Ayat
Mutasyabihat Bukanlah Penyebab Ahlul Bid'ah Menyimpang, Tetapi Mereka Sudah
Menyimpang Sebelum Itu.
Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh hafidzhahullah menyatakan:
....segala macam bentuk perpecahan yang
terjadi penyebabnya hanyalah karena hawa nafsu. Karena itu mereka (Ahlul Bid'ah
yang berpecah, pent) disebut sebagai Ahlul Ahwaa' (pengikut hawa nafsu).
Apakah adanya ayat atau hadits yang
mutasyabih (kurang jelas dipahami) dalam al-Quran dan Sunnah dianggap sebagai
penyebab keluarnya Ahlul Ahwaa’?
Jawabannya adalah: tidak demikian. Karena
Allah menjelaskan bahwa Ahlul Ahwaa’ *di dalam hati mereka ada penyimpangan
sebelum mereka melihat kepada dalil-dalil*. Allah berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ
Adapun orang-orang yang di hatinya ada
penyimpangan, mereka mengikuti (ayat) yang mutasyabih (kurang jelas dipahami)
karena menginginkan fitnah (kesesatan) dan menginginkan takwilnya (agar
mendukung kesesatannya, pent) (Q.S Ali Imran ayat 7).
Allah Yang Maha Suci telah berfirman di
awal ayat:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ
مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
(Dialah Allah) Yang menurunkan kepadamu
al-Kitab yang di antaranya terdapat ayat-ayat yang muhkam, yang merupakan induk
dalam kitab tersebut dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyabihaat (kurang
jelas dipahami)(Q.S Ali Imran ayat 7).
Maka Allah menjelaskan bahwasanya Dia
menjadikan Kitab-Nya di antaranya ada (ayat-ayat) yang muhkam dan ada yang
mutasyabih, yaitu samar bagi seseorang dalam mengetahuinya. Apa yang terjadi?
Sesungguhnya orang-orang yang di hati mereka ada penyimpangan mereka mengikuti
(ayat-ayat mutasyabihat itu). Allah berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ
Adapun orang-orang yang di hati mereka
ada penyimpangan, mereka mengikuti...(Q.S Ali Imran ayat 7).
Allah menetapkan penyimpangan di hati
mereka kemudian mensifati mereka sebagai pihak yang mengikuti ayat mutasyabihat.
Karena itu, ayat dan hadits yang mutasyabih dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah
ujian untuk menampakkan (perbedaan) Ahlul Ahwaa' dari Ahlussunnah wal Jamaah.
Adanya hawa nafsu dan penyimpangan di dalam hati membuat dia mencari-cari
(dalil) yang mendukung hawa nafsu dan penyimpangannya. Inilah yang disebutkan
dalam ayat itu. Allah berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ
Adapun orang-orang yang di hati mereka
ada penyimpangan, mereka mengikuti...(Q.S Ali Imran ayat 7).
Fa’ dalam ayat itu adalah tartiibiyyah
(menunjukkan urutan bahwa setelah menyimpang kemudian mengikuti ayat
mutasyabihat, pent).
(Ithaafus Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah
minal Masaa-il (36/2)).
Naskah Asli:
...كل
أنواع الافتراق التي حدثت إنما كانت لأجل الهوى، ولذلك سُمُّوا أهل الأهواء.
هل وجود المتشابه في القرآن والسنة يُعْتَبَرُ
سبباً في خروج أهل الأهواء؟
الجواب ليس كذلك؛ لأنَّ الله بيَّنَ أنَّ أهل
الأهواء في قلوبهم زيغ قبل أن ينظروا إلى الأدلة، فقال فَأَمَّا الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ
وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ )آل عمران:7(، قال سبحانه في أول الآية الَّذِي أَنْزَلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فبيَّنَ أنَّهُ جَعَلَ
كتابه منه محكم ومنه متشابه، يعني يشتبه على المرء العلم به.
ما الذي حصل؟
أنَّ الذين في قلوبهم زيغ اتَّبَعُوا قال
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ فأَثْبَتَ الزيغ في
قلوبهم ثم وصفهم باتباع المتشابه.
فإذاً المتشابه في الكتاب والسنة ابتلاء ليظْهَرَ
أهل الأهواء من أهل السنة والجماعة، فحُصُولُ الهوى والزيغ في القلب ينتج عنه أن
يبحَثَ عمَّا يُؤَيِّدُ به هواه ويُؤَيِّدُ به زيْغَهُ، وهذا ما نصت عليه الآية
قال فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ بالفاء الترتيبية.
WA al I'tishom
Sebagian kalangan berpandangan bahwa
perbedaan pendapat di antara umat Islam semestinya tidak perlu dibahas dan
diangkat ke permukaan, karena itu sama saja seperti menguliti luka lama yang
telah mengering. Jadi tidak usah ribut karena masalah peringatan maulid,
masalah tawassul kepada Nabi setelah wafat, masalah bid'ah dan syirik! Semua
itu telah menghabiskan energi umat Islam untuk menghadapi musuh yang sebetulnya
yaitu orang-orang kafir. Fokuslah menghadapi musuh sedangkan kita ini
bersaudara! Begitu celotehan mereka.
Tidak syakk lagi, pandangan di atas
adalah kebatilan yang berasal dari orang-orang harokah. Mereka lebih
mementingkan persatuan jasad daripada persatuan batin, mengklaim tauhid,
sunnah, inkarul munkar sebagai perkara furu' sedangkan mendirikan negara sebagai
ushuluddin, menggalang semua kalangan dalam satu wadah dengan mengenyampingkan
perbedaan pendapat masing-masing sekalipun menyangkut soal prinsip.
Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu
'alaihi wasallam telah menubuwwahkan perpecahan umatnya di belakang hari dan
siapakah yang akan selamat darinya?
Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu
'alaihi wasallam dan para Shohabatnya sangat kritis dan tegas mengingkari
kesalahan dalam masalah manhaj, aqidah dan tauhid?
Mereka lupa bahwa bid'ah dan syirik
sebagai sebab utama perpecahan, kekalahan dan jauhnya pertolongan Allah?
Mereka lupa bahwa bid'ah adalah pos paket
yang akan mengantarkan seorang muslim kepada kekufuran?
Mereka lupa bahwa para Shohabat dan para
Ulama yang datang setelahnya sangat lantang mengingkari bid'ah khowarij,
murji'ah, qodariyyah, syi'ah, mu'tazilah dan kelompok-kelompok menyimpang yang
lain?
Mereka lupa bahwa inti kekuatan umat
Islam di masa-masa kejayaan karena merealisasikan tauhid dengan
sebenar-benarnya, menghambakan diri hanya kepada Allah semata, meninggalkan
syirik, meninggalkan bid'ah dan segala bentuk pelanggaran terhadap
syari'at-Nya. Sedangkan sebab utama kekalahan umat karena meninggalkan sunnah,
beragama mengikuti tradisi, mengukur kebenaran dengan jumlah, dan mengabaikan
amar ma'ruf nahi munkar. Mereka lupa karena sedang mabuk hizbiyyah.
Lalu bagaimana sebetulnya menyikapi
perbedaan pendapat yang terjadi di antara umat Islam? Apakah setiap perbedaan
pendapat itu rohmat??
Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan
berkata, "Ikhtilaf (perbedaan pendapat) ada beberapa macam:
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻷﻭﻝ : ﺍﻹﺧﺘﻼﻑ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ؛
ﻷﻥَّ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﺠﺎﻻً ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩ ﻭﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻷﻧَّﻬﺎ ﻣﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﻻ ﻣﺴﺮﺡ
ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻴﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻟﻤَّﺎ ﺫﻛﺮ ﺍﻓﺘﺮﺍﻕ ﺍﻷُﻣﺔ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺙ
ﻭﺳﺒﻌﻴﻦ ﻓﺮﻗﺔ ﻗﺎﻝ : ( ﻛُﻠُّﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻَّ ﻭﺍﺣﺪﺓ ) . ﻗﻴﻞ : ﻣﻦ ﻫﻢ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
! ؟ ﻗﺎﻝ : ( ﻫُﻢ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻲ )
Pertama, perbedaan dalam masalah aqidah.
Khilaf dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena perkara aqidah tidak membuka
ruang ijtihad maupun perbedaan pendapat. Sebab aqidah dibangun langsung di atas
dalil dan menutup pintu ijtihad. Hal itu karena Nabi shollallahu 'alaihi
wasallam tatkala menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan beliau
menegaskan, "Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang
selamat. Ditanyakan kepada beliau, "Siapa mereka (golongan yang selamat
itu) wahai Rosulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah yang beragama
dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shohabatku."
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺍﻟﻔﻘﻬﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﺒﺒﻪ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ
ﻓﻲ ﺍﺳﺘﻨﺒﺎﻁ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻣﻦ ﺃﺩﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ ، ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻣِﻤَّﻦ
ﺗَﻮَﻓَّﺮﺕ ﻓﻴﻪ ﻣﺆﻫﻼﺕ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻗﺪ ﻇﻬﺮ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻣﻊ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ؛ ﻓﺈﻧَّﻪ ﻳﺠﺐ
ﺍﻷﺧﺬ ﺑﻤﺎ ﻗﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻭﺗﺮﻙ ﻣﺎ ﻻ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ
Kedua, perbedaan pemahaman. Khilaf dalam
perkara ini muncul karena adanya ijtihad tatkala mengambil kesimpulan hukum
fiqh dari dalil-dalilnya secara terperinci, tentu selama ijtihadnya itu
bersumber dari ahlinya. Akan tetapi, terkadang dalil telah nampak di hadapan
salah seorang mujtahid, maka wajib bagi dia mengambil apa yang dalil tegak di
atasnya dan meninggalkan yang tidak ada landasan dalilnya.
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - : ( ﺃﺟﻤﻌﺖ
ﺍﻷُﻣَّﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥَّ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳُﻨَّﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻟﻢ ﻳَﻜُﻦ
ﻟﻴﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝِ ﺃَﺣﺪ . ﻭﺫﻟﻚ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﻓَﺈِﻥ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ
ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ
ﺍﻵﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً )
Al-Imam Asy-Syafi'i - rohimahullah -
berkata, "Para Ulama telah bersepakat, bila telah jelas gamblang sunnah
Rosulillah shollallahu 'alaihi wasallam maka tidak boleh bagi siapapun
meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang. Karena Allah ta'ala
berfirman, "Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan
lebih baik lagi akibatnya."
Sebagian Ulama berkata:
ﻭﻟﻴﺲ ﻛُﻞُّ ﺧِﻼﻑ ﺟﺎﺀ ﻣﻌﺘﺒﺮًﺍ ... ﺇﻻَّ ﺧِﻼﻑ ﻟﻪ
ﺣَﻆٌّ ﻣِﻦ ﺍﻟﻨﻈﺮ
"Tidaklah setiap khilaf itu mu'tabar
(diakui), kecuali khilaf yang memiliki sudut pandang (hujjah)."
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﺍﻟﻔﻘﻬﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﻈﻬﺮ ﻓﻴﻪ
ﺩﻟﻴﻞ ﻣﻊ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ، ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﻳُﻨْﻜَﺮ ﻋﻠﻰ ﻣَﻦ ﺃَﺧﺬ ﺑﺄﺣﺪ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ، ﻭﻣِﻦ ﺛﻢ ﺟﺎﺀﺕ
ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ : ( ﻻ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ) .
ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻻ ﻳُﻮﺟِﺐ ﻋﺪﺍﻭﺓ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ . ﻷﻥَّ
ﻛُﻼًّ ﻣﻨﻬﻢ ﻳَﺤﺘﻤﻞ ﺃَﻧَّﻪُ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻖِّ
Ketiga, perbedaan yang bersumber dari
ijtihad fiqhi (pemahaman) lantaran dalilnya tidak nampak di antara Ulama yang
berselisih pendapat. Maka dalam hal ini tidaklah diingkari jika seseorang
mengambil salah satu pendapat. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang masyhur
terkait hal ini yaitu, "Tidak ada pengingkaran dalam menyikapi masalah
ijtihad (yang diperselisihkan)". Khilaf dalam masalah ini tidak melazimkan
percekcokan di antara keduabelah pihak yang berbeda pendapat. Karena
masing-masingnya ada kemungkinan berada di atas al-haq." (Al-Ijtima' wa
Nabdzul Furqoh hal. 48 - 50)
Maka tidak setiap perbedaan pendapat bisa
diterima dan disikapi dengan lapang dada. Ada perbedaan yang wajib diingkari
seperti perbedaan dalam masalah manhaj dan aqidah atau masalah yang telah
gamblang dalilnya. Adapula perbedaan yang dapat ditolerir seperti yang telah
dijelaskan rinciannya di atas.
Kendati demikian, menyikapi perbedaan itu
harus dengan taqwallah dan keadilan, bukan dengan emosi, kejahilan, sentimen
pribadi, atau kebencian semata. Karena semua itu akan menjerumuskan pelakunya
kepada hawa nafsu dan kezaliman.
Oleh: Fikri Abul Hasan
Berikut Ini Khilafiyah Yang Tidak Tidak
Dapat Ditolerir
Disebutkan bahwa tidak setiap
perselisihan dapat kita hormati. Yang seperti apa yang bisa dihormati dan yang
tidak bisa dihormati?
Pertanyaan:
Ustadz, antum sebutkan bahwa tidak setiap
perselisihan dapat kita hormati. Yang seperti apa yang bisa dihormati dan yang
tidak bisa dihormati? Mohon penjelasannya.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
menjawab:
Perselisihan pendapat dilihat dari sisi
dapat di tolerir atau tidaknya ada dua macam:
Pertama : Perselisihan yang dapat
ditolerir. Yaitu apabila kedua pendapat berdasarkan dalil yang shahih dan
diterima pemahamannya secara kaidah kaidah syari’at. Dan tidak ada nash yang
sharih dalam masalah tersebut.
Contohnya perselisihan ulama tentang
hukum membaca al fatihah bagi makmum; apakah wajib atau tidak? Masing masing
pendapat berhujjah dengan hadits hadits yang shahih dan kuat dari sisi kaidah
syari’at. Maka kewajiban kita adalah memilih pendapat yang kita lihat paling
kuat dengan tanpa menyesatkan yang lain.
Kedua: perselisihan yang tidak dapat
ditolerir. Yaitu apabila salah satu pendapat yang berselisih:
1. Menyalahi ijma atau kesepakatan
seluruh ulama. Karena ijma adalah hujjah dan orang yang menyelisihinya diancam
oleh Allah dengan api Neraka. Allah berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع
غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
“Barang siapa yang menyelisihi Rosul
setelah menjadi jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalam kaum
mukminin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya tersebut dan Kami
akan membakarnya dengan neraka Jahannam. Dan itu adalah seburuk buruk tempat
kembali” (QS. An Nisaa: 115).
2. Menyalahi dalil yang shahih, sharih,
tidak mansukh, dan tidak berlawanan dengan hadits lain yang shahih. Hadits yang
sharih adalah nash yang maknanya amat jelas dan tidak ada kemungkinan makna
lain.
Contohnya hadits: “Setiap yang memabukkan
adalah arak, dan setiap arak adalah haram“. HR Muslim.
Hadits ini amat jelas menunjukkan bahwa
semua yang memabukkan itu arak. Maka dari itu para ulama mengingkari pendapat
Abu Hanifah yang mengatakan bahwa arak itu adalah yang terbuat dari anggur
saja.
3. Berdasarkan dalil yang palsu atau
sangat lemah. Karena semua ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits palsu
atau hadits yang amat lemah dalam semua permasalahan baik aqidah, ibadah,
maupun fadlilah amal. Demikian pula para ulama bersepakat haramnya menetapkan
hadits lemah yang ringan dalam masalah aqidah.
Yang diperselisihkan adalah hukum
mengamalkan hadits lemah yang ringan dalam fadlilah amal. Yang paling kuat
adalah pendapat yang tidak memperbolehkannya karena hadits lemah hanya
menghasilkan dugaan yang lemah.
4. Hanya berdasarkan hawa nafsu bukan
berdasarkan wahyu. Karena agama kita tidak dibangun di atas hawa nafsu manusia.
Tapi harus berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala yang disampaikan kepada RasulNya
shallallahu alaihi wasallam.
Inilah pendapat yang tidak dapat
ditolerir dalam masalah agama, dan hendaknya kita meluruskan dan mengingkari
pendapat seperti itu.
Wallahu a’lam.
Sumber: channel Al Fawaid
Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.
Khilafiyah
Dan Pendapat Ulama Itu Bukanlah Dalil, Tidak Bisa Digunakan Sebagai Hujjah
ULAMA MASIH BERSELISIH
”
Inikan masih diperselisihkan , jadi tidak usah terlalu dibesar-besarkan “
Demikianlah
ucapan yang sering kita dengar ketika kita menegur atau mengingkari perbuatan
yang mereka lakukan , sehingga perselisihan oleh
para ulama dijadikan alasan untuk membenarkan pendapat yang ia pegang sekalipun
pendapat tersebut sangat lemah , padahal alasan seperti itu bukanlah hujjah syar’i , bahkan
kaidah yang tidak pernah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iah.
PERHATIKANLAH !
Al
Hafidz Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata :
” Perselisihan ulama bukanlah hujjah / alasan menurut seluruh fuqaha yang saya ketahui
, kecuali orang yang tidak mempunyai ilmu dan
bashirah dan pendapatnya tersebut tidak dapat dijadikan hujjah .”
(
Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 2 / 229 )
Al
Khaththabi berkata :
” Ikhtilaf ( perselisihan ) ulama bukan hujjah , menjelaskan sunnah itulah hujjah atas orang-orang yang
berselisih dari dahulu sampai sekarang.”
(
A’lamul Hadits : 3 / 2092 )
Al
Imam Asy Syathibi berkata :
”
Perkara ini telah melebihi batasan semestinya , sehingga perselisihan ulama dijadikan alasan untuk membolehkan…. barangkali muncul fatwa yang melarang , lalu
dikatakan :
”
Mengapa engkau melarang , padahal masalah ini
masih diperselisihkan .”
Ini
adalah sebuah kesalahan terhadap syari’at , karena
ia telah menjadikan sesuatu yang tidak layak
dijadikan hujjah sebagai hujjah .”
(
Al Muwafaqat : 4 / 141 )
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmu’ Fatawa : 26 / 202 – 203 , berkata :
” Tidak boleh bagi seorangpun berhujjah dengan pendapat seorang ulama dalam
masalah-masalah yang diperselisihkan.
Sesungguhnya hujjah itu hanyalah nash dan ijma’ serta dalil yang
istimbath darinya yang pendahuluannya ditetapkan oleh dalil syari’at , bukan ditetapkan oleh pendapat sebagian ulama , karena pendapat ulama dapat dijadikan hujjah jika sesuai dengan
dalil syari’at bukan untuk menentang
dalil syari’at .”
Allahul
Musta’an
Sumber
: Status Fb Ustadz Badrusalam, Lc
aslibumiayu.net
aslibumiayu.net