Saat Abu Thalib mendekati akhir usia, berkumpullah
tokoh-tokoh besar di sekitarnya. Penghulu manusia, Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan tokoh kekafiran juga pemuka Quraisy, Abu Jahal dan Abdullah bin
Abi Umayyah. Kehadiran para tokoh yang kontradiktif inilah, membuat peristiwa
wafatnya Abu Thalib memuat banyak pelajaran.
Ketika ajal Abu Thalib telah dekat, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam segera menuju rumah sang paman. Beliau berharap pamannya yang
turut memperjuangkan dakwah ini, melisankan syahadat di akhir hayat.
Meninggalkan dunia dengan menyandang status seorang muslim. Sehingga menjadi
sebab bergantinya keadaan, dari berhadapan dengan ancaman neraka berganti
dengan nikmat surga.
Akan tetapi bukan hanya Rasulullah saja yang mengetahui
Abu Thalib sedang menghadapi sakaratul maut, Abu Jahal pun tahu kabar itu.
Jadilah peristiwa wafatnya Abu Thalib sebuah pertemuan antara kebenaran dan
tokohnya dengan kebatilan juga dan dedengkotnya.
Dari Said bin al-Musayyib rahimahullah dari ayahnya,
ayahnya berkata, “Kala Abu Thalib telah dekat dengan ajal, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya. Saat itu, telah ada di sisi
Abu Thalib, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
أَيْ عَمِّ، قُلْ: لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ.
“Paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Sebuah kalimat yang nanti
akan kubela engkau di hadapan Allah.”
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah tidak membiarkan
teman mereka ini ingkar dengan ajaran nenek moyang. Keduanya mengatakan,
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Apakah engkau membenci agamanya Abdul
Muthalib?”
Rasulullah terus mendakwahi pamannya.
Tapi selalu ditimpali oleh kedua gembong kemusyrikan ini. Akhirnya Abu Thalib
menutup seruan-seruan itu dengan ucapan, “Di atas agamanya Abdul Muthalib.” Ia
enggan mengucapkan laa ilaah illallah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«وَاللَّهِ
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ»
“Demi Allah, sungguh aku akan memohonkan
ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
﴿مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik.” [Quran At:Taubah:113]
Tentang Abu Thalib, Allah turunkan ayat
pula kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
﴿إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [Quran 28:56].
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari
dalam Kitab at-Tafsir, Suratul Qashash (4494). Dan Muslim dalam Kitabul Iman,
Bab Awwalul Iman Qaulu: Laa ilaaha illallaah (24).
Doa yang ingin dipanjatkan Rasulullah
adalah bentuk balas budi. Paman yang mengasuh dan melindunginya. Paman yang
turut membantu Islam tersebar saat tokoh-tokoh Quraisy berusaha menghadangnya.
Tapi kebaikan itu tak bernilai tanpa keimanan. Kebaikan yang banyak tak akan
diterima dengan kekufuran.
Nasab bukanlah faktor keselamatan di
akhirat. Kalau keluarga Nabi Muhammad dijamin surga dan terjaga dari dosa,
tentu Abu Thalib dan Abu Lahab yang merupakan paman beliau lebih layak
mendapatkannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada pamannya, Abu Thalib,
«قُلْ: لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»، قَالَ: لَوْلَا
أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ. يَقُولُونَ: إِنَّمَا
حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ. لأَقْرَرْتُ
بِهَا عَيْنَكَ. فَأَنْزَلَ
اللهُ: ﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ﴾ [القصص: 56]
“Ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Akan
aku persaksikan kalimat itu untukmu nanti di hari kiamat.”
Abu Thalib menjawab, “Sekiranya bukan
karena cemoohan orang-orang Quraisy. Mereka akan mengatakan, ‘Dia mengucapkan
itu karena jiwanya panik’. Pasti kuucapkan kalimat itu agar jiwamu tenang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
[Quran 28:56]. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman, Bab
Awwalul Iman Qaulu: laa ilaaha illallah (25), at-Turmudzi (3188), dan Ahmad
(9608).
Dalam kisah wafatnya Abu Thalib ini, kita
melihat ada empat orang laki-laki. Ada Abu Jahal, Abdullah bin Abi Umayyah bin
al-Mughirah, Abu Thalib, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari
masing-masing tokoh ini bisa kita petik pelajaran yang penting. Insya Allah
kita lanjutkan di tulisan berikutnya.
Penutup
Sebagian orang menyangka, Abu Jahal
hanyalah bagian dari salah satu babak sejarah. Tindak-tanduknya hanyalah
antagonis pelengkap sirah Nabi. Sebagaimana orang-orang yang mewarisi ajaran
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terus ada hingga kiamat, demikian
juga pewaris-pewaris Abu Jahal yang menentang ajaran Nabi akan terus
bermunculan. Karakter Abu Jahal terus berulang. Banyak orang semisalnya dalam
kurun zaman dan tempat. Bahkan tokoh-tokoh kezhaliman (para thaghut), tak jauh
keadaanya dari gembong kekafiran Quraisy ini.
Namun bagaimana keadaan para thaghut itu
pada akhirnya? Kekuasaan mereka lenyap. Kesombongan mereka tak tersisa.
Ketenaran dan kuasa mereka dilupakan. Hilang terhembus angin.
Di tulisan sebelumnya, telah dibahas
bagaimana peristiwa wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Thalib. Bagaimana Nabi berusaha mendakwahi sang paman di akhir hayat. Dan
bagaimana pula tokoh-tokoh kekufuran, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah,
tak mau kalah menyerukan kekufuran untuk teman mereka.
Orang pertama yang akan kita bahas dalam
tulisan kali ini adalah Abu Jahal.
Abu Jahal
Namanya adalah Amr bin Hisyam
al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang bijaksana. Mampu menyelesaikan
perselisihan antara dua orang dengan putusan yang membuat keduanya lapang.
Karena itu ia digelari Abul Hakam (tokoh yang bijaksana) oleh orang-orang Mekah.
Saat risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang, ia menolaknya. Alasannya, hanya dengan alasan fanatik kesukuan.
Sehingga dalam Islam ia disebut dengan Abu Jahal (bapak kebodohan).
Dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib, kita
bisa mengetahui bahwa Abu Jahal adalah seorang yang sangat bersemangat turut
andil dalam peristiwa penting di Mekah. Ia senantiasa memperhatikan setiap
perkembangan yang dapat mengokohkan syiar kekufuran. Ia gelontorkan seluruh
daya upaya. Kesungguhan maksimal, waktu siang dan malam yang bernilai, harta
hasilnya berniaga, tak membuatnya reda rasa luka, ia tahan kantuk yang membuat
mata tekatup, semua itu ia lakukan demi menghalangi dakwah Rasulullah.
Sosok Abu Jahal memang telah berlalu.
Tapi spirit dan pemikirannya tetap hidup di sebagian jiwa manusia. Kita temui
ada orang-orang tertentu yang rela berpeluh letih untuk menghalangi tersebarnya
agama ini. Ia kerahkan segala kemampuan. Tenaga, lobi, harta, bahkan jiwa agar
Islam tidak dikenal manusia. Akhir kehidupan mereka pun sama. Mereka telah
menyia-nyiakan masa hidup di dunia. Di dunia dada mereka sesak karena tak mampu
menghalangi cahaya Allah. Di akhirat adzab yang pedih disediakan untuk mereka.
يريدون ليطفئوا نور الله بأفواههم والله متم نوره
ولو كره الكافرون
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah
dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan
cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” [Quran: ash-Shaf :8].
Abu Jahal hadir di akhir hayat Abu
Thalib, ia tak rela Abu Thalib tutup usia sebagai seorang mukmin yang
mengesakan Allah Ta’ala. Ia tak sudi kalau temannya wafat dalam keadaan
membenarkan risalah kenabian anak saudaranya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sekiranya Abu Thalib tutup usia dengan kalimat syahadat, tentu hal ini
menjadi pukulan keras untuk syiar kekufuran di Mekah. Keimanan Abu Thalib tentu
menginspirasi anggota-anggota kabilah Bani Abdu Manaf, Bani Hasyim, dan Bani
Abdul Muthalib yang belum beriman untuk beriman pula. Atau setidaknya mereka
akan menggantikan Abu Thalib melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena itu, Abu Jahal mewajibkan dirinya
hadir di sisi Abu Thalib. Mendampingi dan memastikannya berada di atas
kekufuran hingga ruh keluar dari jasadnya. Inilah sosok Abu Jahal.
Abdullah bin Abi Umayyah
Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah
al-Makhzumi. Kehadiran Abdulllah bin Abi Umayyah dalam peristiwa ini cukup
menarik. Ia memiliki kedekatan dengan Islam dan kekufuran dalam level yang
sama. Ia adalah sepupu Abu Jahal dari pihak ayah. Di sisi lain, ia juga sepupu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ibu. Ibunya adalah Atikah
bin Abdul Muthalib, bibi Rasulullah sekaligus saudari perempuan Abu Thalib bin
Abdul Muthalib. Tapi, karena nasab itu dari jalur ayah, jadilah Abdullah bin
Abi Umayyah seorang Makhzumi (berasal dari bani Makhzum).
Sebagaimana telah kita ketahui, dalam
kisah “Kata Abu Jahal Tentang Pribadi Nabi Muhammad”, bani Makhzum selalu
bersaing dengan bani Hasyim (kabilah Rasulullah). Dari sinilah, Abdullah bin
Abi Umayyah merasa berkepentingan membela gengsi kabilahnya. Sekaligus
mempertahankan agama pamannya dari pihak ibu, Abu Thalib, agar terus berada di
atas kekufuran.
Selain memiliki kedekatan nasab dengan
Rasulullah, Abdullah bin Abi Umayyah juga memiliki sifat mulia. Ia laki-laki
yang cerdas, bijak, dan dermawan. Kedermawanannya terwarisi dari sang ayah, Abi
Umayyah, yang dikenal sebagai Zadur Rukab. Karena kebiasannya menanggung
makanan dan perbekalan semua orang yang bersafar dengannya (ath-Thabari, Tarikh
ar-Rusul wa al-Muluk, 11/539).
Inilah nasab Abdullah bin Abi Umayyah
yang cukup unik dalam permasalahan ini. Namun ia lebih memilih kekufuran. Lebih
dekat dengan sepupunya Abu Jahal dibanding sepupu lainnya, yakni Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah pengaruh teman dekat.
Alasan lain yang membuat Abdullah bin Abi
Umayyah benci terhadap Islam adalah anggapannya bahwa Islam memecah belah
hubungan keluarga. Saudarinya, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, memeluk Islam
bersama suaminya Abu Salamah. Hubungan kekerabatan pun retak. Ia memandang
Muhammad adalah pemecah belah keharmonisan keluarganya. Permusuhan dengan Islam
dan Nabi Muhammad pun ia kumandangkan.
Disebutkan, Abdullah bin Abi Umayyah
menyatakan kepada Rasulullah, sekiranya beliau bisa mengeluarkan mata air di
Mekah, ia akan beriman. Berkaitan dengan ini, Allah Ta’ala menurunkan
firman-Nya,
Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali
tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami,
atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan
sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit
berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah
dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah
rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan
mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang
kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang
manusia yang menjadi rasul?” Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia
untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya.” [Quran Al-Isra: 90-94].
(ath-Thabari, Jami’ul Bayan 17/558).
Oleh karena itu, Abdullah bin Abi Umayyah
datang bersama Abu Jahal mengupayakan segala kemampuannya menghalangi manusia
dari Islam. Ia meyakini usaha yang ia lakukan ini adalah demi kemaslahatan
pamannya dari pihak ibu, Abu Thalib.
Hari-hari terus berlalu, debu-debu
kekufuran Mekah pun tertiup angin tauhid. Kebenaran datang menggusur kebatilan.
Mekah menjadi negeri muslim melalui peristiwa Fathu Mekah. Lebih dari 10 tahun
sudah Abu Thalib wafat. Abdullah bin Abi Umayyah mulai mempertimbangkan memeluk
Islam. Ia keluar bersama Abu Sufyan. Berharap selamat dari kemungkinan hukuman
mati. Keduanya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk bertemu. Awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak
menemui kedua tokoh ini, walaupun keduanya telah melobi beliau melalui Ummu
Salamah, saudari Abdullah bin Abi Umayyah yang telah menjadi istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
mengatakan, “Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abi Umayyah bin
al-Mughirah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Tsaniyah
al-‘Iqab (dekat Juhfah) antara Mekah dan Madinah. Keduanya meminta izin bertemu
Nabi. Ummu Salamah berkata kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, anak pamanmu dan
anak bibimu serta kerabat istrimu (iparmu) (ingin bertemu pen.)’ Rasulullah
menjawab, ‘Aku tidak ada keperluan dengan mereka. Adapun anak pamanku (Abu
Sufyan), ia sangat berlebihan dalam merusak kehormatanku. Sedangkan anak bibi
sekaligus iparku, ia telah mengatakan padaku apa yang ia katakan sekwatu di
Mekah’.”
Saat keduanya mendengar kabar penolak
Rasulullah, Abu Sufyan yang bersama anaknya saat itu mengatakan, “Demi Allah,
Rasulullah mengizinkan kita atau aku akan membawa anakku ini pergi ke suatu
tempat. Biar kami mati kehausan atau kelaparan di sana. Ketika ucapan itu
sampai kepada Rasulullah, beliau merasa iba pada keduanya. Kemudian
mempersilahkan keduanya masuk. (HR. al-Hakim 4359. al-Hakim mengatakan hadits
ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim, walaupun ia tidak
meriwayatkannya).
Setelah memeluk Islam, Abdullah bin Abi
Umayyah memegang teguh ajaran Islam dengan baik. Imannya kokoh. Ia turut serta
dalam Perang Hunain bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
ia syahid di Perang Thaif. Wafat disaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab 3/868, Ibnul Atsir: Asadul Ghabah 3/176,
Ibnu Hajar al-Asqalani: al-Ishabah 4-12/10).
Luar biasa sekali lika-liku hidup
Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu. Dari seseorang yang memusuhi
Rasulullah dan Islam. Menantang Nabi memancarkan mata air dari bumi, baru ia
mau memeluk Islam. Membuat Nabi sangat bersedih, karena menjadi sebab wafatnya
paman beliau tanpa mengucapkan syahadat seperti yang beliau harapkan. Kemudian memeluk
Islam dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya syahid di Perang Thaif. Segala puji
bagi Allah Yang Maha membolak-balikkan hati manusia.
Demikianlah keutamaan Islam, ia menghapus dosa-dosa
terdahulu. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amr bin
al-Ash,
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا
كَانَ قَبْلَهُ
“Apakah engkau belum tahu bahwa
sesungguhnya Islam itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya
?” (HR. Muslim).
Keislamannya pun baik sehingga Allah
wafatkan ia dalam keadaan husnul khotimah.
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ رواه
البخاري وغَيْرُهُ.
“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”.
(HR. Bukhari dan selainnya).
Sebagaimana sosok Abu Jahal diperankan oleh person yang
berbeda di setiap zaman dan tempat, demikian pula sosok Abdullah bin Abi
Umayyah. Kisahnya juga terulang di kurun perjalanan kehidupan. Hanya saja
pemerannya yang berbeda. Betapa banyak kita melihat seseorang, yang sebenarnya
ia dekat dengan Islam dan iman. Tapi ada penghalang duniawi yang menutupinya
dari cahaya Islam. Saat tabir penghalang itu hilang, ia menjadi seorang yang
kuat imannnya. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan wafat dalam
keadaan berjihad di jalan Allah.
Hanya saja, ketika orang ingkar kepada Allah,
syariat-Nya, dan Rasul-Nya, dirinya sendiri dan orang lain tidak tahu, akhir
hayatnya akan seperti Abu Jahal yang tetap dalam kekufuran atau seperti
Abdullah bin Abi Umayyah yang mendapatkan husnul khotimah.
Inilah sosok kedua dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib,
yakni Abdullah bin Abi Umayyah.
Dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib, ada empat tokoh
besar yang duduk bertemu. Dua orang di antaranya telah kita uraikan di tulisan
sebelumnya. Banyak pelajaran yang kita dapati dan kaji dari keduanya. Pelajaran
yang bisa kita adaptasi dengan realita kekinian. Berikutnya, tokoh ketiga
adalah paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib bin Abdul Muthalib.
Abu Thalib
Mungkin, penolakan Abu Jahal terhadap Islam membuat kita
terheran. Bagaimana seorang yang dijuluki Abu al-Hakam, bapak kebijaksanaan,
bisa menolak Islam dengan alasan gengsi kesukuan. Sebaliknya, kita juga takjub
dengan Abdullah bin Abi Umayyah. Bagaimana lika-liku kehidupan yang ia alami hingga
mengantarkannya pada hidayah dan syahid di akhir hayat. Tapi, kisah Abu Thalib
akan membuat kita lebih terheran lagi. Bagaimana ia bisa menolak Islam?!
Begitu banyak jalan dan sebab yang memungkinkan Abu
Thalib menerima Islam dan menjadi seorang mukmin. Ia seorang yang cerdas.
Matanya menyaksikan, bagaimana wahyu turun pada anak saudaranya sejak hari
pertama. Ia tahu dan yakin wahyu itu benar. Tak pernah ia dustakan keponakannya
yang mengklaim diri sebagai nabi. Rasulullah sangat mencintainya. Demikian juga
dia, keponakannya ini berada di tempat istimewa di hatinya. Ia laki-laki
terhormat. Tokoh bani Hasyim yang turut berbangga, terlahir seorang nabi dari
kabilahnya. Rasulullah berjanji membelanya di hari kiamat jika ia mengucapkan
laa ilaaha illallaah. Tapi tak diindahkannya. Setelah semua itu, ia akhiri
hayatnya dengan berpegang pada agama ayah dan kakek-kakeknya.
Abu Thalib sangat dekat dengan Nabi. Melebih kedekatan
Nabi dengan dua orang sahabat istimewanya, Umar bin al-Khattab dan Utsman bin
Affan. Tapi, demikianlah hidayah. Ia tak mengenal nasab dan kedudukan sosial.
Dari sini kita bersyukur, Allah memilih kita menerima Islam. Nikmat terbesar
yang tidak didapatkan oleh keluarga Nabi, paman beliau sendiri.
Fanatik Kesukuan (Ashobiyah)
Abu Thalib mengungkapkan alasan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ia enggan mengucapkan kalimat tauhid.
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ؛ يَقُولُونَ:
إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ
“Sekiranya bukan karena cemoohan
orang-orang Quraisy. Mereka akan mengatakan, ‘Dia mengucapkan itu karena
jiwanya panik (takut)’. Pasti kuucapkan kalimat itu agar jiwamu tenang.”
Sebagai seorang tokoh bani Hasyim, Abu
Thalib merasa berkewajiban menjaga wibawa kabilah. Ia tak ingin orang-orang
menyangka tokoh kabilah bani Hasyim ketakutan di akhir hayat. Sehingga turunlah
marwah kabilah.
Abu Thalib juga mencintai ayahnya, Abdul
Muthalib, dan kakek-kakeknya, Hasyim, Abdu Manaf, dll. Cinta yang dibangun di
atas fanatik kesyirikan. Cinta yang menutup hatinya dari cinta hakiki.
Kecintaan yang menjadi hijab dari fitrahnya. Kalau dia beriman, sama saja telah
memvonis ayah dan kakek-kakeknya berada dalam kesesatan. Sebab ini juga yang
banyak menghalangi orang Arab menerima Islam.
Fanatik kesukuan (ashobiyah) sampai
tingkat demikian, tidak dimiliki oleh ras manapun di dunia ini kecuali bangsa
Arab. Allah Ta’ala menggambarkan bagaimana ashobiyah bangsa Arab:
﴿قَالُوا
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ﴾
Mereka berkata: “Apakah kamu datang
kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang
biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan
kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. [Quran Al-A’raf:70].
Allah Ta’ala berfirman,
﴿وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. [Quran
Al-Baqarah:170].
Firman-Nya yang lain,
﴿وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا
حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ﴾
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:
“Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan
apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. [Quran
Al-Maidah:104].
Dan firman-Nya juga,
﴿بَلْ
قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ
مُهْتَدُونَ * وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ
نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى
مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ
كَافِرُونَ﴾
Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rasul itu) berkata:
“Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama)
yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu
menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu
diutus untuk menyampaikannya”. [Quran Az-Zukhruf: 22-24].
Seperti ini pula keadaan Abu Thalib.
Tampak bagi kita, Abu Thalib lebih
mencintai ayahnya dibanding Allah. Dalam hatinya, membuat Abdul Muthalib senang
walaupun ia sudah tiada itu lebih dikedepankan dibanding membuat Rasulullah
yang masih hidup bahagia. Kemudian Allah ungkapkan isi hatinya melalui
kata-kata terakhirnya itu. Ia menolak hidayah. Ia menzhalimi dirinya sendiri. Mengetahui
kebenaran tapi menepisnya dan lebih memperturutkan hawa nafsunya.
Jasa Yang Terkubur Dosa
Tidak diragukan lagi, Abu Thalib memiliki
jasa besar dalam dakwah Islam. Ia melindungi Rasulullah dan menghadang
intimidasi pembesar-pembesar Mekah terhadap keponakannya itu. Rasulullah sangat
mencintainya. Dan berharap agar sang paman memeluk Islam. Kita tidak memungkiri
keutamaannya ini. Di sisi lain, kita juga tidak boleh berlebihan memujinya.
Menyebutnya sebagai seorang muslim dan beriman. Ada dua hal yang harus kita
perhatikan dalam menilai sosok Abu Thalib:
Pertama: Meskipun Abu Thalib memiliki
jasa besar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia
mempraktikkan dosa yang paling besar. Yaitu dosa syirik. Dari Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم أيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ؟ قَالَ: «أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ
خَلَقَكَ»
“Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”
Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan untuk Allah, padahal Dia yang
menciptakanmu.” “Aku pun berkata kepada beliau, ‘Jika demikian, hal ini
benar-benar serius (besar)’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir, Surah
al-Baqarah (4207) dan Muslim dalam Kitab al-Iman, Bab Kaunu asy-Syirki Aqbahu
adz-Dzunub wa Bayanu A’zhamuha Ba’dahu (86)).
Allah Ta’ala berfirman,
﴿إِنَّ
اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Quran An-Nisa:48].
Dan firman-Nya,
﴿إِنَّ
اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
[Quran An-Nisa:116].
Dalil-dalil di atas menunjukkan betapa
buruknya apa yang telah dilakukan Abu Thalib. Ia membawa mati sosa syirik. Dosa
yang tidak diampuni apabila pelakunya mati dan tak sempat bertaubat.
Demikianlah seriusnya keadaan seseorang yang mempraktikkan kesyirikan.
Memang, Abu Thalib punya andil
menyebarkan dakwah di masa-masa sulit. Tapi ia juga memiliki kesahalan yang
besar. Ia menolak tunduk kepada Allah Ta’ala. Dan malah menghambakan diri
kepada Hubal, Latta, dan Uzza.
Kedua: Banyak nash-nash yang menjelaskan
bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka. Dan Allah Ta’ala melarang Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan untuknya. Ia telah divonis
sebagai ash-habul jahim. Allah Ta’ala berfirman,
﴿مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam.” [Quran At-Taubah:113].
Al-Musayyib bin Hazn radhiallahu ‘anhu
berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memahami realita bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan
musyrik. Sehingga Allah melarang beliau memintakan ampunan untuknya. Setelah
sebelumnya beliau berazam untuk memintakan ampunan. Sebgaimana sabda beliau,
«وَاللَّهِ
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ»
“Demi Allah, pasti aku akan mohonkan
untukmu ampunan selama aku tidak dilarang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun tak lagi memohonkan ampun untuknya. Beliau hanya diizinkan memberikan
syafaat. Sehingga Abu Thalib mendapatkan keringanan adzab di neraka. Allah
Ta’ala adalah Maha Adil dan Bijaksana, tidak melupakan jasanya menolong
Rasul-Nya dan dakwah sepanjang umurnya. Jadi, yang menyebabkan syafaat ini
bukan kedekatan kerabat, akan tetapi jasanya terhadap dakwah.
Berikut ini riwayat-riwayat tentang
syafaat terhadap Abu Thalib:
Dari al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ
يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟ قَالَ: «هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا
أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّا
“Apakah Anda tidak bisa menolong paman Anda? Karena dia
selalu melindungi Anda dan marah karena Anda.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia
berada di kerak neraka.” (HR. Ahmad 1774 dan Bukhari 3883).
Dari Abdullah bin al-Harits, ia berkata,
سمعتُ العباس رضي الله عنه، يقول: قلتُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا طَالِبٍ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ فَهَلْ نَفَعَهُ
ذَلِكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَجَدْتُهُ فِي غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ، فَأَخْرَجْتُهُ
إِلَى ضَحْضَاحٍ»
Aku mendengar al-Abbas radhiallahu ‘anhu
berkata, (Kata Abbas) Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Thalib
dulu melindungi dan menolongmu, apakah hal itu bermanfaat untuknya?” Rasulullah
menjawab, “Iya, aku melihatnya dalam kesengsaraan di neraka (paling bawah
pen.). Kemudian aku keluarkan (atas izin Allah pen.) ke permukaan neraka.” (HR.
Muslim dalam Kitab al-Iman, Bab Syafaatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
li-Abi Thalib wa at-Takhfif ‘anhu bi Sababihi (209)).
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudry
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata tentang paman beliau. Beliau bersabda,
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي
مِنْهُ دِمَاغُهُ
“Semoga bermanfaat syafaatku untuknya
pada hari kiamat. Dia ditempatkan di neraka yang paling atas. Yang api neraka
mencapai mata kakinya, yang dengan itu otaknya mendidih.” (HR. Al-Bukhari no. 3885
dan 6564, Muslim no. 210; dan yang lainnya).
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbsada,
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو
طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
“Penduduk neraka yang paling ringan
adzabnya adalah Abu Thalib. Yaitu dia memakai sandal yang membuat otaknya
mendidih.” (HR. Muslim dalam Kitabul Iman, Bab Ahwanu Ahlun Nar Adzaban (212)
dan Ahmad (2636)).
Tokoh keempat adalah Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah ada artikel tersendiri yang membahas
tentang beliau, berkaitan dengan peristiwa wafatnya Abu Thalib.
Penutup
Dari sini kita benar-benar sadar, betapa
bahayanya syirik. Amal shaleh apapun tidak ada yang bisa menutupinya. Sampaipun
amalan agung berupa menolong utusan Allah. Kita sadar, amalan yang
bukan karena Allah tidak akan diterima. Seperti halnya Abu Thalib, ia menolong
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Niatnya bukan karena Allah;
bukan karena mecintai agamanya, akidahnya, atau kenabiannya. Ia menolognnya
lantaran sama-sama anak keturunan Hasyim. Kecintaannya kepada Nabi adalah cinta
tabiat. Seperti cintanya seorang ayah kepada anak. Ia menolong Nabi semata-mata
agar anaknya ini selamat dari luka dan derita. Dan inilah bentuk niat karena
dunia. Ia tidak mendapat bagian apapun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
﴿مَنْ
كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ
ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا * وَمَنْ
أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ
سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا * كُلاًّ نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ
رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا * انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا *
لَا تَجْعَلْ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَخْذُولًا﴾
“Barangsiapa menghendaki kehidupan
sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami
kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka
jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan
barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang
yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan baik golongan
ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan
kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan
sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat
lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. Janganlah kamu adakan
tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak
ditinggalkan (Allah).” [Quran Al-Isra:18-22]
Oleh Nurfitri hadi (@nfhadi07)