Sunday, November 19, 2017

Ciri-ciri Ulama Ahlusunnah Dan Ulama Rabbani Pelita Ummat

Hasil gambar untuk siapakah ulama

Siapa yang dinamakan Ulama?
Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)
Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini.
Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim). Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah. Dia berfirman:
إِنَّماَ يَخْشَى اللهَ مِنْ عِباَدِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)
Ciri-ciri Ulama
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.
Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang tidak pantas untuk menyandangnya.
a. Sebagian kaum muslimin ada yang meremehkan hak-hak ulama. Di sisi mereka, yang dinamakan ulama adalah orang yang pandai bersilat lidah dan memperindah perkataannya dengan cerita-cerita, syair-syair, atau ilmu-ilmu pelembut hati.
b. Sebagian kaum muslimin menganggap ulama itu adalah orang yang mengerti realita hidup dan yang mendalaminya, orang-orang yang berani menentang pemerintah -meski tanpa petunjuk ilmu.
c. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah kutu buku, meskipun tidak memahami apa yang dikandungnya sebagaimana yang dipahami generasi salaf.
d. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan mendakwahi manusia. Mereka mengatakan kita tidak butuh kepada kitab-kitab, kita butuh kepada da’i dan dakwah.
e. Sebagian muslimin tidak bisa membedakan antara orang alim dengan pendongeng dan juru nasehat, serta antara penuntut ilmu dan ulama. Di sisi mereka, para pendongeng itu adalah ulama tempat bertanya dan menimba ilmu.
Diantara ciri-ciri ulama adalah:
1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)
2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”
4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)
5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)
7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعاً
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]
Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. Semua ini membeberkan hakikat ulama ahlul bid’ah yang mana mereka bukan sebagai penyandang gelar ini. Dari Al-Quran dan As-Sunnah mereka jauh dan dari manhaj salaf mereka keluar.
Contoh-contoh Ulama Rabbani
Pembahasan ini bukan membatasi mereka akan tetapi sebagai permisalan hidup ulama walau mereka telah menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka hidup dengan jasa-jasa mereka terhadap Islam dan muslimin dan mereka hidup dengan karya-karya peninggalan mereka. Sebagai berikut :
1. Generasi shahabat yang langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
2. Generasi tabiin dan diantara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).
3. Generasi atba’ at-tabi’in dan diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).
4. Generasi setelah mereka, diantara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).
5. Murid-murid mereka, diantara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).
6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).
7. Generasi setelah mereka, diantaranya Ibnu Jarir (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad-Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).
8. Generasi setelah mereka, diantaranya adalah Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnu Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
9. Contoh ulama di masa ini adalah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita. Berikutnya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Asy-Syaikh Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. (Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama)
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 12/1425 H/2005, judul asli Ciri-Ciri Ulama, karya Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=229)

Ulama Rabbani Pelita Ummat

Pedoman Dalam Berinteraksi Dengan Ulama
Anugerah Allah Swt kepada ummat Islam
Diantara nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada ummat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (kepada mereka). Allah Ta’ala berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Qs. Aali ‘Imraan 3: 164)
Maka diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah diantara nikmat yang terbesar bagi ummat ini.
Dan dari kesempurnaan nikmat tersebut adalah, Allah Ta’ala jadikan para ulama mewarisi ilmu-ilmu dari Nabi yang mulia ini Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sehingga merekalah sang pewaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berperan dalam menyampaikan (risalah) kepada ummat, mengajarkan, mengarahkan, dan menjelaskan kepada mereka batasan-batasan yang halal dari yang haram.
Apabila ulama adalah pewaris ilmu para nabi, mereka pun mewarisi kemuliaan yang selayaknya, dan kedudukan dalam syariat, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi ummat untuk mentaati mereka dalam hal ketaatan kepada Allah, dan bersikap loyal, menghormati, tunduk, dan mengambil ilmu dari mereka. Seperti inilah dahulu para salaful ummat (generasi pertama ummat ini).
Dahulu ulama adalah pemimpin mereka, pengasuh majlis-majlis, rujukan ummat dalam segala hal, dan sandaran dalam masalah-masalah yang besar. Manusia seluruhnya mengakui kedudukan dan kehormatan ulamanya.
Kondisi ummat di akhir zaman
Kemudian datanglah generasi yang sedikit ilmunya dan sedikit pula ulamanya. Dan sangat jarang terdapat pada mereka imam-imam yang besar. Dan sedikit dari manusia yang mengakui kedudukan sisa-sisa kaum salaf (ulama). Mereka tidak mendudukkan ulama pada tempat yang semestinya, akan tetapi bersikap dengan sikap berbeda-beda:
1- Sekelompok orang melihat ulama seperti halnya manusia biasa. Ulama dimata mereka tidak memiliki kedudukan dalam syariat, sehingga mereka tidak menghormati ulama. Kelompok ini memiliki kesamaan dengan kaum Khawarij yang tidak mengakui hak para pemimpin ulama dari kalangan shahabat Radhiyallahu ‘Anhu. Hal ini berakibat kepada kerugian mereka, mereka sesat dan menyesatkan. Mereka memecah belah agamanya menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok merasa bangga dengan kelompoknya.
2- Kelompok yang lain memuliakan ulama, akan tetapi mereka mengangkat para ulama diatas kedudukan yang semestinya diberikan kepada mereka. Kelompok ini bersikap taklid buta kepada ulama dalam perkara agama mereka. Dalil bukan ukuran mereka, yang menjadi ukuran adalah perkataan Syaikh (guru/ustadz). Dari sini mereka memiliki kesamaan dengan Rafidhah yang menganggap imam-imam mereka ma’shum, dan memberikan kepada imam-imam mereka kedudukan yang tidak dapat dicapai walau oleh nabi yang diutus, dan tidak pula oleh malaikat yang dekat kedudukannya dengan Allah Ta’ala. Mereka pun terpecah menjadi beberapa golongan sesuai jumlah syaikh yang ada. Setiap kelompok bersikap fanatik dengan pendapat syaikh-nya dan mencampakkan perkataan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
3- Kelompok yang mengakui kedudukan ulama, akan tetapi mereka tidak menyikapi para ulama tersebut sebagaimana layaknya manusia yang bisa salah dan memiliki hawa nafsu, bahkan kebalikannya. Kapan kelompok ini mendapati kesalahan pada seorang ulama mereka langsung membesar-besarkan kesalahan tersebut dan menyebar luaskannya dikalangan manusia.
Terdapat pada kelompok ini dua hal yang saling bertolak belakang:
– Mengagungkan ulama dengan menempatkan mereka pada posisi orang yang tidak mungkin melakukan kesalahan.
– Menginjak kehormatan ulama dengan membicarakan mereka apabila mereka keliru, menyebarkan kesalahan mereka dan melukai mereka. Hal ini mereka lakukan apabila kesalahan tersebut tidak disengaja, adapun apabila kesalahan tersebut disengaja maka keadaannya tentu lebih besar lagi.
Maka wajib menghormati mereka tanpa ifrath dan tafrith serta mendudukkan mereka pada posisi yang selayaknya.
Bagaimana Mengenali Ulama?
1. Ulama adalah: orang-orang yang Allah Ta’ala jadikan sebagai sandaran manusia dalam perkara fikih, ilmu dan urusan-urusan dunia dan agama.
2. Ulama adalah: fuqaha’ul islam (ahli fikih islam), lisan-lisan mereka adalah tempat kembalinya fatwa, mereka adalah orang-orang pilihan yang berhak untuk meng-istimbath hukum-hukum, dan menetapkan batasan-batasan halal dan haram
3. Ulama adalah: para pemimpin agama mereka mendapatkan kedudukan mulia ini dengan kesungguhan, kesabaran dan keyakinan yang sempurna,
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs. As-Sajdah (32): 24)
Dan dahulu dikatakan,
“Dengan ilmu dan keyakinan diraih kepemimpinan di dalam agama”.
4. Ulama adalah: pewaris para nabi, yang mewarisi dari mereka ilmu, membawanya didada-dada mereka, dan –secara garis besar- ilmu-ilmu tersebut terlihat dalam kesehari-harian mereka. Dan kepada ilmu itulah mereka menyeru sekalian manusia.
“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang besar”. HR Abu Daud dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Yang mengemban ilmu ini dari setiap generasinya, orang-orang yang adil. Mereka menepis dari agama ini penyimpangan orang-orang yang kelewat batas dan penyelewengan orang-orang yang batil dan ta’wilan orang-orang jahil”. HR Al Baihaqi dari Ibrahim bin Abdurrahman Al Hudzari dan At-Thabrani di dalam Musnad Asy-Syamiyyin dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dan dihasankan oleh sebagian ahlul ilmi.
5. Ulama adalah: segolongan dari ummat ini yang pergi demi agama Allah Ta’ala, kemudian mereka menunaikan kewajiban berdakwah, dan memberikan peringatan,
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah (9): 122)
6. Ulama adalah: pemberi petunjuk kepada manusia, yang tidaklah berlalu suatu zaman kecuali mereka ada diantara manusia sampai datangnya hari kiamat. Mereka adalah pemimpin At-Thaifah Al Manshurah (golongan yang menang) sampai hari kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Akan senantiasa ada segolongan dari ummatku yang menegakkan ajaran Allah tidak mencelakakan mereka orang-orang yang mencelakakan mereka, atau menyelisihi mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka menang diantara manusia”
Al Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Al Imam Al Bukhari berkomentar tentang thaifah (golongan) yang dimaksud: “Mereka adalah para ulama”.

Beberapa Pedoman Dalam Mengenali Ulama
1. Ulama dikenali dengan ilmunya. Ilmu adalah pembeda yang membedakan mereka dari selainnya. Apabila manusia tidak mengetahui (hukum suatu perkara) mereka menyampaikan dengan ilmu yang diwarisi dari imam para rasul yaitu Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
2. Ulama diketahui dengan kekokohan pijakan mereka ketika merebak syubhat, ketika banyak pemahaman-pemahaman yang tergelincir dan tidak selamat kecuali orang-orang yang Allah Ta’ala anugrahkan kepada mereka ilmu, atau orang-orang yang mengikuti ahli ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. (Qs. An-Nisaa’: 83)
Al Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata,
إن هذه الفتنة إذا أقبلت عرفها كل عالم ، وإذا أدبرت عرفها كل جاهل
“Sesungguhnya fitnah apabila datang diketahui oleh semua ulama dan apabila telah pergi diketahui oleh semua orang jahil”. Dinukil dari Wujubul Irtibath
3. Ulama juga dapat dikenal dengan jihad mereka, dan dakwah mereka kepada jalan Allah Ta’ala, mereka mengorbankan waktunya (karena Allah Ta’ala), dan mereka bersungguh-sungguh dijalan Allah Ta’ala.
Al Imam Ahmad berkata,
بقايا من أهل العلم يدعون من ضل إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى يحيون بكتاب الله الموتى ويبصّرون بنور الله أهل العمى فكم من قتيل لإبليس قد أحيوه وكم من ضال تائه قد هدوه فما أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم ينفون عن كتاب الله تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Yang tersisa dari para ulama, mereka menyeru orang-orang sesat kepada petunjuk dan bersabar dari gangguan mereka. Dengan Kitabullah mereka menghidupkan (hati-hati) yang telah mati dan membuka orang-orang yang buta dengan cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Berapa banyak pembunuh-pembunuh Iblis yang sudah mereka hidupkan dan berapa banyak orang-orang sesat mereka tunjuki. Alangkah besar jasa mereka kepada manusia dan alangkah buruk balasan orang-orang kepada para ulama. Mereka menepis dari Kitabullah penyimpangan orang-orang yang kelewat batas dan penyelewengan orang-orang yang batil dan ta’wilan orang-orang jahil”. Dinukil dari Wujubul Irtibath dan lihat Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyah hal 6.
4. Ulama juga dikenal dengan ibadah dan rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala, karena mereka orang yang paling tahu tentang Allah Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Qs. Faathir (35): 28)
Dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
ليس العلم عن كثرة الحديث إنما العلم خشية الله
“Ilmu tidak dinilai dengan banyaknya hadits seseorang, karena ilmu adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala”. Lihat Wujubul Irtibath
5. Ulama dikenal dengan jauhnya mereka dari dunia dan kesenangannya. Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah,
قال الحسن : إنما الفقيه الزاهد في الدنيا الراغب في الآخرة البصير بدينه المواظب على عبادة ربه ،وفي رواية عنه قال : الذي لا يحسد من فوقه ولا يسخر ممن دونه ولا يأخذ على علم الله أجرا
“Al Hasan mengatakan: sesungguhnya faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta kepada akhirat, mengerti akan agamanya dan selalu beribadah kepada Rabb-nya”. Dinukil dari Wujubul Irtibath
6. Diantara tanda-tanda seseorang dikatakan alim (berilmu) adalah adanya kesaksian dari guru-gurunya bahwa ia seorang yang alim.
Al Imam Malik Rahimahullah berkata,
لا ينبغي لرجل يرى نفسه أهلا لشيء حتى يسأل من كان أعلم منه، وما أفتيت حتى سألت ربيعة ويحي بن سعيد فأمراني بذالك، ولو نهياني لانتهيت
“Tidak boleh seseorang menganggap dirinya pantas memegang suatu urusan sebelum bertanya kepada orang yang lebih alim darinya, dan saya tidak berfatwa sampai saya bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id lalu keduanya memerintahkanku demikian, dan seandainya keduanya melarangku pasti tidak aku lakukan” (Dinukil dari Ibnu Hamdan dalam Sifat Al Fatwa wa Al Mustafti (7)).
Dan beliau juga berkata,
ليس كل من أحب أن يجلس في المسجد للتحديث والفتيا جلس، حتى يشاور فيه أهل الصلاح والفضل، وأهل الجهة من المسجد فإن رأوه أهلا لذالك جلس، وما جلست حتى شهد لي سبعون شيخا من أهل العلم أني موضع لذالك
“…tidak setiap orang yang ingin duduk dimasjid menyampaikan hadist dan berfatwa dibolehkan duduk sebelum ia bertanya kepada orang-orang shalih dan mereka yang memiliki keutamaan dan pandangan dimasjid (ulama). Apabila mereka menganggap orang tersebut ahli dalam hal itu, maka boleh baginya untuk duduk, dan saya tidak duduk sampai tujuh puluh orang ulama bersaksi bahwa saya layak untuk itu”. (Dinukilkan dari Ibnu Farhun dalam Ad-Diibaaj (21), dan lihat perkataan Ibnu Hamdan dalam Sifat Al Fatwa wa Al Mustafti (7))
Sumber :

Ekstra Hati-Hati Dalam Menjadikan Seseorang Sebagai Rujukan Beragama

Dalam situasi seperti masa-masa sekarang ini, saatnya kita super hati-hati dalam menjadikan seseorang sebagai rujukan ilmu agama.

Imam Adz-Dzahabi –rohimahulloh– mengatakan:

“Mayoritas para imam salaf.. mereka memandang bahwa hati itu lemah dan syubhat itu menyambar-nyambar” (Siyaru A’lamin Nubala‘ 7/261).

Ini di zaman mereka, apalagi di zaman kita sekarang ini.. oleh karena itu, harusnya kita selalu wasapada dan mengingat terus pesan-pesan para ulama Ahlussunnah dalam masalah ini:

Sahabat Ibnu Abbas –rodhiallohu anhuma-:

“Dahulu, jika kami mendengar orang mengatakan ‘Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda’; mata-mata kami langsung tertuju kepadanya, dan telinga-telinga kami juga langsung mendengarkannya dg seksama.

Lalu ketika orang-orang menaiki tunggangan yg liar dan jinak (yakni: menceburkan diri dalam urusan yg tidak mereka kuasai dg baik); maka kami pun tidak mengambil dari orang-orang, kecuali ilmu yg kami ketahui (sebelumnya)” (Muqoddimah Shahih Muslim 1/13).

Imam Ibnu Sirin –rohimahulloh-:

“Dahulu para ulama salaf tidak menanyakan tentang sanad, lalu ketika terjadi fitnah, mereka pun mengatakan: ‘sebutkan kepada kami orang-orang (sumber ilmu) kalian!’, maka jika dilihat orang tersebut ahlussunnah; haditsnya diterima, dan jika dilihat orang tersebut ahli bid’ah; haditsnya tidak diterima”. (Muqoddimah Shahih Muslim 1/15).

Beliau juga mengatakan dalam pesannya yang masyhur:

“Sungguh ilmu ini adalah agama kalian, maka lihatlah darimana kalian mengambil agama kalian”. (Muqoddimah Shahih Muslim 1/14).

Imam Ibrohim An-Nakho’i –rohimahulloh-:

“Dahulu, jika mereka ingin mengambil (ilmu agama) dari seseorang; mereka (lebih dahulu) melihat kepada shalatnya, kepada penampilan lahirnya, dan kepada perhatiannya terhadap sunnah”. (Al-Jarhu Wat Ta’dil libni Abi Hatim 2/29).

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua dalam menimba ilmu agama, dan semoga Allah meneguhkan kita di atas sunnah Nabi shollallohu alaihi wasallam, amin.
Penulis: Ustadz Musyaffa’ Ad Dariny, Lc., MA

Siapakah yang Pantas Disebut Ulama ( Orang Alim ) ?
Ulama Rabbani Dalam Perspektif Al-Quran Dan As-Sunnah
Inilah Tujuh Ulama Bergelar Syeikhul Islam
Ulama-Ulama Besar Madzhab Syafi’i Dari Abad Ke Abad (aswaja) Dan Biografi Para Ulama Salaf Ahlul Hadits Mulai Dari Zaman Sahabat Hingga Sekarang Yang Masyhur (salafi).
Imam Ibnu Taimiyah: Ulama Ahlussunnah Dan Murabbi Agung
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Mazhab Salafy adalah Mazhab yang Paling Benar dan Baik dalam Islam