Thursday, March 28, 2019

Mengenal Hakekat Jatidiri Seseorang. Dakwah Rasul, Mencabut Jahiliyah Sampai Ke Akarnya.



Al-Manhajus Salaf telah menjelaskan dalam Islam ini cara² untuk mengenal jati diri & hakekat yang ada pada diri seseorang seraca umum, yakni mengenalnya berdasarkan apa yang ia tampakkan secara zhahir, baik melalui ucapannya maupun dengan perbuatannya.

Diantaranya adalah:

Lihatlah Bagaimana Awal Pertumbuhan Dan Belajar Seseorang.

Jika awal pertumbuhannya bersama Ahlussunnah maka bisa diharapkan darinya kebaikkan² yang banyak, dan jika sebaliknya maka yang sering terjadi adalah musibah sehingga tidak lagi diharapkan kebaikkan darinya.
Amru bin Qais al-Mulaiy rahimahullah berkata:
 “Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah, harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” [Al-Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518].
Ia juga mengatakan:
  “Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
  “Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” [Al-Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77]
Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab al-Khurasaniy berkata:
 “Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” [Al-Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash-Shughra 133 nomor 91 dan al-Lalikai 1/60 nomor 31]
Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata:
 “Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” [Al-Lalikai 1/60 nomor 30].

Lihatlah Pertemannya, Dengan Siapa Dia Berjalan, Ke Mana Tempat Masuk Dan Keluarnya, Siapa Tokoh Yang Dia Nukil Ucapannya, Yang Dibela Dan Dipujinya.

Jika dia berteman, berkumpul, memuliakan & membela Ahlussunnah, maka dia termasuk Ahlussunnah bi idznillah. Namun jika berteman, berkumpul, memuliakan & membela ahli bid'ah, maka itu menunjukkan dia sejenis (memiliki kasamaan) dengan temannya atau tokoh ahli bid'ah tersebut -wal'iyyadzubillah-.
Menilai seseorang dengan melihat pertemanannya
Abu Hurairah berkata, Rasulullah [ ] bersabda:
 “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” [As-Shahihah, 927]
Ibnu Mas’ud berkata:
  “Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” [Al-Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah al-Baghawi 13/70]
Dan ia berkata:
  “Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” [Al-Ibanah 2/476 nomor 499].
Beliau melanjutkan:
  “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” [Al-Ibanah 2/477 nomor 501].
Beliau juga berkata:
 “Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” [Al-Ibanah 2/479 nomor 509-510].
Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda:
 “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” [Al-Ibanah 2/480 nomor 514].
Perhatikanlah ke mana tempat masuknya (tempat yang dituju) & kepada siapa yang berkunjung.
Abu Darda mengatakan:
"Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” [Al-Ibanah 2/464 nomor 459-460]
Musa bin Uqbah ash-Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata:
 “Perhatikan di mana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” [Al-Ibanah 2/479-480 nomor 511]
Al-A’masy mengatakan:
 “Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” [Al-Ibanah 2/476 nomor 498].

Sebuah Pertemanan Menjelaskan Kesepakatan & Keserupaan Dengan Orang Yang Dia Pilih Menjadi Temannya

Qatadah berkata:
 “Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” [Al-Ibanah 2/477 nomor 500].
Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya:
 “Seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai.” [Al-Ibanah 2/452 nomor 419-420].
Utbah al-Ghulam berkata:
 “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” [Al-Ibanah 2/437 nomor 487].
 Rasulullah [  ] bersabda:
 “Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” [HR. al-Bukhary 3158 dan Muslim 2638].
Al-Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata:
 “Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” [Lihat Ar-Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni al-Banna].
Ibnu Mas’ud berkata:
 “Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”

 Ketahuilah Adanya Kebid'ahan Pada Diri Seseorang Dengan Melihat Pertemanan & Ulfahnya Kepada Ahli Bid'ah

Al-Auza’iy berkata:
 “Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” [Al-Ibanah 2/476 nomor 498].
Beliau juga berkata:
 “Barangsiapa yang tertutup dari kami kebid'ahannya, maka tidak akan tersamarkan dari kami ulfahnya (kecondongan hatinya / kecintaannya).” [Kitabu Rodi 'alal Mubtadi'ah, 181, -red]
Muhammad bin Abdullah al-Ghalabiy mengatakan:
“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” [Al-Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518].

 Manhaj Salaf Dalam Menghukumi Orang Yang Berteman & Bermajelis Dengan Ahli Bid'ah.

Ayyub As-Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata:
 “Kemarilah –kepada– temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” [Al-Ibanah 2/478 nomor 503].
Ibnu Aun mengatakan:
 “Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” [Al-Ibanah 2/273 nomor 486].
Ketika Sufyan Ats-Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata:
 “Ia bertanya apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi:
 “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab:
 “Qadary.”
Beliau berkata:
 “Berarti ia seorang Qadariy.” [Al-Ibanah 2/453 nomor 421]
Ibnu Baththah berkata:
 “Semoga Allah merahmati Sufyan Ats-Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan al-Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah,
Allah berfirman:
 “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” [QS. Ali Imran : 118]
Imam Abu Daud as-Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab:
 “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, ‘Seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya’.” [Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216]
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
 “Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah) –dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka– kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” [Al-Majmu’ 2/133]
Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku:
 “Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia (telah) binasa.” [Al-Kifayah 91, Syarh Ilal At-Tirmidzy 1/349

Dakwah Rasul, Mencabut Jahiliyah Sampai Ke Akarnya

Rombongan umat Islam yang berlindung ke Habasyah dihadapkan kepada Najasyi, raja Habasyah. Sang raja duduk di singgasananya didampingi Amru bin ‘Ash di sebelah kanannya, ‘Ammarah di sebelah kirinya dan beberapa pemuka kerajaan duduk diam terpaku menyaksikan peristiwa yang terjadi. Selesai bermajelis, beberapa pemuka kerajaan berkata, “Sujudlah kalian kepada raja!” Ja’far bin Abi Thalib menyahut, “Kami tidak bersujud selain kepada Allah.”
Betapa besarnya jiwa sahabat yang dididik oleh guru terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Moralnya begitu tinggi, jiwanya tidak bisa dibeli, mata mereka tidak silau dengan kemewahan dunia dan kehormatan-kehormatannya. Apa yang dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sehingga punggung mereka tidak bisa tertunduk kecuali kepada Rabbul ‘Alamin?

Melepaskan Pangkal Kejahiliyahan

Revolusi iman yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan revolusi yang paling ajaib dalam sejarah manusia. Ajaib dalam segala hal, ajaib dalam kecepatannya, ajaib dalam cakupannya yang menyeluruh, ajaib dalam kejelasan konsepnya yang mudah dipahami. Terlebih dalam masalah sifatnya yang mendalam, seperti sahabat yang pernah berzina, karena dorongan batinnya, ia rela melaporkan dirinya sendiri kepada beliau supaya dirajam.
Sungguh kondisi yang terbalik daripada saat mereka masih jahiliyah, keyakinannya tentang Tuhan hanya sebatas pencipta langit dan bumi. Keyakinannya tentang Tuhan sangat kabur dan samar, tidak menimbulkan rasa takut dan cinta. Sehingga agama tidak lebih dari sebuah tradisi, tidak ada urusan dengan perbuatan manusia.

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ

“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154)
Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah menyerukan iman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Dakwah dilakukan secara terus menerus, apa adanya, tanpa dipoles-poles, tanpa merasa rendah dan tidak pilih-pilih orang. Beliau memandang bahwa dakwah seperti ini merupakan obat bagi setiap penyakit masyarakat.

Setelah mendengar seruan untuk beriman kepada Allah, mereka merasa pengap hidup dalam kubangan Jahiliyah. Hati merasa resah dan gelisah seolah tak ada yang bisa melegakan dadanya selain beriman kepada Allah dan Rasul-nya.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nur : 39)

Dakwah yang apa adanya itu berhasil menyentuh jantung kejahiliyahan. Terbukti mereka selalu menghalang-halangi, mengintimidasi dan menindas siapa saja yang menerima dakwah beliau. Namun hal itu justru semakin menambah kesetiaan terhadap agama Islam dan menguatkan kebencian terhadap kekufuran. Semangat Islamnya berkobar, sehingga mereka keluar dari cobaan itu laksana pedang yang habis diasah.

Dalam kondisi semangat untuk membalas kedzaliman, beliau justru menyibukkan umat Islam dengan perintah membaca al-Qur’an dan mendirikan sholat. Karena tujuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjauhkan umat Islam dari kebiasaan Jahiliyyah sejauh-jauhnya. Sehingga mereka tidak tergesa-gesa, tidak pendendam, tidak tenggelam dalam nafsu dan mampu lapang dada. Mereka kembalikan perintah berperang kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan nafsu dan hasrat duniawi lainnya. Sehingga terputuslah jantung dan pangkal kejahiliyahan dari diri mereka, yaitu syirik dan kufur.

Allah Tujuan Utama

Setelah berhasil mengalahkan pangkal kejahiliyahan, mereka terus mengalami kemenangan-kemenangan. Hal ini tidak lain karena ketinggian iman mereka kepada Allah. Sehingga mereka tidak berambisi terhadap duniawi, hanya Allah tujuan mereka.

Ketika Allah menjadi tujuan mereka, benar-benar gemerlap dunia tidak ada artinya bagi mereka. Lihatlah Rib’i bin Amir yang diutus untuk menemui Rustum ketika perang Qadisiyah. Rustum yang dihias dengan kemewahan, kasur sebagai alas duduknya, permadani sutera, batu-batu permata dan mutiara besar dan mahal bertebaran di ruangannya. Rib’i bin Amir turun dan menambatkan kudanya di dekat bantal-bantal sambil menenteng pedang. Orang-orang menegurnya, ia membalas :

ني لم آتكم وإنما جئتكم حين دعوتموني فإن تركتموني هكذا وإلا رجعت

“Aku datang kemari tidak lain hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang, biarkan aku dalam keadanku, seperti ini, atau kalau tidak , aku akan pulang.” Akhirnya, Rib’i bin Amir menghadap Rustum, membawa tombak masuk hamparan karpet merah. Seketika itu pula karpet terkoyak-koyak.  (al-Bidayah wan Nihayah, 7/40)

Ketika umat Islam berhasil memasuki kota Madain dan mengumpulkan barang-barang ghanimah yang sangat banyak, belum pernah mereka lihat sebelumnya. Seseorang bertanya kepada Amir bin Abi Qois, “Apakah engkau telah mengambil sesuatu?” Ia jawab :
أما والله لو لا الله ما أتيتكم به

“Demi Allah, kalau bukan karena Allah, barang ini tidak akan kuserahkan kepada kalian.” (Tarikh ath-Thabari, 4/16)

Iman ini benar-benar memberikan kekuatan kepada umat Islam. Iman kepada akhirat melahirkan keberanian yang luar biasa. Seperti Umair bin al-Hamam al-Anshari pada saat perang Badar, mendengar Rasulullah bersabda, “Berangkatlah menuju surga seluas langit dan bumi!” Kemudian Umair mengeluarkan bekal kurma dari kantongnya, memakannya beberapa buah dan berkata :
لئن أنا حييت حتى آكل تمراتي هذه إنها لحياة طويلة

“Jika aku menghabiskan kurma ini, akan terlalu lama aku hidup.” Ia buang sisa kurmanya, segera maju ke medan laga dan bertempur hingga syahid. (HR. Muslim)

Sungguh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah merubah masyarakat Jahiliyah menjadi terhormat di mata dunia. Melalui metode yang tepat, yaitu diawali dengan mencabut kejahiliyahan dari akarnya. Setelah hati bersih dari jahiliyah, maka ia ibarat tanah yang siap ditanami padi, beliau menanamkan iman terlebih dahulu. Setelah itu, memerintahannya untuk sibuk dengan al-Qur’an dan mendirikan sholat. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Zamroni
Editor: Arju