[Video] Nasehat Dari Ulama Kepada Da’i
Salafy: Waspadalah Senang Untuk Tampil Di Televisi (YouTube), Sarana Berbahaya
Memaparkan Diri Kepada Fitnah Ketenaran
Meneladani
Para Ulama dalam Membaca dan Menulis
Ketika menyaksikan deretan buku yang saya
miliki, saya menjadi semakin kagum dengan para ulama penulis buku-buku itu.
Terutama ulama-ulama zaman dulu semisal Imam Ath-Thabari, Imam Al-Ghazali, Imam
Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu
Katsir, dan Imam Al-Qurthubi.
Mereka telah menulis ratusan hingga
ribuan judul dan satu judulnya ada yang mencapai ratusan jilid buku. Imam
Ath-Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri
selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya,
murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak
beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar
yang beliau tulis setiap hari.
Abu Ishaq asy-Syairazi telah menulis 100
jilid buku. Imam Ibnu Taimiyah menyelesaikan setiap buku dalam waktu satu
minggu. Beliau pernah menulis satu buku penuh dalam satu kali duduk. Dan
bukunya telah dijadikan referensi oleh lebih dari 1000 penulis.
Imam Ibnu al-Jauzy telah menulis 1000
judul buku dan satu bukunya ada yang mencapai 10 jilid. Kayu bekas penanya bisa
dipakai untuk memanaskan air yang dipakai untuk memandikan jasadnya ketika
meninggal.
Termasuk semangat yang menakjubkan pula
adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di
dunia yaitu al-Funun. Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian
mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam
adz-Dzahabi berkata: "Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar
darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz
yang empat ratus lebih dari kitab tersebut."
Bisa Anda bayangkan betapa banyaknya
tempat untuk meletakkan buku yang mereka tulis. Tidak perlu memiliki buku dari
semua ulama yang saya sebut, satu saja di antaranya. Apakah kita memiliki buku
di atas seratus? Dua ratus? Tiga ratus? Mungkin akan ada yang menjawab, tidak!
Saya hanya memiliki buku puluhan saja. Yang lain lebih parah lagi, hanya
memiliki belasan buku.
Bagaimana kita bisa mengisi hari-hari
dengan ilmu jika buku yang kita miliki saja hanya puluhan atau bahkan belasan?
Bagaimana kita bisa lebih semangat beramal saleh jika kita tidak berdekatan
dengan buku? Para ulama itu tidak mungkin mampu banyak menulis dan beramal
kecuali mereka mengoleksi banyak buku untuk mereka baca.
Berikut ini beberapa fakta yang dahsyat
betapa banyaknya para ulama membaca buku:
Seorang tabib datang mengobati Abu Bakar
Al Anbari (ilmuwan Islam yang banyak menulis buku), ketika sakitnya sudah
teramat kritis. Kemudian tabib itu memeriksa air seninya, lalu berkata: “Tuan
telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun, sebenarnya
apa yang telah tuan lakukan?” Al-Anbari menjawab: “Aku baca setiap pekan
sebanyak sepuluh ribu lembar.” (Washaaya wa Nasha’ih li Thalibil Ilmi, hlm. 14)
Syaikh Abdul Adim bercerita tentang Ishaq
bin Ibrahim Al Muradi: “Saya belum pernah melihat dan mendengar orang yang
lebih banyak kesibukannya, melebihi Ishak Al-Muradi. Beliau senantiasa terbenam
dalam kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Saya bertetangga dengan
beliau. Rumah beliau dibangun setelah duabelas tahun rumahku berdiri. Setiap
kali saya terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam
rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan sewaktu makan
beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.” (Imam Nawawi, Bustanul
Arifin, hlm. 79)
Imam Asad bin Furat bercerita tentang
dirinya yang berguru pada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani: “Pada aktu itu
aku tinggal di bangsal sebuah rumah yang atasnya didiami oleh Imam Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani. Setiap kali beliau turun “memperdengarkan ilmu” kepadaku,
dan beliau menaruh sebuah cawan berisi air di depannya. Kemudian beliau mulai
membaca. Apabila malam semakin larut dan beliau melihatku terserang kantuk,
maka beliau mengambil air dengan tangan beliau dan dipercikkan ke wajahku
sehingga aku pun terjaga. Begitulah yang selalu kami lakukan tiap hari, sehingga
aku memperoleh apa yang aku maksudkan, yakni bekal ilmu dari beliau.” (Adz
Dzahabi,Tadzkiratul Huffadz, hlm. 21).
Imam Ibnu Aqil Al-Hanbali, seorang pakar
bahasa berkata: “Sungguh tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat pun
umurku, bahwa ketika mulutku sudah tidak aktif bermudzakarah atau munadzarah,
dan penglihatanku tidak kugunakan untuk menelaah, maka aku tetap mengaktifkan
pikiranku, di saat aku sedang istirahat.”(Thabaqatul Hanabilah, jilid 1, hlm.
146)
Imam Fakhruddin Ar Razi, seorang ahli
filsafat, tafsir, logika, dan kedokteran berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku
menyayangkan waktu yang hilang tidak disibukkan untuk menimba ilmu, dan bahkan
waktu makan; karena waktu dan zaman teramat agung.” (Al Kanani, Tadzkiratus
Saami’ wal Mutakallim, hlm. 72)
Istri Imam Zuhri berkata tentang suaminya
(seorang ahli hadits ternama, guru para Imam Madzhab): “Demi Allah,
sesungguhnya kitab-kitab ini sangat menyakitkan saya sebagai seorang istri,
melebihi sakit hatiku bila dimadu dengan tiga orang istri.” (ibid, hlm. 32)
Imam Al Juwaini, guru dari Imam Al
Ghazali berkata: “Aku biasa tidak tidur dan makan. Aku tidur hanya bila kantuk
menguasaiku baik malam maupun siang, dan aku makan hanya bila aku berselera,
pada waktu apa pun. Kelezatan dan hiburan adalah sewaktu mengingat-ngingat ilmu
dan mencari faedahnya dari ilmu macam apa pun.” (Dr. Nashir bin Sulaiman
Al-Umr, Al-Ilmu Dharurotun Syar’iyyah)
Ya, membaca dan menelaah ilmu telah menjadi kelezatan dan
hiburan bagi mereka. Seperti sebuah buku yang berjudul "Andaikan buku itu
sepotong pizza" atau apapun makanan yang kita sukai kita akan melahapnya
sampai habis. Sampai sisa-sisa makanan pada jaripun ikut kita jilat.
Bila kita melihat sebuah buku yang menarik perhatian
kita, jangan sungkan-sungkan untuk membacanya. Bila waktu kita sangat singkat
di toko buku namun kita masih ingin membacanya, jangan pelit untuk membelinya.
Bila di dalam sebuah buku terdapat secercah cahaya hidayah, sungguh hidayah itu
sangat mahal harganya. Buku adalah investasi bagi kita. Ia tidak
meminta tetapi selalu ingin memberi.
Banyaknya Karya
Ulama dalam Tulisan
Bagaimanakah
semangat para ulama dalam menulis? Ternyata mereka bisa menghasilkan
beribu-ribu lembar bahkan jutaaan lembar. Ini karya mereka bagi umat Islam.
Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis
kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil
Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah
menulis 584.000 lembar.
Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al
Baghdadi (wafat: 513 H) –manusia
tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun
dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu,
ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000
juz.
Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin
Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis
2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz
Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal
beliau dalam berkarya.
[Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad
Al Muqoddam]
Coba lihat bagaimana semangat para ulama dalam menulis.
Artinya, mereka setiap saat selalu menyibukkan diri mereka dengan ilmu. Lihat
saja Ibnul Jauzi, hasil karya beliau saja 2000 jilid. Belum lagi beliau
membaca, ternyata telah mencapai 20.000 jilid yang dibaca. Kalau kita
perkirakan 1 jilid adalah 300 lembar. Berarti yang telah dibaca oleh Ibnul
Jauzi sekitar 6 juta lembar dan yang telah ditulis kisaran 600 ribu lembar.
Bayangkan saja bagaimana semangat mereka dalam memanfaatkan waktu? Sungguh, di
dalam kisah mereka yang sudah tiada terdapat teladan bagi kita yang masih
hidup. Marilah kita menorehkan karya besar untuk umat Islam saat ini.
Jadilah orang yang manfaat bagi manusia.
Dalam hadits disebutkan,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ
لِلنَّاسِ
“Manusia yang paling dicintai di sisi
Allah adalah yang banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain.” (HR. Thobroni
dalam Mu’jam Al Kabir, 12: 453).
Di antara faedah menulis bagi kita:
Menulis semakin menjaga ilmu.
Menulis semakin menambah ilmu.
Menulis semakin membawa faedah bagi orang
banyak.
Menulis adalah bagian dari berdakwah
dengan tulisan.
Semoga kita menjadi orang yang banyak
memberikan jasa pada umat Islam di jagad raya.
@ Warung Makan Hercules, Pogung Kidul,
Utara Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, 1 Rajab 1434 H
Rahasia Dibalik
Produktivitas Menulis Para Ulama
Jika kita membaca sejarah kehidupan para
ulama, akan kita dapatkan produktivitas mereka dalam beramal saleh. Mereka
adalah ahli ibadah, juru dakwah, rajin menuntut ilmu, ditangan mereka
kitab-kitab bermutu ditulis. Bagaimana mereka bisa sehebat itu? Di sepertiga
malam mereka bangun untuk qiyamul lail, setelah itu mengerjakan shalat shubuh
dan berdzikir hingga waktu dhuha. Setelah itu mereka mengajar atau menulis
kitab. Di malam harinya mereka beribadah, membaca buku, atau menulis kitab. Jika
ada waktu luang, mereka tidak pernah habiskan untuk hal yang tidak bermanfaat.
Subhanallah, di antara mereka terdapat
nama Imam Ibnu al-Jauzy, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyah,
Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani,
dan sebagainya. Jika mereka beribadah, sungguh sangat lama sekali; ruku’,
sujud, dan berdirinya lama. Jika mereka sedang membaca kitab, mereka
berkonsentrasi penuh sehingga kitab itu seolah telah memutuskan dirinya dari
dunia luar. Jika mereka berdakwah, ratusan hingga ribuan orang asyik mendengar
ceramahnya. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu satu jam atau dua jam saja, tetapi
dari pagi hingga sore dengan ketekunan yang luar biasa. Di antara mereka ada
yang telah menulis puluhan hingga ratusan buku. Imam Jalaluddin as-Suyuti
dikabarkan telah menulis 600 jilid. Imam Ibnu Taimiyah dikabarkan telah menulis
500 jilid. Sementara Imam Abu Bakar al-Anbari telah menulis 400 jilid.
Subhanallah, sungguh sangat banyak karya tulis yang telah mereka buat.
Ibnu Aththar berkata, “Guru kami
an-Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah sama sekali
menyia-nyiakan waktu, tidak di waktu malam atau siang bahkan sampai di jalan
beliau terus dalam menelaah dan menghafal.”
Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang Imam
Ibnul Qayyim, “Beliau seorang yang bacaan al-Quran serta akhlaknya bagus,
banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang.
Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga
banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau
rahimahullah tetap tidak bergeming.”
Imam Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau
rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlak shalihah. Jika telah
usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untukdzikrullah
hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah
acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan
runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa
beban, maka akan didapat kedudukanimamah dalam hal din (agama).’”
Pada zaman itu, memperoleh buku sangatlah
susah. Tidak seperti zaman sekarang. Di zaman sekarang, kita kebanjiran
informasi. Seolah kita tidak perlu lagi mencari informasi, tetapi informasilah
yang mencari kita. Dulu, kita hanya mengenal kuda dan unta untuk kendaraan
darat, sekarang kita mengenal motor dan mobil. Jika dipikir-pikir, seharusnya
zaman sekarang ini, kita dapat lebih produktif dalam berkarya. Jika kita
menulis, maka karya tulis yang kita buat seharusnya lebih banyak daripada para
penulis zaman dahulu. Bukan sebaliknya! Zaman sekarang ini kita serba cepat
tapi lemah; ilmu cepat hafal tapi cepat pula hilangnya. Kita mengenal metode
belajar cepat ala quantum learning dan accelerated learning. Kita dimanjakan
oleh berbagai kemudahan yang pada akhirnya akar jati diri dan pengetahuan kita
yang seharusnya menghujam ke bumi, tidak kuat, sehingga kita menjadi malas,
mudah lupa, dan terkesan menunda-nunda pekerjaan.
Zaman dulu tidak ada komputer. Buku-buku
yang mereka buat ditulis tangan. Kalau tidak karena ketekunan yang luar biasa,
menulis dengan cara kuno seperti itu akan memakan waktu yang sangat lama. Kita
membuat sebuah buku dengan mengetik di komputer saja sudah sangat lama, apalagi
kita harus menulis buku dengan tulisan tangan! Bagus kalau dapat dibaca, tapi
kalau tidak, bagaimana? Siapa yang mau membaca tulisan yang amburadul itu, yang
penuh dengan coretan dan koreksian di sana-sini? Bagaimana mungkin pembacanya
dapat mengerti? Mungkin memegang bukunya saja sudah tidak mau, apalagi
membacanya!
Dahsyatnya
Semangat Belajar Imam Ath Thabari
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari
rahimahullahberkata, "Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang
ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah
dikuasainya. Pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang
sebagian tertentu dari ilmu Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang
ilmu tersebut. Akhirnya, aku katakan kepadanya, Aku tidak bisa bicara, karena
hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi
datanglah besok dan temui aku. Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil
Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku
telah menjadi seorang ahli Arudh.''
Sungguh luar biasa Imam Ath-Thabari mampu
memahami ilmu Arudh (tentang syair) hanya dalam waktu semalam!
Setidaknya ada 3 pelajaran yang saya
dapatkan dari penuturan beliau di atas: Pertama, beliau tidak mengatakan apa
yang beliau tidak ketahui. Maka, beliau pun menjawab tidak tahu ketika
seseorang bertanya tentang sesuatu yang belum beliau ketahui. Ini adalah
kejujuran sekaligus kerendahan hati beliau.
Kedua, beliau memberi kesempatan si
penanya untuk datang besok. Kata-kata yang keluar dari lisan beliau ini
menunjukkan kesungguhan dan tekad yang kuat untuk menguasai ilmu yang
ditanyakan si penanya. Setelah itu, beliau benar-benar menghabiskan waktu yang
pendek itu untuk memahami ilmu tersebut. Pada saat itu mungkin
beliau tidur sebentar atau tidak sama sekali.
Ketiga, keadaan para ulama yang sibuk
dengan ilmunya terutama di zaman keemasan Islam menunjukkan bahwa mereka sangat
kaya ilmu. Mereka ibarat tambang yang terus digali dan diambil manfaatnya. Bila
memahami satu ilmu saja bisa dikuasai dalam satu malam, bagaimana dengan waktu
mereka yang tersisa dalam hidup mereka, berapa banyak ilmu yang pasti telah
mereka kuasai? Tidaklah mengherankan jika para ulama pada saat itu seperti
ensiklopedia yang berjalan. Mereka menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan.
Selain menguasai sejarah, tafsir
Al-Qur'an, fikih, ushul fikih, dan hadits, Imam Ath-Thabari juga menguasai ilmu
kedokteran. Pernah suatu ketika beliau meminta seorang dokter untuk mendiagnosa
sakitnya. Sang dokter yang diminta malah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak
lebih pandai dalam ilmu kedokteran dari pada dirimu wahai Imam Besar.” Al
Washaya adalah salah satu kitab kedokteran yang beliau tulis.
Bahtera
Pena Para Ulama
Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala
Rasulillah wa ba’du :
Umat Islam mencapai kejayaannya, manakala
para generasinya bekerja keras, tanpa kenal lelah untuk menggapai cita-citanya.
Hal ini terbukti pada zaman keemasan Islam di mana para ulama telah menorehkan
berbagai karya agung yang mereka toreh dengan keringat, air mata dan darah
mereka. Karya-karya besar mereka sebagiannya sudah sampai kepada kita, sehingga
kita bisa ikut merasakan manfaatnya yang begitu besar khususnya di dalam
memahami ajaran agama kita.
Sebagai generasi yang datang terakhir,
hendaknya kita mengambil pelajaran dari karya-karya tersebut, bagaimana mereka
menorehnya, bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan yang besar tersebut, padahal
kemampuan mereka sebagai manusia bisa dikatakan sama dengan kemampuan kita.
Tetapi mereka bisa membuktikannya, sedang kita belum bisa membuktikannya. Apa
yang membedakan antara mereka dengan kita ? Bukankah mereka adalah manusia yang
juga makan dan minum sebagaimana kita makan dan minum ? Bahkan pada masa mereka
sarana kehidupan sangat sederhana dan terbatas, sedang sarana kehidupan kita
saat ini sangat banyak, beragam dan serba canggih ?
Dalam tulisan berikut ini, akan kita
temukan bahwa mereka mampu berkarya, karena mereka mempunyai kemauan yang kuat
dan cita-cita yang tinggi. Mereka benar-benar mengejar cita-cita tersebut
dengan keringat, air mata dan darah. Mereka tinggalkan segala bentuk kesenangan
yang membuaikan dan meninakbobokan, mereka tiggalkan segala bentuk permainan
dan senda gurau yang melupakan, mereka tinggalkan segala bentuk kegiatan yang
tidak mendukung cita-cita mereka. Mereka kerahkan seluruh potensi yang ada di
dalam diri mereka, mereka bekerja semaksimal dan seoptimal mungkin. Mereka
sangat menghargai waktu, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam untuk
meraih cita-cita tersebut.
Tiada kata berhenti di dalam hidup
mereka, tiada kata istirahat di dalam kegiatan mereka. Mereka terus bekerja,
bergerak dan berkarya sampai ajal menyemput mereka. Salah seorang dari mereka,
yaitu Imam Ahmad ketika ditanya oleh kawan-kawannya ; “ Wahai Imam…kenapa anda
terus menerus belajar ? kenapa tidak istirahat sejenak ? “ . Beliau menjawab :
“ wahai teman, istirahatnya nanti ketika kita di syurga “
Tak ayal karya-karya mereka telah
memenuhi bumi ini, bagaikan udara yang memenuhi seluruh ruangan. Ibnu Aqil salah
satu dari mereka yang memiliki karya tulis yang beraneka ragam dan yang paling
spektakuler adalah kitab “ Al-Funun “, sebuah ensiklopedia yang memuat beragam ilmu yang sangat berharga,
terdapat di dalamnya berbagai macam nasehat, tafsir, fiqih, ushul fiqih,
aqidah, bahasa Arab, sya’ir, sejarah,
bahkan juga hikayat. Kitab “
Al-funun “ ini terdiri dari 800 jilid.
Kitab ini hanya salah satu karya beliau saja. Beliau juga mempunyai karya-karya
lain yang sangat banyak. . Berkata Imam Ad- Dzahabi : ” Belum ada buku di dunia
ini yang lebih tebal dari buku ” Al Funun ” .
Lain lagi dengan Ibnu Jauzi, seorang
ulama yang menulis berbagai bidang ilmu dan buku-bukunya yang sangat banyak
menghiasi perpustakaan Islam. Dalam kitab Tatimmatul Mukhtashor fi Akhbaril
Basyar, Ibnul Warid mengatakan : “ Bila
lembaran-lembaran buku yang berhasil ditulis oleh Ibnul Jauzi dikumpulkan, lalu
dikalkulasi dengan umur yang beliau miliki, maka ditetapkan bahwa beliau
menulis dalam sehari sebanyak sembilan buah buku seukuran buku tulis.” Diceritakan juga bahwa bekas rautan pena
Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan
mayat beliau, itupun masih tersisa. Setelah diadakan kalkulasi judul-judul
tulisannya, ternyata karya Ibnul Jauzi mencapai 519 buku. Al-Muwafiq mengatakan
bahwa Ibnul Jauzi senantiasa menulis dalam sehari setara empat buku tulis.
Seorang ulama mutakhirin Imam Muhammad
bin Ali, atau yang lebih terkenal dengan Asy-Syaukani, pengarang kitab “ Nailul
Authar “ adalah seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul
fiqh. Beliau dilahirkan pada tahun 1173 H di daerah Syaukan bagian dari wilayah
Yaman, dan wafat tahun 1250 H. Beliau mewariskan 114 karya tulis.
Imam Abdul Hayyi Al-Laknawi Al-Hindi yang
baru wafat sekitar 100 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1304 H. Dalam umurnya
yang ke 39 tahun, tulisan beliau telah mencapai 110 kitab.
Syaikh India Maulana Hakimatul Ummah
Asyraf Ali At-Tahanawi, yang wafat tahun 1362 H dalam usia 81 tahun. Beliau
telah menghasilkan 1000 buah karya.
Kisah-kisah di atas menunjukkan kepada
kita betapa besar dan banyaknya karya tulis mereka. Bisakah kita sebagai
generasi penerus mengikuti jejak mereka ?
Menulis Apa Yang Ada Di Benak
Para ulama menulis apa saja yang mereka
dapatkan, dan menulis apa saja yang mereka miliki. Mereka tidak mau ilmu yang
pernah mereka dapatkan berlalu begitu saja. Bahkan apa yang terlintas di dalam
benak mereka, segera mereka tulis jangan sampai hilang, karena di dalamnya
mengandung ide-ide yang cemerlang, sayang kalau dibuang begitu saja, karena
kadang-kadang ide-ide tersebut tidak datang lagi. Lihat umpamanya
Imam Bukhori, beliau pernah bangun dari
tidurnya di suatu malam. Dia pun menyalakan lampu dan mencatat ilmunya yang
terlintas di benaknya, lalu ia mematikan lampu kembali. Kemudian ia bangun lagi
dan melakukan hal yang sama. Demikian, sampai hal itu terjadi kurang lebih dua
puluh kali.
Muhammad bin Yusuf berkata, “Suatu malam,
aku berada di rumah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori. Aku memperhatikannya bangun,
lalu ia menyalakan lampu untuk mengingat sesuatu, dan mencatatnya sebanyak
delapan belas kali.”
Isma’il bin Ayyasy salah seorang ulama
besar, ketika sedang sholat, beliau sempat menghentikan shalatnya, sekedar
untuk menulis hadits. Beliau bercerita : “ Saat itu aku sedang shalat, maka aku
pun membaca beberapa ayat. Lalu aku teringat sebuah hadits dalam salah satu bab
yang aku keluarkan. Maka aku pun menghentikan shalat, lalu aku segera menulisnya, dan kemudian aku
kembali shalat.”
Suatu ketika Syaikh Alauddien masuk ke
kamar mandi yang berada di pintu Az-Zahumah. Ketika di pertengahan mandi,
beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat melepas pakaian pakaian. Beliau
minta diambilkan tinta, pena dan kertas. Lalu beliau langsung menyusun tulisan
dalam soal denyut nadi hingga selesai. Setelah itu beliau kembali ke kamar
mandi dan menyempurnakan mandinya.”
Luar biasa bukan ? Bisakah kita mengikuti
jejak mereka ? Saya teringat dengan kata-kata pepatah orang-orang dahulu :
إذا كانت النفوس كبارا تعبت في مرادها الأجسام
“ Jika jiwa itu mempunyai cita-cita
tinggi Maka badan ini akan capai
mengikuti kemauannya. ”
Kapan Mereka Menulis ?
Ketika kita mendapatkan karya para ulama
yang begitu banyak dan menakjubkan, kadang-kadang timbul rasa penasaran di
dalam benak kita : “ Kapan dan bagaimana mereka menulis “ ? Padahal kalau
dilihat dari umur dan kesibukan mereka mengajar, sepertinya tidak mungkin
mereka berkarya sebanyak itu, bahkan sebagian ulama jika dibandingkan banyak
karya-karyanya dengan umur yang mereka miliki rasanya tidak sebanding, bahkan
bisa dikatakan mustahil.
Tetapi setelah ditelusuri kehidupan
mereka secara lebih mendetail, ternyata mereka telah menggunakan waktu mereka
sebaik mungkin, mereka tidak rela sedetik waktu yang mereka miliki dibuang
sia-sia tanpa ada kegiatan menulis.
Marilah kita tengok sebagian dari
keahlian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk berkarya dan menulis .
Di Dalam Perjalanan.
Perjalanan banyak menyita waktu di dalam
kehidupan manusia. Bahkan kehidupan di kota-kota besar seperti Jakarta, yang
terkenal dengan kemacetannya. Membuat banyak orang stress, karena mereka harus
berangkat kerja pagi- pagi benar, kemudian malam baru bisa pulang, mereka
sering terjebak dalam kemacetan panjang, yang membuat umur mereka habis di
jalan. Kapan mereka akan menulis dan berkarya ?
Para ulama tidak mau kenal menyerah di
dalam menempuh cita-cita mereka, di dalam perjalananpun mereka menyempatkan
diri untuk berkarya dengan menggoreskan pena-pena mereka, mengukir ilmu, mewariskan
banyak manfaat untuk kehidupan manusia.
Sa’id bin Jubair, seorang tabi’in yang wafat tahun 95 H pernah
berkata : “Aku berjalan bersama Ibnu Abbas di suatu jalan di Mekkah di malam
hari. Beliau menyampaikan hadits kepadaku, dan aku menulisnya di tengah pelana
unta. Sehingga datanglah waktu pagi, lalu aku menulisnya kembali.”
Sementara itu Ibnu Qayim al Jauziyah,
konon di dalam perjalanan hajinya bisa menyelesaikan buku yang spektakuler
tentang kehidupan dan petunjuk seorang nabi Muhammad saw yang diberinya judul
“ Zaadul Ma’aad “ Buku ini terdiri dari
enam jilid besar.
Suatu ketika seorang ulama Timur Tengah
kontemporer yang hingga kini masih hidup. Dr. Yusuf Qardhawi datang ke
Indonesia, dan ditanya tentang tulisan-tulisannya yang begitu banyak,
sampai-sampai yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia mencapai 40
buku lebih. Beliau ditanya kapan menulis buku-bukui tersebut, beliau menjawab :
“ Di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, atau dalam perjalan menuju ke
tempat-tempat lain. “.
Pada 1950, Buya Hamka mengadakan lawatan
ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya.
Sepulang dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya
di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Anda juga bisa seperti mereka, ketika
anda punya sopir pribadi, maka dalam perjalanan anda bisa mengetik dengan
laptop atau alat tulis yang lebih kecil. Begitu juga ketika anda dalam
perjalanan menggunakan angkutan umum seperti bis dan kereta, apalagi pesawat,
jangan biarkan anda melamun atau bengong, tapi gunakanlah untuk membaca atau
menulis. Kebanyakan orang sekarang mengisi kekosongan mereka dalam perjalanan dengan bermain hp dan
membuka internet, kenapa anda tidak gunakan untuk berkarya dan menulis ? Di tengah-tengah kemacetan kenapa anda tidak memnafaatkan untuk membaca, menghafal,
merenung, berfikir, serta mencari ide-ide cemerlang ?
Mengurangi Waktu Makan
Manusia hidup perlu makan. Tapi kadang
proses untuk dapat makanan banyak
menyita waktu seseroang. Lihatlah ibu-ibu yang harus belanja sayur-sayuran ke
pasar, beberapa jam mereka di pasar, kemudian setelah pulang mereka harus
mengolahnya kemudian memasaknya. Berapa jam mereka membutuhkan waktu itu semua
? Bukankah untuk menyediakan makanan menyita banyak waktu dari hidup kita
? Kapan ibu-ibu itu punya waktu
untuk menulis jika pekerjaan seharian
terus-menerus seperti itu ? Adakah cara
yang lebih praktis dan efesien untuk mendapatkan makanan, sehingga sisa
waktunya bisa dipakai untuk menulis dan berkarya ?
Para ulama mempunyai trik-trik sendiri
untuk menghindari makan yang banyak menghabiskan waktu. Sebagai contoh kita
dapatkan Ubaid bin Ya’is teryata untuk efesien waktu, beliau tidak pernah makan dengan kedua tangannya
sendiri. Beliau selalu disuapi saudaranya perempuan selama 30 tahun, karena
sibuk menulis.
Ibnu Suhnun, seorang ulama Malikiyah yang
sangat terkenal tersebut juga sering disuapi budaknya, karena tidak ada waktu
untuk makan. Beliau sedang sibuk menyusun buku.
Diriwayatkan juga bahwa Abu Al Wafa’ bin
Uqail Al Hambali adalah seorang ulama dari madzhab Hambali yang sangat ketat di
dalam menjaga waktunya. Jika mulut , lidah , dan matanya capai karena banyaknya
yang dibaca, dia terdiam merenung dan merancang apa saja yang perlu ditulis,
maka ketika ia duduk atau berbaring, kecuali beliau telah menghasilkan banyak
hal-hal yang bisa dicatat dalam buku. Bahkan beliau memilih-milih makanan yang
paling praktis dan cepat dimakan, untuk kemudian sisa waktunya digunakan untuk
membaca dan menulis.
Diriwayatkan bahwa beliau memilih
roti yang agak basah dari pada roti yang
kering. Tentunya waktu untuk mengunyah roti yang basah jauh lebih sedikit
dibanding waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah roti yang kering. Jeda waktu
antara keduanya bisa beliau manfaatkan untuk membaca dan menulis. Subhanallah,
tidak kaget kalau karya-karya beliau sampai 800 jilid lebih.
Di Pengasingan dan Penjara
Imam Syamsudin As-Syarkhasi telah mampu
menulis kitab “ Al Mabsuth “, sebuah buku spektakuler yang dijadikan rujukan
ulama Hanafiyah. Buku ini terdiri dari 30 jilid besar, kebetulan saya mempunyai
buku tersebut. Beliau menulis buku tersebut di dalam penjara dengan cara
mendiktekan kepada murid-muridnya. Beliau dimasukkan penjara karena memberikan
nasehat kepada salah satu penguasa pada waktu itu.
Ibnu Taimiyah sering keluar masuk
penjara, karena menyampaikan kebenaran apa adanya, banyak orang yang hasad
kepadanya. Beliau difitnah sehingga dijebloskan penjara oleh penguasa. Selama di dalam penjara, beliau manfaatkan
untuk menulis. Tatkala beliau dijebloskan kembali ke dalam penjara yang berada
di dalam benteng selama dua puluh bulan lebih, beliau dilarang untuk menulis
dan menelaah kitab. Orang orang yang hasad dengan beliau tak membiarkan ada
buku tulis maupun tinta di sisi beliau, karena tulisan-tulisannya bisa
mempengaruhi banyak orang. Beliau dalam keadaan seperti itu beberapa bulan
lamanya, sehingga beliau mulai berkonsentrasi untuk beribadah dengan membaca
al-Qur’an, sholat tahajjud, serta berdzikir hingga beliau wafat.
Konon Buya Hamka, tokoh kelahiran
Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908, ini hanya sempat masuk sekolah desa
selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat
Bukittinggi) selama kurang lebih tiga tahun. Pada 27 Januari 1964, Hamka
ditangkap oleh pemerintahan Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini ia
menyelesaikan kitab Tafsir al-Azhar (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah
Orde Lama tumbang.. Nama beliau dikenal luas berkat karya-karyanya. Tafsir yang
beliau beri nama Tafsir Al Azhar tersebut sekarang menjadi rujukan masyarakat
Indonesia dan Malaysia.
Sayyid Quthb, seorang tokoh Muslim yang
juga berhasil menyelesaikan penulisan tafsir Alquran Fi Dzilalil Qur’an di
dalam penjara.
Di Waktu Sepertiga Akhir Malam
Malam hari, khususnya sepertiga akhir
malam merupakan waktu yang penuh barakah. Oleh karenanya, kita
diperintahkan bangun dari tidur untuk
melaksanakan sholat tahajud dan bermunajat kepada Allah swt. Para ulama menyebutkan jika seseorang bangun
malam diberi dua pilihan antara sholat atau belajar.
Imam Al-Mufassir Abu Tsana’ Syihabuddin
Mahmud bin Abdullah al-Alusi Al-Baghdadi, seorang mufti sekaligus penutup para
ahli tafsir, lahir pada tahun 1217 H dan wafat tahun 1270 H. Di setiap akhir
malam beliau memanfaatkan untuk menulis lembaran demi lembaran tentang tafsir.
Sehingga, pada keesokan pagi harinya, tulisan itu beliau serahkan kepada para
juru tulis yang ditugaskan dirumah beliau. Mereka tidak mampu menyelesaikan
tulisan itu secara baik, kecuali dalam rentang waktu sepuluh jam. Beliau terus
saja menulis hingga saat sakit beliau yang terakhir.
Antara Sholat Lima Waktu
Allah swt telah mewajibkan kepada kaum
muslimin untuk melaksanakan sholat dalam lima waktu yang terpisah-pisah dalam satu hari. Barangsiapa yang mampu memanfaatkan
waktu-waktu tersebut insya Allah akan diberkati amalannya. Imam Abdul Ghani
Al-Maqdisi telah berhasil memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk menulis.
Setelah shalat shubuh , beliau mengajarkan al-Qur’an atau terkadang mengajarkan
hadits. Lalu beliau berwudhu dan shalat sebanyak 300 rakaat dangan membaca
al-fatihah dan mu’awwadzataini, hingga mendekati waktu dzuhur. Kemudian, beliau
tidur ringan, lalu bangun untuk shalat dzuhur, dan kemudian sibuk menyimak atau
menyalin tulisan hingga datang waktu maghrib.”
Menggunakan Sarana Yang Terjangkau
Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr meriwayatkan
dalam kitabnya Al-Intiqa fi Fadha’ilits Tsalasatil A’immatil fuqaha’ dengan sanadnya yang sampai kepada Imam
Syafi’I, bahwa Imam Syafi’I menuturkan, “Aku tidak mempunyai harta. Aku
menuntut ilmu dalam usia muda yaitu sebelum
13 tahun . Aku pergi ke kantor meminta kertas bekas untuk menulis.”
Maksudnya, kertas bekas yang sebelahnya telah dipakai dan sebelahnya belum
terpakai. Kemiskinan tidaklah menghalangi beliau, untuk terus menulis ilmu.
Sehingga beliau termasuk Imam Madzhab yang paling banyak karyanya dibanding
dengan ketiga imam madzhab yang lain.
Menulis tidak harus menunggu punya
computer atau laptop, menulislah di buku-buku tulis, atau di kertas-kertas
bekas, sebagaimana para ulama menulis. Menulis dengan bulpen,
dengan pencil, dengan spidol, dengan apa saja, yang penting anda menulis.
Menulis Sambil Makan
Al-Hafidz Dzahabi berkata di dalam Tsadzkiratul Hufadz,
tentang biografi Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah Bin Imam Al-Hafidz Abu Daud
As-Sijistani, ia berkata, “Aku memasuki kota kuffah dan hanya mempunyai uang
satu dirham. Dengannya aku membeli 30 mud kacang-kacangan . Aku makan darinya
dan menulis hadits dari Al-Asyaj –yakni Abdullah bin Sa’id Al-Kindi, ahli
hadits kuffah-. Kacang-kacangan tersebut belum habis, hingga aku mampu menulis
darinya 30.000 hadits , baik yang maqthu’ maupun yang mursal.”
Al-Barqani menuturkan, “ Aku memasuki kota Isfirayin,
sedangkan aku berbekal uang tiga dinar dan satu dirham. Tiga dinar tersebut hilang, dan yang tersisa
hanyalah satu dirham. Aku memberikannya kepada tukang roti. Setiap harinya aku
menerima darinya dua potong roti. Aku mengambil satu jilid buku dari Bisyr bin
Ahmad, lalu aku menyalinnya dan menyelesaikannya di petang hari. Aku telah
menyalin 30 jilid kitab, sedangkan jatahku dari tukang roti telah habis. Maka,
aku pun melanjutkan melanjutkan perjalanan.”
Menulis Cepat
Abu Isma’il Al-Anshari berkata : ”
Seorang ahli hadits harus memiliki sifat cepat dalam berjalan, cepat dalam
menulis, cepat dalam membaca.” Perlu
ditambah satu lagi, yaitu cepat dalam makan.
Kenapa harus cepat berjalan ? Karena dengan
cepat berjalan, waktu akan lebih efesien dan lebih cepat sampai kepada tujuan.
Bisa diartikan lebih cepat kepada syekh atau guru, sehingga ilmu yang akan di
dapat lebi banyak. Untuk zaman sekarang, bisa diterapkan dengan menggunakan
pesawat, walaupun mahal sedikit, tapi bisa efesien waktu, apalagi di dalam
perjalanan bisa dimanfaatkan untuk menulis.
Kenapa harus cepat menulis ? Karena
seseorang yang bisa menulis cepat, berarti dia bisa menulis lebih banyak,
sehingga menjadi produktif. Oleh karenanya dianjurkan bagi siapa saja yang
ingin menulis, hendaknya dia menulis yang ada di dalam benaknya dan yang ia
kuasai. Jika ingin menambahkan dari beberapa referensi, hendaknya mencari
referensi yang terjangkau dan mudah dipahami, sehingga tidak menghambat proses
penulisan.
Kenapa harus membaca cepat ? Karena
dengan membaca cepat, maka maklumat yang ia dapatkan jauh lebih banyak,
sehingga membantunya untuk mempercepat tulisannya. Karena tulisan seseorang
tergantung kepada maklumat yang dimilikinya.
Kenapa cepat dalam makan ? Kalau seseorang bisa makan cepat, waktu yang
tersisa bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama membaca dan
menulis. Di bawah ini dijelaskan
bagaimana para ulama yang produktif, ternyata mereka menulis dengan cepat.
Imam Burhanuddin Ibrahim Ar-Rasyid
berkata, “jika Ala’ bin Nafis ingin mengarang sebuah kitab, maka beliau pun
meletakkan pena-pena yang telah dirautnya, lalu beliau berputar menghadapkan
wajahnya kearah dinding. Kemudian beliau menulis dari berbagai ide yang
terbetik dalam benaknya. Beliau menulis ibarat air yang mengalir. Bila penanya
tumpul dan tidak jelas tulisannya, maka beliau mencampakkannya dan menggunakan
yang lainnya, agar waktunya tidak terbuang untuk meraut pena yang tumpul .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam usia
57 tahun adalah beliau menghasilkan sekitar 500 jilid karya tulis. Beliau mampu
mengarang dalam sehari sebanding dengan jumlah lembar tulisan seorang juru
tulis pada zaman itu yang ditulis selama sepekan atau bahkan lebih banyak lagi.
Biasanya saat menyampaikan fatwa, beliau mampu menulis sejumlah masalah dangan
tulisan yang sangat cepat, disertai penjelasan dan penjabaran hal-hal yang
sulit.
Dalam sehari semalam beliau mampu menulis
masalah tafsir atau fiqih, atau masalah-masalah ushul fiqih, ushul kalam, dan
tauhid, atau memberikan bantahan terhadap kalangan filosof dan ahli takwil,
sekitar empat buku tulis atau lebih. Maka tak berlebihan jika karya beliau
hingga sekarang mencapai 500 jilid. Dalam sejumlah masalah, beliau memiliki
karya tersendiri. Beliau seorang yang pandai menulis secepat kilat dan laksana
hujan deras yang tak henti-hentinya.
Beliau mampu menulis tentang satu masalah
hingga tak ada batasnya. Beliau mampu menulis dua atau tiga lembar dalam sekali
duduk. Syaikh Ibnu Qoyyim telah menulis sebuah risalah yang berisi nama-nama
karya Ibnu Taimiyah, hingga mencapai 22 halaman.
Adalah Al- Khatib Al Baghdadi pernah
berkata : ” Saya mendengar dari Al-Simsi yang menceritakan bahwa Ibnu Jarir At
Tobari selama 40 tahun, menulis setiap harinya 40 lembar . Bahkan salah seorang
murid Ibnu Jarir yang bernama Al
Farghani mengatakan bahwa para murid Ibnu Jarir telah mendata kehidupan beliau
sejak baligh hingga meninggal dunia pada umur 86 tahun. Kemudian mereka
mengumpulkan seluruh karya-karya beliau, dan jika dibandingkan dengan umur beliau,
ternyata didapatkan bahwa beliau menulia setiap harinya 14 lembar. Dan ini
tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang kecuali atas inayah Allah swt. Dan
jika dihitung-hitung lembaran karya tulisnya maka didapatkan jumlahnya sekitar
358.000 lembar. Wallahu A’lam
Cipayung, Jakarta Timur, 26 Jumadil Ula 1432 H /30 April 2011 M
Ulama
Kini, tak Banyak Menulis Buku
Oleh: Hannan Putra
Direktur Pusat Kajian Hadis, Dr KH Lutfi Fathullah mengatakan kemauan para
cendekiawan Tanah Air untuk menulis masih kurang. Banyak ulama masyhur, tetapi
mereka tak mempunyai karya buku.
"Mestinya sudah banyak yang bisa menulis buku. Tapi, karya yang dihasilkan
masih sangat minim. Ini sangat kita sayangkan," ungkap pakar hadis alumnus
perguruan tinggi di Syria dan Yordania ini menjelaskan.
Di antara penyebabnya, kata Lutfi, banyak cendekiawan Muslim di Tanah Air yang
merasa rendah diri untuk melahirkan buku. Ada yang tidak terbiasa menulis, ada
pula yang terang-terangan tidak akan menyentuh dakwah bil kitabah ini.
"Menulis itu bukan hal yang mudah. Banyak ulama yang hebat, tapi belum
tentu mereka bisa menulis. Banyak juga yang merasa dirinya belum pantas untuk
menulis," ujar Kiai Lutfi menerangkan.
"Banyak yang merasa dirinya dari awal, Ente belum berhak untuk
menulis. Padahal, menulis itu dibiasakan. Tak perlu menulis sesuatu yang berat
dulu, tapi mulailah dari pembahasan yang sederhana dan ringan-ringan,"
katanya.
Selain itu, para pelajar Islam membatasi diri dengan buku-buku yang sudah ada.
Mereka dimanjakan dengan pembahasan-pembahasan ulama terdahulu yang dianggap
sudah terlalu komplet menuntaskan khazanah keilmuan Islam.
"Kita terlalu mengandalkan buatan orang. Kita mencukupkan diri dengan
membaca buku-buku yang sudah ada. Mengapa kita tidak menulis dan membaca
buku-buku karya kita sendiri?" ujarnya menjelaskan.
Putra Buya Hamka, Irfan Hamka, menambahkan, para cendekiawan sekarang harus
banyak belajar dari ulama zaman dulu soal penulisan buku. Zaman dulu, para ulama
menulis buku dengan manual dengan segala keterbatasan. Namun, karya yang bisa
mereka lahirkan sangatlah banyak.
"Zaman dulu, 500-1.000 tahun lalu, para ulama itu saling berlomba untuk
melahirkan buku. Mereka saling bersilaturahim dan sering berdiskusi soal agama.
Kemudian, itu tidak lewat begitu saja. Mereka tuangkan itu dalam tulisan,"
ujar Irfan.
Irfan menambahkan, ulama dahulu sangat menjunjung tinggi idealisme mereka sebagai
Muslim. "Lihat buku-buku yang dihasilkan. Mereka tegas, mana yang halal
dan mana yang haram. Kode etik mengenai khilafiyah saja misalkan. Itu ketat
sekali," paparnya.
Seperti sang ayah, Buya Hamka. Dalam berbagai karya buku yang dihasilkan Buya
terkesan tegas jika menyangkut persoalan hukum Islam.
"Buya Hamka itu tergolong ulama yang tidak mau
main-main. Mana yang dia anggap tidak tepat, dia tidak mau lakukan. Buya Hamka
tidak mau mencampuradukkan," katanya menjelaskan.
Ketika
Pasukan Tartar Menjadikan Buku Para Ulama Sebagai Tempat Penyeberangan
Ketika pasukan Tartar (Mongolia) –yang
dipimpin Hulagu Khan- menaklukkan Baghdad (656H/1258 M), kavalerinya membuang
buku-buku yang berada di perpustakaan Bagdhad ke sungai Tigris. Buku yang
berjumlah banyak tersebut, dijadikan jembatan penyebrangan dari arah
Barat ke Timur (baca: Rāghib al-Sirjāni , Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah
ila `Ain Jālūt, 161-162).
Bayangkan, luas sungai Tigris yang hampir
sama dengan Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter) itu, dipenuhi buku untuk
dijadikan jembatan.
Anda bisa membayangkan berapa besar
jumlah buku yang ada saat itu. Ada satu kata kunci untuk memahami cerita
tersebut, yaitu: produktivitas tulisan para ulama.
Banyaknya buku yang tersimpan
diperpustakaan Baghdad adalah salah satu bukti prokdutivitas ulama dalam
bidang kepenulisan.
Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh
mengenai produktivitas ulama dalam hal menulis di antaranya: Ibnu Jarir
At-Thabari, karangannya berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu
menulis sebanyak 40 lembar ( dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu
al-Fattah Abu Ghuddah, 43).
Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya
sebanyak lima ratus buku ( dalam Qimatu al-Zaman, 56). Abu Bakar
al-Bāqalāni tidak tidur hingga menulis 35 lembar (Qimatu al-Zaman, 86) dan
ulama lainnya.
Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak
contoh produktivitas ulama dalam bidang tulisan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah,
“Mengapa mereka bisa produktif di zaman yang fasilitas untuk menulis begitu ala
kadarnya, hanya tinta dan kertas. Pada zaman itu, untuk menggandakan buku
saja harus ditulis ulang secara manual?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
berikut ini akan dijelaskan secara gambalang –melalui kaca mata historis
peradaban Islam- tentang rahasia produktivitas ulama dalam bidang tulisan. Di
antara rahasianya ialah:
Pertama, para ulama menulis didasari
keikhlasan sebagai investasi akhirat (dakwah). Dalam hadits disebutkan, bahwa
mereka adalah pewaris para Nabi (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi).
Bagi mereka menulis bukan sekadar urusan
hobi, karena mereka adalah penerus estafeta perjuangan para Nabi, maka menulis
adalah urusan investasi akhirat.
Kedua, manajemen waktu yang mantap dan
brilian. Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas kehidupan. Sehingga,
memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin sukses. Sebagai
contoh riil-tanpa bermaksud membatasi-, Ibnu Jarir At-Thabari yang mampu
menulis 40 lembar tulisan dalam sehari sangat pandai dalam mengatur waktu.
Muridnya sendiri –al-Qadhi Abi Bakar bin
Kamil-memberi kesaksian bahwa beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis dari
ba`da Dzuhur hingga Ashar (baca: Qīmatu al-Zaman, hal. 44). Bahkan,
menjelang meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu(hal. 44).
Ibnu Rusyd –dalam sejarah- tidak pernah
meninggalkan mala-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali
dua malam saja: Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam
pengantin (baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni).
Lebih dari itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab
al-Nahwi (Ahmad bin Yahya al-Syaibani), di antara sebab wafatnya ialah
karena ditabrak kuda ketika membaca buku hingga jatuh ke jurang (baca: wafayātu
al-A`yān, Ibnu Khillikan, 1/104).
Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus
dalam manajemen waktu. Ia minta dibacakan buku ketika sedang buang hajat,
supaya waktunya tidak sia-sia (baca: Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah, Ibnu
Rajab al-Hanbali, 2/249).
Cerita-cerita tersebut, menunjukkan
bahwa mereka sangan pandai mengatur waktu. Sehingga, wajar kalau mereka sangat
produktiv menulis. Bagi siapa saja yang ingin produktiv menulis, maka tak ayal
lagi harus menapaktilasi jejak mereka dalam manajemen waktu.
Ketiga, apresiasi negara yang begitu
tinggi pada penulis.
Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah
Abbasiyah-misalnya, memberi imbalan emas bagi para penerjemah buku (baca: `Uyūnu
al-Anbā`, Ibnu Abi Ushaibah, 2/133).
Para penulis pada masa itu sangat
didukung dan dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis sedemikian
tinggi. Salah satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari banyaknya
perpustakaan.
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan
sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa,
kota, di rumah sakit dan lain sebagainya. Waktu itu perpustakaan dibagi menjadi
lima bagian: Pertama, perpustakaan akademis. Kedua, pribadi. Ketiga,
umum. Keempat, sekolah. Kelima, perpustakaan masjid dan universitas
(baca: Rāghib al-Sirjāni, Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-`Ālam Ishāmātu
al-Muslimīn fī al-Hadhārah al-Insāniyah,hal. 224-225)..
Di antara contoh perpustakaan besar dalam
Islam ialah: Perpustakaan Baghdad (yang jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai
bisa dibuat jembatan oleh Tartar).
Perpustakaan Darul `Ilm Kairo (Setiap
bagian berisi 18000 buku) lebih dari tujuh ratus ribu kitab. Perpustakaan
Cordova (berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli (baca: Kaifa
Tushbihu `Āliman, Raghib al-Sirjani).
Ada juga perpustakaan koleksi pribadi.
Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika dia mau pindah dari satu
tempat ke tempat lain, ia membutuhkan seratus unta untuk mengangkatnya.
Al-Shahib bin `Abbād, menurut penuturan
Gustav Lobon atau Will Durent: “Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, pada abad
keempat hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa.
Dari paparan di atas, kita bisa mengetahu
bahwa ada tiga hal mendasar di balik produktivitas ulama dalam bidang tulisan:
Pertama, keikhlasan.
Mereka menulis dalam rangka investasi
akhirat, bukan mencari sekadar dunia atau sanjungan umat.
Kedua, mereka sangat pandai dalam
manajemen waktu.
Ketiga, adanya apresiasi dan kontribusi
negara.
Bila ketiga hal tersebut saling
bersinergi, maka produktivitas ulama dalam bidang tulisan akan kembali bangkit.
Kalau diamati secara cermat, problem umat
Islam sekarang ini, terkait dengan lesuhnya produktivitas ulama dalam bidang
tulisan, diakibatkan banyaknya orang menulis bukan dalam rangka investasi
akhirat, tapi orientasi keduniaan.
Di samping itu, tidak pandai menghargai
waktu. Dan yang terpenting, negara sebagai lembaga paling strategis dalam
mengembangkan produktivitas, kurang apresiatif dalam menghargai karya-karya
penulis.
Mudah-mudahan, dengan mengetahui rahasia
produktivitas ulama dalam bidang tulisan, kita sebagai umat Islam, kembali bisa
produktiv, sehingga nilai-nilai luhur Islam bisa tersebar ke seantero alam.
Bukan saja tersebar secara lisan, namun juga tulisan. Apalagi di era
perkembangan teknologi-informasi seperti sekarang ini, keinginan itu
sangat riil, bukan mustahil. Wallahu a`lam bi al-Shawab.*
*Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc (Penulis
adalah penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014)
sumber: hidayatullah.com
Syaikh
Prof. Sayyid Sabiq: Faqih Abad ke-20
Fikih Sunnah adalah karya beliau yang
paling terkenal. Karya beliau ini bermula ketika beliau rutin menulis majalah
Ikhwanul Muslimin. Beliau mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme
madzhab tetapi tidak menjelek-jelekkannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari
Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk
pembaca, menghindari istilah-istilah yang runyam, tidak memperlebar dalam
mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan
mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka cinta agama dan menerimanya.
Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif)
dengan meneladani Al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum.
Juz pertama dari kitab beliau yang
terkenal “Fikih Sunnah” diterbitkan pada tahun 40-an di abad 20. Ia merupakan
sebuah risalah dalam ukuran kecil dan hanya memuat fiqih thaharah. Pada
mukaddimahnya diberi sambutan oleh Imam Hasan Al-Banna yang memuji manhaj
(metode) Sayyid Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang bagus dan upayanya
agar orang mencintai bukunya.
Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis
dan dalam waktu tertentu mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang
pertama sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya hingga akhirnya berhasil
diterbitkan 14 juz. Kemudian dijilid menjadi 3 juz besar. Belaiu terus
mengarang bukunya itu hingga mencapai selama 20 tahun seperti yang dituturkan
salah seorang muridnya, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi.
Kita menyaksikan dalam buku Fikih Sunnah
tampak kepakaran, kecerdasan, dan kejeniusan seorang Sayyid Sabiq. Tidak heran
banyak ulama kontemporer menyarankan untuk mempelajari buku ini. Syaikh
Muhammad Al-Ghazali menjuluki Syaikh Sayid Sabiq sebagai orang yang paling
faqih di abad ke 20. Beliau menjadi tempat rujukan ulama-ulama besar termasuk
Syaikh Mutawalli Sya’rawi. Bahkan saking populernya buku Fikih Sunnah, Syaikh
Nashiruddin Al-Albani merasa terpanggil untuk mentakhrij hadits-hadits yang ada
di dalam kitab tersebut, sehingga kitab tersebut semakin berbobot di mata umat.
Selain Fikih Sunnah 3 jilid, beliau juga menulis beberapa buku seperti Aqidah
Islamiyah dan Islamuna.
Menuntut ilmu agama haruslah diiringi
dengan ketakwaan. Karena jika telah memperoleh banyak ilmu, biasanya timbul
dalam hati perasaan ujub. Sedangkan ketakwaan membawa hati tetap tawadhu. Bahwa
di atasnya masih ada orang yang lebih tinggi ilmunya. Dan semua ilmu pada
akhirnya adalah milik Allah Azza wa Jalla.
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah
kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari
kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa
ia lebih mulia darimu.”
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang
paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan
kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah
menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
Kemunduran
Ilmu Islam di Luar Wilayah Jazirah Arab
Penyusun kitab-kitab hadits paling
terkenal ternyata bukan berasal dari kawasan Jazirah Arab. Yaitu, kawasan di
mana terdapat tujuh negara di dalamnya: Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, UEA, Qatar,
dan Bahrain.
Imam Bukhari lahir di kota Bukhara,
Uzbekistan. Imam Muslim, Imam Al Hakim, dan Imam Al Baihaqi lahir di kota
Naisabur Iran. Imam Abu Daud lahir di kota Sijistan (daerah antara Iran dan
Afghanistan). Imam Tirmidzi lahir di kota Tirmidz, Iran. Imam Ibnu Majah lahir
di kota Qazwin Iran. Imam An Nasa’i lahir di Nasa’, salah satu kota di Khurasan
Iran. Imam Ad Darimi lahir di daerah Darim, Samarkand, Uzbekistan.
Saya memahami pesan ini sebagai berikut:
Para penguasa muslim pada waktu itu bukan sekedar menaklukan wilayah musuh
tetapi juga turut menyebarkan Islam dan bahasa Arab. Hal ini mendorong bahasa
Arab menjadi bahasa resmi kaum muslimin. Kalaupun ada bahasa non Arab, dapat
disebut sebagai bahasa daerah, seperti bahasa sunda atau bahasa jawa di
Indonesia.
Bila dibandingkan saat ini, di mana
wilayah Islam terpecah-belah atau tidak berdiri tunggal dalam satu kekuasaan
khilafah, bahasa pun ikut-ikutan terpecah. Bahasa Arab tidak lagi menjadi
bahasa resmi. Bahasa nomer dua pun bukan. Di masyarakat pada umumnya lebih
senang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Jadi bahasa Arab entah
berada di kedudukan ke berapa. Yang di maksud bahasa Arab hanyalah bahasa orang
jazirah Arab.
Dengan keadaan ini, kecil kemungkinan
orang-orang di non-Arab menjadi ulama besar. Padahal di masa kejayaan Islam,
sumbangsih orang non Arab terhadap ilmu pengetahuan sangat besar. Bahkan
mungkin saja lebih besar daripada orang Arab itu sendiri. Selain ahli-ahli
hadits di atas, terdapat banyak ahli ilmu lainnya yang bukan berasal dari Arab.
Misalnya Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Biruni, dan Ar Razi.
Dawud At-Tha’i rahimahullah memakan
alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak memakan roti kering (tanpa
dibasahi). Pembantunya bertanya, “Apakah anda tidak berhasrat makan roti
kering?” Dawud menjawab, “Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca 50
ayat antara memakan roti kering dan basah.” (Sifatus Shafwah, 3/92)
Ibnu Aqil berkata, “Aku menyingkat
semaksimal mungkin waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue
kering yang dicelup ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) daripada memakan
roti kering, karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan
air lebih pendek daripada waktu memakan roti kering) bisa aku gunakan untuk
membaca dan menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” (Dia
melakukan hal itu supaya bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil
Hanabilah, Ibnu Rajab,1/177)
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Imam
Ibnu Aqil telah menulis satu judul kitab dengan tebal 800 jilid. Sebuah maha
karya yang belum ada bandingannya dari segi jumlah.
Belajar
dari Semangat Menulis Imam Jalaluddin As Suyuthi
Imam Jalaluddin As Suyuthi adalah salah
satu ulama yang produktif dalam menulis. Dikabarkan karya tulisnya mencapai 600
judul dalam berbagai disiplin ilmu mulai dari hadits, tafsir, Fiqh, Ushul Fiqh,
bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, sirah Nabawiyah, dan Tarikh. Jadi
boleh dikatakan beliau adalah salah seorang ulama yang paling produktif menulis
dalam sejarah Islam.
Begitu usianya menginjak 40 tahun, ia
segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang
karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri
perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang.
Beliau berdiam diri di dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah Al-Miqyas dan
hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini
hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan
kirinya selama seminggu.
****
Imam Jalaluddin As Suyuthi hidup di zaman
kekuasaan Islam mulai melemah. Penghancuran kekhalifahan Abbasiyah beserta
asset intelektualnya oleh tentara Mongol sedikit banyak telah menyumbang
pelemahan ini. Sebagai salah seorang ulama yang memiliki ilmu yang tinggi dan
wawasan yang luas, Imam As Suyuthi turut merasakan pelemahan ini. Beliau
kemudian terpanggil untuk menghimpun kembali warisan ilmiah umat Islam yang
banyak tercecer di berbagai belahan dunia Islam. Beliau melihat warisan ilmiah
di masa lampau adalah ibarat harta karun yang sangat bernilai harganya dan bisa
digunakan untuk meraih kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sebagaimana yang
telah diraih pendahulu-pendahulunya. Jika warisan itu tidak diperoleh, berarti
umat Islam akan terputus dari sejarah masa lalunya yang sangat istimewa dan
berharga itu.
Di masa mudanya beliau begitu gigih dalam
menuntut ilmu. Guru tempat beliau menuntut ilmu mencapai ratusan orang dalam
berbagai bidang disiplin ilmu. Dari sana beliau banyak memperoleh ilmu yang
bermanfaat. Dan lalu ilmu-ilmu itu beliau himpun dalam buku-buku yang beliau
tulis. Ada dua hal yang paling menonjol yang tampak dari karya-karya tulis
beliau: Pertama, beliau banyak menghimpun kutipan-kutipan atau
pendapat-pendapat dari masa lalu yang kemudian beliau gabung-gabungkan sesuai
dengan tema buku yang beliau tulis sambil sesekali beliau mengomentarinya.
Kedua, beliau banyak meringkas buku-buku yang berjilid-jilid tebalnya hingga
satu-dua jilid saja, sehingga umat islam pada umumnya dan para pelajar pada
khususnya dapat memperoleh gambaran tentang isi buku aslinya.
Jadi, Imam As-Suyuthi ibarat jembatan yang
menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Beliau berusaha dengan sekuat tenaga
menyelamatkan warisan intelektual umat Islam masa lampau untuk dimanfaatkan di
masanya dan masa yang akan datang. Sehingga kemudian banyak umat Islam
mengetahui ilmu yang sangat bermanfaat, yang semula disangka
"hilang", yaitu dari buku-buku yang beliau tulis.
Hikmah dan pelajaran
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Demikianlah
Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata. Ilmu akan hilang bila kita tidak
segera menuliskannya. Imam As Suyuthi telah menjadi contoh bagaimana beliau
telah banyak menulis. Dari buku-buku yang beliau tulis itu, beliau telah
memberikan kepada kita warisan ilmiah yang melimpah dan bermanfaat. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw. bahwa salah satu amal jariyah adalah ilmu yang
bermanfaat, maka menulis adalah amal jariyah karena menulis adalah bagian dari
ilmu yang bermanfaat. Jadi, sungguh beruntung para penulis itu karena mereka
akan mendapatkan pahala yang terus menerus mengalir untuknya meskipun dirinya
sudah meninggal dunia.
Ikatlah
Ilmu dengan Menuliskannya
Sudah 20 kali Imam Bukhari terbangun dari
tidur malamnya. Beliau mencatat ilmu yang terlintas di dalam pikirannya. Ilmu
seringkali tidak datang dalam satu waktu. Tapi mungkin berjarak.Maka, beliaupun
berusaha mengikatnya lewat tulisan. Alangkah meruginya orang diberi Allah ilmu
dan hikmah, tapi tidak mengikatnya lewat tulisan. Karena hikmah itu barang yang
mahal harganya; diberikan Allah kepada orang tertentu saja.
"Allah menganugerahkan al hikmah
kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran." (QS. Al Baqarah:269)
Saya tidak heran bila begini adanya
tingkah laku ulama memperlakukan ilmu. Lihatlah kitab-kitab yang mereka tulis.
Lihatlah kitab-kitab yang ditulis Imam Bukhari, jangan dikira hanya Al Jami Ash
Shahih dan Adabul Mufrad saja. Tapi masih banyak kitab lainnya. Lihatlah Tafsir
Ath Thabari berapa banyak halamannya, 26 jilid. Cukup disitu beliau menulis?
Ternyata tidak. Beliau menulis kitab Tarikhnya sebanyak 6 jilid. Apa berhenti
juga sampai disitu? Ternyata juga tidak. Yang pasti, menurut penelitian ulama,
jika dikumpulkan semua karya beliau, maka hasilnya: selama 40 tahun, beliau
menulis rata-rata 40 lembar setiap harinya. Subhanallah!
Foto: kitab tarikh al islam 53 jilid yang
ditulis Imam Adz Dzahabi. Sumber wikipedia
Tetap
Produktif Menjelang Wafat
Imam Ibnu Al Jauzy berkata, “Orang
berakal adalah yang tahu bahwa dunia ini tidak diciptakan hanya untuk mencari
kesenangan, karenanya dalam kondisi apa pun ia harus konsisten dalam
menggunakan waktunya secara tepat.”
Sungguh sebuah ungkapan yang menarik.
Dalam kondisi apapun kita harus konsisten menggunakan waktu untuk hal-hal yang
bermanfaat, tak terkecuali disaat kita sakit hingga menjelang wafat. Para ulama
kita dibawah ini telah memberikan contoh yang baik bagaimana mereka tetap
konsisten dalam menjaga waktunya meskipun mereka saat itu sedang sakit berat
yang berujung pada kematian.
Ibrahim bin al-Jarrah berkata, Imam Abu
Yusuf Al-Qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia
tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan,
"Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?' Saya menjawab,
'Dalam kondisi seperti ini?' Dia mengatakan, "Tidak mengapa, kita terus
belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan
masalah ini." Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar
kabar bahwa beliau telah wafat.
Ibnu Asy Syahnah adalah seorang hafidz
hadits yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100 tahun dan masih
mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal di usia 100 tahun.
Sehari sebelum wafatnya ulama Damaskus
ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari di hadapan
beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau kembali menyimak As
Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H. (Dzail Tadzkirah Al
Huffadz, hal. 134-135)
Ibnu Malik, ulama nahwu memiliki semangat
yang cukup tinggi dalam mencari ilmu. Hal ini tercermin dari kesungguhan beliau
menghafal ilmu meskipun ajal hendak menjemput. Dimana beliau sempat menghafal
delapan bait ilmu, di hari wafatnya beliau. Di saat beliau sedang sakit keras,
putranya membantu mendiktekan bait tersebut (Nafh At Thayib, 2/222, 229).
Abu Hasan Al Walwaliji pada tahun 440 H,
menjenguk Abu Raihan Al Biruni, seorang ahli falak dan sastrawan di zaman itu. Ulama
ini sakit keras di tengah usianya yang mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya
terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam
keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaliji,"Apa yang pernah
engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah
(nenek dari jalur ibu)?"
"Apakah dalam kondisi seperti ini
pantas (membahas hal itu)?" Jawab Al Walwaliji, menaruh belas kasihan.
"Wahai Al Walwaliji, saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui
masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil
terhadapnya."
Akhirnya Al Walwaliji mengulangi apa yang
pernah beliau sampaikan sebelumnya. Dan Abu Raihan pun menghafalnya. Tidak lama
kemudian, Al Walwaliji keluar, dan saat di jalan beliau mendengar teriakan.
Ternyata Abu Raihan telah wafat. Rahimahullah Ta’ala. (Mu’jam Al Udaba`,
17/181,182).
Al-Jariri berkata, "Saya berada di
kepala Junaid ketika menjelang kematiannya. Pada saat itu dia sedang membaca
Al-Qur’an dan saya berkata kepadanya,"Kasihanilah dirimu.”"(yakni,
jangan engkau memberatkan dirimu dengan membaca Al-Qur’an pada saat menjemput).
Dia menjawab,"Apakah ada orang yang lebih membutuhkan pahala dariku pada
saat seperti ini, dan inilah diriku. Buku catatan amalku hampir ditutup."
Al-Jariri berkata,"Junaid telah mengkhatamkan Al-Qur’an, dia kemudian
memulai lagi dengan surat Al-Baqarah dan telah membaca tujuh puluh ayat,
kemudian dia wafat." (Thabaqat Asy-Syafiiyah, As-Subki, juz 4).
Imam Abu Ishak An-Naisaburi rahimahulloh
sedang menghadapi ajalnya. Sepanjang hari itu dia berpuasa. Dia berkata kepada
anaknya, “Buka kelambu,” kemudian dia berkata lagi, "Saya haus." Lalu
anaknya membawakan air untuknya. Abu Ishak berkata, “Apakah matahari telah
terbenam?” Anaknya menjawab,"Belum." Maka Abu Ishak mengembalikan air
tersebut, lalu dia berkata, "Untuk seperti inilah hendaknya orang-orang
beramal." Kemudian ruhnya pergi kepada Tuhannya. (Tarikh Baghdad,
Al-Khatib Al-Baghdadi, juz 6)
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahulloh
adalah orang yang selalu memperbanyak dzikir kepada Alloh Ta’ala. Hingga dia
meninggal dalam keadaan bertasbih yang dia hitung dengan jarinya. (Syadzarat
Adz-Dzahab, Ibnul Ahmad Al-Hambali, juz 5).
Semoga Allah merahmati mereka dan menjadi
cambuk bagi kita untuk tetap konsisten dalam menjaga waktu dengan kegiatan yang
bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita.
Imam Syafi'i berkata tentang Imam Laits
bin Sa'd bahwa Imam Laits lebih fakih ketimbang Imam Malik.
Imam Syafi'i berani berkata demikian
karena beliau telah berguru kepada kedua ulama tersebut. Dari sana beliau mampu
menilai mana yang lebih fakih di antara keduanya.
Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah
Imam Laits yang dikatakan Imam Syafi'i sebagai ulama yang lebih fakih ketimbang
Imam Malik? Mengapa beliau tidak termasuk di antara Imam Madzhab fikih yang ada
hingga sekarang ini?
Imam Laits adalah ulama besar yang
tinggal di Mesir. Beliau adalah ahli hadits, fikih, ushul fikih, dan tafsir.
Sekaligus pedagang yang kaya raya namun hidup zuhud dan wara. Walaupun dikenal
sebagai ulama yang fakih namun sayangnya beliau tidak menulis satupun buku.
Kalaupun ada karya tulis yang dinisbatkan kepada beliau, itupun ditulis oleh
murid-murid beliau dan itupun sangat sedikit jumlahnya. Pemikirannya yang besar
hanya bisa didapat dari buku-buku yang dikutip secara terpisah-pisah sehingga
seringkali tidak dapat menampilkan pemikirannya secara utuh dan konfrehensif.
Berbeda dengan Imam Malik yang rajin
menulis dan pemikirannya juga banyak dibukukan oleh para murid dan pengikutnya.
Sehingga namanya terus dikenang sebagai salah satu Imam fikih paling terkemuka
sepanjang sejarah.
Begitupun dengan imam madzhab fikih yang
lainnya, mereka semua dikenal karena masih adanya pemikiran mereka yang
tersimpan dalam buku yang mereka dan murid-muridnya tulis. Buku-buku seperti
itu masih saja terus ditulis dengan ijtihad yang diambil dari pokok-pokok fikih
imam madzhab. Para ulama hingga kini berlomba-lomba menulis buku terkait dengan
madzhab yang dianutnya.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam
Malik, Imam Ahmad, Imam Al Ghazali, Imam Nawawi, dan ulama-ulama lainnya,
nama-namanya begitu dikenal dalam sejarah. Mereka akan selalu hidup di benak
sanubari kaum muslimin berkat karya-karya yang telah mereka tulis.
Beragamnya
Tema Buku yang Ditulis Para Ulama
Saya kaget ketika pada suatu ketika
mendapatkan sebuah buku terjemahan berjudul "Bergonju: Seni Bercinta dalam
Islam" karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi di sebuah pameran buku. Saya
bertanya dalam hati, apakah benar penulis buku tersebut adalah beliau? Saya
berkeliling mencari buku yang serupa, saya dapatkan buku "Sutra Ungu"
karya Abu Umar Basyir. Saya berkata dalam hati menyimpulkan, bila ada ulama
sekarang menulis masalah seks tentu merujuk pada ulama-ulama terdahulu. Saya
berkata lagi, tema yang serupa pasti juga pernah dibahas oleh para ulama
lainnya dan entah berapa buku yang telah ditulis mengenai hal ini. Hanya karena
ketidaktahuan saya membuat saya kaget; ulama sekelas Imam Jalaluddin As-Suyuthi
menulis buku tentang seks! Walaupun dijual bebas, buku ini bagusnya dibaca bagi
mereka yang akan dan sudah menikah. Karena disana ada cara-cara dan posisi
dalam berhubungan intim suami-istri *_*
Buku-buku seks seperti ini mengingatkan
saya pada buku-buku dengan tema lain yang ditulis oleh para alim ulama.
Misalnya buku tentang tema "cinta" seperti buku Raudhatul Muhibbin
karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dan Thauqul Hamamah karya Imam Ibnu Hazm.
Kedua buku ini begitu dalam membahas tema cinta walaupun dengan bahasa yang
berbeda. Ada bahasan tentang sifat-sifat orang yang jatuh cinta, bagaimana
mengatasi mabuk asmara, kisah-kisah orang yang terlibat percintaan, dan
sebagainya. Yang hebat, keduanya ditulis oleh ulama pakar syariah, ahli ilmu
hadits dan fikih. Keduanya ibarat psikolog yang mengetahui tentang seluk beluk
cinta. Dan mungkin, keduanya memang psikolog cinta yang sesungguhnya. Banyak
buku yang mereka tulis menunjukkan keahlian mereka dalam ilmu psikologi.
Lagi-lagi karena sedikitnya buku cinta yang ditulis ulama yang saya baca, saya
baru mengetahui dua buku ini. Diluar sana mungkin masih banyak buku dengan tema
serupa.
Para ulama juga menulis buku yang lain
daripada yang lain, misalnya lagi tentang tata cara memperlakukan buku,
bagaimana meraut ujung pena agar tulisan lebih baik, dan bagaimana menjadi
penyalin buku yang baik. Simak penuturan Imam Musa Almawi dalam bukunya yang
berjudul Mu'id fi Adab Al-Mufid wa Al-Mustafid sebagaimana dikutip Franz
Rosenthal dalam "Etika Kesarjanaan Muslim", "Buku-buku harus
diatur menurut subjeknya, dan buku yang paling penting harus ditempatkan paling
atas. Urutan berikut ini harus dipatuhi: pertama adalah Al-Qur'an; lalu kitab
hadits shahih, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim; selanjutnya tafsir
Al-Qur'an; berikutnya komentar terhadap kitab hadits; disambung kitab-kitab
fikih; lalu kitab ushuluddin dan ushul fiqh; terus buku-buku tata bahasa,
puisi, dan ilmu-ilmu lain."
Imam Ibnu Jama'ah juga menulis tema
serupa yang ditulis Imam Musa Almawi. Judul bukunyaTadzkirah Al-Sami' wa
Al-Mutakallim fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'allim. Beliau berkata, "Jika ada
dua buku tentang subjek yang sama, maka buku yang lebih banyak mengandung kajian
Al-Qur'an atau hadits hendaklah ditempatkan di atas. Jika dalam hal ini
keduanya sama, maka tingkat pentingnya pengarang buku tersebut mesti
dipertimbangkan. Jika dalam hal itu kedua pengarang sama, maka pengarang yang
lebih tua umurnya dan lebih dicari para ulama ditempatkan lebih atas. Kalaupun
dalam hal ini keduanya sama, maka buku yang lebih benar penulisannya harus
ditempatkan di atas."
Coba dengarkan lagi beberapa nasehat Imam
Almawi, "Buku tidak boleh dijadikan tempat menyimpan lembaran-lembaran keras
atau benda-benda lain yang serupa. Buku tidak boleh dijadikan bantal, dijadikan
kipas, sandaran punggung atau alas berbaring, atau dipakai untuk membunuh
lalat. Untuk menandai halaman yang sedang dibaca, pinggir atau sudut halaman
buku tidak boleh dilipat. Orang-orang bodoh sering melakukan hal itu."
Kata Imam Ibnu Jama'ah, "Untuk penanda bacaan harus dipakai selembar
kertas atau yang serupa itu, tetapi tidak boleh dari potongan kayu atau apapun
yang terbuat dari bahan yang keras."
Subhanallah, sampai sedetail itu para
ulama kita dalam menguraikan sebuah pengetahuan. Hampir semua ilmu yang
berkembang saat itu ada bukunya. Tapi sayang sekali, yang sampai kepada kita
baru sedikit daripadanya. Apalagi banyak buku yang ditulis para ulama itu
hilang atau dimusnahkan seperti yang pernah dilakukan oleh pasukan Mongol saat
menyerbu Baghdad (ibukota kekhalifahan Abbasiyah). Buku-buku yang ada
diperpustakaan besar dibuang ke sungai Tigris hingga sungai pun berubah warna
menjadi hitam karena tinta. Kejadian ini ibarat pukulan hook, dalam tinju,
membuat umat Islam sempoyongan dan mundur beberapa langkah. Banyak akhirnya
para ulama dan ilmuwan setelah kejadian itu berusaha mencari salinan buku yang
dimusnahkan itu. Salah satu caranya adalah dengan berteriak, "Wahai fulan,
apakah kalian mempunya buku anu?" saat berada ditanah suci pada musim
haji. Karena saat itu berkumpul jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru
dunia. Itulah mengapa para ulama berusaha mendapatkan buku yang dimaksud pada
saat itu. Bila ada yang punya, maka para ulama itu tidak segan-segan untuk
menyalinnya meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk
mendapatkannya. Di antara para ulama yang menjadi "jembatan"
ilmu-ilmu masa lalu untuk disampaikan oleh umat terkemudian adalah Imam Jalaluddin
As-Suyuti. Beliau berhasil merangkum banyak pengetahuan dari buku-buku langka
itu. Konon kabarnya jumlah buku yang beliau tulis mencapai 500 jilid.
Buku-buku yang ditulis ulama zaman dahulu
mungkin tidak kalah hebat dengan yang ditulis oleh orang-orang zaman sekarang,
khususnya cerdik pandai dari dunia Barat. Kelebihannya adalah, buku-buku itu
ditulis oleh para ulama yang memiliki jiwa tauhid, paham syariah, dan memiliki
akhlak yang baik. Melewati fase kemunduran Islam artinya kita memulai dari apa yang
ada atau memulainya dari nol. Dan ini merupakan pekerjaan rumah umat. Karena
kita harus yakin bahwa kejayaan itu akan kembali berulang di masa yang akan
datang. Apakah kita menjadi bagian di dalamnya?
Semangat
Para Salaf Dalam Menulis Ilmu
Menulis memiliki banyak sekali kegunaan.
Selain sebagai pengikat ilmu pengetahuan, menulis juga banyak digunakan sebagai
hobi yang menyenangkan. Menulis diary, jurnal, novel, puisi, cerita, bahkan tak
sedikit orang yang setiap hari menulis hanya untuk update status.
Memiliki hobi menulis tentu sangat
bermanfaat terutama dalam kancah menuntut ilmu syar’i. Para ulama salaf adalah
teladan kita dalam hal ini. Dengan besarnya semangat, kerja keras, dan
keikhlasan, mereka telah memberi kita khazanah ilmu yang sangat
berharga dalam buku – buku yang mereka tinggalkan.
Dalam postingan kali ini, akan kami
berikan sedikit kisah dan untaian hikmah para salaf yang semoga dapat menambah
semangat kita dalam menuntut ilmu.
Ia Menulis Sementara Aku Tidak
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata (
tidak ada satupun sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lebih banyak
haditsnya daripada aku, kecuali Abdullah bin Amr, karena sesungguhnya ia
menulis sementara aku tidak menulis ) diriwayatkan oleh bukhari : 113
Tulislah Walau Di Dinding
As Sya'by rahimahullah berkata ( bila
engkau mendengar sesuatu maka tulislah walaupun di dinding ) diriwayatkan oleh
Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu no 146
Segera Ia Tulis Karena Takut Hilang
Al Humaidy rahimahullah berkata ( aku
pernah pergi bersama Syafi'I ke Mesir, Ia tinggal di atas sementara aku tinggal
di tengah, suatu saat aku keluar malam hari dan aku melihat ia menyalakan
lentera, maka aku pun berteriak kepadanya, ia mendengar suaraku lalu ia berkata :
naiklah, maka aku naik ternyata ada kertas dan tinta, aku berkata : apa yang
engkau lakukan wahai Abu Abdillah ? Ia berkata : terpikirkan olehku makna
suatu hadits atau suatu masalah ilmiyah dan aku takut akan hilang dariku maka
aku menyalakan lentera dan menulisnya ) Manakib As Syaafi'I : 43
Banyak Sekali Kitab Yang Telah Ia Salin
Dengan Tangannya
Adalah Muhammad bin Ahmad bin Qudamah
rahimahullah telah menulis ulang banyak sekali kitab dengan tanganya sendiri
diantaranya : Al Mughny, Tafsir Al Baghawy, Hilyatul Auliyaa, Al Ibaanah milik
Ibnu Batthah, dan banyak juga mushaf Al Qur’an yang ia salin. ( Dzail
Thabaqaat Hanabilah 2 / 53 )
Bila Tidak Ditulis Maka Sia – Sia
Ma’mar rahimahullah berkata ( aku
meriwayatkan beberapa hadits kepada Yahya bin Abi Katsir , lalu ia berkata :
tuliskan untukku hadits ini dan hadits ini, maka aku berkata : aku tidak suka
menulis ilmu, ia berkata : tulislah karena sesungguhnya bila engkau tidak
menulis maka engkau telah berbuat sia – sia ) atau ia berkata ( …..engkau akan lemah
) diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf no. 20488
Jangan Pergi Sampai Aku Menulisnya
Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah
berkata ( aku pernah berjalan bersama Abdullah bin Mubarak lalu aku ingatkan ia
tentang suatu hadits, maka ia berkata : jangan pergi sampai aku menulisnya )
Hilyatul Auliyaa ( 9 / 3 )
Ia Menulis Apapun Yang Ia Dengar
Abu Az Zinaad rahimahullah berkata (
dahulu kami hanya menulis halal dan haram saja, sementara Ibnu Syihab menulis
apapun yang ia dengar, maka tatkala hal – hal tersebut dibutuhkan, akupun tahu
bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang paling berilmu ) Siyar A’laamin Nubala ( 5
/ 332 )
Tanpa Tulisan Tak Akan Bisa Hafal
Abu Shalih Al Faraa’ rahimahullah
berkata ( aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang pentingnya
menulis ilmu, maka ia berkata : kalau bukan karena tulisan tentulah kita tak
akan hafal ) Siyar A’laamin Nubalaa ( 8 / 409 )
Menulis Sambil Berdiri
Abu Fadhl bin Nabhan Al Adiib
rahimahullah berkata ( suatu ketika aku melihat Abul Alaa di dalam salah satu
masjid diantara masjid – masjid Baghdad, Ia sedang menulis sambil bediri diatas
kedua kakinya, karena lentera – lentara di tempat itu sangat tinggi ) Dzail
Thabaqaat Hanabilah 1 / 326
Seakan Setiap Hari Menulis Enam Puluh
Lembar Lebih
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At
Thabary rahimahullah bisa dibilang keajaiban bagi umat islam. Ia telah menulis
banyak kitab dalam berbagai bidang ilmu, seandainya jumlah seluruh kertas yang
telah ia tulis dibagi dengan jumlah umurnya, maka seakan setiap hari beliau
menulis enam puluh lembar lebih. Suatu ketika ia menyuruh murid – muridnya
untuk menulis tarikh islam atau tafsir, lalu beliau meminta disediakan tiga
puluh ribu lembar kertas. Maka para muridnya berkata ( pekerjaan ini akan
membutuhkan waktu yang sangat panjang ) maka ia berkata kepada mereka ( Allahu
Akbar ! telah matikah semangat kalian, sediakan tiga puluh ribu lembar kertas )
Tadzkiratul Huffadz 2 / 712