Tuesday, December 25, 2018

Tidak Berzakat Dengan Benar : Dosa Besar Kelima (Musyrik), Melebihi Durhaka Kepada Kedua Orang Tua, Zina, Memakan Riba, Memakan Harta Anak Yatim Dan Menzaliminya, Serta Dusta Atas Nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam – Kitab Al-Kabair (Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq Al-Badr)

Gambar terkait

Urgensi syari’at zakat menduduki posisi setelah syari’at shalat. Dalam Al-Quran Allah sering menyandingkannya dengan shalat. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Orang yang tidak menunaikan zakat karena bakhil, dihukumi kufur seperti orang yang tidak mengerjakan shalat”. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “namun yang benar, orang yang tidak mengerjakannya tidak kufur”. Adapun orang yang berpendapat orang yang tidak menunaikan zakat kufur mendasarkan pendapatnya, antara lain, pada firman Allah,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Apabila mereka bertaubat; menunaikan shalat dan membayar zakat, maka mereka saudara kalian seagama” (QS At-Taubah: 11).
Pada ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa persaudaraan seaqidah terbangun di atas tiga hal, yaitu taubat dari kemusyrikan, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Dan persaudaraan tidak akan pernah pudar kecuali jika keluar dari agama. Akan tetapi hadits Abu Hurairah yang tercantum dalam Shahih Muslim membuktikan bahwa zakat tidak sama dengan shalat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang nasib orang yang menolak mengeluarkan zakat emas dan perak, “Kemudian ia melihat jalannya; boleh jadi ke surga dan mungkin ke neraka”. Seandainya orang yang tidak membayar zakat kafir, tentu pilihannya hanya satu, yakni neraka.

2 Dosa Besar Yang Kerap Membuat Seorang Ustadz/Kyai /Ulama Tergelincir Dari Qudwah (18 Dosa Besar Lainnya Mungkin Bisa Dipatuhi) Yaitu Ghibah Dan Riba (Bagian I)
Dosa Besar Kelima: Tidak Membayar Zakat – Kitab Al-Kabair (Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq Al-Badr)

Ceramah agama dan kajian Islam dengan pembahasan kitab Al-Kabair oleh: Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr
Penerjemah: Ustadz Firanda Andirja, M.A.
Berikut ini merupakan rekaman lanjutan kajian kitab Al-Kabair yang disampaikan oleh Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahumallah, yang disampaikan pada Ahad sore, 24 Dzuhijjah 1435 / 19 Oktober 2014 di Radio Rodja dan Rodja TV. Pada pertemuan sebelumnya, Syaikh menjelaskan tentang “Dosa Besar Keempat (Meninggalkan Shalat)“, dan pada kajian kali ini beliau akan menjelaskan tentang “Dosa Besar Kelima (Tidak Membayar Zakat)“. Semoga bermanfaat.
Pembahasan Dalam Rekaman Kajian Kitab Al-Kabair Ini: Dosa Besar Kelima (Tidak Membayar Zakat)
Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180)
Dan firmanNya:
وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukanNya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS Fushilat [41]: 6-7)
Allah menyebut mereka yang tidak mau membayar zakat sebagai orang-orang musyrik, Allah berfirman lagi:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ، يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”” (QS At-Taubah [9]: 34-35)
Dengarkan dan download seri kajian kitab al-kabair – syaikh ‘abdur razzaq: dosa besar kelima (tidak membayar zakat). Silahkan Klik sumber.
70 Dosa Besar dalam Islam
https://www.slideshare.net/markettitih/70-dosa-besar-dalam-islam 
Dosa Besar Ke-5 Tidak Membayar Zakat
(Ustadz DR. Khalid Basalamah)
MENGERIKAN ! Beratnya Siksa bagi Orang yang tidak Mengeluarkan Zakat
(Ustadz DR. Khalid Basalamah)
Tanya Jawab Seputar Zakat
(Ustadz DR. Khalid Basalamah)
Bolehkah Dana Zakat Dinvestasikan
(Ust. DR. Khalid Basalamah)
https://youtu.be/h01SbDAcjL4 

Kewajiban Untuk Membayar Zakatnya Yang Tertunggak

Nashih Nashrullah
Zakat harta kekayaan (mal) adalah kewajiban bagi tiap Muslim yang telah dinyatakan cukup syarat, seperti haul (masa satu tahun) dan nishab (batas minimal kekayaan wajib zakat). Perintah berzakat ini, seperti yang ditegaskan di ayat ke-43 surah al-Baqarah, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.”
Lalu, bagaimana bila orang yang telah dinyatakan wajib zakat tersebut tidak membayar kewajibannya? Bagaimana dengan hukum zakatnya pada tahun-tahun yang telah lewat dan belum terbayar?   
Prof Husamuddin bin Musa Affanah dalam bukunya yang berjudul Yas’alunaka ‘An az-Zakat menjelaskan bahwa mestinya yang bersangkutan dengan alasan apa pun tak boleh meninggalkan kewajiban tersebut.
Bila dengan sengaja mengurungkan pembayaran zakat, yang bersangkutan terancam akan mendapatkan balasan yang setimpal, yakni neraka. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah SWT maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah [9]:34).
Husamuddin menjelaskan, sebagai solusinya  para “penunggak” zakat tersebut harus bertobat dan memperbanyak meminta ampun. Ini karena pada hakikatnya, zakat juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah.
Bila telah bertobat dan menunjukkan komitmen nyata dari pertobatannya itu, insya Allah dosanya akan terampuni. “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS asy-Syura [42]:25).
Akan tetapi, lanjut sosok yang pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Ilmu Fikih Universitas al-Quds Palestina tersebut, ini bukan berarti menggugurkan kewajiban untuk membayar zakatnya yang tertunggak. Karena, sejatinya zakat adalah hak bagi para mustahik. Maka selama hak tersebut belum ditunaikan, tetap saja dinyatakan memiliki tunggakan zakat. Para ulama telah bersepakat zakat yang terlewatkan itu dianggap sebagai tunggakan yang tetap dibayar.
Husamuddin pun menukilkan sejumlah pendapat para salaf. Imam an-Nawawi, misalnya. Tokoh bermazhab Syafi’i itu menegaskan, jika zakat-zakat di masa lalu terlewati dan belum terbayar, wajib menunaikan keseluruhannya. Ketidaktahuan akan perintah zakat tidak memengaruhi kewajiban tersebut. Termasuk, soal domisili si empunya kekayaan, baik di negara Islam ataupun non-Islam, tetap wajib menunaikan zakatnya yang terlewatkan.  
Demikian pula, dalam pandangan Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Ulama bermazhab Hanbali itu menyatakan, jika harta yang telah capai nisab dan telah masuk waktu satu tahun, lalu belum juga membayarkannya, ini tidak berpengaruh pada tahun berikutnya. Tetapi, wajib membayar zakat yang tertunggak. Tidak berlaku diskon atau potongan nisab jika terjadi penumpukan nisab berzakat.
Maka, apa pun alasannya, haram hukumnya mengelak dari kewajiban berzakat. Pendapat yang sama juga dikuatkan oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Menurut Ketua Persatuan Ulama Islam se-dunia itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tanggungan, bukan terletak pada pokok hartanya. Artinya, selama tanggungan itu belum terbayarkan maka tetap terkena kewajiban berzakat. Sekalipun, telah terlewat.
Di sinilah, sebut al-QaradIawi, letak perbedaan antara zakat dan pajak. Ada dispensasi tertentu yang diberlakukan pemerintah terkait tunggakan pajak. Besarannya sesuai dengan ketentuan regulasi pajak di tiap-tiap negara. Tetapi, tidak demikian dengan zakat.
Rukun Islam keempat ini selamanya akan tetap menjadi utang bagi Muslim yang telah dinyatakan sebagai wajib zakat, selama belum terbayar. Ini akan berimbas pada kualitas keislaman dan keimanannya. “Tanggungan zakatnya akan kekal,” ujar Syekh Yusuf. Jika tanggungan tersebut belum dibayar sekalipun telah lewat bertahun-tahun.
Lembaga Wakaf dan Fatwa Uni Emirat Arab menambahkan, cara pembayaran zakat yang tertunggak pada tahun-tahun lalu disesuaikan dengan kadar nisab hartanya di tahun itu. Ini bisa diketahui melalui pembukuan keuangan dari perputaran kekayaan yang dimiliki. Bila tidak ada data pasti dan sulit terlacak, cukup dikira-kirakan batas maksimal dari harta yang dimiliki saat itu. 
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/07/26/mqizvu-menunggak-bayar-zakat-apa-hukumnya  


Orang Yang Meninggalkan Shalat dan Zakat, 
Apakah Wajib Qadha?

Pertanyaan
Saya merupakan keturuanan muslim. Akan tetapi, saya belum pernah melakukan shalat wajib. Bahkan ketika suatu kali saya berusah melakukannya, saya melakukannya tidak sesui. Semoga Allah memaafkan saya. Saya mendengar bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia kafir, bukan seorang muslim. Akan tetapi orang yang shalat lima waktu, atau dua waktu dan meninggalkan sisanya, dia dianggap muslim. Demikian pula, saya belum pernah mengeluarkan zakat harta saya. Akan tetapi, minimal, sejak dua tahun lalu, saya berhasil menyempurnakan puasa ramadan saya dan saya niat untuk menjaganya. Saya ingin belajar shalat dan menjadikannya bagian dari kehidupan saya serta ibadah lainnya.
Apakah saya wajib mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang panjang sebelumnya? Serta mengqadha hari-hari yang saya tidak berpuasa pada hari itu? Usia saya sekarang telah mencapai 31 tahun. Anda dapat perkirakan bahwa masalah ini sangat menyulitkan saya. Untuk menolak kesulitan, apakah mungkin bagi saya untuk mengawali dari awal lagi? Apakah Allah mengampuni saya jika hal itu saya lakukan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah
Pertama:
Kami memuji kepada Allah atas hidayah dan taubat nasuha yang Allah berikan kepada anda atas kelalaian anda yang lalu. Semoga Allah sempurnakan nikmat-Nya dan meneguhkan anda di jalan-Nya yang lurus.
Adapun kewajiban qadha atas ibadah-ibadah yang ditinggalkan, dalam masalah ini terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat wajibnya qadha, ini merupakan pendapat jumhur ulama. Di antara ulama ada juga yang berpendapat, tidak wajib qadha shalat yang dia tinggalkan, berdasarkan pendapatnya bahwa orang yang meninggalkannya adalah kufur. Maka taubat orang seperti itu adalah dengan masuk Islam kembali yang dapat menghapus dosa sebelumnya.
Diantara para ulama ada yang berpendapat tidak wajib qadha bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, apakah dia dianggap kufur atau tidak. Karena nash yang ada hanya mewajibkan qadha bagi orang yang tidur dan lupa.
Pendapat yang kuat dalam masalah orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur, adalah tidak wajib mengqadha shalat, yang diwajibkan baginya adalah taubat. Serta pada masa berikutnya dia harus menjaga shalatnya dan puasanya. Disunahkan baginya untuk memperbanyak amalan sunah, baik berupa shalat maupun puasa. Semoga Allah menerima taubatnya.
Mewajibkan orang yang bertaubat untuk mengqadha apa yang telah lewat, akan menghalanginya untuk bertaubat dan menyulitkannya. Akan tetapi, orang yang bertaubat hendaknya memperbanyak amal saleh. Berdasrkan firman Allah Ta'alam,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى  (سورة طه: 82)
"Dan Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thaha: 82)
Sebagai tambahan, lihat jawaban soal no. 91411  dan 105849
Kedua: Jika kita hukumi kufurnya orang yang meninggalkan shalat, maka orang yang tidak shalat dan meninggalkan zakat, kondisinya tidak lepas dari dua hal berikut:
Pertama: Dia meninggalkan shalat sebelum wajibnya zakat baginya, orang seperti itu, jika dia bertaubat dari shalat, maka dia tidak harus mengqadha zakat yang dia tinggalkan. Karena diantara syarat wajibnya zakat adalah Islam. Orang ini tidak dalam keadaan Islam sehingga diwajibkan zakat baginya. Maka dia tidak diharuskan mengeluarkan zakat.
Kedua:
Dia meninggalkan shalat setelah dirinya terkena kewajiban zakat. Orang seperti itu, kewajibannya untuk mengqadha setelah taubat, terdapat perbedaan pendapat para ulama rahimahumullah.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Jika dia murtad sebelum (masa menyimpan harta) belum berlalu setahun, lalu ketika berlalu setahun, dia dalam keadaan murtad, maka tidak ada zakat yang ditetapkan baginya. Karena Islam merupakan syarat wajibnya zakat. Ketiadaan Islam pada sebagian putaran tahunnya akan menggugurkan zakat, seperti kepemilikan dan nishab. Jika dia kembali kepada Islam sebelum berlangsung setahun, maka masa haulnya dihitung dari awal lagi, sebagaimana kami sebutkan. Imam Ahmad berkata, 'Jika seorang yang murtad kembali kepada Islam, sedangkan hartanya sudah terkumpul selama setahun, maka hartanya itu miliknya, tidak perlu dizakatkan, dia mulai lagi hitungannya hingga setahun, karena sebelumnya dia terhalang dari itu.
Adapun jika dia murtad setelah masa kepemilikian telah berlangsung setahun, maka kewajiban zakatnya tidak gugur. Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafii. Sedangkan Abu Hanifa berpendapat gugur, karena di antara syaratnya adalah niat, dan itu menjadi gugur dengan murtadnya dia, seperti halnya shalat. Sedangkan menurut kami, hak harta tidak gugur dengan murtad, seperti hutang." (Al-Mughni, 2/348-349)
Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah (23/234-235), "Adapun orang yang murtad, jika dia murtad setelah masa kepemilikan harta telah berlalu setahun (haul) dan mencapai nishab, maka tidak gugur kewajiban zakatnya berdasarkan pendapat mazhab Syafii dan Hambali. Karena hak harta tidak gugur seperti hutang. Hendaknya pemimpin mengambil harta zakatnya sebagaiman dia hendakanya mengambil zakat  orang muslim yang enggan mengeluarkannya. Jika dia masuk Islam kembali, tidak diwajibkan menunaikannya kembali.
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban zakatnya gugur bagi orang murtad yang telah wajib zakat sebelum dia murtad. Karena di antara syarat zakat adalah niat ketika menunaikannya, sedangkan niatnya adalah untuk ibadah, sedangkan dia kafir yang tidak dianggap niatnya. Maka kewajiban zakat menjadi gugur seperti shalat, bahkan termasuk zakat yang keluar dari bumi. Adapun jika murtadnya terjadi sebelum sempurna kepemilikan selama setahun dalam harta yang telah mencapai nishab, maka tidak ada ketetapan wajib zakat menurut jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Hambali dan ini pun pendapat ulama di kalangan mazhab Syafii."
Lihat jawaban soal no. 143827
Kesimpulannya dalam masalah zakat, bahwa jika seseorang meninggalkannya, sedangkan dia shalat, baik karena malas atau bakhil, maka hendaknya dia menunaikan zakat yang ditinggalkannya di waktu tersebut. Hutang terhadap Allah, lebih utama untuk dilunasi.
Adapun jika dia meninggalkannya bersama meninggalkan shalat, hendaknya dia bertaubat kepada Allah dari hal itu dan tidak mengulangi lagi yang lalu-lalu. Lalu dia hendaknya mengawali amal saleh, semoga Allah menerima taubatnya dan menghapus dosa yang telah lalu. Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ  (سورة الأنفال: 38)
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu." (QS. Al-Anfal: 38)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Amr bin Ash radhiallahu anhu ketika dia menyatakan masuk Islam,
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ   (رواه مسلم، رقم 121)
"Tahukah engkau bahwa Islam menghapus masa sebelumnya." (HR. Muslim, no. 121)
Semua itu berlaku apabila seseorang meninggalkan shalatnya sama sekali. Adapun yang meninggalkan shalat sekali-kali melakukannya sekali-kali, telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang dipilih adalah orang tersebut tidak kafir. Jika dia tidak kafir, maka yang wajib baginya adalah menunaikan zakat yang telah ditinggalkannya, karena dia merupakan hutang yang menjadi tanggungannya, kewajibannya tidak gugur kecuali dengan menunaikannya.
Hal ini jika dia mengetahui bahwa dia memiliki harta yang telah mencapai nishab di waktu itu dan telah berlalu masa penyimpanan selama setahun dan dia belum keluarkan zakatnya. Jika dia tidak punya harta, atau punya harta tidak sampai senishab, atau mencapai senishab tapi belum tersimpan selama setahun, maka dia tidak wajib zakat sedikitpun.
Demikian pula halnya jika dia ragu dalam kepemilikan hartanya, atau mencapai nishabnya. Maka hukum aslinya adalah bahwa seseorang terbebas dari beban kewajiban.
Adapun shalat, maka di dalamnya terdapat perbedaan pendapat yang diakui dalam kondisi seperti ini. Mazhab jumhur ulama, dia harus mengqadha yang telah lewat, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih hati-hati bagi pelakunya dan lebih membebaskan dari kewajiban.
Perhatikan jawaban soal no. 185619
Kami memohon kepada Allah semoga kita diberikan keteghuan dalam taat kepada-Nya dan dilindungi dari kejahatan diri kita, sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Dermawan.
Berikut ini sebagian jawaban yang terkait anjurang untuk sabar dalam menunaikan shalat. Silakan ditelaah untuk mendapatkan manfaat, soal no. 114994   47123   99139
Wallahua'lam.
https://islamqa.info/id/answers/197247/orang-yang-meninggalkan-shalat-dan-zakat-apakah-wajib-qadha

Akibat Enggan Menunaikan Zakat

 Bagi orang yang mampu dan berkecukupan punya satu kewajiban terhadap hartanya di luar kebutuhan pokoknya yaitu disedekahkan untuk zakat. Ketika telah melewati nishob dan telah melampaui haul (masa satu tahun), maka harta berupa hewan ternak, hasil pertanian, mata uang dan barang dagangan, wajib untuk dizakati. Namun sebagian kita saat ini melupakan kewajiban ini. Padahal bahayanya teramat besar jika sampai seseorang enggan menunaikan zakat. Lebih-lebih di akhir, hukumannya amat berat sebagaimana diterangkan dalam tulisan berikut.

Pengertian Zakat

Zakat –secara bahasa- berarti “النّماء والرّيع والزّيادة” berarti bertambah atau tumbuh. Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,

العلم يزكو بالإنفاق

“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”

Zakat secara bahasa juga berarti “الصّلاح”, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala,

فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً

“Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]

Secara bahasa, zakat juga berarti “تطهير” mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9). Zakat mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103).[2]

Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.[3]

Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat karena pokok harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang yang berhak menerima zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]

Hukum Zakat

Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyari’atkannya puasa Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat ulama).

Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai berulang hingga 32 kali.[6]

Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[7]

Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara mereka.”[8]

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]

Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.

Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[10]

Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat

Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat.

Kita sudah pahami bahwa zakat adalah bagian dari rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma’) bahwa siapa yang menentang dan mengingkari kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari Islam. Karena ini adalah perkara ma’lum minad diini bid doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.”[11] Ibnu Hajar berkata, “Adapun hukum asal zakat adalah wajib. Siapa yang menentang hukum zakat ini, ia kafir.”[12]

Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil dan pelit.

Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik dan akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).

Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang enggan menunaikan zakat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”[13]

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka’bah’. Beliau mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu berkata, ‘Ini merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan ibuku menjadi tebusannya?’” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الأَكْثَرُوْنَ أَمْوَالاً، إِلاَّ مَنْ قَالَ فِي عِبَادِ اللهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَقَلِيْلٌ مَا هُمْ مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوْتُ فَيَتْرُكُ غَنَمًا اَوْ إِبِلاً أَوْ بَقَرًا لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهَا إِلاَّ جَاءَتْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْظَمُ مَا تَكُوْنُ وَأَسْمَنُ حَتَّى تَطَأَهُ بِأَظْلاَفِهَا، وَتَنْطِحُهُ بِقُرُوْنِهَا، حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ بَيْنَ النَّاسِ ثُمَّ تَعُوْدُ أُوْلاَهَا عَلىَ أُخْرَاهَا

“Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan datang kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk lalu menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah memutuskan perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya kembali, begitu pula hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.”[14]

Wallahu waliyyut taufiq.
@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Jumadal Akhiroh 1433 H
 [1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 23: 226.
 [2] Lihat, Al Wajiz Al Muqorin, hal. 11.
 [3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 226.
 [4] Al Fiqhi Al Manhaji, hal. 271.
 [5] Idem.
 [6] Idem.
 [7] HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16.
 [8] HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19.
 [9] Fathul Bari, 3: 262.
 [10] Lihat Fathul Bari, 3: 262
 [11] Syarh Muslim, 1: 205.
 [12] Fathul Bari, 3: 262.
 [13] HR. Muslim no. 987
 [14] HR. Bukhari no. 6638, Muslim no. 990 dan Ahmad 5: 169.

Bahaya Harta Yang Tidak Dikeluarkan Zakatnya

Zakat sama wajibnya dengan rukun Islam yang lain –syahadat, shalat, puasa, dan haji bagi yang mampu.
Harta yang tidak dizakati atau dikeluarkan zakatnya tidak akan berkah. Hal itu juga berarti ada sebagian hak kaum dhuafa (fakir miskin dan sebagainya) yang turut kita makan.
Selain itu, jika enggan mengeluarkan zakat, bukan saja menyalahi syariat Islam atau mengingkari rukun Islam (kufur), tapi juga akan membuat rezeki kita tertahan.
Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa menzakatinya/menyedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rezeki untukmu.”
Dalam hadits Riwayat Bukhari disebutkan:
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau bayar zakat dan sedekah). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan berkah rezki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (An-Nawawi, Riyadhus Shalihin).
Rasul Saw juga menegaskan, “Sedekah (zakat/infak) itu tidaklah mungkin mengurangi harta”. Kalau dilihat dari sisi jumlah, harta tersebut mungkin saja berkurang. Namun dari sisi keberkahannya justru bertambah. Lagi pula, Allah SWT berjanji akan menggantinya dengan yang lebih baik dan banyak.
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Wallahu a’lam. (Abu Faiz)

Ancaman Meninggalkan Kewajiban Zakat

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Pada edisi yang lalu, kita telah mengetahui betapa agungnya keutamaan dan faedah zakat dan sedekah, dan betapa besarnya balasan dan manfaat di dunia maupun akhirat yang Allah berikan kepada orang-orang yang menunaikan kewajiban zakat dan mengeluarkan sedekah dari sebagian harta yang mereka miliki. Maka pada edisi kali ini kita akan menyebutkan hukum Zakat dan ancaman dari Allah bagi orang-orang yang enggan membayar kewajibannya, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.

A.Hukum Membayar Zakat:
Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

Diantara dalil syar’i yang menunjukkan wajibnya membayar zakat adalah firman Allah Ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Agama Islam itu dibangun di atas lima rukun (yaitu): “Persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari, dan Muslim)

B.Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Kewajiban Zakat:
Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah telah memberikan ancaman yang sangat keras terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat dengan beraneka ragam siksaan, di antaranya:

1.Pada hari Kiamat Allah akan mengalungkan harta yang tidak dikeluarkan zakatnya di leher pemiliknya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (kikir) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180).

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan) dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari kiamat, Dia berfirman,“Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 180]

2. Harta yang tidak dikeluarkan Zakatnya akan dirubah oleh Allah menjadi seekor ular jantan yang beracun lalu menggigit atau memakan pemiliknya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً ، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ ، لَهُ زَبِيبَتَانِ ، يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِى شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ » ثُمَّ تَلاَ ( لاَ يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ ) الآيَةَ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan (kewajiban) zakatnya, pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang kulit kepalanya rontok karena dikepalanya terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang (atau menggigit tangan pemilik harta yang tidak berzakat tersebut) dengan kedua sudut mulutnya, lalu ular itu berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (firman Allah ta’ala,QS. Ali Imran: 180): ’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka…dst’.” (HR Bukhari II/508 no. 1338)

Di dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
وَلاَ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يَفْعَلُ فِيهِ حَقَّهُ إِلاَّ جَاءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتْبَعُهُ فَاتِحًا فَاهُ فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ فَيُنَادِيهِ خُذْ كَنْزَكَ الَّذِى خَبَأْتَهُ فَأَنَا عَنْهُ غَنِىٌّ فَإِذَا رَأَى أَنْ لاَ بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِى فِيهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ
“Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya (maksudnya tidak mengeluarkan zakatnya, pent), kecuali harta simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ yang akan mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, pemilik harta simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya,“Ambillah harta simpananmu yang telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka ketika pemilik harta itu melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya sebagaimana binatang jantan memakan makanannya.” (HR Muslim II/684 no. 988)

3. Tubuh orang yang tidak mengeluarkan zakat akan dibakar (dipanggang) di dalam neraka Jahannam dengan hartanya sendiri yang telah dipanaskan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَكْنزونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنزتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنزونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” (QS. At-Taubah: 34-35)

Di dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِىَ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Tidaklah pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya (perak) darinya (yaitu zakat), kecuali jika telah terjadi hari kiamat (perak) dijadikan lempengan-lempengan di neraka, kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya. Tiap-tiap lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari kiamat), yang satu hari ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat (atau: akan diperlihatkan) jalannya, kemungkinan menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka”. (HR Muslim II/680 no. 987, dari Abu Hurairah).

Demikianlah beberapa siksaan pedih di akhirat yang akan dirasakan oleh orang-orang yang enggan membayar zakat. Sedangkan hukuman bagi mereka di dunia adalah sebagai berikut:

4. Pemerintah muslim berhak mengambil secara paksa zakat dan juga separuh harta milik orang yang enggan membayar kewajibannya tersebut sebagai hukuman atas perbuatan maksiatnya itu.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ . فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ ابْنَةُ لَبُونٍ . لاَ تُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا . مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا ، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا مِنْهُ وَشَطْرَ إِبِلِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا لاَ يَحِلُّ لآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ
“Pada onta yang digembalakan dari setiap 40 ekor, (zakatnya yang wajib dikeluarkan berupa) bintu labun (yakni Onta yang telah genap berumur dua tahun dan masuk tahun ke tiga, pent). Tidak boleh onta dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa mengeluarkan zakat untuk mencari pahala, maka dia mendapatkan pahalanya. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka sesungguhnya kami akan mengambil (zakat)nya dan separuh hartanya, sebagai kewajiban dari kewajiban-kewajiban Rabb kami. Dan tidak halal bagi keluarga Muhammad sesuatu pun dari zakat itu”. (HR An-Nasai V/25 no. 2448, Ahmad V/2 no. 20030; di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4265).

5. Dihukumi sebagai orang kafir (murtad) jika ia enggan membayar Zakar karena mengingkari kewajibannya.
Hal ini dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan rasul-Nya. Dan berlaku padanya hukum orang murtad, seperti halal darahnya, batal akad pernikahannya, tidak berhak mendapat jatah warisan dan tidak pula mewariskan. Jika ia meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat maka jenazahnya tidak dimandikan, tidak disholatkan, dan tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin.

Jika yang mengingkari kewajiban zakat berupa jamaah (dalam jumlah yang cukup banyak), maka pemerintah muslim berhak memerangi mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Abu bakar Ash-Shiddiq dan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. (Lihat hadits riwayat Bukhari di dalam shahihnya II/507 no. 1335).

Adapun jika ia enggan membayar zakat karena bakhil (kikir) namun masih meyakini kewajibannya, maka ia dihukumi sebagai orang muslim yang fasiq karena telah berbuat dosa besar, dan bukan orang kafir.

Demikian beberapa Ancaman keras di dunia dan akhirat bagi orang muslim yang enggan membayar kewajiban Zakat. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, dan dapat menyadarkan kita semua akan penting dan wajibnya Zakat, serta memotivasi kita untuk bersemangat dalam melaksanakannya. Wabillahi at-Taufiq.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi.. Volume 2 Tahun 1432 / 2011].

harta merupakan ujian besar yang diberikan Allah kepada manusia. Dan manusia, ketika mendapatkan harta yang berlimpah, kebanyakan tidak lulus menghadapi ujian ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. [Al Anfal:28].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,“Karena seorang hamba diuji dengan harta-bendanya dan anak-anaknya, kemudian kemungkinan kecintaannya terhadap hal itu akan membawanya mendahulukan hawa-nafsunya daripada menunaikan amanatnya. Allah memberitakan, bahwa harta dan anak-anak itu hanya sebagai cobaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji para hambaNya dengan keduanya. Dan sesungguhnya keduanya sebagai pinjaman, yang akan ditunaikan kepada (Allah) Yang telah memberikannya, dan akan dikembalikan kepada Dia Yang telah meminjamkannya. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat pahala yang besar. Jika kamu memiliki akal dan fikiran, maka utamakanlah karuniaNya yang agung daripada kenikmatan yang kecil, sementara, dan akan binasa. Maka orang yang berakal akan menimbang antara perkara-perkara dan mengutamakan perkara yang lebih pantas untuk diutamakan dan lebih berhak untuk didahulukan. [Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al Anfal ayat 28].
Di antara bentuk ujian dalam harta, ialah membayar zakat, bagi orang yang telah berkewajiban membayarnya. Janganlah seseorang menyangka, bahwa harta yang melimpah akan dapat menyelamatkannya, jika dia tidak tunduk dan taat kepada Penciptanya dalam mengatur harta. Allah berfirman
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ، يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Nabi Ibrahim berdoa:) Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. [Asy Syu’ara: 87-89].
Maka celakalah orang yang dilalaikan oleh hartanya dan dia mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya.
وَيْلُُ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ ، الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ ، كَلاَّ لَيُنبَذَنَّ فيِ الْحُطَمَةِ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah”. [Al Humazah:1-4]
Bahkan harta itu tidak akan dapat menolong sedikitpun.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ، وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ ، يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ، مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ ، هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ ،
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amal)nya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku”. [Al Haqqah:25-29].
Hukum Tidak BerzakatJika kita telah mengetahui betapa besarnya kewajiban berzakat, maka sesungguhnya agama Islam memberikan hukuman tegas terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat ini. Orang Islam yang telah wajib berzakat, tetapi tidak menunaikannya dan tidak meyakini kewajiban zakat, maka dia murtad dari agama ini dan menjadi orang kafir. Adapun jika masih meyakini kewajibannya, maka dia telah berbuat dosa besar, namun tidak kafir. Dalil tentang hal ini ialah hadits yang telah disampaikan di atas. Bahwa orang yang tidak berzakat akan disiksa sampai diputuskan hukuman pada hari kiamat, kemudian ia akan melihat jalannya menuju surga atau neraka. Jika ia telah kafir, maka pasti tidak akan menuju surga.
Kemudian penguasa kaum muslimin dapat mengambil secara paksa harta zakat orang yang tidak membayarnya dan separuh hartanya sebagai hukuman terhadap perbuatannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا فَلَهُ أَجْرُهَا وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ
“Pada onta yang digembalakan dari setiap 40 ekor, (zakatnya berupa) ibnatu labun [2]. Tidak boleh onta dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa memberikannya (zakat) untuk mencari pahala, maka dia mendapatkan pahalanya. Dan barangsiapa menahannya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya dan separuh hartanya, sebagai kewajiban dari kewajiban-kewajiban Rabb kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad sesuatu darinya (zakat)”. [HR Abu Dawud; Nasai; Ahmad; dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’us Shaghir, no. 4265.]
Kapankah semua kaum muslimin menyadari, bahwa harta merupakan barang titipan, yang harus mereka gunakan sebagaimana yang diatur oleh PemilikNya? Kemudian sewaktu-waktu akan diambil olehNya!? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita selalu berada di atas jalanNya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Yakni memegang atau menggigit tangan pemilik harta yang tidak berzakat tersebut, sebagaimana dalam riwayat yang lain, lihat Fathul Bari, syarah hadits no. 1403
[2]. Onta yang telah genap berumur dua tahun dan masuk tahun ke tiga

Penunaian zakat harus disalurkan pada saatnya dan tidak boleh ditunda-tunda. Harta zakat harus disalurkan secara langsung ketika telah genap satu tahun (haul) dan haram hukumnya menunda-nunda pengeluarannya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “ … dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya … “ (QS. Al-An’am: 141).
Hadits dari Uqbah bin Al-Harits, Rasulullah shalallahi alaihi wa sallam shalat Ashar bersama kami, lalu beliau bergegas masuk ke dalam rumah dan lama tidak muncul-muncul maka aku menanyakannya. Maka beliau bersabda, “Di dalam rumahku ada harta zakat maka aku benci kalau harta itu terus tersimpan di rumahku maka aku pun membagi-bagikannya.” (HR. Bukhari).
Dalam sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shalallahi alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah bercampur zakat terhadap harta kecuali zakat tersebut akan merusakkan harta.” (HR. Baihaqi).

13 Keutamaan Menunaikan Zakat

Sesungguhnya zakat merupakan perkara penting dalam agama Islam sebagaimana shalat 5 waktu. Oleh karena itu, Allah Ta’ala sering mengiringi penyebutan zakat dalam Al Qur’an dengan shalat agar kita tidak hanya memperhatikan hak Allah saja, akan tetapi juga memperhatikan hak sesama. Namun saat ini kesadaran kaum muslimin untuk menunaikan zakat sangatlah kurang. Di antara mereka menganggap remeh rukun Islam yang satu ini. Ada yang sudah terlampaui kaya masih enggan menunaikannya karena rasa bakhil dan takut hartanya akan berkurang. Padahal di balik syari’at zakat terdapat faedah dan hikmah yang begitu besar, yang dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat.

Di antara faedah dan hikmah zakat adalah :

1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang lima. Apabila seseorang melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang amat agung dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.

2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari kata shidiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan zakatnya tersebut.

3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45). Wahai saudaraku, sebagaimana engkau mencintai jika ada saudaramu meringankan kesusahanmu, begitu juga seharusnya engkau suka untuk meringankan kesusahan saudaramu. Maka pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman Anda.

4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ».

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari luarnya.” Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya, “Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Setiap kita tentu saja ingin masuk surga.

5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan zakat, berarti yang kaya menolong yang miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu saudara. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al Qoshosh: 77)

6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup mewah. Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau. Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada dalam kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.

7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan zakat, sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya atau berbuat jahat kepada mereka.

8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ امْرِئٍ فِى ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ

“Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan keputusan di tengah-tengah manusia.” (HR. Ahmad 4/147. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah. Karena ia tidaklah menunaikan zakat sampai ia mengetahui hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak menerimanya serta hal-hal lain yang urgent diketahui.

10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

”Sedekah tidaklah mengurangi harta” (HR. Muslim no. 2558).

11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا

“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ

“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek” (HR. Tirmidzi no. 664. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib dari sisi ini)

13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

”Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.” (HR. Tirmidzi no. 614. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)[1]

Jika Telah Mencapai Nishab dan Haul, Segeralah Tunaikan Zakat

Kaum muslimin -yang selalu mengharapkan kebaikan dan mengharapkan surga Allah- segeralah tunaikan zakat yang wajib bagi kalian agar memperoleh berbagai faedah di atas. Ingatlah bahwa zakat bukanlah wajib ditunaikan hanya ketika akhir bulan Ramadhan saja berupa zakat fitri. Akan tetapi, zakat itu juga wajib bagi 5 kelompok harta yaitu: emas, perak, keuntungan perdagangan, hewan ternak (yaitu unta, sapi, dan domba), dan hasil bumi (berupa tanaman, dll). Kelima kelompok harta tersebut ditunaikan ketika sudah mencapai nishab, yaitu ukuran tertentu menurut syari’at) dan telah mencapai haul, yaitu masa 1 tahun (kecuali untuk zakat anak hewan ternak dan zakat tanaman).

Wahai saudaraku, segeralah tunaikan zakat ketika telah memenuhi syarat nishab dan haul-nya. Berlombalah dalam kebaikan dan ingatlah selalu nasib saudaramun yang berada dalam kesusahan. Sesungguhnya dengan engkau mengeluarkan zakat akan meringankan beban mereka yang tidak mampu. Ingat pula, sebab bangsa ini sering tertimpa berbagai macam bencana dan cobaan adalah disebabkan kita enggan melakukan ketaatan kepada Allah, di antaranya kita enggan untuk menunaikan zakat.

Semoga Allah selalu menganugerahi kita untuk selalu istiqomah dalam melakukan ketaatan kepada-Nya.

Perfected @ Riyadh-KSA, 14th Rajab 1432 H (16/06/2011)
[1] Faedah-faedah di atas kami ringkaskan dari Kitab ‘Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ (6/7-11, terbitan Dar Ibnul Jauzi) karya  ulama besar Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -rahimahullah-

KISAH TSA’LABAH

siang itu Rasululah sedang sholat berjama’ah di masjid bersama para sahabat beliau. Diantara sederetan para sahabat yang makmum di belakang Rasulullah, nampak seorang tengah baya yang kusut rambutnya dengan berpakaian lusuh. Ia dikenal sebagai seorang sahabat Rasululah yang tekun beribadah.
SETELAH Rasulullah menyelesaikan sholat, sahabat berpakaian lusuh itu segera beranjak pulang tanpa membaca wirid dan berdoa terlebih dahulu. Rasulullah menegurnya, “Tsa’labah!… Mengapa engkau tergesa-gesa pulang? Tidakah engkau berdoa terlebih dahulu? Bukankah tergesa-gesa keluar dari masjid adalah kebiasaan orang-orang munafik?”
Tsa’labah menghentikan langkahnya, ia sangat malu ditegur oleh Rasulullah, tetapi apa mau dikata, terpaksa ia berterus terang kepada Rasulullah,
“Wahai Rasululah…. Kami hanya memiliki sepasang pakaian untuk sholat dan saat ini istriku di rumah belum melaksanakan sholat karena menunggu pakaian yang aku kenakan ini. Pakaian yang hanya sepasang ini kami pergunakan sholat secara bergantian. Kami sangat miskin. Untuk itu, Wahai Rasul…. jika engkau berkenan, doakanlah kami agar Allah menghilangkan semua kemiskinan kami dan memberi rejeki yang banyak.”
Rasulullah tersenyum mendengar penuturan Tsa’labah, lalu beliau berkata,
“Tsa’labah sahabatku…, engkau dapat mensyukuri hartamu yang sedikit, itu lebih baik daripada engkau bergelimang harta tetapi engkau menjadi manusia yang kufur”.
Nasehat Rasulullah sedikit menghibur hati Tsa’labah, karena sesungguhnya yang ada dalam benaknya adalah ia sudah bosan menjalani hidup yang serba kekurangan. Satu-satunya cara agar cepat menjadi kaya adalah memohon doa kepada Rasulullah, karena doa seorang utusan Allah pasti didengar Allah. Itulah yang selalu menjadi angan-angan Tsa’labah, hingga keesokan harinya ia kembali menemui Rasulullah dan memohon agar beliau mau medoakannya agar menjadi orang kaya.
Rasulullah kembali menasehati, “Wahai Tsa’labah.. Demi Dzat diriku berada di tanganNya. Seandainya aku memohon kepada Allah agar gunung Uhud menjadi emas, Allah pasti mengabulkan. Tetapi apa yang terjadi jika gunung Uhud benar-benar menjadi emas, masjid-masjid akan sepi!. Semua orang akan sibuk menumpuk kekayaan dari gunung itu! Aku khawatir jika engkau menjadi orang kaya, engkau akan lupa beribadah kepada Allah..”
Tsa’labah terdiam mendengar nasehat Rasulullah namun dalam hatinya terkecamuk,
“Aku mengerti Rasulullah tidak mau mendoakan karena beliau sayang kepadaku. Beliau khawatir jika aku menjadi orang kaya, aku akan menjadi golongannya orang-orang yang kufur. Tetapi aku tidak seburuk itu, justru dengan kekayaan yang kumiliki aku akan membela agama ini dengan hartaku…”
Akhirnya Tsa’labah pulang. Ia merasa malu apabila terus memaksa Rasulullah agar mau mendoakannya. Namun keesokan harinya ia tidak kuasa menahan dorongan hatinya untuk segera terbebas dari belenggu kemiskinan yang kian menghimpitnya. Ditemuinya Rasulullah, ia memohon untuk yang ketiga kalinya agar Rasulullah mau mendoakannya. Kali ini Rasulullah tidak bisa menolak keinginan Tsa’labah, beliau mengadahkan tangan ke langit… “Ya Allah… Limpahkanlah rejekiMu kepada Tsa’labah”
Kemudian Rasulullah memberikan kambing betina yang sedang bunting kepada Tsa’labah. “Peliharalah kambing ini baik-baik….” pesan Rasulullah.
Tsa’labah pulang membawa kambing pemberian Rasulullah dengan hati yang berbunga-bunga. “Dengan modal kambing serta doa Rasulullah, aku yakin aku akan menjadi orang yang kaya raya”.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Tsa’labah yang dulu miskin dan lusuh telah berubah menjadi orang kaya yang terpandang. Kambingnya berjumlah ribuan. Disetiap lembah dan bukit terdapat kambing-kambing Tsa’labah.
Pagi itu Tsa’labah berjalan-jalan meninjau kandang-kandang kambing yang sudah tidak sesuai dengan jumlah kambing yang terus berkembang biak.
“Hmm.. Aku harus pindah dari sini, mencari lahan yang lebih luas untuk menampung kambing-kambingku…”
Akhirnya Tsa’labah menemukan lahan yang luas di pinggiran madinah. Di sana ia membangun kandang-kandang baru yang lebih besar. Namun demikian perkembangan kambing-kambing Tsa’labah bagaikan air bah yang sulit di bendung. Kandang-kandang yang baru dibangun itu pun sudah penuh sesak oleh ribuan kambing. Dengan demikian setiap hari Tsa’labah disibukkan mengurus harta kekayaannya. Ia yang dulu setiap sholat lima waktu selalu berjamaah di masjid, sekarang hanya datang ke masjid pada waktu sholat Dzuhur dan Ashar saja.
Kini kandang-kandang yang baru dibangun Tsa’ labah di pinggiran Madinah sudah tidak lagi memenuhi syarat. Maka ia memutuskan untuk mencari area yang lebih luas lagi. Tentu saja area yang masih sangat luas itu berada jauh di luar Madinah. Tsa’labah sudah tidak memikirkan lagi bagaimana ibadahnya bila jauh dari Madinah. Kepalanya sudah dipenuhi dengan hubbuddunya, hingga ia datang ke masjid hanya seminggu sekali yaitu pada waktu sholat Jum’at. Dengan semakin derasnya harta yang mengalir dirumah Tsa’labah, kini ia lebih senang tinggal dirumah daripada jauh-jauh datang ke masjid, bahkan sholat Jum’at pun ia tidak datang ke masjid..!
Sampai Rasulullah bertanya-tanya, “Wahai sahabatku… sudah sekian lama Tsa’labah tidak kelihatan di masjid. Tahukah kalian bagaimana keadaannya sekarang?”
“Wahai Rasulullah… Tsa’labah sudah menjadi orang kaya. Lembah-lembah di Madinah maupun diluar Madinah, telah penuh sesak dengan kambing-kambing Tsa’labah…”
“Benarkah? Mengapa ia tidak pernah menyerahkan shodakohnya sedikitpun?”
Setelah Allah menurunkan ayat tentang kewajiban zakat. Rasulullah mengutus dua orang sahabat untuk menjadi amil zakat. Seluruh umat Islam di Madinah yang hartanya dipandang sudah nishob zakat didatangi, tak terkecuali Tsa’labah pun mendapat giliran. Kedua utusan Rasulullah membacakan ayat zakat dihadapan Tsa’labah. Kemudian setelah dihitung dari seluruh harta kekayaannya ternyata memang banyak harta Tsa’labah yang harus diserahkan sebagai zakat. Tak disangka, Tsa’labah mukanya berubah merah, ia berang…
“Apa-apaan ini! Kalian mengatakan ini zakat..! Tetapi menurutku ini lebih tepat disebut upeti! Pajak! Sejak kapan Rasulullah menarik upeti! Hahh..?! Aku bisa rugi! Kalian pulang saja. Aku tidak mau menyerahkan hartaku..!”
Kedua utusan Rasulullah kembali menghadap Rasulullah dan menceritakan semua perbuatan Tsa’labah. Beliau bersedih telah kehilangan seorang sahabat yang dulu tekun beribadah ketika miskin namun setelah kaya ia telah terpengaruh dengan harta kekayaannya.
“Sungguh celaka Tsa’labah! Celakalah ia!”
Kemudian Allah menurunkan ayat 75 dalam surat At Taubah, tentang ciri-ciri orang munafik.
Ayat itu segera menyebar ke seluruh muslimin di Madinah, hingga ada salah seorang kerabat Tsa’labah yang datang memberitahunya..” Celakalah engkau Tsa’labah! Allah telah menurunkan ayat karena perbuatanmu!”
Tsa’labah tertegun, ia baru sadar bahwa nafsu angkara murka telah lama memperbudaknya. Kini ia bergegas menghadap Rasulullah dengan membawa zakat dari seluruh hartanya. Namun Rasulullah tidak berkata apa-apa kecuali hanya sepatah kata, “Sebab kedurhakaanmu, Allah melarangku untuk menerima zakatmu!”
Rasulullah mengambil segenggam tanah lalu ditaburkan diatas kepala Tsa’labah…“Inilah perumpamaan amalanmu selama ini… sia-sia belaka! Aku telah peintahkan agar engkau menyerahkan zakat, tetapi engkau menolak. Celakalah engkau Tsa’labah!”
Tsa’labah berjalan lunglai kembali kerumahnya. Hari-hari dalam hidupnya hanya dipenuhi dengan penyesalan yang tiada arti. Sampai suatu hari terdengar kabar Rasulullah telah wafat, ia semakin bersedih karena taubatnya tidak diterima oleh Rasulullah hingga beliau wafat.
Tsa’labah mencoba mendatangi khalifah Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah. Ia datang dengan membawa zakatnya. Apakah Abu Bakar menerimanya? Abu Bakar hanya berkata, “Rasulullah saja tidak mau menerima zakatmu, bagaimana mungkin aku menerima zakatmu?”
Demikian pula di jaman kekhalifahan Umar bin Khattab, Tsa’labah mencoba menyerahkan zakatnya. Umar pun tidak mau menerima sebagaimana Rasulullah dan Abu Bakar tidak mau menerima zakatnya. Bahkan sampai khalifah Utsman bin Affan juga tidak mau menerima zakat Tsa’labah karena Rasulullah, Abu Bakar dan Umar tidak mau menerima zakatnya.
Kehidupan yang hina dan penuh kemurkaan Allah telah menimpa seorang sahabat Rasulullah yang telah tenggelam di dalam gelimang harta hingga menyeretnya ke lembah kemunafikan. Ia telah melalaikan kewajibannya. Ia telah mengingkari janji-janjinya. Ia telah melecehkan kemuliaan Allah dan RasulNya, sehingga membuahkan penderitaan yang kekal abadi di dalam neraka.***
HR “IBNU JARIR”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Tiga Orang Ini Menolak Bayar Zakat di Zaman Rasulullah SAW

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ketika itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat Umar untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya, “Pergilah, kumpulkanlah harta zakat!”
Umar pun pergi untuk melaksanakan tugasnya. Dia berkeliling mengunjungi kaum muslimin dengan sebuah perintah, “Bayarlah zakat kalian!”. Harta zakat yang didapatkannya bukanlah untuk istana atau kantor-kantor, melainkan untuk diberikan kepada fakir dan miskin serta orang-orang yang membutuhkannya.
Ketika bertugas, Umar pergi dari satu pintu ke pintu lainnya dengan menyampaikan perintah, “Bayarlah zakat!”
Semua orang yang didatangi Umar bertanya, “Siapakah yang telah mengutus engkau?”
“Yang mengutusku ialah Rasulullah SAW,” jawab Umar.
Ketika orang-orang mendengar nama Rasulullah disebutkan, serta-merta mereka membayar kewajiban zakat. Betapa kuatnya pengaruh Rasulullah SAW untuk “mengendalikan hati” mereka. Sampai-sampai, para wanita perawan pun menyimak sabda Rasulullah SAW dari dalam kamarnya. Kekuatan inilah yang tidak dimiliki oleh Umar walaupun dia memiliki kelebihan dalam hal lainnya.
Setelah Umar mendatangi seluruh kaum muslimin, sampailah Umar pada tiga sahabat yang menolak untuk membayar zakat. Mereka adalah Abbas, Khalid bin Walid dan Ibnu Jamil. Yang pertama Umar mendatangi Abbas dan berkata padanya, “Bayarlah zakat!”
Abbas bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?”
“Rasulullah SAW,” jawab Umar.
Abbas berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”
Lalu Umar pergi menuju Khalid bin Walid, seorang ahli strategi perang, dan berkata kepadanya, “Bayarlah zakat!”
Khalid bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?”
“Rasulullah SAW,” jawab Umar.
Khalid berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”
Kemudian Umar pergi mengunjungi Ibnu Jamil dan berkata kepadanya, “Bayarlah zakat!”
Ibnu Jamil bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?”
“Rasulullah SAW,” jawab Umar.
Ibnu Jamil berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”
Setelah itu, Umar pulang dan menghadap Rasulullah dengan membawa harta zakat. Ketika tiba di hadapan Rasulullah SAW, ia berkata, “Seluruh kaum muslimin membayar zakat harta kecuali tiga orang.”
“Siapakah  mereka?” tanya Rasulullah SAW.
“Abbas, Khalid bin Walid, dan Ibnu Jamil,” jawab Umar.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Umar, tidakkah Engkau tahu bahwa Abbas adalah pamanku? Akulah yang akan membayar zakatnya untuk dua tahun. Zakatnya menjadi kewajibanku untuk membayarnya selama dua tahun, sebab aku telah meminjam uang zakat darinya untuk dua tahun.”
Rasulullah SAW melanjutkan, “Adapun Khalid, kalian telah berbuat zalim kepadanya. Dia telah mewakafkan seluruh perbekalan dan perlengkapan miliknya di jalan Allah.”
Beliau berkata lagi, “Semua telah tergadai dan menjadi wakaf di jalan Allah. Apakah dalam harta wakaf terdapat kewajiban membayar zakat? Wahai Umar, mengapa engkau meminta zakat darinya padahal dia telah mewakafkannya?”
Jika Khalid hendak pergi berperang, dia memanggil 100 orang pasukan berkuda dan memberi mereka 100 pedang, 100 tombak, serta 100 ekor kuda perang; semua itu dia jadikan sebagai wakaf untuk Allah. Oleh karenanya, anak-anaknya tidak dapat mewarisinya. Ketika Khalid wafat, dia tidak meninggalkan harta, kecuali baju yang dia pakai.
Adapun Ibnu Jamil, Rasulullah SAW bersabda tentangnya, “Adapun Ibnu Jamil, tidaklah (pantas) dia menolak membayar zakat, karena dahulu dia orang yang fakir lalu Allah membuatnya kaya.” Maksudnya, tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk menolak membayar zakat. Allah SWT berfirman berkenaan dengan Ibnu Jamil dan orang-orang yang serupa dengannya:
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.” (At-Taubah: 75-77)
Maka dalam kasus ini, tidak ada keringanan bagi Ibnu Jamil dalam hal membayar zakat. Berbeda dengan Abbas dan Khalid, mereka diberi keringanan untuk tidak membayar zakat karena alasan-alasan yang telah disebut Rasulullah SAW di atas.
Penulis: Dhani El_Ashim; Editor: Rudy

Syarat Wajib Dan Cara Mengeluarkan Zakat

Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Pengantar
Salah satu rukun Islam yang harus diamalkan seorang muslim, ialah menunaikan zakat. Keyakinan ini didasari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Quran dan Sunnah. Bahkan hal ini sudah menjadi konsensus (ijma’) yang tidak boleh dilanggar.

Adapun dalil dari Al Qur’an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. [At Taubah :103].

Dan firmanNya:

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ

“Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. [Al Baqarah:110].

Kemudian dalil dari Sunnah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَ ِمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Karena itu, jika engkau menjumpai mereka, serulah mereka kepada syahadat, tidak ada yang berhak disembah dengan haq, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mentaati engkau dalam hal itu, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari- semalam. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah atas harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagi-bagikan kepada para faqir miskin dari mereka. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka berhati-hatilah terhadap harta-harta kesayangan mereka dan bertaqwalah dari doa-doa orang yang dizhalimi, karena tidak ada penghalang darinya dengan Allah”.[1]

Sedangkan dalil dari ijma’, kaum muslimin telah bersepakat atas kewajibannya, sebagaimana telah dinukilkan oleh Ibnu Qudamah [2] dan Ibnu Rusyd [3].

Kewajiban ini, tentunya memiliki syarat dan cara yang harus diperhatikan kaum muslimin, sehingga dapat menunaikan kewajibannya membayar zakat dengan benar dan tepat.

Persyaratan Kewajiban Mengeluarkan Zakat
Syarat-syarat wajibnya mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:

1. Islam.
Islam menjadi syarat kewajiban mengeluarkan zakat dengan dalil hadits Ibnu Abbas di atas. Hadits ini mengemukakan kewajiban zakat, setelah mereka menerima dua kalimat syahadat dan kewajiban shalat. Hal ini tentunya menunjukkan, bahwa orang yang belum menerima Islam tidak berkewajiban mengeluarkan zakat [4]

4. Memiliki Nishab.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut [7]. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir”. [Al Baqarah:219].

Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. [8]

Syarat-Syarat Nishab
Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:

1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.

2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab [9] dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)” [10].

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun, yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan berzakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut [11].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Hadits riwayat Al Jamaah.
[2]. Lihat Al Mughni, karya Ibnu Al Qudamah 4/5.
[3]. Lihat Bidayah Al Mujtahidin 1/244.
[4]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqhi Al Sunnah Wa Al Kitabi Al Aziz, karya Abdul’azhim bin Badawi, hal. 212 dan Al Zakat Wa Tanmiyat Al Mujtama’, karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji, hal. 115.
[5]. Lihat Al Zakat Wa Tanmiyat Al Mujtama’, karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji, hal. 118.
[6]. Ibid, hal. 117-118.
[7]. Lihat Syarh Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 6/20
[8]. Lihat Al Zakat Wa Tanmiyat Al Mujtama’, karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji, hal. 119.
[9]. Lihat Fiqh As Sunnah, karya Sayyid Sabiq 1/467.
[10]. Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalan periwayatan. Diriwayatkan dari jalan periwayatan Ibnu Umar oleh At Tirmidzi 1/123, dari jalan periwayatan ‘Aisyah oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1793, dari periwayatan Anas bin Malik oleh Al Daraquthni dalam Sunan-nya no. 199 dan periwayatan
Ali bin Abi Thalib oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no. 1573. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Irwa Al Ghalil, 3/254-258.
[11]. Lihat Syarh Al Mumti’ 6/ 24.

Masa khalifah Abu Bakar, beliau memerangi orang-orang yang tidak mau mendirikan shalat dan tidak mau menunaikan kewajiban zakat. Pada mulanya beliau mendapat hambatan dari sahabat ‘Umar. Tetapi beliau menjawab dengan kata-kata tegas yang bunyinya sebagai berikut :
والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة, فان الزكاة حق المال والله لو منعونة عناقا كانوا يؤدونها لرسول الله لقاتلتهم على منعها
“Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat; karena sesungguhnya zakat itu adalah hak (kewajiban) pada harta benda. Demi Allah, seandainya mereka tidak memberikan (zakat) seekor unta yang biasa mereka berikan pada Rasulullah, saya akan perangi mereka”.
Mendengar jawaban Abu Bakar itu, ‘Umar RA menerima alasan beliau. Lalu ‘Umar berkata: “Demi Allah, hal itu tiada lain karena Allah telah membuka dada Abu Bakar (dalam memahami syariat Islam). Akhirnya saya menyadari bahwa memerangi mereka adalah haq”.
Allah mengancam keras terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat dengan firmanNya:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَآءَاتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرُُّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَللهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Ali Imran:180].
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan) dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari kiamat, Dia berfirman,“Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 180]. Tentang makna ayat “harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat” di atas dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. Antara lain sebagaimana di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا ( لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ ) الْآيَةَ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya, pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang kulit kepalanya rontok karena dikepalanya terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang [1] dengan kedua sudut mulutnya, lalu ular itu berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka … Al ayat’.” [HR Bukhari no. 1403]
Pada hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا صَاحِبِ كَنْزٍ لَا يَفْعَلُ فِيهِ حَقَّهُ إِلَّا جَاءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتْبَعُهُ فَاتِحًا فَاهُ فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ فَيُنَادِيهِ خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ فَإِذَا رَأَى أَنْ لَا بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ
“Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya, kecuali harta simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ yang akan mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, pemilik harta simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya,“Ambillah harta simpananmu yang telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka ketika pemilik harta itu melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya sebagaimana binatang jantan memakan makanannya”. [HR Muslim no. 988]
Demikianlah akhir perjalanan harta simpanan yang tidak ditunaikan zakatnya. Pemiliknya menyangka, bahwa hartanya akan mengekalkannya atau bermanfaat baginya. Namun ternyata akan menjadi sarana untuk menyiksanya.
Demikian juga Allah memberitakan siksaan yang akan ditimpakan pada hari kiamat kepada orang yang tidak berzakat. FirmanNya,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ، يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” [At Taubah:34,35].
Firman Allah ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Tidaklah pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya (perak) darinya (yaitu zakat), kecuali jika telah terjadi hari kiamat (perak) dijadikan lempengan-lempengan di neraka, kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya. Tiap-tiap lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari kiamat), yang satu hari ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat (atau: akan diperlihatkan) jalannya, kemungkinan menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka”. [HR Muslim no. 9887, dari Abu Hurairah]
Memang, sesungguhnya harta merupakan ujian besar yang diberikan Allah kepada manusia. Dan manusia, ketika mendapatkan harta yang berlimpah, kebanyakan tidak lulus menghadapi ujian ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. [Al Anfal:28].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,“Karena seorang hamba diuji dengan harta-bendanya dan anak-anaknya, kemudian kemungkinan kecintaannya terhadap hal itu akan membawanya mendahulukan hawa-nafsunya daripada menunaikan amanatnya. Allah memberitakan, bahwa harta dan anak-anak itu hanya sebagai cobaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji para hambaNya dengan keduanya. Dan sesungguhnya keduanya sebagai pinjaman, yang akan ditunaikan kepada (Allah) Yang telah memberikannya, dan akan dikembalikan kepada Dia Yang telah meminjamkannya. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat pahala yang besar. Jika kamu memiliki akal dan fikiran, maka utamakanlah karuniaNya yang agung daripada kenikmatan yang kecil, sementara, dan akan binasa. Maka orang yang berakal akan menimbang antara perkara-perkara dan mengutamakan perkara yang lebih pantas untuk diutamakan dan lebih berhak untuk didahulukan. [Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al Anfal ayat 28].
Di antara bentuk ujian dalam harta, ialah membayar zakat, bagi orang yang telah berkewajiban membayarnya. Janganlah seseorang menyangka, bahwa harta yang melimpah akan dapat menyelamatkannya, jika dia tidak tunduk dan taat kepada Penciptanya dalam mengatur harta. Allah berfirman
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ، يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Nabi Ibrahim berdoa:) Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. [Asy Syu’ara: 87-89].
Maka celakalah orang yang dilalaikan oleh hartanya dan dia mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya.
وَيْلُُ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ ، الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ ، كَلاَّ لَيُنبَذَنَّ فيِ الْحُطَمَةِ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah”. [Al Humazah:1-4]
Bahkan harta itu tidak akan dapat menolong sedikitpun.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ، وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ ، يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ، مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ ، هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ ،
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amal)nya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku”. [Al Haqqah:25-29].
Demikianlah sekitar mengenai hukuman bagi orang yang melalaikan zakat. Dalam masyarakat Islam tak ada suatu golongan pun yang mengaku dirinya sebagai golongan muslim kecuali harus menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan oleh agama kepada mereka. Dan salah satu di antara kewajiban-kewajiban itu ialah menjamin golongan lemah melalui zakat.
Apa yang kita saksikan sekarang banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai muslim, tetapi tidak menunaikan zakat. Bahkan memeras golongan yang tidak mampu untuk melipatgandakan kekayaan dan melampiaskan hawa nafsunya. Orang-orang yang demikian, tidak ada tempat dalam masyarakat Islam.
Dalam jumlah yang tidak sedikit, orang-orang tersebut melakukan kebebasan penuh untuk melampiaskan nafsu, sehingga mereka semakin kaya yang akhirnya muncul golongan kapitalis. Golongan ini tidak pernah menunaikan kewajibannya terhadap kaum fakir miskin dan orang-orang lemah. Di samping itu, muncul pula golongan kaum lemah yang hidup serba kekurangan.

Zakat

Erwandi Tarmidzi
Abu Bakar radhiyallahu anhu ketika dimasa pemerintahannya, sebagian kabilah enggan untuk mengeluarkan zakat yang dimasa Rasullah Salallahu Alaihi Wasallam mereka keluarkan, maka Abu Bakar sebelum memerangi orang-orang kafir beliau perangi dulu orang-orang ini, dan ternyata dengan izin Allah, ini adalah strategi yang sangat mengagumkan.  Karena orang-orang menganggap dalam kondisi begitu, mereka mampu membersihkan dari dalam. Maka darahpun di tumpahkan bukan sekedar basa basi, ini semua untuk siapa? Yaitu untuk orang-orang fakir miskin baik yang meminta-minta maupun yang tidak meminta-minta. Ini juga menunjukkan pentingnya zakat karena berkaitan dengan hak kaum fakir miskin. Yang penting diingat bahwa mereka tidak diperangi karena kafir, mereka masih muslim akan tetapi muslim yang fasik.
Kemudian ingatlah bahwa ketika kita berzakat, zakat tersebut tidak mengurangi harta kita.  Walaupun hakekatnya kekayaan kita berkurang 2,5  % dalam zakat perniagaan, emas dan perak, namun sebetulnya 2,5% yang kita keluarkan akan Allah lipat gandakan.  Satu kebaikan akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan, kemudian Allah lipat gandakan kembali hingga mencapai 700 kali lipat.  Dan bagi orang-orang yang Allah kehendaki akan dilipat gandakan lebih dari 700 kali lipat tersebut. Allah berfirman :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menumbuh kembangkan sedekah”. (QS. Al Baqarah: 276).
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah robbil ‘alamin wabihi nasta’in wa nushalli wa nusallim wamubarik ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi waman tabi’ahum bi ihsan ila yaumiddin wa ba’du :
Para pemirsa tv rodja yang dimuliakan Allah serta para pendengar radio rodja yang dimuliakan Allah
Insya allah mulai hari ini akan kita jelang pembahasan mengenai zakat.
Berbeda mungkin pembahasan mengenai puasa, yang kita fokuskan mengenai permasalahan kontemporer, tapi untuk zakat.  Akan kita jelaskan juga bagian dari pembahasan kontemporer dan tidak lupa kita menjelaskan dari awal apa yang telah di jelaskan oleh para ulama, karena pembahasan zakat berbeda dengan pembahasan puasa, yang hampir semua kaum muslimin siap melakukannya.   Tapi masalah zakat berkaitan dengan harta, maka perlu kita untuk menggugah  kembali , mengingat Allah dan sifatNya, karena pada dasarnya manusia mempunyai sifat kikir, sebagaimana yang di firmankan Allah :
وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا]
“ dan adalah manusia mempunyai sifat kikir”. (QS. Al Isaraa’: 100).
Orang siap untuk berkorban dengan diri dan waktu, akan tetapi jarang diantara mereka yang siap berkorban mengelurkan hartanya.
Definisi Zakat:
Kata  “zakat” di tinjau dari segi bahasa berarti “ annumuw” yang artinya tumbuh. Dikatakan “zaka azzar’u” artinya tumbuhan itu tumbuh, kapan dikatakan zaka azzar’u? yaitu ketika tumbuhan itu tumbuh dengan baik.
Secara istilah syariat adalah “mengeluarkan bagian harta tertentu dan diberikan pada golongan tertentu”.
Dalam 82 ayat Al-quran Allah menggandengkan perintah shalat dengan perintah zakat, sehingga ahli tafsir menjelaskan bahwa diantara hikmahnya adalah menunjukkan pentingnya masalah zakat sebagaimana pentingnya masalah shalat dalam Islam.  Hal ini menunjukkan juga bahwa shalat merupakan kewajiban manusia yang harus dikerjakan untuk Allh, dan zakat juga merupakan  kewajiban yang berhubungan dengan harta untuk diberikan kepada manusia yang lain. Sebagian para ulama menjelaskan bahwa Islam bertumpu kepada dua hal :
Pertama : mengikhlaskan ibadah kepada Allah
Kedua : berbuat baik kepada manusia.
Diantara berbuat baik kepada manusia yang diwajibkan adalah mengeluarkan zakat yang diberikan kepada orang tertentu. Dan sebuah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, bukanlah untuk memberatkan manusia, melainkan untuk kemashlahatan manusia itu sendiri.
Hikmah Syariat Zakat:
Nyatalah bahwa zakat memilki hikmah yang luar biasa sekali, diantaranya sebagaimana yang dijelaskan ulama yang berdasarkan nash-nash Al-quran dan hadist bahwa zakat membersihkan orang yang mengelurkan zakat dari dosa. Diriwayatkan oleh Tirmizi dan Al Hakim dalam kitabnya “Mustadrok” dan di shahihkan oleh Zhahabi bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi  Wasallam bersabda:
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الماءُ النَّارَ
“Zakat memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api”
Maka jelaslah bahwa zakat akan menyebabkan seseorang bersih dari dosa-dosanya, padam dosa-dosanya sebagaimana air memadamkan api.
Kemudian selain membersihkan seseorang dari dosa, juga membersihkan dari sifat kikir.  Sifat kikir ini merupakan penyakit kejiwaan, orang kikir tidak akan bisa hidup bahagia karena setiap dia mengeluarkan hartanya dia akan merasa sakit, sedih sampai dia mengeluarkan harta untuk dirinya dia akan merasa berat. Sedih karena dia merasa telah mengumpulkannya dengan susah payah.   Dan penyakit ini diobati oleh Allah Subhanahu Wata’ala melalui zakat, dan kikir ini memang sudah menjadi sifat manusia yang telah kita katakan di awal, Allah mengatakan :
Bahkan Allah juga mengatakan :
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ
“Sekalipun manusia diberikan seluruh bentuk kekayaan oleh Allah maka ia akan kikir, takut untuk membelanjakannya”. (QS. Al Isaraa’: 100).
Sifat kikir inilah yang dihapus oleh zakat dalam firman Allah :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah dari harta orang-orang kaya zakat untuk membersihkan diri mereka.”
Karena Allah tahu bahwa manusia berat untuk mengelurkan zakat, sehingga  Allah perintahkan kepada pemegang kekuasaan (pemimpin) untuk menarik zakat dari manusia.
Banyak kita lihat dalam ayat yang kita baca dalam shalat kita, ayat-ayat yang mengenai perintah zakat sehingga kita mengetahui mengenai kewajiban zakat, tapi jarang orang yang sadar untuk mengeluarkan zakat sehingga dibutuhkan untuk diambil secara paksa.  Yang mana Allah perintahkan “ambillah’ berarti dengan cara paksa, dan juga dalam hadist bahwa Rasulullah mengatakan :
وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ
“Orang yang enggan mengeluarkan zakatnya kami ambil zakatnya dan diambil sebagian dari hartanya sebagai denda. Ketentuan dari Rabb kami”. (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al Albani).
Memang sudah tabiat manusia seperti demikian, sehingga amil tidak menunggu saja akan tetapi datang untuk menjemput, menghitung kemudian mengambil, apabila tidak mau, maka dipaksa, dan apabila telah dipaksa juga tidak mau, dan mesti dengan menumpahkan darah maka darahpun harus ditumpahkan.
Abu Bakar radhiyallahu anhu ketika dimasa pemerintahannya, sebagian kabilah enggan untuk mengeluarkan zakat yang dimasa Rasullah Salallahu Alaihi Wasallam mereka keluarkan, maka Abu Bakar sebelum memerangi orang-orang kafir beliau perangi dulu orang-orang ini, dan ternyata dengan izin Allah, ini adalah strategi yang sangat mengagumkan.  Karena orang-orang menganggap dalam kondisi begitu, mereka mampu membersihkan dari dalam. Maka darahpun di tumpahkan bukan sekedar basa basi, ini semua untuk siapa? Yaitu untuk orang-orang fakir miskin baik yang meminta-minta maupun yang tidak meminta-minta. Ini juga menunjukkan pentingnya zakat karena berkaitan dengan hak kaum fakir miskin. Yang penting diingat bahwa mereka tidak diperangi karena kafir, mereka masih muslim akan tetapi muslim yang fasik.
Kemudian ingatlah bahwa ketika kita berzakat, zakat tersebut tidak mengurangi harta kita.  Walaupun hakekatnya kekayaan kita berkurang 2,5  % dalam zakat perniagaan, emas dan perak, namun sebetulnya 2,5% yang kita keluarkan akan Allah lipat gandakan.  Satu kebaikan akan Allah lipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan, kemudian Allah lipat gandakan kembali hingga mencapai 700 kali lipat.  Dan bagi orang-orang yang Allah kehendaki akan dilipat gandakan lebih dari 700 kali lipat tersebut. Allah berfirman :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menumbuh kembangkan sedekah”. (QS. Al Baqarah: 276).
Orang yang berbuat riba dengan hartanya, walaupun pada tampak lahir hartanya bertambah dengan masuknya riba, tapi sebetulnya dia menghancurkan dan memusnahkan hartanya.  Hartanya yang lain juga ikut musnah, dan sebaliknya orang yang mengeluarkan sedekah, mengeluarkan zakat, secara lahiriah orang melihat hartanya berkurang akan tetapi sebetulnya Allah kembangkan hartanya.
Ini adalah susunan kalimat yang sangat agung sekali yang bisa kita pahami dari firman Allah “Allah menghapuskan riba dan menumbuh kembangkan sedekah” riba ketika lahiriahnya bertambah tetapi hakekatnya hancur, sebaliknya sedekah dan zakat pada lahiriahnya berkurang sesungguhnya pada saat itu Allah sedang menumbuh kembangkan harta itu.
Kemudian dalam zakatlah adanya keadilan sosial.  Kita tahu, tidak semua manusia diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala rizki yang sama, Allah berfirman :
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki” (QS. An Nahl: 71).
Dan ketika kita ketahui bahwa harta apabila telah sampai satu tahun dan mencapai nisab zakat, maka harta yang wajib dikeluarkan itu bukanlah milik orang yang mempunyai harta tersebut akan tetapi berpindah kepemilikannya menjadi hak milik orang fakir miskin.  Dan hak ini Allah yang menetapkannya.
Allah yang memerintahkan untuk mengeluarkannya dan bila tidak mau dikeluarkan oleh penahan harta zakat ini, bukan fakir miskin yang Allah perintahkan untuk memaksa orang-orang kaya untuk mengeluarkan harta mereka, tetapi pihak ketiga yaitu pemimpin yang Allah perintahkan untuk mengambil.
Bila syariat zakat ini tidak dilakukan, baik yang mempunyai harta walaupun kadang mengeluarkan tetapi dengan asal-asalan, atau sebagian yang memang tidak mau mengeluarkannya, dan pemimpin tidak acuh, atau hanya sekedar himbaun tidak sampai untuk menariknya bahkan untuk memaksa, kemudian fakir miskin hidup dengan keadaan terlunta-lunta maka akan terjadi kondisi dimana terdapat manusia-manusia yang kelaparan dan manusia-manusia yang tidak terbalut pakaian dan beratapkan langit.
Rasulullah bersabda yang diriwayatkan Thabrani, Haitsami mengatakan sanadnya shahih Rasulullah bersabda :
«إِنَّ الله فَرَضَ عَلَى أَغْنِيَاءِ المُسْلِمِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ قَدْرَ الَّذِي يَسَعُ فُقَرَاءَهُمْ، وَلَنْ يُجْهَدَ الْفُقَرَاءُ إِلَّا إِذَا جَاعُوا وَعُرُّوا مِمَّا يَصْنَعُ أَغْنِيَاؤُهُمْ، أَلَا وَإِنَّ الله مُحَاسِبُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِسَابًا شَدِيدًا، وَمُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا نُكْرًا»
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan pada setiap harta orang-orang muslim yang kaya (zakat) yang mencukupi untuk menutupi kebutuhan orang-orang muslim yang fakir. Dan tidaklah mereka kelaparan dan tubuh mereka tidak berbalut pakaian melainkan karena orang-orang kaya tidak mengeluarkan zakat. Ketahuilah! Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka (orang kaya yang tidak berzakat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih“.
Ingatlah bahwa orang-orang fakir tersebut tidaklah menjadi kelaparan dan tidak berbalut pakaian melainkan karena orang-orang kaya tidak membayar zakatnya, inilah yang menimbulkan ketidak harmonisan.
Kemudian zakat juga berdampak banyak dalam sosial ekonomi, karena bila harta hanya beredar diantara sekolompok orang tidak akan bergerak, yang bisa berbelanja hanya orang-orang kaya saja. Namun apabila orang-orang kaya ini mengeluarkan zakat mereka, maka roda ekonomi akan bergerak, karena orang-orang miskin dapat berbelanja kebutuhan mereka, namun apabila mereka tidak memiliki uang dengan apa mereka membeli?
Bila hak mereka di keluarkan oleh orang-orang kaya dalam bentuk zakat, maka mereka dapat belanja dan bergeraklah roda ekonomi.
Dan dalam hal ini juga banyak manfaat sosialnya sebagaimana yang di katakan para ulama kita bahwa orang yang fakir ketika melihat orang-orang kaya diantara mereka pasti ada rasa kecemburuan dan ketika orang kaya mengeluarkan zakatnya dan apalagi mereka mengantarkannya ke rumah-rumah orang fakir maka akan timbullah keharmonisan hidup antara miskin dan kaya.  Mereka melihat orang-orang kaya membantu meringankan beban mereka, maka dengan demikian orang –orang fakir ini nanti siap membantu orang-orang kaya.  Namun apabila ini tidak tercapai, dikawatirkan akan timbul kecemburuan sosial. Dengan timbulnya masalah sedikit saja maka akan timbullah ketidak harmonisan.

Ibadah tentu lebih baik anda lakukan sendiri daripada mewakilkan pada orang lain, lakukan sendiri, setiap jerih payah anda dalam memberikan zakat anda ini dihitung ibadah oleh Allah Subhanahu Wata’ala, dan bahkan jika anda siap mengangkat beras, mengantarkan ke rumah fakir miskin tersebut alangkah bahagianya fakir miskin tersebut dijenguk oleh anda, tetangga anda yang selama ini anda hidup dengan berkecukupan sedangkan mereka hidup dengan kekurangan, satu kali dalam satu tahun anda yang datang mengantarkan sendiri kerumahnya. Bayangkanlah rasa kegembiraan tetengga anda yang fakir miskin ini! kedatangan anda kerumahnya menunjukkan hubungan yang luar biasa antara anda dan tetangga anda yang fakir atau miskin, dan ini selain anda yakin bahwa zakat anda sampai kepada yang berhak anda juga membina hubungan yang baik dengan tetangga anda, dan tercipta keharmonisan dalam masyarakat, jangan terlalu mudah mewakilkan. Maka sebaiknya apalagi zakat fitrah yang waktunya sempit sekali, kalau kita saling mewakilkan dikawatirkan berlalu waktunya yang waktunya mulai terbenam matahari di hari akhir ramadhan sampai shalat hari raya, waktu tersebut tidak sampai 24 jam paling sekitar 15 atau 16 jam, kalau mewakilkan kapan diberikan oleh wakil  tersebut, cari sendiri, anda Cuma mengangkat 2,5 kilo beras.
*Diketik ulang dari ceramah di radio dan Rodja TV pada tanggal 12 Ramadhan 1433H.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam saja ketika beliau selasai shalat terburu-buru ke rumahnya, sehingga para sahabat bertanya-tanya, lalu Rasulullah mengatakan di rumahku ada satu keping emas dan itu adalah bagian dari uang emas zakat yang belum disalurkan dan saya tidak ingin uang tersebut bermalam dirumah saya, kawatir nanti akan menghalangi saya nanti di akhirat … (HR. Bukhari)

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakat
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya jika seseorang telah sampai pada satu haulnya mengeluarkan zakat, tapi ia dengan sengaja menunda menyalurkan dan menunggu bulan ramadhan agar mendapat pahala yang berlipat ganda.
Jawaban :
Bagaimana pahala berlipat ganda bisa didapatkan bila tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, pahala berlipat ganda apabila anda mensedahkan sesuatu yang belum wajib, dan bersedakah dibulan Ramadhan memang baik, tetapi berzakat di bulan ramadhan tergantung, kalau memang wajibnya sebelum ramadhan tidak boleh anda tunda-tunda, apalagi apabila sampai 2 atau 3 bulan,
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam saja ketika beliau selasai shalat terburu-buru ke rumahnya, sehingga para sahabat bertanya-tanya, lalu Rasulullah mengatakan di rumahku ada satu keping emas dan itu adalah bagian dari uang emas zakat yang belum disalurkan dan saya tidak ingin uang tersebut bermalam dirumah saya, kawatir nanti akan menghalangi saya nanti di akhirat … (HR. Bukhari)
Rasulullah tidak mau harta zakat bermalam di rumah beliau walau semalam, karena ini berkaitan dengan hak orang lain, siapa yang mau diantara kita gajinya dilambatkan walaupun dalam hitungan 24 jam umpamanya?
Tidak ada orang yang mau, maka dengan demikian jangan kita lambat-lambatkan hak orang lain, secepatnyalah dibayarkan, dan nanti di bulan Ramadhan anda memiliki rizki bersedekahlah semoga dilipat gandakan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, jadi yang penting kita beramal sesuai tuntunan agama Allah, bila tidak, bukan lipat ganda pahala yang kita dapatkan, tetapi murka Allah bila ternyata tetangga ada orang yang berhak mendapatkan zakat dan teraniaya karena keterlambatan penyalurannya. Wallahu ta’ala a’lam.
Pertanyaan :
Dan berkaitan dengan penyegeraan pembayaran zakat kepada suatu lembaga atau yayasan yang menampung pembayaran zakat, apakah kewajibannya menyegerakan atau dia  boleh menunda? Karena sebagian merekan menunda sampai beberapa waktu baru kemudian dibagikan.
Jawaban :
Amil yang paling mulia adalah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, beliaulah yang diperintah oleh Allah untuk mengambil zakat dalam firman Allah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
 “ Ambillah dari harta orang kaya zakat”
Dan tadi telah kita jelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah menunda-nunda untuk menyalurkan zakat, bahkan bermalampun beliau tidak mau, bukan menunggu tanggal, bulan, tahun tertentu, karena ini berkaitan dengan hak orang lain, kalau berkaitan dengan anda, uang warisan dari orang tua anda, maka hak anda untuk menahannya.
Namun, apabila berkaitan dengan hak orang lain maka ini adalah amanah, berarti kita tidak amanah, bila kita tidak amanah saja maka sudah berdosa besar disisi Allah, ini amanah fakir miskin, amanah orang-orang yang lemah.
Bila tida ada lagi fakir miskin dan masih tersisa harta zakat barulah disimpan walaupun ada sebagian ulama ada yang tetap tidak membolehkannya. Tapi bila jumlah miskinnya masih banyak apalagi seperti di negara kita, tidak layak uang zakat diinvestasikan dan ditahan-tahan sedangkan masih banyak orang yang kelaparan dan kekurangan gizi
Pertanyaan :
Saya dipilih menjadi panitia infak dan sadakah di suatu masjid, kami ada beberapa orang dan digaji oleh masjid tersebut dalam mendata nama-nama orang berhak menerima zakat kami termasuk orang yang menerima zakat, apakah kami berhak untuk menerima zakat padahal kami telah digaji ?
Kemudian ada dana zakat sekitar 15 juta dari tahun kemarin yang belum dibagikan setelah bulan ramadhan karena zakat maal bukan zakat fitrah?
Jawaban :
Yang dimaksud dengan amil oleh para ahli fikih adalah orang yang ditunjuk oleh pemimpin sebagai penarik zakat, atau lembaga yang mendapat legalitas dari pemerintah. Jadi, syarat utama amil adalah penunjukan dari pemerintah, dalam hal ini amil yang hanya dibentuk oleh panitia masjid bukan amil yang berhak mendapat zakat sebagai amil, statusnya hanya sebagia wakil, kecuali masjid tersebut bermitra dengan Baznas.
Dalam, kasus yang ditanyakan bahwa panitia sudah digaji oleh pengurus masjid, maka tidak berhak lagi mendapatkan sebagai amil, walaupun dia amil resmi. Bila dia telah digaji oleh negara tidak berhak dia mendapat jatah dari zakat.
2. Yang penting untuk dilihat cara mendistribusikan zakat- semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan orang-orang yang meluangkan waktunya untuk meringankan beban fakir miskin dan orang-orang yang   sudah wajib zakat dengan jadi panitia amil zakat, semoga Allah berikan pahala yang besar kepada mereka -, penting untuk diingat cara memberikan zakat sebagaimana yang dikatakan Umar bin Khattab “ bila anda berikan zakat kayakan mereka”, dalam hal ini ada perselisihan ulama, ada tiga perkataan ulama yang akan kita rincikan dalam tema “orang-orang yang berhak menerima zakat”,
Pendapat pertama mengatakan: bahwa kebutuhan untuk sampai kapanpun yang  dibutuhkan fakir miskin sehingga status miskinnya terangkat.
Pendapat yang kuat : bahwa dihitung kebutuhan pokok fakir miskin selama satu tahun  dan orang-orang yang ditanggungnya, kalau dia tidak punya rumah, berarti kebutuhan biaya kontrakan rumah diberikan selama satu tahun.
Bila cara penyakuran zakat seperti ini, saya yakin tidak aka nada tersisa zakat mal itu di tangan amil zakat. Wallahu Ta’ala A’lam.

2.2.1.1.2 Pengelolaan Harta Zakat
Badan amil zakat resmi yang telah diakui oleh negara melalui undang-undang zakat sering menginvestasikan sebagian harta zakat dalam bentuk modal usaha dan hanya memberikan keuntungan dari usaha tersebut kepada para fakir-miskin mustahik zakat. Apakah tindakan badan amil zakat ini dapat dibenarkan secara syar'i atau tidak? Dan apakah muamalat ini termasuk muamalat haram atau tidak? Karena pengelolaan ini jelas menunda pembagian zakat terhadap yang berhak dan bila pengelolanya bukan seorang mustahik dan ternyata usahanya mengalami kerugian, atau pengelolanya pihak yang tidak amanah tentulah harta zakat hilang dan merugikan para fakir miskin.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Investasi harta zakat hukumnya boleh. Pendapat ini merupakan keputusan Majma' Al Fiqh Al Islami1 (divisi fikih OKI), keputusan No. 15 (3/3) tahun 1986, yang berbunyi, "Secara prinsip, harta zakat boleh dikembangkan dalam bentuk usaha yang berakhir dengan kepemilikan usaha tersebut untuk mustahik zakat, atau dikelola oleh pihak lembaga amil zakat yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat, dengan syarat bahwa harta zakat yang diinvestasikan merupakan sisa dari harta zakat yang telah dibagikan untuk menutupi kebutuhan pokok para mustahik dan juga dengan syarat ada jaminan dari pihak pengelola". Diantara dalil pendapat ini bahwa pengembangan harta zakat sudah dikenal sejak masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan masa khulafaurrasyidin dimana hewan-hewan ternak yang dikumpulkan dari zakat ditempatkan di salah satu padang rumput lalu ditunjuk orang untuk mengembalakannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis 'Uraynah, "Sekelompok orang dari bani 'Ukal atau Uraynah datang ke Madinah (menyatakan keislamannya), lalu mereka terserang wabah penyakit di kota Madinah, maka Nabi memerintahkan agar unta zakat yang memiliki susu banyak untuk diperah, lalu mereka minum air kencing beserta air susu unta". (HR. Bukhari).
Tanggapan: Dalil ini tidak kuat, karena yang dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan masa khulafaurrasyidin bukanlah investasi dengan pemahaman yang dimaksud pada dewasa ini. Perkembangbiakkan yang terjadi pada hewan ternak harta zakat hanyalah sebuah proses alami, bukan tujuan. Karena hewan tersebut dikumpulkan di suatu padang rumput dalam waktu sesaat sebelum dibagi-bagikan kepada para mustahiknya2.
Pendapat kedua: Investasi harta zakat hukumnya tidak dibolehkan. Pendapat ini merupakan keputusan Al Majma' Al Fiqhiy Al Islami3 (divisi fikih Rabithah Alam Islami), dalam daurah ke XV, tahun 1998, yang berbunyi, "Zakat wajib dikeluarkan dalam waktu secepat mungkin, diberikan kepada mustahik yang ada pada saat zakat dikeluarkan, yang sifat mereka telah disebutkan Allah dalam firmanNya:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin". (At Taubah: 60). Oleh karena itu harta zakat tidak boleh diinvestasikan oleh sebuah lembaga untuk kepentingan salah satu mustahik. Karena tindakan ini melanggar aturan syariat, yaitu zakat wajib diserahkan secepat mungkin kepada mustahiknya dan investasi dapat mengakibatkan hilangnya harta zakat yang menjadi hak para mustahiknya dan dapat menyengsarakan mereka"4.
Pendapat ini juga merupakan fatwa dewan ulama kerajaan Arab Saudi, No. 90565, yang berbunyi,"
Soal: Apakah lembaga sosial Islam internasional dibolehkan menginvestasikan harta zakat yang terkumpul dengan menyimpan di bank syariah hingga sampai waktu penyerahannya kepada para mustahik…
investasi ini aman dan dana zakat dapat ditarik sewaktu-waktu dan dikelola oleh lembaga keuangan yang berusaha memperjuangkan syariat?
Jawab: Lembaga sosial yang diberi izin untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat tidak dibenarkan menginvestasikan harta zakat. Harta zakat wajib diserahkan kepada para mustahiknya setelah memeriksa bahwa mereka berhak menerimanya, karena zakat bertujuan untuk menutupi kebutuhan fakir miskin dan melunasi utang orang yang berutang, sedangkan investasi harta zakat dapat menghilangkan tujuan ini dan menunda penyerahan dana zakat kepada mustahiknya dalam waktu yang tidak dapat dipastikan".
Dalil pendapat ini sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dari 'Uqbah radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku shalat Ashar di belakang Nabi di Madinah, setelah salam beliau bergegas berdiri masuk ke kamar salah seorang isterinya hingga melangkahi pundak sebagian para sahabat, lalu beliau kembali ke masjid. Melihat para sahabatnya heran dengan tindakan beliau, ia bersabda,  
"Aku ingat sepotong emas zakat, dan aku tidak suka emas tersebut menawanku, maka aku perintahkan untuk membagikannya (kepada para mustahik)". (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa menunda harta zakat yang sudah terkumpul adalah perbuatan yang dibenci Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menginvestasikan harta zakat termasuk menunda penyerahan harta zakat kepada mustahiknya.
Umumnya kebutuhan para fakir miskin bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda maka menunda penyerahan harta zakat dengan tujuan investasi, yang belum pasti mendatangkan keuntungan, adalah tindakan yang tidak dibenarkan6.
Wallahu a'lam, pendapat kedua yang melarang investasi zakat sangat kuat dari tinjauan dalil, juga mengingat sifat amanah di zaman sekarang adalah sesuatu yang langka, maka bila celah ini dibuka dikhawatirkan menjadi peluang bagi para pemakan harta haram untuk memakan harta fakir miskin.
1 Majma' al Fiqh al Islami, merupakan lembaga fikih internasional yang terbesar, beranggotakan para ulama dari setiap negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konfrensi Islam), ditambah anggota pakar dalam setiap displin ilmu agama dan sains, lembaga ini bertugas membahas permasalahan kontemporer di bidang fikih, lembaga ini telah mengeluarkan 180 keputusan dalam 19 muktamar, sejak berdirinya pada tahun 1981 hingga tahun 2009, lembaga ini berpusat di Jeddah, Arab Saudi.
2 Shalih Al Fauzan, Istitsmar Amwal Al Zakat, hal 118-119, Dr. Abdullah Al Ghufayli, Nawazil Al Zakat, hal 483-483.
3 Al Majma' al Fiqhy al Islami, merupakan lembaga fikih internasional yang berada di bawah naungan Rabithah Alam Islami, beranggotakan para ulama dari berbagai negara Islam, ditambah anggota pakar dalam setiap displin ilmu sains, lembaga ini juga bertugas membahas permasalahan kontemporer di bidang fikih, lembaga ini didirikan pada tahun 1977, yang diketuai pertama kalinya oleh Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah, dan dilanjutkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, kemudian dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz Al Asy Syaikh hafizahullah, lembaga ini berpusat di Mekkah, Arab Saudi. 4 Qararat Al Majma' Al Fiqhiy Al Islami, hal 323.
5 Fatwa ini ditandatangi oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Abdul Razaq Afifi, Syaikh Abdullah Ghudayan dan Syaikh Abdullah bin Qu'ud – rahimahumullah-, Fatawa lajnah daimah, jilid IX, hal 455.
6 Shalih Al Fauzan, Istitsmar Amwal Al Zakat, hal 73.

Apakah Tetap Wajib Membayar Zakat Bagi Seseorang Yang Mempunyai Hutang ?

Pertanyaan
Jika seseorang mempunyai hutang sebanyak harta yang ia miliki sekarang, atau bahkan hutangnya lebih banyak, apakah ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ada sekarang, jika sudah mencapai haul (satu tahun) ?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Menjadi sebuah kewajiban bagi seseorang yang memiliki harta yang wajib dizakati untuk dibayarkan zakatnya, jika sudah mencapai haul, meskipun ia masih mempunyai tanggungan hutang menurut pendapat terkuat dari dua pendapat para ulama; berdasarkan umunya dalil akan kewajiban berzakat bagi yang telah memanuhi syarat.
Juga dikarenakan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu menyuruh para amil zakatnya untuk mengambil zakat dari semua orang yang sudah berkewajiban membayar zakat, beliau tidak menyuruh mereka untuk bertanya terlebih dahulu apakah masih mempunyai tanggungan hutang atau tidak ?, kalau saja hutang itu menjadi halangan wajibnya zakat, maka pasti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh para amilnya untuk memperjelas status para muzakki apakah masih mempunyai tanggungan hutang atau tidak”. (Majmu’ Fatawa wa Maqlaat Mutanawwi’ah / Syeikh Abdul ‘Aziz bin Baaz: 14/51)
Beliau juga berkata pada fatwa yang lain dengan penjelasan yang serupa (14/25):
“….Namun jika anda melunasi hutang anda dengan uang yang ada di tangan anda saat ini sebelum mencapai haul (satu tahun), maka uang yang dipakai untuk melunasi hutang tersebut tidak terhitung harta yang wajib dizakati, artinya zakatnya dikeluarkan dari uang sisanya jika sampai nishab dan haul”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya oleh seseorang yang mempunyai modal sekitar 200.000 riyal, namun ia juga mempunyai hutang sekitar 20.000 riyal yang pelunasannya dicicil setiap tahunnya 10.000  riyal, apakah ia tetap mempunyai kewajiban berzakat?
Beliau menjawab:
“Ya, ia wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ada sekarang, karena dalil-dalil tentang kewajiban berzakat adalah umum, tidak dikecualikan sama sekali, termasuk yang mempunyai hutang. Dan jika dalil-dalilnya umum maka kita wajib mengamalkan keumumannya tersebut.
Kemudian bahwa zakat itu adalah kewajibannya harta benda, sesuai dengan firman Allah:
( خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ واللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ) التوبة/103
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah: 103)
Demikian juga sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ketika Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:
( أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم )
“Ajarilah mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka ibadah zakat dari harta benda mereka”.
Maka Allah dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa zakat itu dari harta benda yang ada, bukan terletak pada manusianya, sedangkan hutang itu menjadi tanggung jawab manusianya, ini adalah dua sisi yang berbeda. Maka harta yang ada di tangan anda sekarang tetap wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan hutang adalah menjadi tanggung jawab anda sendiri.
Maka seseorang hendaklah merasa takut kepada Rabbnya dengan mengeluarkan harta yang berada di tangannya, dan memohon pertolongan kepada Allah –ta’ala- agar diberikan kemampuan untuk melunasi hutangnya dengan berkata: “Ya Allah, (kami mohon kepada-Mu agar menolong kami) untuk melunasi hutang kami, dan jauhkan kami dari kefakiran”.
Bisa jadi dengan dikeluarkan zakat harta yang ada di tangan, menjadikan sebab berkahnya harta tersebut hingga mampu melunasi semua hutangnya. Juga bisa jadi dengan menahan zakatnya akan menjadi sebab kemiskinannya, karena terus menerus merasa kurang dan tidak menganggap dirinya termasuk muzakki. Bersyukurlah kepada Allah –‘azza wa jalla- yang menjadikan anda sebagai pemberi bukan penerima”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin: 18/39)
Beliau –rahimahullah- juga berkata dalam fatwa yang lain tentang masalah ini (18/38):
“…kecuali jika hutang itu segera harus dilunasi, ia pun ingin melunasinya, maka jika demikian kami katakan: “Lunasilah hutang anda, lalu zakatilah sisa harta anda jika sudah sampai nishab”.
Hal ini dikuatkan dengan pendapat para ulama fiqh madzhab hambali tentang zakat fitrah, mereka berkata: “Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat fitrah kecuali jika hutang tersebut sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi”.
Demikian juga sebuah atsar yang diriwayatkan dari Utsman –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata pada bulan Ramadhan:
( هذا شهر زكاتكم فمن كان عليه دين فليقضه )
“Bulan ini adalah bulan berzakat kalian, barang siapa mempunyai tanggungan hutang maka segera melunasinya”.
Hal ini menunjukkan jika hutangnya sudah jatuh tempo, dan ia ingin segera melunasinya, maka wajib didahulukan hutangnya dari pada zakat, sedangkan hutang yang masih jauh jatuh temponya, maka tidak menjadi penghalang untuk membayarkan zakat dari harta yang ada sekarang.
Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah 9/189:
“Pendapat yang benar dari para ulama bahwa hutang tidak menjadi penghalang dari membayar zakat, karena dahulu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus para amilnya untuk mengumpulkan zakat dan tidak berkata: apakah para muzakkinya masih mempunyai hutang apa tidak ?.

Umat Islam Tidak Akan Diazab di Neraka, Benarkah?

Pertanyaan:
Mohon jelaskan maksud hadits berikut ini:
أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابُهَا فِي الدُّنْيَا : اَلْفِتَنُ وَ الزَّلاَزِلُ وَ الْقَتْلُ
“Umatku ini adalah umat yang dirahmati. Tidak ada azab bagi mereka di akhirat. Azabnya adalah di dunia, berupa fitnah-fitnah, musibah-musibah, dan pembunuhan.” (Dari Kitab al-Jami’ ash-Shaghir: I/65)
Jawaban:
Hadits di atas adalah hadits shahih. Dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Tarikhnya: 1/1/38–39, Abu Daud no. 4278, al-Hakim: 4/444, Ahmad: 4/410 dan 418, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir hlm. 3, dari jalur Thariq al-Mas’udi dari A’id bin Abi Burdah dari Ayahnya dari Abu Musa.
Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih, dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Sanadnya hasan (bagus).”
Hadits ini juga dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 959.
Makna Hadits [1]:
Adzim Abadi berkata, “أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ (umatku ini adalah umat yang dirahmati), maksudnya adalah umat ini dikhususkan dengan rahmat yang lebih banyak dan nikmat yang lebih sempurna, atau beban kewajibannya lebih diringankan dibandingkan beban yang dipikul oleh umat-umat sebelumnya. Seperti keharusan membunuh diri bagi umat-umat dahulu yang bertaubat, kewajiban zakat yang dikeluarkan sebanyak seperempat dari hartanya, dan keharusan memotong (dan membuang) bagian (baju) yang terkena najis.
لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ (tidak ada azab bagi mereka di akhirat), maksudnya adalah barangsiapa (dari umat ini) diazab (di akhirat), maka mereka tidak diazab seperti azabnya orang kafir.”
Al-Munawi berkata, “Barangsiapa menyangka bahwa yang dimaksud ‘tidak ada azab atas umat ini’ adalah azab pada keseluruhan anggota badan (karena anggota wudhu tidak akan disentuh api (neraka), maka ini termasuk mengada-ada.”
Penulis kitab Fathul Wadud berkata, “Maksudnya pada umumnya mereka (umat ini) mendapatkan ampunan.”
Al-Qari dalam al-Mirqat berkata, “Kebanyakan azab (umat ini) akibat perbuatan mereka akan dibalas di dunia dengan fitnah-fitnah, penyakit, dan berbagai macam ujian, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
مَن يَعْمَلْ سُوءاً يُجْزَ بِهِ
“Barangsiapa berbuat buruk akan dibalas amalan tersebut.” (Qs. an-Nisa`: 123)
عَذَابُهَا فِي الدُّنْيَا : اَلْفِتَنُ (azabnya di dunia berupa fitnah-fitnah), maksudnya adalah peperangan atau pertikaian di antara mereka.
الزَّلاَزِلُ maksudnya adalah perkara-perkara yang berat dan menakutkan.
الْقَتْلُ (pembunuhan) maksudnya adalah sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, dan azab di dunia itu lebih ringan daripada azab akhirat.”
Al-Munawi berkata, “Perkara umat-umat terdahulu berjalan di atas dasar hukum yang adil dan berlandaskan rububiyah, sedangkan umat ini berjalan di atas dasar anugerah dan kemurahan Allah.”
Al-Qari berkata, “Ada yang berpendapat bahwa hadits ini khusus untuk sekumpulan manusia yang tidak melakukan dosa besar, dan mungkin saja (hadits ini) adalah untuk sekumpulan umat khusus dan mereka adalah orang yang dijamin masuk surga, yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditentukan (oleh Allah), sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi yang Dia kehendaki.” (Qs. an-Nisa`: 48)
Al-Mudhir berkata, “Hadits ini menjadi masalah jika dipahami bahwa tidak seorang pun dari umatnya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang aakan diazab, baik yang melakukan dosa besar atau dosa lainnya. Akan tetapi, sungguh telah datang hadits-hadits tentang diazabnya pelaku dosa besar (bagi umat ini).
Hadits ini tidak menjadi masalah jika dipahami bahwa umat di sini adalah orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana semestinya, serta orang-orang yang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya.”
Ath-Thibi berkata, “Hadits ini memuji umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjelaskan kekhususan mereka yang berbeda dengan umat-umat yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan umat ini dengan pemeliharan-Nya, rahmat-Nya, dan jika mereka ditimpa musibah di dunia walaupun hanya tertusuk duri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghapus satu dosanya nanti di akhirat.
Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat yang lain, ini dikuatkan oleh perkataan Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sebelumnya yaitu ‘umat yang dirahmati’. Hal ini menunjukkan keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini dengan pemeliharaan dan limpahan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umat ini. Sedangkan mengambil mafhum mukhalafah (makna kebalikan) dari hadits ini (yaitu tidak seorang pun dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan diazab, baik yang melakukan dosa besar atau dosa lainnya) harus dijauhi. Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’alayang dimaksud adalah yang diisyaratkan dalam firman-Nya,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Qs. al-A’raf: 156)
Al-Qari berkata, “Sesungguhnya tidak ada keraguan bagi orang-orang yang berakal bahwa rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini adalah rahmat-Nya yang sempurna. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa tidak seorang pun di kalangan umat ini diazab di akhirat, maka sungguh telah datang hadits-hadits mutawatir yang menunjukkan bahwa sekumpulan umat ini yang melakukan dosa besar akan diazab di neraka, kemudian akan mereka dikeluarkan darinya karena syafa’at, atau sebab ampunan Allah, dan inilah maksud dari hadits ini. Inilah makna yang benar yang harus diambil dari lafal-lafalnya.”
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Kami terjemahkan maksud hadits ini dari perkataan Azhim Abadi dari kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud: 9/314, dengan sedikit peringkasan.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 1, Tahun ke-9, 1431/2010.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Umat ISLAM Akan Masuk NERAKA ?!!!
Imam Ahmad ditanya: “Kapan seorang hamba itu beristirahat (dari sibuk berbuat kebaikan)?”. Imam Ahmad menjawab: “Ketika pertama kali telapak kakinya menginjak surga”. (Thabaqat Hanabilah, 1/293)\r\n\r\n\r\nMyBlog ;
Banyak di antara kita yang salah presepsi bahwa neraka itu hanya untuk orang-orang kafir dan munafik. Ada pula yang lebih keliru lagi menyangka "Hidup ini hanya sekali", Akhirat adalah urusan nanti. Akibatnya, kita merasa tenang-tenang saja setelah menjadi Muslim secara formal.
“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka).Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwadan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” (Qs Maryam/19: 71-72)
Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allâh Ta'ala kepada seluruh makhluk, baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukminin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allâh Ta'ala dan janji-Nya kepada para hamba-Nya. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu dan Allâh Ta'ala pasti akan merealisasikannya.
Semua orang akan melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya. Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka. Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat menyeberanginya. baca juga disini
Ada 2 macam keadaan Penghuni NERAKA.
1.Penghuni yang KEKAL ABADI, mereka adalah Orang KAFIR, dan MUSRYIK (Menyekutukan peribadatan kepada ALLOH dengan makhuknya)
“Adapun orang-orang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah: 39)
2.Hanya Sementara saja, mereka adalah Orang Muslim yang berdosa-dosa besar yang setelah ditimbang di mizan, dosa masih lebih banyak dengan kebaikannya serta tidak diampuni ALLOH, maka akan dimasukkanke neraka dan setelah bersih, maka dia akan keluar dengan syafaat orang-orang yang memohonkan syafaat atau karena rahmat Allah semata.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun penduduk neraka yang mereka menjadi penduduknya, maka mereka tidak akan mati di dalam neraka dan tidak akan hidup. Tetapi orang-orang yang tertimpa siksa neraka dengan sebab dosa-dosa mereka, maka Dia (Allah) akan mematikan mereka. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, diberi izin mendapatkan syafaat. Maka, mereka didatangkan dalam keadaan kelompok-kelompok yang berserakan. Lalu mereka ditebarkan di sungai-sungai surga, kemudian dikatakan, ‘Wahai penduduk surga tuangkan (air) kepada mereka!’ Maka, merekapun tumbuh sebagaimana tumbuhnya bijian yang ada pada tanah yang dibawa aliran air.’”
[H.R. Muslim no: 185; dan lainnya. Lihattakhrij-nya di dalamSilsilah Ash-Shahihah,no. 1551]
Jadi berdasarkan penjelasan diatas, sangat memungkinkan Umat Islam akan masuk NERAKA..!!!
jika mereka tidak hati-hati menjaga diri dari syirik, bid'ah dan maksiat selama hidup di dunia. Dan ini tidak mudah banyak sekali jalan yang akan menggelincirkan kita ke NERAKA, sungguh mungkin kita bisa sabar dengan penderitaan di dunia, namun kelak di neraka kita tidak akan sabar dengan adzabNya yang pedih. Walaupun nanti kita keSURGA (inipun juga belum pasti) apakah mau kita di adzab di Neraka dahulu….yang 1 hari di akhirat seperti 50.000 tahun didunia.??? dan adzab penghuni neraka yang paling ringan pada hari Kiamat adalah, seseorang diletakkan dua buah bara di tengah-tengah kedua telapak kakinya, (lalu) mendidihlah otaknya disebabkan dua bara itu....
Realita ini yang jarang diperhatikan kaum muslimin, mereka pikir hanya sekedar mengaku islam, syahadat sudah cukup , Mereka merasa sudah cukup tahu Islam dengan hafal 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman, dan bisa dijamin masuk SURGA. Lebih celaka lagi, berbagai dosa dan maksiatpun dilakukan tanpa malu pada Allah Ta’ala, berbagai kemaksiatan rutin dikerjakan, HALAL-HARAM sama saja enaknya, mau dosa kecil-besar yang penting happy, Waktu mereka habis untuk mengejar dunia, mereka rela bangun pagi, banting tulang-peras keringat,begadang lembur semalam suntuk, selesai S1, lanjut lagi S2, cari beasiswa ke luar negeri untuk S3, Sedangkan jika urusan akhirat mereka hanya, “ Ya saya terserah yang diatas, jika diberi Hidayah insyaAllah saya akan berjilbab, saya akan meninggalkan riba, saya akan meninggalkan judi dsb.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” [Ar-Rum : 7]
Perlu kita ketahui bahwa formalitas keislaman dan keimanan sama sekali tidak akan menolong kita di akhirat nanti jika kita tidak melaksanakan konsekuensi-konsekuensi keislaman dan keimanan itu secara baik dan utuh.
Disini saya akan sebutkan beberapa jalan yang akan menggelincirkan kita masuk NERAKA.
Sebab Pertama, adalah Dosa yang membuat seseorang keluar dari ISLAM, dan KEKAL di Neraka, Wal iyadzubillah
Allahta’alaberfirman (yang artinya),“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.”(QS. al-Baqarah : 217)
Berikut ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal keislaman. Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas pada sepuluh perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan pokok-pokoknya, yaitu:
[1] Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Allahta’alaberfirman (yang artinya),“Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka…”(QS. al-Ma’idah: 72).
[2] Mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan/doa dan tempat meminta syafa’at selain Allah.
[3] Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka.
[4] Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam.
[5] Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu.
[6] Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa.
[7] Sihir.
[8] Membantu kaum Kafir dalam menghancurkan umat Islam.
[9] Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallamdengan menganalogikannya dengan Nabi Khidr bersama Nabi Musa‘alaihimas salam.
[10] Berpaling total dari agama, tidak mau mempelajari maupun mengamalkannya
Baca Penjelasannya disini
Sebab Kedua, Melakukan Dosa-Dosa Besar
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian, niscaya Kami akan menghapuskan dari kalian dosa-dosa kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia” (QS. An-Nisaa’ : 31). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dengan dalil yang tegas ini Allah menjamin bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar bahwa Allah pasti akan memasukkan mereka ke dalam surga.”
Pengertian dosa besar adalah segala perbuatan yang pelakunya diancam dengan api neraka, laknat atau murka Allah di akherat atau mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama menambahkan perbuatan yang nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau nabi mengataan ‘bukan golongan kami’ atau nabi berlepas diri dari pelakunya.
Diantara Dosa-dosa besar tersebut adalah;
Orang yang memakan RIBA.
Dari Jabir, beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, korban riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Mereka itu dosanya sama.'”(Hr. Muslim, no. 4177)
Dalam hadits ini, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammelaknat semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba. Bahkan, beliau tegaskan bahwa mereka semua itu menanggung dosa yang sama. Jika pencatat transaksi dan saksi dalam transaksi riba dosanya sama dengan dosa pemakan riba, lalu bagaimana lagi dengan orang yang mengurusi kegiatan riba, atau bahkan dengan sengaja menyebarkan dan memasang iklan di berbagai media untuk mengajak orang agar melakukan riba!
Judi, Minum Khamr ( termasuk ROKOK, Ganja, Heroin dan yang sejenis)
"Sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS: Al Maidah: 90).
Zina
“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa : 32]
Ghulul (korupsi)
"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[HR Abu Dawud no. 2943]
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572]
Meninggalkan Sholat
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Neraka Saqar?" (42) Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang menegakkan shalat (43) dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, (44) dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, (45) dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,(46) hingga datang kepada kami kematian".(47) (Q.S. Al-Muddats-tsir (74) : 42 – 47)
Sihir, Dukun, Paranormal
Dari Abu Hurairah, dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali denganhaq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)
Membunuh
“Dan barang siapa yang membunuh seorang Mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (93) (Q.S. Annur (24) : 93)
Durhaka kepada Orangtua
“Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa seseorang, dan sumpah palsu” [HR. Al-Bukhari]
Memakan Hartaanak yatim
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan hartaanakyatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(Qs. an-Nisa’: 10). Dalam ayat ini ada ancaman neraka bagi orang yang memakan harta anak yatim sehingga perbuatan ini hukumnyadosabesar.
Dan masih banyak lagi misal, mengurangi timbangan, suap- uang sogok, pungli, berdusta, saksi palsu, Liwath (homo/maho, lesbi), tidak membayar zakat, memakan yang haram, tabarruj (pamer kecantikan), tidak memakai jilbab, lalai dalam sholat, riya, mendengarkan musik, menghalangi dakwah dsb…
Tentunya kita mengidam-idamkan masuk surga tanpa harus masuk neraka.
Tapi bagaimana caranya?Sempurnakan Tauhid !
Agar masuk surga tanpa hisab, syarat yang harus dipenuhi adalah membersihkan tauhid dari noda-noda syirik, bid’ah, dan maksiat.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada shahabat Muadz bin Jabalradhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah hendaklah mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun, danhak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan”[ HR. Bukhori, no.2856] Semoga Kita diselamatkan dari Adzab Neraka dan dimasukkan ke SurgaNYA. Amin Do’a ini amat baik untuk dihafal, berisi permintaan agar dimasukkan ke surga dan dilindungi dari neraka.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِى خَيْرًا
“Allahumma inni as-alukal jannah, wa maa qorroba ilaihaa min qoulin aw ‘amal, wa a’udzu bika minan naari wa maa qorroba ilaiha min qoulin aw ‘amal, wa as-aluka an taj’ala kulla qodho-in qodhoitahu lii khoiroo”(Ya Allah, aku meminta surga pada-Mu serta perkataan atau amal yang mengantarkan padanya. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari neraka serta perkataan atau amal yang mengantarkan padanya. Ya Allah, jadikanlah setiap takdir yang Engkau peruntukkan untukku adalah baik) [ HR. Ibnu Majah no. 3846] Wallahu'alam