(lihat 57 Tanggapan, April 14,
2015 at 3:46 pm - Februari
17, 2018 at 2:45 pm)
Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik
tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2
kitab hadits tersahih? Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham
biografi tokoh2 tsb.
Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara
Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam
Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari
Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka
lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda, خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik
manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in),
kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim
no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang
berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu
sama lain…
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari
misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam
Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2
sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi
yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski
termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam
Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu
Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam
Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.
Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada
hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah
ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti
Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?
Menurut
Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena
mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh
dengan rasa dengki dan benci. Menurut
kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan
mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum
akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits.
Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3
level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari
yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai
750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.
Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad
Sarwat, Lc., MA, yaitu:
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat
Imam Mazhab
Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para
imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal,
sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum
Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik
wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam
Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin
kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada
zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam
mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits
yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di
zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam
Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang
di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin
maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits
Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya,
justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah
bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai
untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal
Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang
dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak
cukup.
Ada beberapa tokoh
yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah
nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli
Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab
tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah
mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan
dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli
hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul
fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah
cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah
shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama
dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan
tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau
ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan,
apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya :
Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih,
pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits
baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang
hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang
menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya,
dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai bodoh dalam
ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir
dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia
dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad,
belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara
sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan
kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya
menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu
hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak
paham dengan hadits shahih, lalu menggantungkan mazhabnya kepada
orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak
suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak
shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih,
pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak
shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa
hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab
sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan
dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah
seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian
hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil
bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi
kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits.
Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab
berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak
tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka
tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk
perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari
dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan
persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat
imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya
cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya
yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul,
khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran
mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid
kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti
adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Baca selengkapnya di:
Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA,
Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah
cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara jalur
hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level
itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di
abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni
lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan
satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang
bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke
Nabi lebih dekat.
Sanggahan
lihat 57 Tanggapan di kabarislamia.com ( April 14, 2015 at 3:46 pm - Februari 17, 2018 at 2:45 pm).
Apakah Imam Madzhab Itu Lebih Tahu Seluruh
Hadits Daripada Ulama Setelahnya? Akidah Imam Yang Empat Itu Adalah Satu… Yaitu
Akidah Yang Benar..!
Hadits Imam Bukhari Lemah? (bantahan untuk
Ahmad Sarwat) - Ustadz Ishom Aini hafizhahullah (lihat 21 Comments)
Kalau logikanya seperti itu, tentu para sahabat
yang lebih banyak menguasai hadits-hadits,. tapi nyatanya,. hadits-hadits itu
diriwayatkan dari banyak sahabat, bukan satu sahabat saja, dan haditsnya
berbeda-beda,.
Cuplikan dari Tanggapan (Comments)
Usman Mabrur Siregar, on Juni 8, 2015 at 1:14 pm said:
Bagus kali ustadz penjelasannya.
semoga orang2 yg anti terhadap madzhab tersadarkan dengan tulisan ust.
Ada yg mungkin kurang penjelasan ustadz.
Bukhori dan Muslim ini sesat ya? Sehingga kita nggak bisa jadikan rujukan?
trus kenapa kita masih harus bermadzhab imam yg empat itu?
kenapa nggak 1 madzhab aja?
Imam Hanafi kan lebih dulu hidup dan lebih dekat ke zaman para sahabat..jd
bukankah td logikanya yg lebih dekat itu lebih shohih?
Kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali nggak bermadzhab kepada Imam
Hanafi?
kenapa Imam yg 3 membuat madzhab sendiri?
apa perbedaan para imam itu dengan imam Hanafi sampe Imam yg lain harus membuat
madzhab sendiri?
Apa juga perbedaanatara imam yg 4 ini?
kalo sama kenapa harus dibedakan?kalo beda kenapa yg lebih baru nggak ngikut yg
lebih dekat dengan zaman Sahabat, yang sudah pasti lebih sahih?
Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz.
somoga kita dalam lindungan Allah…
Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz.
somoga kita dalam lindungan Allah…
Admin (ahmad sarwat) , on Juni 23, 2015 at 3:26 am said:
Artinya bahkan pakar hadits seperti Imam
Bukhari dan Imam Muslim pun mereka bermazhab. Mereka mengikuti Mazhab Syafi’ie.
Mereka tidak bikin mazhab sendiri.
Jika ada pendapat Imam Mazhab yang berlandaskan Al Qur’an, Hadits, dan Sunnah
Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in bertentangan dgn Hadits Bukhari atau Muslim, yang
lebih kuat adalah pendapat Imam Mazhab. Karena hadits mereka lebih murni.
Imam Bukhari dan Imam Muslim yg bermazhab Syafi’ie insya Allah lurus.
Beda dgn kaum akhir zaman yang justru tidak mau bermazhab.
Ery Hasyem, on Juni 23, 2015 at 8:39 am said:
Assalamualaikum Ustadz…. saya masih kabur
dengan penjelasan Ustadz atas pertanyaan dari saudara Usman Mabrur Siregar….
kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali membuat mazhab sendiri
padahal Imam Hanafi lebih dekat dengan zaman sahabat? mengapa ketiga Imam
tersebut tidak mengikuti mazhab Imam Hanafi?… trus… pertanyaan yang sama kenapa
Imam Hanafi harus membuat madhab? para Tabi’it Tabiin tidak membuat mazhab
sedangkan mereka tidak hidup pada zaman rasul? secara logika seharusnya
Ulama-Ulama zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in membuat mazhab tapi mereka tidak
membuat mazhab karena mereka mengikuti Islam Versi Rasulullah… trus makin
berlalu waktu para Ulama berlomba2 mengajari Islam versi mereka masing-masing…seperti
Islam versi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali… ketika ada
golongan tertentu ingin memahami Islam Menurut Rasulullah berdasarkan
hadist-hadist shahih dianggap sesat…. saya sendiri jadi bimbang mana yang harus
di ikuti… sementara para pengikut Imam Syafi’i sekarang terutama di Indonesia
memasukkan upacara agama Hindu menjadi bahagian dari pelaksanaan Islam… apakah
ini dianggap lebih Sunnah… padahal Rasul tidak pernah mencontohkannya… mohon
tanggapannya
Admin (ahmad sarwat), on Juli 8, 2015 at 5:32 am said:
Wa’alaikum salam wr wb,
Mau tanya apa mau ngeyel?
Para Imam Mazhab tsb justru adalah kelompok tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Generasi anak dan cucu sahabat Nabi. Islam masih lurus.
Mazhab Fiqih itu dibuat sehingga kita bisa tahu cara wudlu, sholat, dsb sesuai
dgn wudlu dan sholat Nabi.
Saat kita belajar sholat, kita kan belajar sholat lewat mazhab Fiqih langsung
praktek sholat. Kalau buka kitab2 hasits seperti takbir itu hadits Bukhari
nomor berapa, ruku hadits Muslim nomor berapa, ya tidak akan bisa sholat kita.
Masalah tradisi Hindu jadi tradisi Islam
sepeti Tahlil misalnya. Itu adalah Syiar Islam. Zaman dulu orang Indonesia itu
Hindu. Kalau para Ulama seperti Walisongo tidak mengenalkan Islam dgn cara
Tahlilan, bisa jadi anda ibadahnya masih di pura. Bukan di masjid.
Dgn Syiar Islam itu maka melayat keluarga
yang meninggal pada hari pertama, ke7, 40, 100, 1000 hari diisi dgn membaca
Tahlil (zikir utama), baca surat Al Qur’an, dan juga ceramah untuk Syiar Islam.
Nabi juga pernah membuat tradisi orang
kafir jadi Syiar Islam. Contoh Sya’ie antara Shafa dan Marwah itu dulu biasa
dilakukan orang kafir. Begitu pula Puasa Asyura. Nabi menjadikan tradisi orang
kafir tsb menjadi Syiar Islam yg sesuai ajaran Islam.
Ada tidak orang Hindu baca Tahlil: Laa
ilaha illallahu? Kalau iya, berarti dia sudah jadi muslim. Begitu.
Mengubah Tradisi Orang Kafir jadi Satu
Tradisi Islam bukan berarti Tasyabbuh atau Bid’ah. Bisa jadi itu adalah Syiar
Islam. Ini Nabi lakukan dgn mengubah Puasa Asyura yang biasa dilakukan kaum
kafir jadi Puasa Sunnah. Begitu pula dengan mengelilingi Ka’bah yang biasa
dilakukan orang kafir dengan Thawaf:
“Orang2 Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah
pun melakukannya pada masa jahiliyyah.
Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan
memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147
Muslim 2/792, dll)
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]
‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas
berkata: “Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara
di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi.”
Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa’i
dalam Islam (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari ‘Ashim bin
Sulaiman.)
Adam Alvaro, on Juli 7, 2015 at 1:34 am said:
Kalau yg lbh dekat dg zaman Nabi berarti
lbh shohih. Berarti madzhab hanafi n maliki lbh benar daripada madzhab syafii n
madzhab hambali? Kenapa imam syafii membuat madzhab sendiri padahal beliau
murid imam malik? Mohon penjelasannya
Meski Imam Syafi’ie lahir belakangan dari
Imam Malik, namun beliau tetap sezaman dgn Imam Malik sehingga bisa berguru dgn
Imam Malik dan juga guru2 lainnya. Masa mereka hidup tidak jauh beda. Insya
Allah semua benar.
Apakah lebih baik atau tidak, wallahu a’lam. Kan tergantung kecerdasan, keluasan
ilmu, dsb.
Cuma secerdas2 orang, kalau hidup di zaman sekarang ya tidak bisa bikin mazhab yg lebih baik. Sebab zaman kita sudah jauh dari zaman Nabi. Sudah tidak murni lagi. Zaman Imam Mazhab, antara mereka dgn Nabi cuma dipisah 1-2 orang saja. Sedang zaman kita, dipisah oleh 40-50 generasi, terlalu jauh.
Cuma secerdas2 orang, kalau hidup di zaman sekarang ya tidak bisa bikin mazhab yg lebih baik. Sebab zaman kita sudah jauh dari zaman Nabi. Sudah tidak murni lagi. Zaman Imam Mazhab, antara mereka dgn Nabi cuma dipisah 1-2 orang saja. Sedang zaman kita, dipisah oleh 40-50 generasi, terlalu jauh.
Perbedaan itu Sunnah. Misalnya dalam
menafsirkan ayat menyentuh wanita membatalkan wudlu. Imam Syafi’ie berpendapat
batal dgn mengacu pada zahir ayat Al Qur’an tsb. Sementara Imam Mazhab lain
berpendapat tidak batal kecuali diikuti nafsu dgn mengacu hadits ttg itu. Kalau
mau hati2, ya ikut Imam Syafi’ie.
Ayat Al Qur’an tangan Allah di atas
tangan mereka. Nah bagi yang menafsirkan secara hakiki dan majazi (kiasan)
tafsirannya saja sudah beda. Meski sama2 mengacu pada Al Qur’an.
Adfas, on Oktober 20, 2015 at 2:32 am said:
ustadz yang dirahmati Alloh.. ini
misalnya ya ustad jika ada keterangan (hadist nabi ) didalam salah satu dari
kitab atau keempatnya dari 4 mazhab kemudian di lemahkan keterangan tersebut
oleh imam bukhory atau muslim gimana neh tanggapan ustaz… trims..
Admin (ahmad sarwat), on Oktober 22, 2015 at 1:06 am said:
Insya Allah hadits dari Imam Mazhab yang
hidup lebih awal dari perawi hadits itu lebih murni dan lebih kuat.
Imam Bukhari (lahir tahun 196 H) dan Imam Muslim (lahir tahun 204 H) saja
konsekwen ikut Mazhab Syafi’ie (lahir tahun 150 H). Artinya mereka mengakui hadits
Imam Syafi’ie lebih kuat daripada kitab Shahih mereka.
Suka tidak suka, ada banyak aliran dalam
Islam. Ada yang lurus. Ada yang sesat.
Sebaik2 paham adalah Mazhab seperti Syafi’ie yang muncul pada 2 abad pertama
Islam. Saat itu Islam masih murni dan lurus. Mereka merumuskan hukum selain dari
Al Qur’an dan Hadits juga dari praktek ibadah dari anak dan cucu sahabat Nabi.
Jadi sanad ilmunya itu sampai ke Nabi. Hadits yang dikuasai para Imam Mazhab
itu bisa 1 juta hadits yang kemudian mereka rumuskan dalam mazhab mereka.
Kalau sekarang, tinggal 100.000 hadits
saja. Itu pun banyak yang tidak murni lagi.
Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H itu
justru guru dari Imam Ahmad yang lahir tahun 164 H. Imam Syafi’ie itu hafal Al
Qur’an saat umur 7 tahun dan hafal kitab Hadits Al Muwaththo yg disusun Imam
Malik pada umur 10 tahun. Imam Syafi’ie menguasai 1 juta hadits dan juga
praktek ibadah generasi cucu dari sahabat (Tabi’it tabi’in).
Dari situlah beliau menyusun kitab Fiqih
Al Umm seperti cara sholat, puasa, dsb. Ini dibuat sistematis, dan tertib. Jadi
dgn membaca kitab Al Umm dan berguru pada guru yang bermazhab Syafi’ie, anda
bisa sholat.
Kalau anda cuma baca kitab Bukhari dan
Muslim, tidak akan bisa sholat.Coba saja. Imam Bukhari dan Muslim pun meski
mereka menguasai 300 ribu hadits lebih, tetap bermazhab Syafi’ie. Jadi tidak
memakai hadits yang mereka tulis.
Hadits Bukhari dan Muslim dipakai selama
tidak bertentangan dgn ajaran Imam Mazhab.
Bunga Cempaka, on Oktober 24, 2016 at 2:36 am said:
Asslamu’alaikum, bolehkah jika seorang
mengambil pendapat tidak husus dalam satu mazhab, misalnya dalam masalah (A)
dia mengambil pendapat imam Syafi’ie, dalam masalah (B) mengambil imam Hanafi,
dalam masalah (C) diambil Maliki,?
Wa’alaikum salam wr wb,
Sudahkah anda mempelajari mazhab Syafi’ie dari awal hingga akhir? Bab thoharoh,
istinja, mandi junub, dsb?
Sudahkah baca kitab Al Umm Imam Syafi’ie hingga selesai?
Belajar 1 mazhab secara sempurna saja sulit, apalagi belajar 4 mazhab sambil
berusaha mencari2 mazhab yg paling benar untuk setiap persoalan.
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih
Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali
Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab
Shahihnya? Mengenal Sisi Lain Shahih Al-Bukhari
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [ bagian
I ]
Bantahan Ustadz Firanda : Habib Husain
Al-Atas (Pengasuh Radio RASIL), antara Syi'ah, Sunnah, atau Liberal ?!
Guru-Guru Terpenting Al-Imam Al-Bukhariy
Haruskah Kita Bermazhab (Hukum Bermadzhab
Dalam Islam) ?
Apakah Seorang Muslim Harus Mengikuti
Madzhab Tertentu (Abu Al-Jauzaa')?
Rujuk Kepada Petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Korelasi Antara Bermadzhab Dengan Ta’ashub (Imam Empat Mazhab:
Tinggalkan Pendapat Kami bila Bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah!)
Gugatan Terhadap Penggugat Imam Bukhari
[Jawaban Jahil Murokkab Web Syiah] Kenapa
Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
(2). Benarkah
Keshahihan Shahih Hanya
Sebuah Produk Ijtihad?
Sebuah Produk Ijtihad?
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Saya tertarik dengan jawaban ustadz dalam tanya jawab sebelumnya, bahwa
keshahihan suatu hadits itu ternyata hasil ijtihad. Mungkin buat saya yang awam
ini, apa yang ustadz sampaikan masih agak membingungkan, jadi mohon penjelasan
lebih lanjut.
Selama ini yang saya pahami bahwa kalau ada hadits shahih, kita wajib ikut.
Malah teman saya bilang, tinggalkan semua pendapat ulama kalau sudah ada hadits
shahih. Sebab menurutnya para ulama empat mazhab sendiri yang mengatakan bahwa
kalau suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.
Ternyata ustadz bilang bahwa keshahihan hadits itu sendiri justru hasil ijtihad
manusia juga. Mohon penjelasan dari ustadz dalam masalah ini. Terima kasih
sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang
mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.
Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun
dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits
berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang
diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi
keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu,
rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.
Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan
hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi
tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar
ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja
disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil
ijtihad lainnya yang justru bertentangan.
Imam Bukhari Berijtihad
Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah
hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau menerima
wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan
mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri
Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad
dan bukan berdasarkan wahyu.
Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari,
karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar
bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim
(204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan
ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap
shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya
mengandalkan penilaian manusiawi semata.
Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim,
karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar
bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari
dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena
selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain
yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih
tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.
Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang
hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200
tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang
hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan
hadits apa dalam beragama?
Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan
hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan
Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan
baik oleh para ahli hadits di zamannya.
Sebutlah misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa'. Di
zamannya, kitab Al-Muwaththa' ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan
Al-Imam Asy-Syafi'i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal
hadits-hadits di dalamnya.
Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan
Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun
shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun
tabi'in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan
Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Hal itu terjadi karena para shahabat dan para tabi'in hidup lebih dulu dari
keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa menggunakan
hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad bin
Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih
Bukhari dan Muslim.
Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim
(204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits
dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi
berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi
sebelumnya.
Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar
hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari
mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil
hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman
lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka
kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin
ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.
Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya
semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan
dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin
mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil
penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam
ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan
bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para
imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari
sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi'i.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu
mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti
kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab 'ahli hadits'. Dari namanya saja
sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits
berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits
itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits
dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi
istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan
dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila
ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah
dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim,
tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Al-Imam Asy-syafi'i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang
masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling
bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu
dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan
melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru
langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum,
yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang
sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah
imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan
mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para
perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.
Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama
peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus
menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam
Malik itu penyusun Al-Muwaththa' yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan
kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal
sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi
yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh
keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits
shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat
mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi
Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan
para imam mazhab itu dari maksud aslinya : "Bila suatu hadits itu
shahih, maka itulah mazhabku". Kesannya, para imam mazhab itu bodoh
dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang
hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat,
karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat
itu mereka tolak sambil berkata,"Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun
akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut
saya, maka saya tidak menerima pendapat itu". Yang bicara bahwa
hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab
sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur,
sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi'i itu
tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu
kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,"Saya punya mazhab
tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti
kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah
kepada ahli hadits itu nanti ya".
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan
bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti
hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di
zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan
imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata
nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita.
Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai
orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat
Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah
sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu
gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka
itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan
ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke
dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam
menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih
murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW,
lebih dekat.
Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk
satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh
level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma
melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu
berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih
murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa
melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa
kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja
sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar
mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu
melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya
untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk
mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman
mereka.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka
kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi
semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak
lagi.
Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu
nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup
di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa
dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah
tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para
perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau
hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa
diwawancarai langsung.
Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para
perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan
data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam
perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa
fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.
Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada
anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan
masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu
bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di
bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan
tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian
kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan
keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari
Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih
tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di
abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad
ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian
hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.
Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian
kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman
serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan
ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab,
pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih,
suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu
segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan,
melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar,
maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah
utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam
semesta.
Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan
seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan
dihujani cacian makian dan sumpah serapah.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sanggahan :
Keshahihan Hadits Adalah
Ijtihad Ulama
(tanggapan untuk Ustadz Ahmad Sarwat)
Opini ini adalah tanggapan atas artikel
di Rumah Fiqih, yang ditulis oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA, dengan judul “Benarkah Keshahihan Shahih Hanya Sebuah Produk Ijtihad?
https://rumahfiqih.com/x.php?id=1410544221 (lihat di atas)
Penulisnya tak paham ilmu hadits apalagi tarikh
ruwat dan thabaqatnya. Orang-orang dari Rumah Fiqh tak henti-hentinya
menyebarkan syubhat.
Lucu ada pernyataan empat imam madzhab adalah
ahli hadits paling top pada zamannya dan bla bla bla ala Rumah Fiqh. Lha
trus kenapa Abu Hanifah didhaifkan sebagian ulama hadits? Lalu kalau paling
tahu hadits tentu tidak banyak gunakan ra`yu sehingga dijarh oleh Ibnu
Quthaibah dalam Ta`wiil Mukhtalafil Hadiits.
Kalau bicara hadits tentu ada imam-imam
yang lebih kompeten seperti Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin
Sa’id Al-Qath-than, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, dan lain-lain.
Benar bahwa dari empat imam madzhab tiga orang;
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah ahli hadits plus ahli fiqh.
Tapi bukan berarti mereka yang paling top pada zamannya.
Imam Ahmad yang paling hafal dan paling tahu
dari ketiganya masih ada dalam thabaqatnya yang tidak kalah pengetahuannya
darinya seperti Ali bin Abdullah Al-Madini, yang merupakan guru Imam Bukhari.
Dan Ibnu Jarir Ath-Thabari saja tak memasukkan Imam Ahmad dalam kalangan ahli
fiqh sehingga pernah dipukuli hanabilah di Baghdad.
Imam-imam dalam hadits dan fiqh sangat
banyak pada tiga abad pertama hijriyah. Kalau ahli fiqh tentu ahli hadits
seperti Al-Auza’i, Ibnul Mubarak, dan Ishaq bin Rahawaih, dan yang paling menonjol dalam hadits belum tentu juga
paling menonjol dalam fiqh seperti Syu’bah dan Yahya Al-Qaththan.
Kemudian setiap mujtahid pada tiga abad pertama
hijriyah sudah tentu berijtihad dengan berdasarkan ilmu ushul fiqh. Meskipun
mereka dikenal sebagai mujtahid tidak berarti mereka punya karangan dalam ushul
fiqh. Jadi jangan ditanya tentang mana ushul fiqh mereka?
Selain itu, para imam-imam yang ribuan kali
lebih alim dari Ustadz Ahmad Sarwat dan lebih taqwa serta wara darinya mengakui
adanya madzhab fiqh ahli hadits. Kok dia justru menafikannya.
Intinya kebenaran tidak
dibatasi pada empat imam madzhab saja. Tetapi empat madzhab fiqh yang ada
adalah salah satu wasilah bagi kita untuk tafaqquh
fiddiin. Pendapatan yang membatasi kebenaran pada empat madzhab saja
adalah qaul yang jelas sekali kebatilannya.
***
Bicara hadits maka kembalikanlah kepada
para ulama hadits. Mereka adalah kaum yang paling tahu dan paham tentang hadits
tiap imam bahkan ruwat-nya. Tak tepat menyebut seorang imam paling top dalam
hadits pada masa, generasi, dan tempat tetapi tak mampu menegakkan hujjah atas
kesimpulannya.
Sebagai misal, Imam Abu Hanifah
rahimahullah, sebagian ulama hadits mendhaifkannya dalam bidang hadits–terlepas
kepakaran dan keutamaannya dalam fiqh. Sehingga banyak ulama Hanafiyah yang
sewot dengan pandangan sebagian ulama hadits tersebut. Tidak main-main yang
menukil hal tersebut adalah Al-Khatib Al-Baghdadi. Sehingga dengan sebab itu
Al-Khatib dihujat oleh ulama Hanafiyah dan difitnah dengan fitnah-fitnah yang
keji.
Tahukah anda siapakah Al-Khatib
Al-Baghdadi tersebut?
Dia adalah imam yang dikatakan Al-Hafizh
Ibnu Nuqthah bahwa imam-imam yang datang sesudahnya membebek kepadanya. Ucapan
tersebut diakui dan disetujui Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Sedang dalam
fiqh beliau adalah seorang faqih yang mutadhalli’ dalam madzhab
Syafi’i disejajarkan dengan Imam Al-Baihaqi.
Karena banyak qaul dan ra`yu Imam Abu
Hanifah tak jarang idhthirabmaka beliau dijarh oleh Imam Ibnu Qutaibah
Ad-Dinuri dalam Ta`wiilu Mukhtalafil Hadiits.
Bicara fiqh maka kembalikanlah kepada
imam-imam ahli fiqh. Kalau orang-orang seperti Asy-Syaukani, Syah Waliyullah
Ad-Dahlawi, Abdul Hayy Al-Luknawi, dan banyak lagi mengakui madzhab ahlul
hadits dalam fiqh dan memandang madzhab mereka lebih dekat dengan kebenaran
dalam masalah-masalah khilafiyat maka tak pada tempatnya seseorang menafikan
ilmu dan ahliyah mereka dalam fiqh. Apalagi sudah makruf bahwa sejak awal abad
pertama hijriyah sudah dikenal madrasah ahlul hadits yang berpusat di Hijaz
(Makkah dan Madinah) dan madrasah ahlur ra`yi yang berpusat di Irak (Kufah).
Imam Az-Zuhri, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik bin
Anas, Ibnu Abi Dzi’ib, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Dawud bin Ali
Azh-Zhahiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah sedikit dari sederetan ahli fiqh
yang berasal dari madrasah ahlul hadits. Sedang Imam Abu Hanifah adalah yang
mewakili madrasah ahlur ra`yi.
Hal tersebut sudah makruf dikalangan
thullabul ‘ilmi. Bahkan orang yang baru belajar Tarikh Tasyri’
Islami pun tahu.
Tetapi yang sudah dijamin bahwa imam-imam
dan mujtahid-mujtahid dari madrasah ahlul hadits aqidahnya lurus-lurus kecuali
Dawud Bin Ali Azh-Zhahiri yang pernah mengikuti qaul khalqil qur`aan tetapi
sudah rujuk dan taubat darinya. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya banyak
qaulnya dalam aqidah yang menyalahi jumhur salaf seperti dalan masalah amal
apakah termasuk iman atau bukan, masalah bertambah dan berkurangnya, masalah
istitsna dan lain-lain
Kalau benci kepada “Salafiyyun Andunisiyyun”
maka bicarakan dengan adil. Kasalahan mereka adalah tanggungjawab mereka. Kalau
kemudian menafikan ilmunya Syaikh Bin Baz, Ibnu ‘ Utsaimin, Al-Albani, bahkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dengan kemampuan yang masih
dipermukaan maka hal itu seperti burung emprit yang mematuk gunung. Bukan
gunungnya yang runtuh justru parunya yang patah dan berdarah-darah.
Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada orang
yang sadar atas ilmu dan ahliyahnya kemudian menghormati imam-iman salaf dan
sebagian syaikh-syaikh kontemporer yang fatwa dan qaul mereka muktabar
dikalangan ulama-ulama sekarang.
Ketika Banyak Ulama Yang
Membingungkan,Carilah Ilmu Syar'i Di Madinah
(3). Kejahilan Ahmad Sarwat dan kedengkiannya
terhadap Saudi dalam menafsirkan Tanduk Setan (Najd) seperti orang Syi'ah.
Cuplikan dari Tanggapan (Comments)
https://kabarislamia.com/2015/04/09/kenapa-imam-mazhab-tidak-pakai-hadits-bukhari-dan-muslim/
Ustadz yang di rahmati Allah, di salah satu
situs wahabi, saya melihat mereka mencantumkan hadist ini (saya kutip):
“Sesungguhnya iman itu akan kembali ke Madinah
sebagaimana ular akan kembali ke lobangnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah dari hadist ini bisa kita simpulkan,
kalau untuk belajar agama apakah kita sebaiknya merujuk ke kota nabi tersebut?
Sedangkan disisi lain banyak kalangan muslim yang selalu menuduh di negara arab
saudi penuh dengan hal2 negatif seperti negeri wahabi dll, bagaimana kaitannya
dengan hadist ini ustadz?
Admin (ahmad sarwat) , on Oktober 19, 2015 at 6:15 am said:
Kalau sebelum Madinah (Hijaz) diserbu Kerajaan
Najd tahun 1925 bagus pak belajar di Madinah. Pahamnya masih asli dari Nabi.
Tapi setelah diserbu kerajaan Najd, pahamnya jadi berubah pakai paham Najd:
Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah,
berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd
kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka
berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri
Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau
bersabda (Najd) pada kali yang ketiga, ‘Di sana (Najd) terdapat
kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya
tanduk setan.’” [HR Bukhari]
Selain itu meski Dajjal tidak bisa masuk Madinah,
namun saat terjadi 3 goncangan orang2 kafir dan munafik akan keluar dari
Madinah. Artinya saat ini banyak orang2 kafir dan munafik diam di kota Madinah.
Copet saja banyak:
Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Tiada suatu negeripun melainkan akan diinjak oleh Dajjal, kecuali
hanya Makkah dan Madinah yang tidak. Tiada suatu lorongpun dari lorong-lorong
Makkah dan Madinah itu, melainkan di situ ada para malaikat yang berbaris rapat
untuk melindunginya. Kemudian Dajjal itu turunlah di suatu tanah yang berpasir
-di luar Madinah- lalu kota Madinah bergoncanglah sebanyak tiga goncangan dan
dari goncangan-goncangan itu Allah akan mengeluarkan akan setiap orang kafir
dan munafik.” (Riwayat Muslim)
Sanggahan :
(Rangkuman) Benarkah Khawarij Muncul Dari
Najd Arab Saudi ? Di Manakah Najd ? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
(13 artikel)
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik
Ucapan Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam
Serta Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah
Dan Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah,
Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah,
Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah
Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !
(4). Kebencian Ahmad
Sarwat kepada Syaikh Al-Albaaniy
Ahmad Sarwat, Al-Buuthiy, dan Al-Albaaniy
(abul jauzaa, lihat comments sampai 5 Juli 2018 06.25)
Dialog antara al bani dan al buthi
dibawah ini dusta belaka !
Kapasitas untuk Mendhoifkan Hadits
(catatan kecil buat Al-Ustadz Ahmad Sarwat)
Kedengkian Pihak-pihak tertentu Kepada Syaikh Al-Albani Sangat Tendensius.
Silahkan Bantah Beberapa Artikel Dibawah Secara Tertulis dan Ilmiyah (No
YouTube).
Menjawab Tuduhan Terhadap Syaikh
al-Albani (bantahan untuk Ahmad Sarwat)- Ustadz Ishom Aini hafizhahullah (lihat
77 Comments)
Jawaban Bagi Pencela Syaikh al-Albani
Syaikh Al-Albani: Ahli Hadits yang
Terdzalimi
(Lihat 127 Comments
Already)
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar
as-Sidawi hafidzahullah
MUQODDIMAH
Di zaman ini kecintaan dan penghormatan
terhadap ulama sangatlah minim. Bahkan yang terjadi adalah derasnya hujan
celaan, penghinaan, kedustaan dan tuduhan pada mereka, baik karena faktor
kejahilan, hawa nafsu, fanatik madzhab, cinta popularitas atau mungkin karena
semua faktor tersebut!!.[1]
Seperti halnya para ulama Salaf lainnya,
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah tak luput dari serbuan
celaan, hinaan dan tuduhan. Beliau sendiri pernah berkata:
“Aku banyak dizhalimi oleh orang-orang
yang mengaku berilmu, bahkan sebagian di antara mereka ada yang dianggap bermanhaj
Salaf seperti kami. Namun -kalau memang benar demikian- berarti dia termasuk
orang yang hatinya terjangkit penyakit hasad dan dengki.”[2]
Semua itu tidaklah aneh, karena memang
setiap orang yang mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai
pemahaman para Sahabat, pasti mendapatkan resiko dan tantangan dakwah. Alangkah
bagusnya perkataan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمَا جِئْتَ بِهِ
إِلاَّ عُوْدِيَ
“Tidak ada seorang pun yang datang dengan
mengemban ajaranmu kecuali akan dimusuhi.”[3]
Akan tetapi, percaya atau tidak, semua
celaan dan tuduhan dusta tersebut tidaklah membahayakan dan menggoyang kursi
kedudukan Syaikh al-Albani rahimahullah, bahkan sebaliknya, sangat membahayakan
nasib para pencela beliau sendiri.
يَا نَاطِحَ الْجَبَلِ الْعَالِيْ لِيَكْلِمَهُ
أَشْفِقْ عَلَى الرَّأْسِ لاَ تُشْفِقْ عَلَى
الْجَبَلِ
Hai orang yang akan menabrak gunung
tinggi untuk menghancurkannya
Kasihanilah kepala anda, jangan kasihan
pada gunungnya[4].
Banyak sekali tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepada beliau. Oleh karena itu, izinkanlah kami untuk memberikan
sedikit komentar tentang beberapa tuduhan dusta tersebut.
Tuduhan Pertama
AL-ALBANI BERPEMAHAMAN MURJI’AH
Tuduhan ini bukanlah suatu hal yang aneh
lagi. Terlalu banyak bukti-bukti untuk membantah tuduhan ini, karena Syaikh
al-Albani telah menjelaskan secara gamblang aqidah beliau dalam banyak
tulisannya yang sangat berseberangan dengan aqidah murji’ah.
Alangkah bagusnya ucapan beliau tatkala
mengatakan:
“Demikianlah yang saya tulis semenjak dua
puluh tahun silam lamanya dengan membela aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah
-segala puji hanya bagi Alloh-. Namun pada hari ini, bermunculan anak-anak
kemarin sore yang jahil seraya menuduh kami dengan pemahaman murji’ah!! Hanya
kepada Alloh kita mengadu dari jeleknya perilaku mereka berupa kejahilan dan
kesesatan!!”. [5]
Tuduhan ini juga telah dibantah oleh para
ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sezaman dengan beliau. Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah pernah ditanya tentang tuduhan murji’ah kepada Syaikh
al-Albani rahimahullah , lalu beliau menjawab:
“Syaikh Nasiruddin al-Albani termasuk di
antara saudara-suadara kami yang terkenal dari ahli hadits dan ahli sunnah wal
Jama’ah. Kita memohon kepada Alloh bagi kita dan beliau taufiq untuk segala
kebajikan. Sewajibnya bagi setiap muslim untuk takut kepada Alloh terhadap para
ulama dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu”.
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Sholih
al-Utsaimin rahimahullah, beliau membantah tuduhan ini dengan kata-kata yang
indah:
“Barangsiapa menuduh Syaikh al-Albani
dengan pemahaman murjiah maka dia telah keliru, mungkin dia tidak mengenal
al-Albani atau tidak mengetahui paham irja’!! Al-Albani adalah seorang ahli
Sunnah, pembelanya, imam dalam hadits, kami tidak mengetahui seorangpun yang
menandinginya pada zaman ini[6], tetapi sebagian manusia -semoga Alloh
mengampuninya- memiliki kedengkian dalam hatinya, sehingga tatkala melihat
seorang yang diterima manusia, dia mencelanya seperti perbuatan orang-orang
munafiq:
ٱلَّذِينَ يَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِينَ مِنَ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فِى ٱلصَّدَقَـٰتِ وَٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ
(orang-orang munafik) yaitu orang-orang
yang mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya. (QS. at-Taubah [9]: 79)
Mereka mencela orang yang bersedekah,
baik sedekah dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.
Al-Albani yang kami kenal melalui
kitab-kitabnya dan duduk bersamanya -kadang-kadang- adalah seorang yang
beraqidah salaf, manhajnya bagus, tetapi sebagian manusia yang ingin
mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal yang tidak dikafirkan oleh Alloh,
lalu dia menuduh orang yang menyelisihi mereka dalam takfir sebagai orang
murji’ah secara dusta dan bohong. Oleh karena itu, janganlah kalian
mendengarkan tuduhan ini dari siapapun orangnya”.[7]
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا فَإِنَّ
الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.
Tuduhan Kedua
AL-ALBANI TIDAK MENGERTI FIQIH
Ada lagi ucapan yang terlontar untuk
mencela al-Albani, katanya: “Memang al-Albani jago dalam masalah hadits, tetapi
masalah fiqih, beliau miskin!!”
Jawaban
Sungguh ini merupakan kejahilan yang amat
sangat dan ucapan seperti ini tidak lain kecuali hanya keluar dari mulut
orang-orang yang jahil atau dengki[8].
Aduhai, wahai para pencela ulama, apakah
engkau lebih mengerti tentang fiqih hadits daripada orang yang engkau cela?!
Bercerminlah terlebih dahulu dan simaklah bersamaku kisah berikut yang semoga
bisa menjadikan pelajaran berharga bagi kita bersama:
Al-Khothib al-Baghdad rahimahullah
menceritakan dari Abdulloh bin Hasan al-Hisnajani:
“Saya pernah di Mesir, saya mendengar
seorang hakim mengatakan di Masjid Jami’: “Ahli hadits adalah orang-orang
miskin yang tidak mengerti fiqih!!”.
Saya –yang saat itu kurang sehat–
mendekati hakim tersebut seraya mengatakan: “Para sahabat Nabi berselisih
tentang luka pada kaum lelaki dan wanita, lantas apa yang dikatakan Ali bin
Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdulloh bin Mas’ud?” Hakim tersebut lalu diam
seribu bahasa.
Kemudian saya katakan padanya:
“Tadi engkau mengatakan bahwa ahli hadits
tidak mengerti fiqih, sedangkan saya saja orang ahli hadits yang rendah
menanyakan hal ini kepadamu namun engkau tidak mampu menjawabnya, lantas
bagaimana engkau menuding bahwa ahli hadits tidak mengerti, padahal engkau
sendiri saja tidak mengerti?!!” [9]
Sungguh, barangsiapa membaca kitab-kitab
al-Albani dengan adil dan inshof maka dia akan mengetahui kedalaman ilmunya
dalam bidang fiqih, bacalah Silsilah Ash-shohihah, Ahkamul Janaiz, Sifat Sholat
Nabi, Tamamul Minnah, kaset ceramah dan soal jawabnya, dan..dan ..dan lain sebagainya!!
Bagaimana beliau bukan seorang yang faqih, padahal dia telah berkhidmah pada
sunnah nabawiyyah lebih dari lima puluh tahun lamannya?!!
Syaikh al-Albani rahimahullah sendiri
pernah ditanya tentang omongan ini, beliau hanya menjawab: “Apakah engkau ingin
aku berbicara tentang diriku?!” Terkadang beliau juga menjawab: “Jawaban
omongan ini adalah apa yang engkau lihat, bukan apa yang engkau dengar”.[10]
Ya, jawaban tentang fiqih al-Albani
adalah apa yang kita lihat dalam kitab-kitabnya, soal jawabnya, dialognya, dan
kaset-kasetnya, bukan apa yang kita dengar dari sebagian kalangan bahwa
al-Albani miskin dalam bidang fiqih!!
Sungguh, tuduhan ini adalah suatu
kedzaliman. Bagaimana seorang yang sejak umur dua puluh tahun mondar-mandir
maktabah (perpustakaan) Zhohiriyyah dan terus meneliti kitab-kitab dari
berbagai bidang ilmu tanpa henti, setelah itu dikatakan bukan faqih?!
Bertaqwalah kepada Alloh wahai pencela ulama!!
Tuduhan Ketiga
AL-ALBANI TIDAK TAHU REALITA UMAT
Tuduhan ini juga banyak terlontar,
seringkali kita membaca ucapan sebagian mereka: “Barangkali saja Syaikh
al-Albani saat berfatwa tentang Palestina, sedang tidak membawa buku aqidah
salaf!!”.[11] Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan!! Tuduhan ini
bukan hanya Syaikh al-Albani saja yang kena getahnya, para ulama salaf lainnya
juga demikian semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan lain sebagainya[12].
Fiqhul Waqi’ dalam artian mengetahui
realita yang terjadi pada umat dan makar-makar musuh terhadap Islam adalah
suatu kewajiban penting yang harus ditunaikan oleh sekelompok tertentu dari
para penuntut ilmu yang cerdas guna mengetahui hukum syar’I mengenainya,
seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, baik ilmu syar’I, sosial, ekonomi, politik
dan sebagainya dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia guna menuju kejayaan
Islam.[13]
Namun, apa hukumnya fiqhul waqi?!
Hukumnya adalah fardhu kifayah, bila ada suatu kelompok kaum muslimin telah
menunaikannya maka gugur kewajiban tersebut dari lainnya[14]. Oleh karena itu,
maka kewajiban bagi kelompok muslim yang menggeluti fiqhul waqi’ untuk
bekerjasama bersama para ulama, mereka akan memaparkan permasalahan dengan
gambaran yang jelas dan para ulama akan menjelaskan hukumnya berdasarkan
al-Qur’an dan hadits, sebab kesempurnaan adalah suatu hal yang sangat jarang
dijumpai pada diri seorang, artinya seorang yang menyibukkan dengan ilmu syar’I
dan dalam waktu yang bersamaan dia juga menyibukkan dengan ilmu fiqhul waqi‘,
ini jarang sekali terkumpul pada seseorang.
Dengan demikian, maka tuduhan sebagian
kalangan “Si fulan memang alim, tetapi dia tidak mengerti fiqhul waqi’”. Ini
adalah suatu pembagian yang menyelisihi syari’at dan waqi’ (realita)[15]. Sebab
ungkapan ini seakan-akan mewajibkan kepada para ulama untuk mengilmui juga ilmu
sosial, ekonomi, politik, siasat perang, persenjataan dan sebagainya!! Hal ini
sulit terbayangkan bisa terkumpul pada seseorang. Oleh karenanya, hendaknya
kaum muslimin saling bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya.[16]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata: “Banyak tuduhan
kepada sebagian ahli ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ (realita) dan
program-program kaum munafiq dan sekuler. Hal ini bukanlah suatu aib dan
celaan. Dahulu saja, Nabi tidak mengetahui keadaan sebagian orang munafiq
padahal beliau adalah tuan manusia dan mereka juga bersama Nabi di Madinah
bertahun-tahun lamanya. Nah, kalau demikian apakah tidak boleh kalau ulama
tidak mengetahui keadaan kaum munafiqin?!!”.[17]
Namun harus kita ingat, kita tidak boleh
berlebih-lebihan terhadap fiqhul waqi’, dengan menjadikannya sebagai metode
bagi para dai dan pemuda dengan anggapan hal itu adalah jalan keselamatan,
sungguh ini adalah kesalahan yang nyata[18]. Apakah kita ingin agar manusia
sibuk dengan berita-berita koran, TV, radio, dan internet yang tidak jelas
keabsahan (keontentikannya)nya seraya melupakan kajian al-Qur’an dan hadits
yang sangat jelas keontetikannya?! Alangkah bagusnya ucapan seorang:
مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا
وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ
تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ
وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ
وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ
فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan
ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada al-Qur’an dan
Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan manusia.[19]
Mereka menggantinya dengan koran
Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan
kemunkaran
Dan juga Radio, jangan kamu lupakan
kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia
karenanya.[20]
Akhirnya, simaklah nasehat Syaikh
al-Albani rahimahullah tatkala berkata:
“Adapun menuding sebagian ulama atau
penuntut ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ dan tuduhan-tuduhan memalukan
lainnya, maka ini adalah kesalahan yang amat nyata, tidak boleh diteruskan,
karena hal itu termasuk mengolok-ngolok yang dilarang oleh Nabi dalam banyak
haditsnya bahkan diperintahkan untuk sebaliknya yaitu saling mencintai antar
sesama”.[21]
Simak juga nasehat Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah tatkala berkata:
“Sewajibnya bagi setiap muslim untuk
menjaga lidahnya dari ucapan-ucapan yang tidak pantas dan tidak berbicara
kecuali di atas ilmu. Menuduh bahwa si fulan tidak mengetahui realita adalah
membutuhkan ilmu, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh seorang yang memiliki
ilmu. Adapun asal menuduh begitu saja tanpa ilmu maka hal ini merupakan
kemungkaran yang besar”.[22]
Tuduhan Keempat
AL-ALBANI DAN FATWA PALESTINA
Fatwa ini sangat bikin heboh. Perhatikan
ucapan sebagian mereka: “Sebagian pakar menganggap fatwa al-Albani ini
membuktikan bahwa logika yang dipakai al-Albani adalah logika Yahudi, bukan
logika Islam, karena fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi
menguasai Palesthina. Mereka menilai fatwa al-Albani ini menyalahi sunnah, dan
sampai pada tingkatan pikun. Bahkan Dr. Ali al-Fuqayyir, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Yordania menilai bahwa fatwa ini keluar dari Syetan“.[23]
Untuk menjawab masalah ini, maka kami
akan menjelaskan duduk permasalahan fatwa Syaikh al-Albani tentang masalah
Palesthina ini dalam beberapa point berikut[24]:
1. Hijrah dan jihad terus berlanjut
hingga hari kiamat tiba.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan
kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu
Mekkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang
muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan
ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’I yang
dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa
dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama.
Inilah inti fatwa Syaikh al-Albani yang
seringkali disembunyikan!!
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam
Roudhatut Tholibin 10/282:
“Apabila seorang muslim merasa lemah di
Negara kafir, dia tidak mampu untuk menampakkan agama Allah, maka haram baginya
untuk tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya untuk hijrah ke negeri
Islam…”.
5. Apabila seorang muslim menjumpai
tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya dan
keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar
negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halaman
bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari
Negara ke Negara lainnya, demikian juga dari kota ke kota lainnya atau desa ke
desa lainnya yang masih dalam negeri.
Point ini juga banyak dilalaikan oleh
para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di
koran-koran bahwa Syaikh al-Albani memerintahkan penduduk Palesthina untuk
keluar darinya!!! Demikian, tanpa perincian dan penjelasan!!!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan
kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti
sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan.
Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya
kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut, atau ada halangan-halangan yang
menyebabkan dia tidak bisa hijrah, atau dia menimbang bahwa tempat yang akan
dia hijrah ke sana sama saja, atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya
lebih aman untuk agama, diri dan keluarganya, atau tidak ada tempat hijrah
kecuali ke negeri kafir juga, atau keberadaannya untuk tetap di tempat
tinggalnya lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat
atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya,
maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat
tinggalnya, semoga dia mendapatkan pahala hijrah. Imam Nawawi berkata dalam
Roudhah 10/282: “Apabila dia tidak mampu untuk hijrah, maka dia diberi udzur
sampai dia mampu“.
Demikian juga dalam kasus Palestina
secara khusus, Syaikh al-Albani mengatakan: “Apakah di Palesthina ada sebuah
desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan
aman dari fitnah mereka?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke
sana dan tidak keluar dari Palesthina, karena hijrah dalam negeri adalah mampu
dan memenuhi tujuan”.
Demikianlah perincian Syaikh al-Albani,
lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk
mengosongkan tanah Palesthina atau untuk menguntungkan Yahudi?!! Diamlah wahai
para pencela dan pendeki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari
kejahilan dan kezhaliman kalian!!.
9. Hendaknya seorang muslim meyakini
bahwa menjaga agama dan aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh al-Albani keliru
dalam fatwa ini, apakah kemudian harus dicaci maki dan divonis dengan
sembrangan kata?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah dan
kaidah?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia dapat dua pahala dan
satu pahala bila dia salah?! Lantas, seperti inikah balasan yang beliau
terima?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan
dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al Furqon, edisi 115, hlm. 19 bahwa
Syaikh al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi, hampir saja beliau
sampai ke Palesthina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin”.
Syaikh al-Albani sampai ke Palesthina
pada tahun 1948 dan beliau sholat di masjidil Aqsho dan kembali sebagai
pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam
bukunya berjudul “Rihlatii Ila Nejed”. (perjalananku ke Nejed).
Kami kira, keterangan singkat di atas
cukup untuk membungkat mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang
menuding dengan sembrangan kata[25]!! Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Lihat Silsilah ash-Shohihah (I/4 dan
II/17) oleh al-Albani.
[2] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 1/29
[3] HR. Al-Bukhori (no. 7) dan Muslim
(no. 160).
[4] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu
Abdil Barr 2/310
[5] Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnad Imam
Ahmad hal. 32-33
[6] Apakah setelah pujian ini, kita
percaya kepada ucapan para penyusun buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan
Kiai NU…” hlm. 241 bahwa Syaikh al-Utsaimin menilai al-Albani tidak memiliki
pengetahuan agama sama sekali!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari kebutaan
dan kejahilan!!!
[7] Lihat At-Ta’rif wa Tanbi’ah bi
Ta’shilatil Imam al-Albani fi Masailil IMan war Radd ‘alal Murjiah hlm.
A43-144, Ar-Raddul Burhani, Ali Hasan al-Halabi hal. 72-74 dan Al-Imam Al-Bani
wa Mauqifuhu Minal Irja’, Abdul Aziz ar-Rayyis hal. 40-43
[8] Lihat Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnul Jauzi hal. 67)
[9] Syaraf Ashabil Hadits hal. 142
[10] Hayah al-Albani 2/502
[11] Sebagaimana dikatakan oleh penulis
artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no.
1/Th. 1, Ramadhan 1427 H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah
oleh Ustadzunal Karim Aunur Rofiq bin Ghufron dalam Majalah Al Furqon edisi
5/Th. VI.
[12] Saya yakin bahwa para ulama yang
dituding tidak mengerti waqi’ semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani
dan sebagainya, justru mereka lebih mengerti tentang fiqhul waqi’ daripada para
pelontar tuduhan yang ngawur itu!! Barangsiapa membaca siroh perjalanan hidup
mereka, maka akan membenarkan ucapan saya.
[13] Lihat Sual wa Jawab Haula Fiqhil
Waqi’, al-Albani hlm. 34-35.
[14] Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Rabi
bin Hadi al-Madkholi: “Apabila sebagian kelompok mengaku bahwa mereka
mengetahui fiqhul waqi’, lantas mengapa mereka mencela kaum salafiyyin dan
mensifati mereka tidak mengerti waqi?! Bukankah kewajiban salafiyyin telah
gugur karena adanya sebagian kaum muslimin yang menunaikannya?! (Ahlul Hadits
Humut Thoifah al-Manshurah hlm. 92).
[15] Pembagian ulama waqi’ dan ulama
syari’at mengingatkan kita kepada pembagian kaum Sufi: Ulama syari’at dan ulama
hakekat untuk memisahkan manusia dari para ulama robbaniyyun. Ini adalah salah
satu dari sekian banyak dampak negatif dari salaf faham tentang fiqhul waqi.
Lihat secara panjang lebar dalam buku Fiqhul Waqi’ Baina Nadhoriyyah wa Tahtbiq
hlm. 44-60 karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[16] Idem hlm. 39-41
[17] Wujub Tho’athis Shulthon fi Tho’atir
Rohman -secara ringkas-, Muhammad al-’Uraini hlm. 44-45, dari Madarikun Nadhor,
Abdul Malik Romadhoni hlm. 199-200
[18] Idem. hlm. 48 dan 57.
[19] Siyar A’lam Nubala 18/206.
Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali
sebagaimana engkau lihat sendiri”.
[20] Mawarid azh-Zhom’an 3/4, Syaikh
Abdul Aziz as-Salman.
[21] Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’,
al-Albani hlm. 59-60.
[22] Majalah Robithah Alam Islami, edisi
313, dinukil dari Qowa’id fi Ta’amul Ma’a Ulama, Abdur Rahman Mu’alla
al-Luwaihiq hal. 108.
[23] Membongkar Kebohongan Buku Mantan
Kiai NU hlm. 244.
Faedah: Para penulis buku “Membongkar
Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” dalam hujatan mereka terhadap al-Albani banyak
berpedoman kepada buku “Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa
Ulama” karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri
oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid
beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali.
(Lihat Fatawa Ulama Akabir Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho’
Min Hayati Imamil Al-Albani Syaikh Abu Asma’ hlm. 88). Dengan demikian, jatuhlah
nilai hujatan mereka terhadap al-Albani dari akarnya. Alhamdulillah.
[24] Lihat As-Salafiyyun wa Qodhiyyatu
Falestina hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Ahadits ash-Shohihah no. 2857, Madha
Yanqimuna Minas Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqroh hlm. 21-24, al-Fashlul Mubin
fi Masalatil Hijrah wa Mufaroqotil Musyirikin, Husain al-Awaisyah, Majalah
Al-Asholah edisi 7/Th. II, Rabiu Tsani 1414 H.
[25] Syaikh al-Albani rahimahullah
mengatakan: “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh saudara yang mulia Muhammad bin
Ibrahim Syaqroh dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan
apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain
kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.
Tuduhan Kelima
AL-ALBANI BUKAN AHLI HADITS
Sebagian mereka mengatakan bahwa
al-Albani bukanlah ahli hadits dan tidak layak mendapat gelar al-Muhaddits,
apalagi terlihat bahwa beliau kadang-kadang berubah pendapat tentang
pendapatnya terhadap hukum hadits.
Jawaban:
1. Gelar “al-Muhaddits” untuk Syaikh
al-Albani bukanlah dari beliau, bahkan karena tawadhu’nya, beliau tidak ridha
dengannya[1]. Padahal beliau berhak mendapatkan gelar tersebut, sebab gelar
“al-Muhaddits” adalah untuk seorang yang menggeluti hadits secara riwayah dan
diroyah, dan banyak menelaah dan meneliti para perawi hadits dan riwayat
hadits. Adapun ucapan sebagian ulama bahwa mereka tidak menilai seorang itu
ahli hadits sehingga menulis dua puluh ribu hadits, maka maksudnya adalah pada
zaman mereka. Jadi, gelar tersebut dikembalikan kepada ‘urf zaman dan penilaian
ulama yang hidup pada zaman tersebut.[2]
2. Gelar tersebut dari para ulama Sunnah
dan para ahli hadits yang hidup sezaman dengannya seperti Syaikh Abdul Aziz bin
Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hammad al-Anshari; bahkan oleh
musuh-musuh beliau sendiri. Bahkan beliau mendapatkan piagam penghargaan Raja
Faishal atas jerih payahnya dalam hadits[3]. Cukuplah mewakili semua itu,
ucapan indah Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah tatkala membantah ucapan
Muhammad Ali ash-Shabuni bahwa al-Albani rahimahullah tidak pandai hadits, “Ini
merupakan kejahilan yang sangat dalam dan pelecehan yang keterlaluan, karena
kehebatan ilmu al-Albani dan perjuangannya membela Sunnah dan aqidah Salaf
sangat populer dalam hati para ahli ilmu. Tidak ada yang mengingkari hal itu
kecuali musuh yang jahil. Saya tidak mau memperpanjang bahasan, saya serahkan
hukumnya pada saudara pembaca.”[4]
3. Adapun adanya beberapa ralat beliau,
maka hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau dalam hadits, bahkan hal ini
mengangkat derajatnya, karena beliau tidak sombong kembali kepada kebenaran
sebagaimana beliau sendiri sering mengatakan, “Ilmu tidak mengenal kejumudan.”
Kemudian, kesalahan tersebut bila dibandingkan dengan jumlah hadits yang
dihukumi oleh al-Albani maka terhitung sedikit, karena hadits yang beliau
hukumi sangat banyak jumlahnya, puluhan ribu!
Tuduhan Keenam
AL-ALBANI MENGKAFIRKAN AL-IMAM AL-BUKHARI
Seperti tuduhan para penyusun buku
Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai…hlm. 242-243 dan para pengelola blog
Salafytobat yang menyatakan bahwa al-Albani mengkafirkan al-Imam al-Bukhari!
Jawaban:
1. Sunnguh, ini ada kedustaan yang sangat
keji! Bagaimana mungkin seorang yang dikenal memberantas pemikiran takfir[5]
(asal-asalan memvonis kafir) justru dituduh melakukannya. Renungkanlah kisah
yang diceritakan oleh muridnya, Dr. Basim bin Faishal al-Jawabirah
hafidzahullah, “Saya mengenal Syaikh al-Albani semenjak dua puluh tahun silam.
Saat itu saya masih di bangku Tsanawiyah (setingkat dengan SMA/Aliyah, pen.)
dan saat itu saya masih berpemilkiran seperti para pemuda lainnya yang
mengkafirkan kaum muslimin dan tidak mau shalat di masjid mereka dengan alasan
bahwa mereka adalah masyarakat jahiliyah.
Ketika Syaikh al-Albani rahimahullah
datang ke Yordania, beliau mengundang kami untuk berdialog di rumah menantunya,
maka kami pun berangkat memenuhi undangannya bersama guru kami yang takfiri
sehingga sampai ke rumah menantunya menjelang shalat Isya’. Setiba di sana,
salah seorang di antara kami mengumandangkan adzan. Setelah itu, Syaikh
al-Albani rahimahullah bertanya kepada kami, “Kami yang mengimami kalian
ataukah kalian yang mengimami kami?!” Guru takfiri kami menjawab, “Menurut
keyakinan kami, Anda adalah kafir!!” Syaikh al-Albani rahimahullah balik
menjawab, “Adapun menurut keyakinanku, kalian adalah muslim.” Setelah usai
shalat, berlangsunglah dialog. Sungguh mengherankan, dialog bersambung dan
diteruskan pada hari kedua di rumah salah seorang jama’ah takfir hingga menjelang
Shubuh, kemudian disambung lagi pada hari ketiga di rumah Syaikh al-Albani
sendiri sejak ba’da Isya’ hingga adzan Shubuh dikumandangkan. Setelah itu, saya
dan beberapa rekan berangkat bersama Syaikh Nashir untuk pergi menjalankan
shalat. Kami semua bertaubat dari pemikiran sesat itu kecuali segelintir orang
yang kemudian mereka menjadi murtad –na’udzubillahi-.[6]
2. Bagaimana mungkin Syaikh al-Albani
rahimahullah mengkafirkan al-Imam al-Bukhari,
padahal beliau sendiri selalu memujinya? Beliau menyifati al-Imam
al-Bukhari sebagai Imam Dunia[7], Amirul Muhadditsin (pemimpin ahli hadits)[8],
dan-admin Imam Muhadditsin[9]. Beliau juga berkata dalam kaset Man Huwa Kafir,
“Sesungguhnya al-Imam al-Bukhari tidak membutuhkan pujian orang, karena Allah
telah menjadikan kitab Shahih-nya pada tingkatan setelah al-Qur’an yang mulia
dan diterima oleh seluruh kaum Muslimin di setiap penjuru dunia yang notabene
berbeda-beda.”
3. Para penuduh tersebut menyandarkan
hujatan mereka tersebut dengan berpedoman kepada buku Fatawa Syaikh al-Albani
wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini
telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana
diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi,
Syaikh Salim al-Hilali, Syaikh Masyhur bin Hasan, dll.[10]
Tuduhan Ketujuh
AL-ALBANI TIDAK PUNYA GURU DAN
DIKELUARKAN DARI JAMI’AH ISLAM MADINAH
Sebagian kalangan mencela Syaikh
al-Albani dengan mengatakan bahwa beliau tidak memiliki guru, belajarnya hanya
otodidak saja sehingga banyak salah dan tersesat. Dan karena itulah dia
dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyyah Madinah.
Jawaban:
1. Seandainya kita membaca buku-buku
tentang biografi beliau, akan kita dapatkan bahwa di antara gurunya adalah
ayahnya sendiri Nuh, Syaikh Sa’id al-Burhani,Syaikh Ahmad al-Husani, dan beliau
mendapatkan ijazah sanad dari Syaikh Muhammad Roghib ath-Thobbakh (ahli hadits
dan sejarah dari kota Halab), riwayat-riwayatnya dalam kumpulan kitabnya Anwar
Jaliyyah fi Mukhtashar Atsbat Halabiyyah. Syaikh Ali Hasan hafidzahullah
setelah menyebutkan hal ini, beliau berkomentar, “Hal ini merupakan bantahan
kepada orang yang mengatakan bahwa al-Albani tidak punya guru.”[11]
2. Tidak disyaratkan seorang ulama harus
memiliki banyak guru. Bukankah ada juga para ulama dahulu yang gurunya tidak
terlalu banyak seperti Abu Umar al-Lakhmi dan Abdul Hayyi al-Laknawi[12]?!
Bukankah al-Albani belajar dari kitab-kitab ulama dan yang penting adalah
beliau di atas jalan yang benar sebagaimana diakui oleh ulama-ulama sunnah dan
tauhid yang hidup sezaman dengannya.
Demikian juga tidak disyaratkan memiliki
sanad, apalagi sanad pada zaman sekarang tidak betapa penting, karena tidak
mempengaruhi status hukum hadits[13]
3. Adapun tuduhan bahwa Syaikh al-Albani
dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyah Madinah maka ini hanya isu yang hanya
berpedoman pada gosip yang beredar. Apakah setiap gosip yang beredar itu pasti
benar? Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, salah seorang dosen Universitas Madinah
sejak awal berdiri, mengatakan bahwa Syaikh al-Albani keluar dari Jami’ah
karena habis kontrak kerjanya, bukan karena dikeluarkan!![14] Buktinya,
hubungan Syaikh al-Albani dengan Syaikh Bin Baz (rektor Jami’ah saat itu) dan
Syaikh al-Abbad baik-baik saja walaupun setelah keluar dari Jami’ah. Bahkan
Syaikh al-Albani berwasiat agar kitab-kitabnya diberikan ke Maktabah Jami’ah
Madinah.
Tuduhan Kedelapan
ALBANI MEMBID’AHKAN FIQIH MADZHAB
Sebagian ada yang menyatakan bahwa Syaikh
al-Albani telah membid’ahkan fiqih madzhab dan mempunyai paham anti madzhab dan
malah dituduh ingin meruntuhkan syari’ah Islam. Dan telah terjadi diskusi
antara Syaikh al-Albani dan Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam masalah ini.
Jawaban:
Syaikh al-Albani sendiri pernah ditanya
tentang tuduhan ini, lalu beliau menjawab menikul ucapan seorang penyair:
Ghoirii janaa wa ana al-mu’adzdzabu
fiikum
Faka annanii sabbaabatu al-mutanaddimi
Orang lain yang berbuat jahat tapi saya
yang kena getahnya
Seakan-akan diriku ini seperti jari orang
yang menyesali diri.[15]
Benar, orang yang mengenal Syaikh al-Albani pasti akan mengetahui bahwa ini adalah kedustaan terhadap beliau. Tatkala
beliau mengajak manusia untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan
pemahaman Salaf Shalih dan mengingkari
fanatisme madzhab, beliau dianggap mengeingkari madzhab, padahal inilah
metode yang dianjurkan oleh imam-imam madzhab sendiri, yaitu agar mengambil
al-Qur’an dan Sunnah, bukan fanatik atau taklid buta kepada imam tertentu.
Kesimpulannya, ini adalah tuduhan dusta. Bahkan, yang sebenarnya, beliau sangat
menghormati para imam madzhab semuanya tanpa pilih-pilih dan menganjurkan untuk
memahami ilmu dengan bantuan kitab-kitab ulama madzhab.[16]
Adapun buku Syaikh Dr. Sa’id al-Buthi
tentang masalah ini sudah dibantah oleh Syaikh al-Albani dan jawaban ringkas
terhadapnya. Sebenarnya masih banyak lagi tuduhan-tuduhan dusta lainnya tetapi
semoga dengan penjelasan ini kebingungan kita menjadi hilang. Aamiin ya Rabbal
‘alamin.
*dari Majalah Al Furqon, No. 114 Edisi 11
Th. ke-10, Jumada Akhir 1432 H hlm. 19-26.
[1] Lihat Sualat al-Halabi lisy Syaikh
al-Albani: I/75.
[2] Lihat Tadrib Rowi: I/37-38 oleh
as-Suyuthi dan Qoawa’id Tahdits hlm. 79 oleh al-Qosimi.
[3] Lihat secara luas dalam buku kami
Syaikh al-Albani Dihujat hlm. 71-82, set. Salwa Press.
[4] Lihat at-Tahdzir min Mukhtasharat
ash-Shabuni fi Tafsir hlm. 41
[5] Saya jadi teringat dengan kisah
seorang kawan di Emirat Arab kepada saya, dahulunya dia termasuk pemuda yang
menjadi korban pemikiran takfir sehingga dia mengkafirkan semua orang, sampai-sampai
dia mengatakan, “Negeri Arab lebih parah kafirnya dari pada Amerika dll. Karena
kafirnya negeri Arab adalah munafik sedangkan kafirnya Amerika adalah
terang-terangan.” Dia pun dengan dua kawannya akhirnya melakukan hijrah(!) ke
Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Namun takdir Allah memilih untuk
menunjukkan jalan yang benar baginya, tatkala dia membuka internet dan menyimak
penjelasan Syaikh al-Albani tentang pengkafiran, dia pun terbuka hatinya dan
akhirnya bertaubat dari pemikiran-pemikirannya. Semoga Allah menetapkan
langkahnya di atas jalan yang benar.
[6] Maqalatul Albani hlm. 214-215 oleh
Nuruddin Tholib
[7] Silsilah ash-Shahihah: IV/Y
[8] Ibid. III/H
[9] Ibid. VI/980
[10] Lihat Fatawa Ulama Akabir karya
Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho min Hayati Imam al-Albani
karya Syaikh Abu Asma’ hlm. 88 dan Ta’liq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman
terhadap kitab Aroul Imam al-Albani at-Tarbawiyyah hlm. 36 oleh Iyad asy-Syami.
[11] Ma’a Syaikhina hlm. 6
[12] Sebagaimana dalam Buhyatul Multamis
hlm. 184 dan al-Imam Abdul Hayyi al-Laknawi Allamatul Hindi hlm. 94
[13] Lihat al-Intishar li Ash-habil
Hadits hlm. 176 oleh Dr. Umar Bazmul dan Tabriatul Imam Muhaddits hlm. 84 oleh
Dr. Ibrahim ar-Ruhaili
[14] Lihat ar-Radd ‘ala Rifa’i wal Buthi
hlm. 79 dan Tabriah Imam Muhaddits hlm. 86 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili
[15] Lihat bait ini dalam al-Idhoh fi
Ulum Balaghah oleh al-Qozwini: I/211
[16] Lihat lebih luas kitab al-Manhaj
Salafi ‘inda Syaikh al-Albani hlm. 250-257 oleh Syaikh Amr Abdul Mun’in dan
as-Salafiyah oleh Syaikh al-Albani hlm. 137-141