menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita
memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang
menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita
tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa
kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan
oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa
tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah
kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak
dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta
menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan
yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham
tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada
waktu itulah kita dapat menghukuminya.
Sebagian orang ada
yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang yang
tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan
dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang
keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada
Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui
batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu
bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan
untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali
dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat
orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah
itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang
yang bersalah.
Juga seorang alim
yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang
ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya,
maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu
masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan
di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu
hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada
Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan
Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya.
Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun
minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua
orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang
seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau
keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah
darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap
hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan
udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
Dan ketidakfahaman
dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu tingkatan) dalam
hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad
diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun
minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda
antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah
dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam hal
ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan. Ketika
Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa
Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk
mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi
ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat
ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum
muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib
radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas,
sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk
fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya
yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan
dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan
beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394
–pent)
Kerena syubhat itu
menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus kita
minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya,
kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya
bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab
syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.
Sumber :
Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
(Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs
Universitas Islam Madinah)