Wednesday, December 26, 2018

Ahmad Sarwat - Menyebarkan Tasykik Terhadap Ahlul Hadits Bukhari, Syaikh Al Albani Dan Kedustaan Menuduh Saudi Sebagai Nadj (Tanduk Setan, Fitnah Masyriq).

Tahun Lahir Imam Mazhab dan Hadits


Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih? Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.
Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.
Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?
Menurut Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits. Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.
Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, yaitu:
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai  bodoh dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar. Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih,  lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Baca selengkapnya di:
Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA,  Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke Nabi lebih dekat.

Sanggahan

Apakah Imam Madzhab Itu Lebih Tahu Seluruh Hadits Daripada Ulama Setelahnya? Akidah Imam Yang Empat Itu Adalah Satu… Yaitu Akidah Yang Benar..!
Hadits Imam Bukhari Lemah? (bantahan untuk Ahmad Sarwat) - Ustadz Ishom Aini hafizhahullah (lihat 21 Comments)
Kalau logikanya seperti itu, tentu para sahabat yang lebih banyak menguasai hadits-hadits,. tapi nyatanya,. hadits-hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat, bukan satu sahabat saja, dan haditsnya berbeda-beda,.

Cuplikan dari Tanggapan (Comments)

Bagus kali ustadz penjelasannya.
semoga orang2 yg anti terhadap madzhab tersadarkan dengan tulisan ust.

Ada yg mungkin kurang penjelasan ustadz.
Bukhori dan Muslim ini sesat ya? Sehingga kita nggak bisa jadikan rujukan?
trus kenapa kita masih harus bermadzhab imam yg empat itu?
kenapa nggak 1 madzhab aja?
Imam Hanafi kan lebih dulu hidup dan lebih dekat ke zaman para sahabat..jd bukankah td logikanya yg lebih dekat itu lebih shohih?
Kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali nggak bermadzhab kepada Imam Hanafi?
kenapa Imam yg 3 membuat madzhab sendiri?
apa perbedaan para imam itu dengan imam Hanafi sampe Imam yg lain harus membuat madzhab sendiri?
Apa juga perbedaanatara imam yg 4 ini?
kalo sama kenapa harus dibedakan?kalo beda kenapa yg lebih baru nggak ngikut yg lebih dekat dengan zaman Sahabat, yang sudah pasti lebih sahih?
Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz.
somoga kita dalam lindungan Allah…

Admin (ahmad sarwat) , on Juni 23, 2015 at 3:26 am said:
Artinya bahkan pakar hadits seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim pun mereka bermazhab. Mereka mengikuti Mazhab Syafi’ie. Mereka tidak bikin mazhab sendiri.
Jika ada pendapat Imam Mazhab yang berlandaskan Al Qur’an, Hadits, dan Sunnah Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in bertentangan dgn Hadits Bukhari atau Muslim, yang lebih kuat adalah pendapat Imam Mazhab. Karena hadits mereka lebih murni.

Imam Bukhari dan Imam Muslim yg bermazhab Syafi’ie insya Allah lurus.
Beda dgn kaum akhir zaman yang justru tidak mau bermazhab.

Assalamualaikum Ustadz…. saya masih kabur dengan penjelasan Ustadz atas pertanyaan dari saudara Usman Mabrur Siregar…. kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali membuat mazhab sendiri padahal Imam Hanafi lebih dekat dengan zaman sahabat? mengapa ketiga Imam tersebut tidak mengikuti mazhab Imam Hanafi?… trus… pertanyaan yang sama kenapa Imam Hanafi harus membuat madhab? para Tabi’it Tabiin tidak membuat mazhab sedangkan mereka tidak hidup pada zaman rasul? secara logika seharusnya Ulama-Ulama zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in membuat mazhab tapi mereka tidak membuat mazhab karena mereka mengikuti Islam Versi Rasulullah… trus makin berlalu waktu para Ulama berlomba2 mengajari Islam versi mereka masing-masing…seperti Islam versi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali… ketika ada golongan tertentu ingin memahami Islam Menurut Rasulullah berdasarkan hadist-hadist shahih dianggap sesat…. saya sendiri jadi bimbang mana yang harus di ikuti… sementara para pengikut Imam Syafi’i sekarang terutama di Indonesia memasukkan upacara agama Hindu menjadi bahagian dari pelaksanaan Islam… apakah ini dianggap lebih Sunnah… padahal Rasul tidak pernah mencontohkannya… mohon tanggapannya

Admin (ahmad sarwat), on Juli 8, 2015 at 5:32 am said:
Wa’alaikum salam wr wb,
Mau tanya apa mau ngeyel?

Para Imam Mazhab tsb justru adalah kelompok tabi’in dan tabi’it tabi’in. Generasi anak dan cucu sahabat Nabi. Islam masih lurus.
Mazhab Fiqih itu dibuat sehingga kita bisa tahu cara wudlu, sholat, dsb sesuai dgn wudlu dan sholat Nabi.
Saat kita belajar sholat, kita kan belajar sholat lewat mazhab Fiqih langsung praktek sholat. Kalau buka kitab2 hasits seperti takbir itu hadits Bukhari nomor berapa, ruku hadits Muslim nomor berapa, ya tidak akan bisa sholat kita.
Masalah tradisi Hindu jadi tradisi Islam sepeti Tahlil misalnya. Itu adalah Syiar Islam. Zaman dulu orang Indonesia itu Hindu. Kalau para Ulama seperti Walisongo tidak mengenalkan Islam dgn cara Tahlilan, bisa jadi anda ibadahnya masih di pura. Bukan di masjid.

Dgn Syiar Islam itu maka melayat keluarga yang meninggal pada hari pertama, ke7, 40, 100, 1000 hari diisi dgn membaca Tahlil (zikir utama), baca surat Al Qur’an, dan juga ceramah untuk Syiar Islam.
Nabi juga pernah membuat tradisi orang kafir jadi Syiar Islam. Contoh Sya’ie antara Shafa dan Marwah itu dulu biasa dilakukan orang kafir. Begitu pula Puasa Asyura. Nabi menjadikan tradisi orang kafir tsb menjadi Syiar Islam yg sesuai ajaran Islam.
Ada tidak orang Hindu baca Tahlil: Laa ilaha illallahu? Kalau iya, berarti dia sudah jadi muslim. Begitu.
Mengubah Tradisi Orang Kafir jadi Satu Tradisi Islam bukan berarti Tasyabbuh atau Bid’ah. Bisa jadi itu adalah Syiar Islam. Ini Nabi lakukan dgn mengubah Puasa Asyura yang biasa dilakukan kaum kafir jadi Puasa Sunnah. Begitu pula dengan mengelilingi Ka’bah yang biasa dilakukan orang kafir dengan Thawaf:
“Orang2 Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah pun melakukannya pada masa jahiliyyah.

Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147 Muslim 2/792, dll)
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]

‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas berkata: “Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa’i dalam Islam (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari ‘Ashim bin Sulaiman.)

Kalau yg lbh dekat dg zaman Nabi berarti lbh shohih. Berarti madzhab hanafi n maliki lbh benar daripada madzhab syafii n madzhab hambali? Kenapa imam syafii membuat madzhab sendiri padahal beliau murid imam malik? Mohon penjelasannya
Admin (ahmad sarwat), on Juli 8, 2015 at 5:18 am said:
Meski Imam Syafi’ie lahir belakangan dari Imam Malik, namun beliau tetap sezaman dgn Imam Malik sehingga bisa berguru dgn Imam Malik dan juga guru2 lainnya. Masa mereka hidup tidak jauh beda. Insya Allah semua benar.
Apakah lebih baik atau tidak, wallahu a’lam. Kan tergantung kecerdasan, keluasan ilmu, dsb.
Cuma secerdas2 orang, kalau hidup di zaman sekarang ya tidak bisa bikin mazhab yg lebih baik. Sebab zaman kita sudah jauh dari zaman Nabi. Sudah tidak murni lagi. Zaman Imam Mazhab, antara mereka dgn Nabi cuma dipisah 1-2 orang saja. Sedang zaman kita, dipisah oleh 40-50 generasi, terlalu jauh.
Perbedaan itu Sunnah. Misalnya dalam menafsirkan ayat menyentuh wanita membatalkan wudlu. Imam Syafi’ie berpendapat batal dgn mengacu pada zahir ayat Al Qur’an tsb. Sementara Imam Mazhab lain berpendapat tidak batal kecuali diikuti nafsu dgn mengacu hadits ttg itu. Kalau mau hati2, ya ikut Imam Syafi’ie.
Ayat Al Qur’an tangan Allah di atas tangan mereka. Nah bagi yang menafsirkan secara hakiki dan majazi (kiasan) tafsirannya saja sudah beda. Meski sama2 mengacu pada Al Qur’an.
ustadz yang dirahmati Alloh.. ini misalnya ya ustad jika ada keterangan (hadist nabi ) didalam salah satu dari kitab atau keempatnya dari 4 mazhab kemudian di lemahkan keterangan tersebut oleh imam bukhory atau muslim gimana neh tanggapan ustaz… trims..

Admin (ahmad sarwat), on Oktober 22, 2015 at 1:06 am said:
Insya Allah hadits dari Imam Mazhab yang hidup lebih awal dari perawi hadits itu lebih murni dan lebih kuat.
Imam Bukhari (lahir tahun 196 H) dan Imam Muslim (lahir tahun 204 H) saja konsekwen ikut Mazhab Syafi’ie (lahir tahun 150 H). Artinya mereka mengakui hadits Imam Syafi’ie lebih kuat daripada kitab Shahih mereka.

Admin (ahmad sarwat), on Januari 18, 2016 at 3:07 am said:
Suka tidak suka, ada banyak aliran dalam Islam. Ada yang lurus. Ada yang sesat.
Sebaik2 paham adalah Mazhab seperti Syafi’ie yang muncul pada 2 abad pertama Islam. Saat itu Islam masih murni dan lurus. Mereka merumuskan hukum selain dari Al Qur’an dan Hadits juga dari praktek ibadah dari anak dan cucu sahabat Nabi. Jadi sanad ilmunya itu sampai ke Nabi. Hadits yang dikuasai para Imam Mazhab itu bisa 1 juta hadits yang kemudian mereka rumuskan dalam mazhab mereka.

Kalau sekarang, tinggal 100.000 hadits saja. Itu pun banyak yang tidak murni lagi.
Admin (ahmad sarwat), on Maret 31, 2016 at 5:09 am said:
Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H itu justru guru dari Imam Ahmad yang lahir tahun 164 H. Imam Syafi’ie itu hafal Al Qur’an saat umur 7 tahun dan hafal kitab Hadits Al Muwaththo yg disusun Imam Malik pada umur 10 tahun. Imam Syafi’ie menguasai 1 juta hadits dan juga praktek ibadah generasi cucu dari sahabat (Tabi’it tabi’in).
Dari situlah beliau menyusun kitab Fiqih Al Umm seperti cara sholat, puasa, dsb. Ini dibuat sistematis, dan tertib. Jadi dgn membaca kitab Al Umm dan berguru pada guru yang bermazhab Syafi’ie, anda bisa sholat.
Kalau anda cuma baca kitab Bukhari dan Muslim, tidak akan bisa sholat.Coba saja. Imam Bukhari dan Muslim pun meski mereka menguasai 300 ribu hadits lebih, tetap bermazhab Syafi’ie. Jadi tidak memakai hadits yang mereka tulis.
Hadits Bukhari dan Muslim dipakai selama tidak bertentangan dgn ajaran Imam Mazhab.

Asslamu’alaikum, bolehkah jika seorang mengambil pendapat tidak husus dalam satu mazhab, misalnya dalam masalah (A) dia mengambil pendapat imam Syafi’ie, dalam masalah (B) mengambil imam Hanafi, dalam masalah (C) diambil Maliki,?
Admin (ahmad sarwat) , on Oktober 28, 2016 at 3:30 am said:
Wa’alaikum salam wr wb,
Sudahkah anda mempelajari mazhab Syafi’ie dari awal hingga akhir? Bab thoharoh, istinja, mandi junub, dsb?

Sudahkah baca kitab Al Umm Imam Syafi’ie hingga selesai?
Belajar 1 mazhab secara sempurna saja sulit, apalagi belajar 4 mazhab sambil berusaha mencari2 mazhab yg paling benar untuk setiap persoalan.

Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya? Mengenal Sisi Lain Shahih Al-Bukhari
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [ bagian I ]
Bantahan Ustadz Firanda : Habib Husain Al-Atas (Pengasuh Radio RASIL), antara Syi'ah, Sunnah, atau Liberal ?!
Guru-Guru Terpenting Al-Imam Al-Bukhariy
Haruskah Kita Bermazhab (Hukum Bermadzhab Dalam Islam) ?
Apakah Seorang Muslim Harus Mengikuti Madzhab Tertentu (Abu Al-Jauzaa')?
Rujuk Kepada Petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Korelasi Antara Bermadzhab Dengan Ta’ashub (Imam Empat Mazhab: Tinggalkan Pendapat Kami bila Bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah!)
Gugatan Terhadap Penggugat Imam Bukhari
[Jawaban Jahil Murokkab Web Syiah] Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?

 (2). Benarkah Keshahihan Shahih Hanya 
Sebuah Produk Ijtihad?

Pertanyaan : 
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Saya tertarik dengan jawaban ustadz dalam tanya jawab sebelumnya, bahwa keshahihan suatu hadits itu ternyata hasil ijtihad. Mungkin buat saya yang awam ini, apa yang ustadz sampaikan masih agak membingungkan, jadi mohon penjelasan lebih lanjut.


Selama ini yang saya pahami bahwa kalau ada hadits shahih, kita wajib ikut. Malah teman saya bilang, tinggalkan semua pendapat ulama kalau sudah ada hadits shahih. Sebab menurutnya para ulama empat mazhab sendiri yang mengatakan bahwa kalau suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.

Ternyata ustadz bilang bahwa keshahihan hadits itu sendiri justru hasil ijtihad manusia juga. Mohon penjelasan dari ustadz dalam masalah ini. Terima kasih sebelumnya.

Wassalam 

Jawaban : 
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.


Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.

Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain,  bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan. 

Imam Bukhari Berijtihad

Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau menerima wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu. 

Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu. 

Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya. 

Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim

Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?

Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya. 

Sebutlah misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa'. Di zamannya, kitab Al-Muwaththa' ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi'i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal hadits-hadits di dalamnya.

Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi'in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Hal itu terjadi karena para shahabat dan para tabi'in hidup lebih dulu dari keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa menggunakan hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab 

Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim. 

Kenapa? 

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya. 

Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?

Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.

Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik. 

Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.

Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi'i. 

Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab 'ahli hadits'. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath). 

Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan? 

Al-Imam Asy-syafi'i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.

Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid. 

Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir

Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.

Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa' yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih. 

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.

Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : "Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku". Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya. 

Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,"Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu".  Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya. 

Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi'i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,"Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya". 

Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab. 

Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama. 

Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab. 

Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits. 

Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits

Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits. 

Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat. 

Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.

Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.

Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka. 

Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak

Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi. 

Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa. 

Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.

Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya. 

Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah. 

Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja. 

Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan. 

Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi. 

Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu. 

Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.

Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.  

Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.

Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA 


Sanggahan :

Keshahihan Hadits Adalah 
Ijtihad Ulama
(tanggapan untuk Ustadz Ahmad Sarwat)

Opini ini adalah tanggapan atas artikel di Rumah Fiqih, yang ditulis oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA, dengan judul “Benarkah Keshahihan Shahih Hanya Sebuah Produk Ijtihad?
Penulisnya tak paham ilmu hadits apalagi tarikh ruwat dan thabaqatnya. Orang-orang dari Rumah Fiqh tak henti-hentinya menyebarkan syubhat.
Lucu ada pernyataan empat imam madzhab adalah ahli hadits paling top pada zamannya dan bla bla bla ala Rumah Fiqh. Lha trus kenapa Abu Hanifah didhaifkan sebagian ulama hadits? Lalu kalau paling tahu hadits tentu tidak banyak gunakan ra`yu sehingga dijarh oleh Ibnu Quthaibah dalam Ta`wiil Mukhtalafil Hadiits.
Kalau bicara hadits tentu ada imam-imam yang lebih kompeten seperti Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin Sa’id Al-Qath-than, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, dan lain-lain.
Benar bahwa dari empat imam madzhab tiga orang; Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah ahli hadits plus ahli fiqh. Tapi bukan berarti mereka yang paling top pada zamannya.
Imam Ahmad yang paling hafal dan paling tahu dari ketiganya masih ada dalam thabaqatnya yang tidak kalah pengetahuannya darinya seperti Ali bin Abdullah Al-Madini, yang merupakan guru Imam Bukhari. Dan Ibnu Jarir Ath-Thabari saja tak memasukkan Imam Ahmad dalam kalangan ahli fiqh sehingga pernah dipukuli hanabilah di Baghdad.
Imam-imam dalam hadits dan fiqh sangat banyak pada tiga abad pertama hijriyah. Kalau ahli fiqh tentu ahli hadits seperti Al-Auza’i, Ibnul Mubarak, dan Ishaq bin Rahawaih, dan yang paling menonjol dalam hadits belum tentu juga paling menonjol dalam fiqh seperti Syu’bah dan Yahya Al-Qaththan.
Kemudian setiap mujtahid pada tiga abad pertama hijriyah sudah tentu berijtihad dengan berdasarkan ilmu ushul fiqh. Meskipun mereka dikenal sebagai mujtahid tidak berarti mereka punya karangan dalam ushul fiqh. Jadi jangan ditanya tentang mana ushul fiqh mereka?
Selain itu, para imam-imam yang ribuan kali lebih alim dari Ustadz Ahmad Sarwat dan lebih taqwa serta wara darinya mengakui adanya madzhab fiqh ahli hadits. Kok dia justru menafikannya.
Intinya kebenaran tidak dibatasi pada empat imam madzhab saja. Tetapi empat madzhab fiqh yang ada adalah salah satu wasilah bagi kita untuk tafaqquh fiddiin. Pendapatan yang membatasi kebenaran pada empat madzhab saja adalah qaul yang jelas sekali kebatilannya.
***
Bicara hadits maka kembalikanlah kepada para ulama hadits. Mereka adalah kaum yang paling tahu dan paham tentang hadits tiap imam bahkan ruwat-nya. Tak tepat menyebut seorang imam paling top dalam hadits pada masa, generasi, dan tempat tetapi tak mampu menegakkan hujjah atas kesimpulannya.
Sebagai misal, Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagian ulama hadits mendhaifkannya dalam bidang hadits–terlepas kepakaran dan keutamaannya dalam fiqh. Sehingga banyak ulama Hanafiyah yang sewot dengan pandangan sebagian ulama hadits tersebut. Tidak main-main yang menukil hal tersebut adalah Al-Khatib Al-Baghdadi. Sehingga dengan sebab itu Al-Khatib dihujat oleh ulama Hanafiyah dan difitnah dengan fitnah-fitnah yang keji.
Tahukah anda siapakah Al-Khatib Al-Baghdadi tersebut?
Dia adalah imam yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Nuqthah bahwa imam-imam yang datang sesudahnya membebek kepadanya. Ucapan tersebut diakui dan disetujui Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Sedang dalam fiqh beliau adalah seorang faqih yang mutadhalli’ dalam madzhab Syafi’i disejajarkan dengan Imam Al-Baihaqi.
Karena banyak qaul dan ra`yu Imam Abu Hanifah tak jarang idhthirabmaka beliau dijarh oleh Imam Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri dalam Ta`wiilu Mukhtalafil Hadiits.
Bicara fiqh maka kembalikanlah kepada imam-imam ahli fiqh. Kalau orang-orang seperti Asy-Syaukani, Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Abdul Hayy Al-Luknawi, dan banyak lagi mengakui madzhab ahlul hadits dalam fiqh dan memandang madzhab mereka lebih dekat dengan kebenaran dalam masalah-masalah khilafiyat maka tak pada tempatnya seseorang menafikan ilmu dan ahliyah mereka dalam fiqh. Apalagi sudah makruf bahwa sejak awal abad pertama hijriyah sudah dikenal madrasah ahlul hadits yang berpusat di Hijaz (Makkah dan Madinah) dan madrasah ahlur ra`yi yang berpusat di Irak (Kufah). Imam Az-Zuhri, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’ib, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Dawud bin Ali Azh-Zhahiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah sedikit dari sederetan ahli fiqh yang berasal dari madrasah ahlul hadits. Sedang Imam Abu Hanifah adalah yang mewakili madrasah ahlur ra`yi.
Hal tersebut sudah makruf dikalangan thullabul ‘ilmi. Bahkan orang yang baru belajar Tarikh Tasyri’ Islami pun tahu.
Tetapi yang sudah dijamin bahwa imam-imam dan mujtahid-mujtahid dari madrasah ahlul hadits aqidahnya lurus-lurus kecuali Dawud Bin Ali Azh-Zhahiri yang pernah mengikuti qaul khalqil qur`aan tetapi sudah rujuk dan taubat darinya. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya banyak qaulnya dalam aqidah yang menyalahi jumhur salaf seperti dalan masalah amal apakah termasuk iman atau bukan, masalah bertambah dan berkurangnya, masalah istitsna dan lain-lain
Kalau benci kepada “Salafiyyun Andunisiyyun” maka bicarakan dengan adil. Kasalahan mereka adalah tanggungjawab mereka. Kalau kemudian menafikan ilmunya Syaikh Bin Baz, Ibnu ‘ Utsaimin, Al-Albani, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dengan kemampuan yang masih dipermukaan maka hal itu seperti burung emprit yang mematuk gunung. Bukan gunungnya yang runtuh justru parunya yang patah dan berdarah-darah.
Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada orang yang sadar atas ilmu dan ahliyahnya kemudian menghormati imam-iman salaf dan sebagian syaikh-syaikh kontemporer yang fatwa dan qaul mereka muktabar dikalangan ulama-ulama sekarang.

Ketika Banyak Ulama Yang Membingungkan,Carilah Ilmu Syar'i Di Madinah

(3). Kejahilan Ahmad Sarwat dan kedengkiannya terhadap Saudi dalam menafsirkan Tanduk Setan (Najd) seperti orang Syi'ah.
Cuplikan dari Tanggapan (Comments)

https://kabarislamia.com/2015/04/09/kenapa-imam-mazhab-tidak-pakai-hadits-bukhari-dan-muslim/
Ustadz yang di rahmati Allah, di salah satu situs wahabi, saya melihat mereka mencantumkan hadist ini (saya kutip):
“Sesungguhnya iman itu akan kembali ke Madinah sebagaimana ular akan kembali ke lobangnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah dari hadist ini bisa kita simpulkan, kalau untuk belajar agama apakah kita sebaiknya merujuk ke kota nabi tersebut? Sedangkan disisi lain banyak kalangan muslim yang selalu menuduh di negara arab saudi penuh dengan hal2 negatif seperti negeri wahabi dll, bagaimana kaitannya dengan hadist ini ustadz?

Admin (ahmad sarwat) , on Oktober 19, 2015 at 6:15 am said:
Kalau sebelum Madinah (Hijaz) diserbu Kerajaan Najd tahun 1925 bagus pak belajar di Madinah. Pahamnya masih asli dari Nabi. Tapi setelah diserbu kerajaan Najd, pahamnya jadi berubah pakai paham Najd:
Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda (Najd) pada kali yang ketiga, ‘Di sana (Najd) terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]
Selain itu meski Dajjal tidak bisa masuk Madinah, namun saat terjadi 3 goncangan orang2 kafir dan munafik akan keluar dari Madinah. Artinya saat ini banyak orang2 kafir dan munafik diam di kota Madinah. Copet saja banyak:
Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada suatu negeripun melainkan akan diinjak oleh Dajjal, kecuali hanya Makkah dan Madinah yang tidak. Tiada suatu lorongpun dari lorong-lorong Makkah dan Madinah itu, melainkan di situ ada para malaikat yang berbaris rapat untuk melindunginya. Kemudian Dajjal itu turunlah di suatu tanah yang berpasir -di luar Madinah- lalu kota Madinah bergoncanglah sebanyak tiga goncangan dan dari goncangan-goncangan itu Allah akan mengeluarkan akan setiap orang kafir dan munafik.” (Riwayat Muslim)

Sanggahan :

(Rangkuman) Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab Saudi ? Di Manakah Najd ? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan. (13 artikel)
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik Ucapan Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam Serta Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah Dan Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah, Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah, Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !

(4). Kebencian Ahmad Sarwat kepada Syaikh Al-Albaaniy

Ahmad Sarwat, Al-Buuthiy, dan Al-Albaaniy (abul jauzaa, lihat comments sampai 5 Juli 2018 06.25)
Dialog antara al bani dan al buthi dibawah ini dusta belaka !
Kapasitas untuk Mendhoifkan Hadits (catatan kecil buat Al-Ustadz Ahmad Sarwat)
Kedengkian Pihak-pihak tertentu  Kepada Syaikh Al-Albani Sangat Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa Artikel Dibawah Secara Tertulis dan Ilmiyah (No YouTube).
Menjawab Tuduhan Terhadap Syaikh al-Albani (bantahan untuk Ahmad Sarwat)- Ustadz Ishom Aini hafizhahullah (lihat 77 Comments)

Jawaban Bagi Pencela Syaikh al-Albani
Syaikh Al-Albani: Ahli Hadits yang Terdzalimi
(Lihat 127 Comments Already)

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafidzahullah
MUQODDIMAH
Di zaman ini kecintaan dan penghormatan terhadap ulama sangatlah minim. Bahkan yang terjadi adalah derasnya hujan celaan, penghinaan, kedustaan dan tuduhan pada mereka, baik karena faktor kejahilan, hawa nafsu, fanatik madzhab, cinta popularitas atau mungkin karena semua faktor tersebut!!.[1]

Seperti halnya para ulama Salaf lainnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah tak luput dari serbuan celaan, hinaan dan tuduhan. Beliau sendiri pernah berkata:
“Aku banyak dizhalimi oleh orang-orang yang mengaku berilmu, bahkan sebagian di antara mereka ada yang dianggap bermanhaj Salaf seperti kami. Namun -kalau memang benar demikian- berarti dia termasuk orang yang hatinya terjangkit penyakit hasad dan dengki.”[2]

Semua itu tidaklah aneh, karena memang setiap orang yang mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman para Sahabat, pasti mendapatkan resiko dan tantangan dakwah. Alangkah bagusnya perkataan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُوْدِيَ
“Tidak ada seorang pun yang datang dengan mengemban ajaranmu kecuali akan dimusuhi.”[3]

Akan tetapi, percaya atau tidak, semua celaan dan tuduhan dusta tersebut tidaklah membahayakan dan menggoyang kursi kedudukan Syaikh al-Albani rahimahullah, bahkan sebaliknya, sangat membahayakan nasib para pencela beliau sendiri.

يَا نَاطِحَ الْجَبَلِ الْعَالِيْ لِيَكْلِمَهُ
أَشْفِقْ عَلَى الرَّأْسِ لاَ تُشْفِقْ عَلَى الْجَبَلِ
Hai orang yang akan menabrak gunung tinggi untuk menghancurkannya

Kasihanilah kepala anda, jangan kasihan pada gunungnya[4].

Banyak sekali tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada beliau. Oleh karena itu, izinkanlah kami untuk memberikan sedikit komentar tentang beberapa tuduhan dusta tersebut.

Tuduhan Pertama
AL-ALBANI BERPEMAHAMAN MURJI’AH

Tuduhan ini bukanlah suatu hal yang aneh lagi. Terlalu banyak bukti-bukti untuk membantah tuduhan ini, karena Syaikh al-Albani telah menjelaskan secara gamblang aqidah beliau dalam banyak tulisannya yang sangat berseberangan dengan aqidah murji’ah.

Alangkah bagusnya ucapan beliau tatkala mengatakan:
“Demikianlah yang saya tulis semenjak dua puluh tahun silam lamanya dengan membela aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah -segala puji hanya bagi Alloh-. Namun pada hari ini, bermunculan anak-anak kemarin sore yang jahil seraya menuduh kami dengan pemahaman murji’ah!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari jeleknya perilaku mereka berupa kejahilan dan kesesatan!!”. [5]

Tuduhan ini juga telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sezaman dengan beliau. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang tuduhan murji’ah kepada Syaikh al-Albani rahimahullah , lalu beliau menjawab:

“Syaikh Nasiruddin al-Albani termasuk di antara saudara-suadara kami yang terkenal dari ahli hadits dan ahli sunnah wal Jama’ah. Kita memohon kepada Alloh bagi kita dan beliau taufiq untuk segala kebajikan. Sewajibnya bagi setiap muslim untuk takut kepada Alloh terhadap para ulama dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu”.

Demikian juga Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah, beliau membantah tuduhan ini dengan kata-kata yang indah:

“Barangsiapa menuduh Syaikh al-Albani dengan pemahaman murjiah maka dia telah keliru, mungkin dia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui paham irja’!! Al-Albani adalah seorang ahli Sunnah, pembelanya, imam dalam hadits, kami tidak mengetahui seorangpun yang menandinginya pada zaman ini[6], tetapi sebagian manusia -semoga Alloh mengampuninya- memiliki kedengkian dalam hatinya, sehingga tatkala melihat seorang yang diterima manusia, dia mencelanya seperti perbuatan orang-orang munafiq:

ٱلَّذِينَ يَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِينَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فِى ٱلصَّدَقَـٰتِ وَٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ

(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya. (QS. at-Taubah [9]: 79)

Mereka mencela orang yang bersedekah, baik sedekah dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.

Al-Albani yang kami kenal melalui kitab-kitabnya dan duduk bersamanya -kadang-kadang- adalah seorang yang beraqidah salaf, manhajnya bagus, tetapi sebagian manusia yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal yang tidak dikafirkan oleh Alloh, lalu dia menuduh orang yang menyelisihi mereka dalam takfir sebagai orang murji’ah secara dusta dan bohong. Oleh karena itu, janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun orangnya”.[7]

إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.

Tuduhan Kedua
AL-ALBANI TIDAK MENGERTI FIQIH

Ada lagi ucapan yang terlontar untuk mencela al-Albani, katanya: “Memang al-Albani jago dalam masalah hadits, tetapi masalah fiqih, beliau miskin!!”

Jawaban
Sungguh ini merupakan kejahilan yang amat sangat dan ucapan seperti ini tidak lain kecuali hanya keluar dari mulut orang-orang yang jahil atau dengki[8].

Aduhai, wahai para pencela ulama, apakah engkau lebih mengerti tentang fiqih hadits daripada orang yang engkau cela?! Bercerminlah terlebih dahulu dan simaklah bersamaku kisah berikut yang semoga bisa menjadikan pelajaran berharga bagi kita bersama:

Al-Khothib al-Baghdad rahimahullah menceritakan dari Abdulloh bin Hasan al-Hisnajani:

“Saya pernah di Mesir, saya mendengar seorang hakim mengatakan di Masjid Jami’: “Ahli hadits adalah orang-orang miskin yang tidak mengerti fiqih!!”.

Saya –yang saat itu kurang sehat– mendekati hakim tersebut seraya mengatakan: “Para sahabat Nabi berselisih tentang luka pada kaum lelaki dan wanita, lantas apa yang dikatakan Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdulloh bin Mas’ud?” Hakim tersebut lalu diam seribu bahasa.

Kemudian saya katakan padanya:

“Tadi engkau mengatakan bahwa ahli hadits tidak mengerti fiqih, sedangkan saya saja orang ahli hadits yang rendah menanyakan hal ini kepadamu namun engkau tidak mampu menjawabnya, lantas bagaimana engkau menuding bahwa ahli hadits tidak mengerti, padahal engkau sendiri saja tidak mengerti?!!” [9]

Sungguh, barangsiapa membaca kitab-kitab al-Albani dengan adil dan inshof maka dia akan mengetahui kedalaman ilmunya dalam bidang fiqih, bacalah Silsilah Ash-shohihah, Ahkamul Janaiz, Sifat Sholat Nabi, Tamamul Minnah, kaset ceramah dan soal jawabnya, dan..dan ..dan lain sebagainya!! Bagaimana beliau bukan seorang yang faqih, padahal dia telah berkhidmah pada sunnah nabawiyyah lebih dari lima puluh tahun lamannya?!!

Syaikh al-Albani rahimahullah sendiri pernah ditanya tentang omongan ini, beliau hanya menjawab: “Apakah engkau ingin aku berbicara tentang diriku?!” Terkadang beliau juga menjawab: “Jawaban omongan ini adalah apa yang engkau lihat, bukan apa yang engkau dengar”.[10]

Ya, jawaban tentang fiqih al-Albani adalah apa yang kita lihat dalam kitab-kitabnya, soal jawabnya, dialognya, dan kaset-kasetnya, bukan apa yang kita dengar dari sebagian kalangan bahwa al-Albani miskin dalam bidang fiqih!!

Sungguh, tuduhan ini adalah suatu kedzaliman. Bagaimana seorang yang sejak umur dua puluh tahun mondar-mandir maktabah (perpustakaan) Zhohiriyyah dan terus meneliti kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu tanpa henti, setelah itu dikatakan bukan faqih?! Bertaqwalah kepada Alloh wahai pencela ulama!!

Tuduhan Ketiga
AL-ALBANI TIDAK TAHU REALITA UMAT

Tuduhan ini juga banyak terlontar, seringkali kita membaca ucapan sebagian mereka: “Barangkali saja Syaikh al-Albani saat berfatwa tentang Palestina, sedang tidak membawa buku aqidah salaf!!”.[11] Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan!! Tuduhan ini bukan hanya Syaikh al-Albani saja yang kena getahnya, para ulama salaf lainnya juga demikian semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan lain sebagainya[12].

Fiqhul Waqi’ dalam artian mengetahui realita yang terjadi pada umat dan makar-makar musuh terhadap Islam adalah suatu kewajiban penting yang harus ditunaikan oleh sekelompok tertentu dari para penuntut ilmu yang cerdas guna mengetahui hukum syar’I mengenainya, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, baik ilmu syar’I, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia guna menuju kejayaan Islam.[13]

Namun, apa hukumnya fiqhul waqi?! Hukumnya adalah fardhu kifayah, bila ada suatu kelompok kaum muslimin telah menunaikannya maka gugur kewajiban tersebut dari lainnya[14]. Oleh karena itu, maka kewajiban bagi kelompok muslim yang menggeluti fiqhul waqi’ untuk bekerjasama bersama para ulama, mereka akan memaparkan permasalahan dengan gambaran yang jelas dan para ulama akan menjelaskan hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan hadits, sebab kesempurnaan adalah suatu hal yang sangat jarang dijumpai pada diri seorang, artinya seorang yang menyibukkan dengan ilmu syar’I dan dalam waktu yang bersamaan dia juga menyibukkan dengan ilmu fiqhul waqi‘, ini jarang sekali terkumpul pada seseorang.

Dengan demikian, maka tuduhan sebagian kalangan “Si fulan memang alim, tetapi dia tidak mengerti fiqhul waqi’”. Ini adalah suatu pembagian yang menyelisihi syari’at dan waqi’ (realita)[15]. Sebab ungkapan ini seakan-akan mewajibkan kepada para ulama untuk mengilmui juga ilmu sosial, ekonomi, politik, siasat perang, persenjataan dan sebagainya!! Hal ini sulit terbayangkan bisa terkumpul pada seseorang. Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin saling bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya.[16]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah  berkata: “Banyak tuduhan kepada sebagian ahli ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ (realita) dan program-program kaum munafiq dan sekuler. Hal ini bukanlah suatu aib dan celaan. Dahulu saja, Nabi tidak mengetahui keadaan sebagian orang munafiq padahal beliau adalah tuan manusia dan mereka juga bersama Nabi di Madinah bertahun-tahun lamanya. Nah, kalau demikian apakah tidak boleh kalau ulama tidak mengetahui keadaan kaum munafiqin?!!”.[17]

Namun harus kita ingat, kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap fiqhul waqi’, dengan menjadikannya sebagai metode bagi para dai dan pemuda dengan anggapan hal itu adalah jalan keselamatan, sungguh ini adalah kesalahan yang nyata[18]. Apakah kita ingin agar manusia sibuk dengan berita-berita koran, TV, radio, dan internet yang tidak jelas keabsahan (keontentikannya)nya seraya melupakan kajian al-Qur’an dan hadits yang sangat jelas keontetikannya?! Alangkah bagusnya ucapan seorang:

مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا
وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ
تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ
وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ
فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada al-Qur’an dan Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan manusia.[19]
Mereka menggantinya dengan koran
Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan kemunkaran
Dan juga Radio, jangan kamu lupakan kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya.[20]

Akhirnya, simaklah nasehat Syaikh al-Albani rahimahullah tatkala berkata:
“Adapun menuding sebagian ulama atau penuntut ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ dan tuduhan-tuduhan memalukan lainnya, maka ini adalah kesalahan yang amat nyata, tidak boleh diteruskan, karena hal itu termasuk mengolok-ngolok yang dilarang oleh Nabi dalam banyak haditsnya bahkan diperintahkan untuk sebaliknya yaitu saling mencintai antar sesama”.[21]

Simak juga nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah tatkala berkata:
“Sewajibnya bagi setiap muslim untuk menjaga lidahnya dari ucapan-ucapan yang tidak pantas dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu. Menuduh bahwa si fulan tidak mengetahui realita adalah membutuhkan ilmu, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh seorang yang memiliki ilmu. Adapun asal menuduh begitu saja tanpa ilmu maka hal ini merupakan kemungkaran yang besar”.[22]

Tuduhan Keempat
AL-ALBANI DAN FATWA PALESTINA

Fatwa ini sangat bikin heboh. Perhatikan ucapan sebagian mereka: “Sebagian pakar menganggap fatwa al-Albani ini membuktikan bahwa logika yang dipakai al-Albani adalah logika Yahudi, bukan logika Islam, karena fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi menguasai Palesthina. Mereka menilai fatwa al-Albani ini menyalahi sunnah, dan sampai pada tingkatan pikun. Bahkan Dr. Ali al-Fuqayyir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yordania menilai bahwa fatwa ini keluar dari Syetan“.[23]

Untuk menjawab masalah ini, maka kami akan menjelaskan duduk permasalahan fatwa Syaikh al-Albani tentang masalah Palesthina ini dalam beberapa point berikut[24]:

1. Hijrah dan jihad terus berlanjut hingga hari kiamat tiba.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Mekkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’I yang dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama.
Inilah inti fatwa Syaikh al-Albani yang seringkali disembunyikan!!
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Roudhatut Tholibin 10/282:
“Apabila seorang muslim merasa lemah di Negara kafir, dia tidak mampu untuk menampakkan agama Allah, maka haram baginya untuk tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya untuk hijrah ke negeri Islam…”.
5. Apabila seorang muslim menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halaman bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari Negara ke Negara lainnya, demikian juga dari kota ke kota lainnya atau desa ke desa lainnya yang masih dalam negeri.
Point ini juga banyak dilalaikan oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di koran-koran bahwa Syaikh al-Albani memerintahkan penduduk Palesthina untuk keluar darinya!!! Demikian, tanpa perincian dan penjelasan!!!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut, atau ada halangan-halangan yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah, atau dia menimbang bahwa tempat yang akan dia hijrah ke sana sama saja, atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya lebih aman untuk agama, diri dan keluarganya, atau tidak ada tempat hijrah kecuali ke negeri kafir juga, atau keberadaannya untuk tetap di tempat tinggalnya lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya, maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya, semoga dia mendapatkan pahala hijrah. Imam Nawawi berkata dalam Roudhah 10/282: “Apabila dia tidak mampu untuk hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu“.

Demikian juga dalam kasus Palestina secara khusus, Syaikh al-Albani mengatakan: “Apakah di Palesthina ada sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan aman dari fitnah mereka?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palesthina, karena hijrah dalam negeri adalah mampu dan memenuhi tujuan”.

Demikianlah perincian Syaikh al-Albani, lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk mengosongkan tanah Palesthina atau untuk menguntungkan Yahudi?!! Diamlah wahai para pencela dan pendeki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kejahilan dan kezhaliman kalian!!.

9. Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa menjaga agama dan aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh al-Albani keliru dalam fatwa ini, apakah kemudian harus dicaci maki dan divonis dengan sembrangan kata?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah dan kaidah?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia dapat dua pahala dan satu pahala bila dia salah?! Lantas, seperti inikah balasan yang beliau terima?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al Furqon, edisi 115, hlm. 19 bahwa Syaikh al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi, hampir saja beliau sampai ke Palesthina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin”.

Syaikh al-Albani sampai ke Palesthina pada tahun 1948 dan beliau sholat di masjidil Aqsho dan kembali sebagai pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam bukunya berjudul “Rihlatii Ila Nejed”. (perjalananku ke Nejed).

Kami kira, keterangan singkat di atas cukup untuk membungkat mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang menuding dengan sembrangan kata[25]!! Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Lihat Silsilah ash-Shohihah (I/4 dan II/17) oleh al-Albani.
[2] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 1/29
[3] HR. Al-Bukhori (no. 7) dan Muslim (no. 160).
[4] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/310
[5] Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnad Imam Ahmad hal. 32-33
[6] Apakah setelah pujian ini, kita percaya kepada ucapan para penyusun buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” hlm. 241 bahwa Syaikh al-Utsaimin menilai al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari kebutaan dan kejahilan!!!
[7] Lihat At-Ta’rif wa Tanbi’ah bi Ta’shilatil Imam al-Albani fi Masailil IMan war Radd ‘alal Murjiah hlm. A43-144, Ar-Raddul Burhani, Ali Hasan al-Halabi hal. 72-74 dan Al-Imam Al-Bani wa Mauqifuhu Minal Irja’, Abdul Aziz ar-Rayyis hal. 40-43
[8] Lihat Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal Ibnul Jauzi hal. 67)
[9] Syaraf Ashabil Hadits hal. 142
[10] Hayah al-Albani 2/502
[11] Sebagaimana dikatakan oleh penulis artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no. 1/Th. 1, Ramadhan 1427 H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah oleh Ustadzunal Karim Aunur Rofiq bin Ghufron dalam Majalah Al Furqon edisi 5/Th. VI.
[12] Saya yakin bahwa para ulama yang dituding tidak mengerti waqi’ semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani dan sebagainya, justru mereka lebih mengerti tentang fiqhul waqi’ daripada para pelontar tuduhan yang ngawur itu!! Barangsiapa membaca siroh perjalanan hidup mereka, maka akan membenarkan ucapan saya.
[13] Lihat Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 34-35.
[14] Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkholi: “Apabila sebagian kelompok mengaku bahwa mereka mengetahui fiqhul waqi’, lantas mengapa mereka mencela kaum salafiyyin dan mensifati mereka tidak mengerti waqi?! Bukankah kewajiban salafiyyin telah gugur karena adanya sebagian kaum muslimin yang menunaikannya?! (Ahlul Hadits Humut Thoifah al-Manshurah hlm. 92).
[15] Pembagian ulama waqi’ dan ulama syari’at mengingatkan kita kepada pembagian kaum Sufi: Ulama syari’at dan ulama hakekat untuk memisahkan manusia dari para ulama robbaniyyun. Ini adalah salah satu dari sekian banyak dampak negatif dari salaf faham tentang fiqhul waqi. Lihat secara panjang lebar dalam buku Fiqhul Waqi’ Baina Nadhoriyyah wa Tahtbiq hlm. 44-60 karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[16] Idem hlm. 39-41
[17] Wujub Tho’athis Shulthon fi Tho’atir Rohman -secara ringkas-, Muhammad al-’Uraini hlm. 44-45, dari Madarikun Nadhor, Abdul Malik Romadhoni hlm. 199-200
[18] Idem. hlm. 48 dan 57.
[19] Siyar A’lam Nubala 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri”.
[20] Mawarid azh-Zhom’an 3/4, Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[21] Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 59-60.
[22] Majalah Robithah Alam Islami, edisi 313, dinukil dari Qowa’id fi Ta’amul Ma’a Ulama, Abdur Rahman Mu’alla al-Luwaihiq hal. 108.
[23] Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU hlm. 244.
Faedah: Para penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” dalam hujatan mereka terhadap al-Albani banyak berpedoman kepada buku “Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama” karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali. (Lihat Fatawa Ulama Akabir Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho’ Min Hayati Imamil Al-Albani Syaikh Abu Asma’ hlm. 88). Dengan demikian, jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap al-Albani dari akarnya. Alhamdulillah.
[24] Lihat As-Salafiyyun wa Qodhiyyatu Falestina hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Ahadits ash-Shohihah no. 2857, Madha Yanqimuna Minas Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqroh hlm. 21-24, al-Fashlul Mubin fi Masalatil Hijrah wa Mufaroqotil Musyirikin, Husain al-Awaisyah, Majalah Al-Asholah edisi 7/Th. II, Rabiu Tsani 1414 H.
[25] Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh saudara yang mulia Muhammad bin Ibrahim Syaqroh dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.

Tuduhan Kelima
AL-ALBANI BUKAN AHLI HADITS

Sebagian mereka mengatakan bahwa al-Albani bukanlah ahli hadits dan tidak layak mendapat gelar al-Muhaddits, apalagi terlihat bahwa beliau kadang-kadang berubah pendapat tentang pendapatnya terhadap hukum hadits.

Jawaban:

1. Gelar “al-Muhaddits” untuk Syaikh al-Albani bukanlah dari beliau, bahkan karena tawadhu’nya, beliau tidak ridha dengannya[1]. Padahal beliau berhak mendapatkan gelar tersebut, sebab gelar “al-Muhaddits” adalah untuk seorang yang menggeluti hadits secara riwayah dan diroyah, dan banyak menelaah dan meneliti para perawi hadits dan riwayat hadits. Adapun ucapan sebagian ulama bahwa mereka tidak menilai seorang itu ahli hadits sehingga menulis dua puluh ribu hadits, maka maksudnya adalah pada zaman mereka. Jadi, gelar tersebut dikembalikan kepada ‘urf zaman dan penilaian ulama yang hidup pada zaman tersebut.[2]

2. Gelar tersebut dari para ulama Sunnah dan para ahli hadits yang hidup sezaman dengannya seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hammad al-Anshari; bahkan oleh musuh-musuh beliau sendiri. Bahkan beliau mendapatkan piagam penghargaan Raja Faishal atas jerih payahnya dalam hadits[3]. Cukuplah mewakili semua itu, ucapan indah Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah tatkala membantah ucapan Muhammad Ali ash-Shabuni bahwa al-Albani rahimahullah tidak pandai hadits, “Ini merupakan kejahilan yang sangat dalam dan pelecehan yang keterlaluan, karena kehebatan ilmu al-Albani dan perjuangannya membela Sunnah dan aqidah Salaf sangat populer dalam hati para ahli ilmu. Tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali musuh yang jahil. Saya tidak mau memperpanjang bahasan, saya serahkan hukumnya pada saudara pembaca.”[4]

3. Adapun adanya beberapa ralat beliau, maka hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau dalam hadits, bahkan hal ini mengangkat derajatnya, karena beliau tidak sombong kembali kepada kebenaran sebagaimana beliau sendiri sering mengatakan, “Ilmu tidak mengenal kejumudan.” Kemudian, kesalahan tersebut bila dibandingkan dengan jumlah hadits yang dihukumi oleh al-Albani maka terhitung sedikit, karena hadits yang beliau hukumi sangat banyak jumlahnya, puluhan ribu!

Tuduhan Keenam
AL-ALBANI MENGKAFIRKAN AL-IMAM AL-BUKHARI

Seperti tuduhan para penyusun buku Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai…hlm. 242-243 dan para pengelola blog Salafytobat yang menyatakan bahwa al-Albani mengkafirkan al-Imam al-Bukhari!

Jawaban:

1. Sunnguh, ini ada kedustaan yang sangat keji! Bagaimana mungkin seorang yang dikenal memberantas pemikiran takfir[5] (asal-asalan memvonis kafir) justru dituduh melakukannya. Renungkanlah kisah yang diceritakan oleh muridnya, Dr. Basim bin Faishal al-Jawabirah hafidzahullah, “Saya mengenal Syaikh al-Albani semenjak dua puluh tahun silam. Saat itu saya masih di bangku Tsanawiyah (setingkat dengan SMA/Aliyah, pen.) dan saat itu saya masih berpemilkiran seperti para pemuda lainnya yang mengkafirkan kaum muslimin dan tidak mau shalat di masjid mereka dengan alasan bahwa mereka adalah masyarakat jahiliyah.

Ketika Syaikh al-Albani rahimahullah datang ke Yordania, beliau mengundang kami untuk berdialog di rumah menantunya, maka kami pun berangkat memenuhi undangannya bersama guru kami yang takfiri sehingga sampai ke rumah menantunya menjelang shalat Isya’. Setiba di sana, salah seorang di antara kami mengumandangkan adzan. Setelah itu, Syaikh al-Albani rahimahullah bertanya kepada kami, “Kami yang mengimami kalian ataukah kalian yang mengimami kami?!” Guru takfiri kami menjawab, “Menurut keyakinan kami, Anda adalah kafir!!” Syaikh al-Albani rahimahullah balik menjawab, “Adapun menurut keyakinanku, kalian adalah muslim.” Setelah usai shalat, berlangsunglah dialog. Sungguh mengherankan, dialog bersambung dan diteruskan pada hari kedua di rumah salah seorang jama’ah takfir hingga menjelang Shubuh, kemudian disambung lagi pada hari ketiga di rumah Syaikh al-Albani sendiri sejak ba’da Isya’ hingga adzan Shubuh dikumandangkan. Setelah itu, saya dan beberapa rekan berangkat bersama Syaikh Nashir untuk pergi menjalankan shalat. Kami semua bertaubat dari pemikiran sesat itu kecuali segelintir orang yang kemudian mereka menjadi murtad –na’udzubillahi-.[6]

2. Bagaimana mungkin Syaikh al-Albani rahimahullah mengkafirkan al-Imam al-Bukhari,  padahal beliau sendiri selalu memujinya? Beliau menyifati al-Imam al-Bukhari sebagai Imam Dunia[7], Amirul Muhadditsin (pemimpin ahli hadits)[8], dan-admin Imam Muhadditsin[9]. Beliau juga berkata dalam kaset Man Huwa Kafir, “Sesungguhnya al-Imam al-Bukhari tidak membutuhkan pujian orang, karena Allah telah menjadikan kitab Shahih-nya pada tingkatan setelah al-Qur’an yang mulia dan diterima oleh seluruh kaum Muslimin di setiap penjuru dunia yang notabene berbeda-beda.”

3. Para penuduh tersebut menyandarkan hujatan mereka tersebut dengan berpedoman kepada buku Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Syaikh Salim al-Hilali, Syaikh Masyhur bin Hasan, dll.[10]

Tuduhan Ketujuh
AL-ALBANI TIDAK PUNYA GURU DAN DIKELUARKAN DARI JAMI’AH ISLAM MADINAH

Sebagian kalangan mencela Syaikh al-Albani dengan mengatakan bahwa beliau tidak memiliki guru, belajarnya hanya otodidak saja sehingga banyak salah dan tersesat. Dan karena itulah dia dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyyah Madinah.

Jawaban:

1. Seandainya kita membaca buku-buku tentang biografi beliau, akan kita dapatkan bahwa di antara gurunya adalah ayahnya sendiri Nuh, Syaikh Sa’id al-Burhani,Syaikh Ahmad al-Husani, dan beliau mendapatkan ijazah sanad dari Syaikh Muhammad Roghib ath-Thobbakh (ahli hadits dan sejarah dari kota Halab), riwayat-riwayatnya dalam kumpulan kitabnya Anwar Jaliyyah fi Mukhtashar Atsbat Halabiyyah. Syaikh Ali Hasan hafidzahullah setelah menyebutkan hal ini, beliau berkomentar, “Hal ini merupakan bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa al-Albani tidak punya guru.”[11]

2. Tidak disyaratkan seorang ulama harus memiliki banyak guru. Bukankah ada juga para ulama dahulu yang gurunya tidak terlalu banyak seperti Abu Umar al-Lakhmi dan Abdul Hayyi al-Laknawi[12]?! Bukankah al-Albani belajar dari kitab-kitab ulama dan yang penting adalah beliau di atas jalan yang benar sebagaimana diakui oleh ulama-ulama sunnah dan tauhid yang hidup sezaman dengannya.

Demikian juga tidak disyaratkan memiliki sanad, apalagi sanad pada zaman sekarang tidak betapa penting, karena tidak mempengaruhi status hukum hadits[13]

3. Adapun tuduhan bahwa Syaikh al-Albani dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyah Madinah maka ini hanya isu yang hanya berpedoman pada gosip yang beredar. Apakah setiap gosip yang beredar itu pasti benar? Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, salah seorang dosen Universitas Madinah sejak awal berdiri, mengatakan bahwa Syaikh al-Albani keluar dari Jami’ah karena habis kontrak kerjanya, bukan karena dikeluarkan!![14] Buktinya, hubungan Syaikh al-Albani dengan Syaikh Bin Baz (rektor Jami’ah saat itu) dan Syaikh al-Abbad baik-baik saja walaupun setelah keluar dari Jami’ah. Bahkan Syaikh al-Albani berwasiat agar kitab-kitabnya diberikan ke Maktabah Jami’ah Madinah.

Tuduhan Kedelapan
ALBANI MEMBID’AHKAN FIQIH MADZHAB

Sebagian ada yang menyatakan bahwa Syaikh al-Albani telah membid’ahkan fiqih madzhab dan mempunyai paham anti madzhab dan malah dituduh ingin meruntuhkan syari’ah Islam. Dan telah terjadi diskusi antara Syaikh al-Albani dan Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam masalah ini.

Jawaban:

Syaikh al-Albani sendiri pernah ditanya tentang tuduhan ini, lalu beliau menjawab menikul ucapan seorang penyair:

Ghoirii janaa wa ana al-mu’adzdzabu fiikum

Faka annanii sabbaabatu al-mutanaddimi

Orang lain yang berbuat jahat tapi saya yang kena getahnya
Seakan-akan diriku ini seperti jari orang yang menyesali diri.[15]

Benar, orang yang mengenal  Syaikh al-Albani  pasti akan mengetahui bahwa  ini adalah kedustaan terhadap beliau. Tatkala beliau mengajak manusia untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf Shalih dan mengingkari  fanatisme madzhab, beliau dianggap mengeingkari madzhab, padahal inilah metode yang dianjurkan oleh imam-imam madzhab sendiri, yaitu agar mengambil al-Qur’an dan Sunnah, bukan fanatik atau taklid buta kepada imam tertentu. Kesimpulannya, ini adalah tuduhan dusta. Bahkan, yang sebenarnya, beliau sangat menghormati para imam madzhab semuanya tanpa pilih-pilih dan menganjurkan untuk memahami ilmu dengan bantuan kitab-kitab ulama madzhab.[16]

Adapun buku Syaikh Dr. Sa’id al-Buthi tentang masalah ini sudah dibantah oleh Syaikh al-Albani dan jawaban ringkas terhadapnya. Sebenarnya masih banyak lagi tuduhan-tuduhan dusta lainnya tetapi semoga dengan penjelasan ini kebingungan kita menjadi hilang. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

*dari Majalah Al Furqon, No. 114 Edisi 11 Th. ke-10, Jumada Akhir 1432 H hlm. 19-26.
[1] Lihat Sualat al-Halabi lisy Syaikh al-Albani: I/75.
[2] Lihat Tadrib Rowi: I/37-38 oleh as-Suyuthi dan Qoawa’id Tahdits hlm. 79 oleh al-Qosimi.
[3] Lihat secara luas dalam buku kami Syaikh al-Albani Dihujat hlm. 71-82, set. Salwa Press.
[4] Lihat at-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni fi Tafsir hlm. 41
[5] Saya jadi teringat dengan kisah seorang kawan di Emirat Arab kepada saya, dahulunya dia termasuk pemuda yang menjadi korban pemikiran takfir sehingga dia mengkafirkan semua orang, sampai-sampai dia mengatakan, “Negeri Arab lebih parah kafirnya dari pada Amerika dll. Karena kafirnya negeri Arab adalah munafik sedangkan kafirnya Amerika adalah terang-terangan.” Dia pun dengan dua kawannya akhirnya melakukan hijrah(!) ke Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Namun takdir Allah memilih untuk menunjukkan jalan yang benar baginya, tatkala dia membuka internet dan menyimak penjelasan Syaikh al-Albani tentang pengkafiran, dia pun terbuka hatinya dan akhirnya bertaubat dari pemikiran-pemikirannya. Semoga Allah menetapkan langkahnya di atas jalan yang benar.
[6] Maqalatul Albani hlm. 214-215 oleh Nuruddin Tholib
[7] Silsilah ash-Shahihah: IV/Y
[8] Ibid. III/H
[9] Ibid. VI/980
[10] Lihat Fatawa Ulama Akabir karya Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho min Hayati Imam al-Albani karya Syaikh Abu Asma’ hlm. 88 dan Ta’liq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman terhadap kitab Aroul Imam al-Albani at-Tarbawiyyah hlm. 36 oleh Iyad asy-Syami.
[11] Ma’a Syaikhina hlm. 6
[12] Sebagaimana dalam Buhyatul Multamis hlm. 184 dan al-Imam Abdul Hayyi al-Laknawi Allamatul Hindi hlm. 94
[13] Lihat al-Intishar li Ash-habil Hadits hlm. 176 oleh Dr. Umar Bazmul dan Tabriatul Imam Muhaddits hlm. 84 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili
[14] Lihat ar-Radd ‘ala Rifa’i wal Buthi hlm. 79 dan Tabriah Imam Muhaddits hlm. 86 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili
[15] Lihat bait ini dalam al-Idhoh fi Ulum Balaghah oleh al-Qozwini: I/211
[16] Lihat lebih luas kitab al-Manhaj Salafi ‘inda Syaikh al-Albani hlm. 250-257 oleh Syaikh Amr Abdul Mun’in dan as-Salafiyah oleh Syaikh al-Albani hlm. 137-141