Thursday, June 20, 2019

Ulama Aceh Dan Ulama Nusantara Masa Lalu, Beriman Allah Bersemayam Di Atas ‘Arsy.

Hasil gambar untuk ALLAH DI ARSY

Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur”(II/123), Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, Tafsir Turjuman Al-Mustafid, qadhi Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri. Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama no wahid sebumi Aceh menjelaskan dengan gambling bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Maksudnya ialah bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan bersemayamnya makhluk di atas singgasananya. Karena memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat  akan segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada (II/193). Sebetulnya ulama-ulama masa silam Aceh yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Salafiyyah tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir. Namun sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu bahasa sekalipun.”

Nasihat untuk Ahlus Sunnah Aceh dan Seluruh Negeri (Disertai Jawaban Ilmiah Atas Fatwa Sesat dari MPU Aceh)
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi? Tunjukkan!
Apakah Para Ulama Atjeh Yang Mengumandangkan Perang Sabil Melawan Penjajah Belanda Adalah PARA ULAMA WAHABI??
Fatwa MPU Aceh No. 9 Tahun 2014 Terkait Manhaj Salaf Tampak Janggal Dan Terkesan Tidak Ilmiyyah, Bertentangan Dengan Dalil Alquran Dan Sunnah. Berseberangan Dengan Fatwa Yang Pernah Dikeluarkan Oleh MUI Jakarta Utara Tentang Salafi. Tidak Jujur Menyalin/Memahami Manhaj Salaf Dari Tokoh-Tokoh Salafi Aceh, Dilakukan Tanpa Proses Peradilan Di Mahkamah Syar’iyah Dan Terkesan Ada Vested Interested.
Tambahan Artikel (Dibawah)
Tuhan itu Bertempat Tinggal (aqidah Muhammadiyah dalam fatwa Tarjih)
Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?
Dimana Allah??? (Bantahan terhadap pemahaman yg mengatakan Allah dimana-mana atau Allah Ada Namun Tak Bertempat & Tak Berarah)

Lebih lanjut Ash-Shiddieqy menjelaskan dalam Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur”(II/123), “Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, menurut keadaan yang Allah sendiri lebih mengetahui, serta  keadaan itu suci dari menyerupai keadaan makhluk. Pernah ditanya kepada Malik tentang makna istiwa’=bersemayam, berketetapan. Maka beliau menjawab, ‘Menurut bahasa istiwa itu terang. Bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy, kita tidak dapat mengetahuinya. Menanyakan tentang bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy adalah bid’ah.’ Demikian pendapat sahabat dan ulama salaf (klasik).
Ulama salaf menerima hal tersebut dengan tidak menjelaskan begini dan begitu, dan tidak menyerupakan keadaan itu dengan keagaan makhluk. Mereka menyerahkan hal itu kepada Allah sendiri.
Adapun Asy’ariyah menakwil (baca: mentahrif/mengobah) makna itu dengan menyatakan bahwa sesudah menciptkan langit dan bumi, Allah mengatur segala urusan yang berkaitan dengan itu dan menentukan sistemnya menurut takdir dan hikmah yang telah ditentukan.”
Berkaitan dengan penjelasan ayat-ayat istiwa di atas, selain Ash-Shiddieqy sebagai pemberi penjelasan yang sesuai dengan pemahaman Salaf Shalih yang mewakili ulama-ulama Nusantara, ternyata ada pula ulama yang jauh hidup dari zamannya yang juga telah terlebih dahulu menjelaskan kepada masyarakat bahwa Allah berada di atas langit, bukan di mana-mana. Beliaulah adalah

Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, qadhi Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri.
Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya persilakan Anda mendengarkan penjelasan beliau dalam Tafsir Turjuman Al-Mustafid.
Pertama, pada (I/209) beliau mengatakan, “Bahwasanya Tuhan kamu, Allah, yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada sekira-kira enam hari daripada segala dunia. Kemudian, maka tetap Ia atas ‘Arsy dengan tetap yang patut dengan Dia.”

Kedua, pada (I/250) beliau megatakan, “Allah Ta’ala jua yang mengangkatkan tujuh petala langit dengan tiada tiang yang kamu lihat akan dia. Kemudian dari itu, maka disahjanya atas ‘Arsy dengan sahaja yang patut dengan dia dan dimudahkan-Nya matahari, dan bulan adalah tiap-tiap suatu dari keduanya pada peredarannya  datang kepada hari kiamat.”
Ketiga, pada (II/21) beliau menulis, “Yang menjadikan bumi dan tujuh petala langit yang tinggi itu, yaitu Tuhan yang bernama Rahman atas ‘Arsy tetap Ia dan yaitu dengan tetap yang berpatutan dengan Dia.”
Keempat, pada (II/74) beliau menuturkan, “Ia jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya pada sekira-kira enam hari dunia. Kemudian maka yaitu Tuhan yang bernama Rahman itu atas ‘Arsy dengan nyata yang laik (baca: layak) dengan Dia.”
Kelima, pada (II/124) beliau menjelaskan, “Allah Ta’ala jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya di dalam enam hari. Pertama menjadikan itu hari Ahad dan akhirnya hari Jum’at. Kemudian dari itu, maka tetaplah Ia dan nyata atas ‘Arsy dengan nyata yang berpatutan dengan Dia.”
Keenam, pada (II/247) beliau menulis, “Ia jua Tuhan yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada enam hari daripada segala hari dunia . Awal harinya Ahad dan akhirnya Jum’at. Kemudian dari itu, maka Ia mengrasa Ia dan nyata Ia atas Kursi dengan yang berpatutan dengan Dia.”
Ketujuh, pada (I/158) beliau pun menulis, “Bahwasanya Tuhan Kamu itu Allah yang telah menjadikan tujuh petala langit dan bumi di dalam enam hari daripada segala hari dunia. Kemudian maka diqashad-Nya atas ‘Arsy-Nya.”
Ringkasnya, Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama no wahid sebumi Aceh menjelaskan dengan gambling bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Maksudnya ialah bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan bersemayamnya makhluk di atas singgasananya. Karena memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat  akan segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada (II/193).
Apa yang dipaparkan di atas ini sekaligus sebagai bantahan tajam terhadap kaum bid’ah yang bersembunyi di balik nama mulia Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada hakekatnya berfaham sekte Asy’ariyyah atau Asya’irah. Padahal Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri berlepas diri dari mereka yang menisbatkan diri kepada beliau.  Sebab pernyataan beliau dalam Al-Ibadah (II/105-113). Sedangkan para ahli bid’ah Asy’ariyyah dan sekte-sekte yang sepaham dengan mereka dari kalangan Muktazilah dan lainnya berpendapat bahwa Allah Ta’ala tidaklah berada di atas ‘Arsy! Artinya Allah tidak berada di atas. Lalu di manakah? Di antara mereka ada yang menegaskan bahwa Allah berada di mana-mana. Sehingga menurut mereka Allah berada di tempat-tempat yang baik dan juga di tempat-tempat yang kotor sekalipun yang lisan saja enggan mengucapkannya! Padahal mereka sendiri sedikit pun tidak mau bertempat di tempat-tempat yang kotor. Mereka pastilah lebih memilih di tempat-tempat yang bersih dan baik. Namun ketika mereka berbicara tentang Allah, mereka katakana, “Allah ada di mana-mana!”
Subhanallah, Mahasuci Allah dari segala yang mereka katakana tentang Allah. Kita hanya mengatakan pada mereka:
تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ
“Kalau begitu, pembagian semacam itu tidak adil alias curang!” [QS An-Najm: 22]
Ini sama seperti sikap orang-orang musyrikin yang malu memiliki anak perempuan sehingga mereka tega mengubur mereka hidup-hidup. Namun ketika mereka bicara tentang Allah, mereka katakana bahwa Allah memiliki anak-anak perempuan, yaitu para mailakat! “Kalau begitu, pembagian semacam ini curang!”
Sebagian ahli bid’ah pula ada yang mengatakan tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana kawan sejawat mereka sebelumnya yang mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa Allah tidak layak dikatakan apakah di atas, di bawah, atau di arah tertentu yang diketahui manusia. Bahkan mereka katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam atau di luar alam semesta!

Salah seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak, pernah terjebak debat terkait masalah ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang sekaligus panglima perang terkenal bernama Mahmud bin Subuktikin. Di antara yang dikatakan Ibnu Faurak ialah, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di atas, tidak pula di bawah, tidak pula di kanan, dan tidak pula di sebelah kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak ada!” [Majmu’ Al-Fatawa (III/37)]
Sebagaian ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu Faurak inilah sosok di balik semakin runyamnya akidah Asy’ariyyah. Sebab sekte Asy’ariyyah generasi awal masih meyakini Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di mana-mana apalagi seperti keyakinan Ibnu Faurak di atas. Namun setelah Ibnu Faurak memodifikasi ‘aqidah Asy’ariyyah, pengikut sekte ini di kemudian hari justru lebih mengikutinya daripada mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri selaku ‘pendiri’ sekte Asy’ariyyah ini.
Kemudian kenyataan di atas bahwa dua ulama senior Aceh yang bahkan salah satunya qadhi atau mufti Kerajaan Aceh yang masyhur itu sebagai tamparan keras untuk mereka-mereka kalangan Ahlul Bida’ wal Ahwa’ yang akhir-akhir ini mulai menampakkan kedunguan serta kebodohan mereka dengan cara membubarkan dan memporak-porandakan setiap kajian yang jauh-jauh hari didakwahkan oleh pembesar ulama Aceh di atas. Sehingga amat sangat disayangkan sekali manakala orang-orang yang hanya berbekal semangat tanpa sedikit pun mengerti apa sebetulnya corak Islam yang mewarnai bumi rencong itu. Kebodohan tersebut jelas-jelas terlahir lantaran malasnya belajar dan membaca peninggalan-peninggalan intelektual ulama mereka sendiri. Ahlul Bida’ wal Ahwa’ tersebut justru lebih suka mengadopsi faham-faham asing yang diseludupkan ke dalam ajaran agama Islam. Sehingga wajarlah apabila mereka justru mendurhakai ‘orangtua kandung’ mereka sendiri, dan malah lebih berbakti mentaati ‘orangtua angkat’ yang datang tiba-tiba!
Sebetulnya ulama-ulama masa silam Aceh yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Salafiyyah tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir. Namun sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu bahasa sekalipun.”

Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani menulis dalam Sullam Al-Mubtadi fi Ma’rifah Thariqah Al-Muhtadi hlm. 3 menurut cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Mesir yang dicoppy oleh Maktabah Bin Hullabi Pattani Thailand atau hlm. 7 menurut cet. Al-Hidayah Selangor:
“Maka adalah Ia sekarang seperti adaNya dahulu jua sebelum lagi diadakan kaun (baca: alam semesta) ini dan tiada adaNya itu dilalu atasNya zaman dan tiada meliputi pada makan (tempat), bersemayam di atas ‘Arsy bersamaan yang berpatutan dengan kebesaran-Nya seperti barang yang dikehendaki-Nya. Dan tiada mengambil akan Dia oleh mengantuk dan tidur.
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada barang yang dikata oleh orang yang zalimun. Adalah Ia Tuhan yang amat ketinggian-Nya dana mat kebesaran-Nya.”

Syaikh Muhammad Sa’id bin ‘Umar Kedah mengemukakan dalam tafsirnya yang bertajuk Nur Al-Ihsan pada ayat dalam Surat Thaha, “Ialah Tuhan ar-Rahman itu atas ‘Arsy bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka ‘Arsy pada logat itu tempat duduk raja. Ini jalan Salaf. Maka jalan khalaf makna istiwa itu memerintah.”
Sedangkan pada tafsir ayat dalam Surat Al-Furqan beliau mengatakan pula, “Kemudian bersamaan atas ‘Arsy oleh Tuhan Ar-Rahman akan sebagai bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka makna ‘Arsy pada logat kursi raja. Dan dikehendaki di sini jisim yang besar yang meliputi dengan alam atas tujuh lapis langit.”

Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib Al-Indonesi Al-Mandili, ulama Masjidil Haram asal Mandailing Indonesia, mengemukakan dalam Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah yang berjudul Perisai Bagian Sekalian Mukallaf, “Dan bagi-Nya[1] tangan tiada seperti tangan hamba-Nya, dan baginya muka sabagai muka yang patut padanya dengan dia, dan bershifat ia dengan istiwa’ tetapi tiada seperti istiwa’ yang baharu.
Bertanya seorang laki-laki akan Imam Malik daripada ayat:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Artinya, “Bermula Tuhan yang sangat pemurah tetap ia di atas ‘Arsy.”
Maka menundukkan Imam Malik kepalanya pada masa yang panjang kemudian berkata ia, “bermula ‘tetap’ itu diketahui akan dia, dan kelakuannya tiada dapat dengan akal, dan beriman dengan dia wajib, dan bertanya daripadanya bid’ah. Dan tiada aku sangka akan dikau melainkan sesat.”
Maka menyuruh oleh Imam Malik dengan menghalau laki-laki yang bertanya itu,maka dihalau akan dia.
Pendeknya, shifat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan shifat makhluk, seperti dzat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan dzat baharu. Dan tiada mengetahui oleh makhluk  akan hakikat shifat Allah ta’ala sekalipun rasul dan malaikat. Seperti tiada mengetahui oleh yang baharu akan hakikat dzat-Nya yang Maha Mulia. Dan kita serahkan akan hakikatnya kepada Allah Ta’ala serta kita i’tiqadkan bahwasannya segala shifat itu semuanya shifat kesempurnaan yang laik dan patut padan dengan kebesaran-Nya, seperti firman-Nya:
Artinya, “Tiada seumpama-Nya sesuatu dan Ia jua yang sangat mendengar lagi sangat melihat.”[2]
Dan firman Allah Ta’ala:

Artinya, “Bersabda olehmu, hai Rasulullah, bermula Tuhan aku yang kamu bertanya daripada-Nya Allah Ta’ala, Tuhan yang Maha Esa. Dan Allah Ta’ala itu Tuhan yang diqasad pada segala hajat selama-lamanya, tiada ia beranak dan tiada diperanakkan, dan tiada ada seorang yang menyamai dan sama tara dengan dia.”[3] Wallahua’lam.”
Selesai kutipan dari Al-Mandili.

Prof. Dr. ‘Abdul Malik [bin] ‘Abdul Karim Amrullah yang akrab disapa Buya HAMKAturut pula menjelaskan dalam Pelajaran Agama Islam hlm. 49, “Tuhan telah menunjukkan sifat-sifat di dalam sabda yang disampaikan-Nya kepada Nabi-Nya. Sepintas lalu seakan-akan serupa sifat itu dengan sifat makhluk-Nya. Misalnya melihat, mendengar, berkata, hidup, dan lain-lain. Tetapi bila dijalankan fikiran selangkah lagi, akan kenyataanlah bahwasanya sifat itu mesti berbeda keadaannya. Persamaan adalah mustahil. Bagaimanalah akan sama sifat yang dipunyai oleh zat Yang Maha Besar, dengan sifat yang dipunyai oleh zat yang terjadi hanyalah karena izin dari Yang Maha Besar itu. Kadang-kadang kita hendak tahu benar bagaimana perbedaan sifat itu. Padahal terlalu banyak hijab atau dinding yang membatasi kita di dalam jalan hendak menyelidiki dan memngupas hakikat itu. Jangankah mengetahui perbedaan  sifat Dia dengan sifat alam, sedangkan alam itu sendiri belum lengkap kita ketahui, dan yang kita dapat hanya sejumput kecil saja. Jangan hakikat alam itu yang kita ketahui, sedang hakikat diri kira sendiri pun adalah satu perkara besar.
“Maka kalau dikatakan Tuhan Allah bersifat mendengar, bukanlah artinya pendengaranNya itu sama dengan pendengaran kita yang memakai telinga macam ini. Kalau Dia melihat bukanlah artinya alat penglihataNya adalah mata sebagai mata kita yang diberikanNya ini. Kalau Dia berkata tidaklah Dia berlidah dan bermulut sebagai kita. Dia membina langit, Dia menghamparkan bumi, Dia duduk di Arsy, dan lain-lain sebagainya. Semuanya itu tidaklah serupa dengan yang kita pikirkan atau terdapat dalam kebiasaan kita. Kalau Dia berkata bahwa Dia bertangan yang terletak di atas tangan kita, bukanlah Dia beranggota tubuh sebagai anggota tubuh kita ini. Alhasil, sifat alam yang dijadikan oleh Tuhan tidaklah serupa dengan sifat Tuhan, sebab Tuhan bukan alam dana lam bukan Tuhan. Bertengkar-tengkar dan kadang-kadang mengambil tempo berlama-lama, sampai berpisah kepada beberapa firkah dan mazhab diantara ahli-ahli fikir islam membicarakan sifat-sifat Tuhan itu, tentang Dia memandang dengan mataNya, Dia bertangan, Dia duduk di atas Arsy, Dia turun ke langit pertama di pertiga malam dan lain-lain.”
Buya HAMKA juga mengemukakan dalam Tafsir Al-Azhar (VIII/366) dalam kutipannya dari Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’i yang merupakan guru daripada Imam Al-Bukhari, yang tengah membahas tafsir ayat ke-54 dari Surat Al-A’raf “Dalam sifat Allah tentang diri-Nya, atau diterangkan oleh Rasul-Nya, tidaklah terdapat perserupaan dengan makhluk. Maka barangsiapa yang mengakui apa yang tersebut dalam Nash yang demikian jelasnya di dalam Al-Quran dan demikian pula dari kabar-kabar (Hadits) yang shahih, menurut keadaan yang layak bagi Kemuliaan Allah, serta menafikan daripada Allah segala kekurangan, maka orang itulah yang telah berjalan di atas garis petunjuk yang benar.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya, ‘Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi Mazhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah mazhab Salaf yang shahih, yaitu Imam Malik, dan Al-Auza’i, dan Al-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’d. dan Asy-Syafi’i, dan Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih, dan ulama-ulama ikutan kaum muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa, dan tidak pula menyerupakan-Nya, dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat. Dan segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah, sebab tidak ada makhluk yang menyerupai Allah. Tidak sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia adalah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.”
Selesai kutipan dari Buya HAMKA.

Drs. Bakri Syahid, rektor IAIN Jogjakarta, dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim “Al-Huda”ketika menafsirkan ayat ke-5 dari Surat Thaha berkata, “Panjenenga-Ne Pangeran kang  Maha Murah, kang pinarak siniwaka ana ing sadhuwure ‘Arsy.”
Selanjutnya beliau menerangkan lagi, “Kodos pundi tehnis pinarakipun Gusti Allah ing sanginggiling  ‘Arsy punika kawontenan ghaib, boten saged kekantha-kantha. Bab punika kuwajiban kita iman serta yakin bilih Kaagunganipun Allah serta Kesucianipun  trep kalayan anggenipun Maha Kawasa Murbeng – Jagad pinarak siniwaka ing ‘Arsy ingkang Agung.”
Pada tafsir ayat ke-54 dari Surat Al-A’raf, beliau juga berkata, “Sanyata Pengeranira iku Allah kang wus anitahake Langin lan Bumi sajeroning mangsa nem dina, tumuli PanjenengaNe lenggah ana ing ‘Arsy.”

Bey Arifin, ulama penulis Surabaya asal Sumatera Barat, ketika akan menjawab pertanyaan tentang “dimanakah Tuhan atau Allah itu ?”, Beliau menjelaskan terlebih dahulu sebuah “kaidah umum” dalam memahami nash-nash yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah sebagai berikut,
“Sebelum menjawab pertanyaan ini, agar jangan timbul kekeliruan perlu kita ingatkan kembali akan apa yang kita tetapkan tentang (sifat-sifat, atribut-atribut, dan ketentuan-ketentuan) Allah menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang shahih.”
“Bahwa kita tetapkan dan yakinkan (imani) bahwa Allah itu ada, tidak membutuhkan tempat, Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, Maha Kekal tak berawal dan tak berakhir, berbeda dengan segala makhluk, tak ada persamaan dan bandingannya, Maha Kuasa menciptakan segala dan memberi bentuk, mengendalikan dan mengatur seluruh alam, Maha Mendengar, Melihat dan Mengetahui, tak satu pun di langit dan di bumi, yang bagaimana halusnya yang tersembunyi dari penglihatan, pendengaran, dan pengetahuan-Nya.”
“Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, suci dari segala kekurangan dan kesalahan, mempunyai Nama-Nama Yang Baik. Bagi-Nya ketinggian, pujian, dan sanjungan, berkedudukan di Arasy yang tak dapat dibayangkan dengan khayal, tidak terbatas dengan batas apapun, tak dapat dicapai dengan ilmu (akal atau faham), kecuali sekedar apa yang diajarkan-Nya dengan perantaraan Kitab-Kitab Suci-Nya dan para Rasul-Nya.”
“Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Ia. Yang hidup, Yang Berdiri mengendalikan segala yang ada, Maha Suci, Maha Besar, Maha Halus (teliti), Maha Pengasih, Penyayang, Berkata-kata, Berkehendak, Menciptakan apa saja yang Ia kehendaki, Mengambil dan Memberi, Suka dan Benci, Cinta dan Marah, Gembira dan Ketawa, Menyuruh dan Melarang, Mempunyai Wajah yang mulia, Telinga yang mendengar, Mata yang melihat, Dua Tangan dan dua genggaman, Kekuatan, dan Kekuasaan. Senantiasa demikian buat selama-lamanya, berkedudukan di Arasy-Nya, Mengatur segala perkara atau urusan dari langit, tidak dapat dilihat oleh mata dari dunia ini, tetapi dapat dilihat oleh mata dari Surga-nya, Maha Agung Ia dengan segenap Sifat dan Perbuatan-Nya itu.”
Ustadz Bey Arifin kemudian menegaskan kembali aqidah tersebut di atas dengan kalimat yang lebih “keras” dengan mengatakan sebagai berikut, “Tuhan yang demikian itulah yang kita imani, terhadap Ia saja kita menyembah dan minta pertolongan, beribadat, rukuk dan sujud. Barang siapa yang menyembah kepada Tuhan yang lain sifatnya dari sifat-sifat yang tersebut di atas, berarti dia menyembah selain Allah, Maka inilah yang dinamakan syirk atau kafir, satu kekufuran dan kesyirkan yang tak dapat diampuni.”
Pada bagian yang lain, Ustadz Bey Arifin menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut, “Begitu juga dengan kata-kata lain yang dihubungkan dengan Allah di dalam ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an dan Hadis-Hadis. Misalnya kata-kata : tangan, mata, wajah, dll. Allah bermata, bertangan, dan berwajah, yaitu mata, tangan, dan wajah yang sesuai dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mata, tangan, wajah yang tak sama dengan tangan, mata, wajah manusia atau lain-lain makhluk.”
Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan sebagai berikut, “Orang-orang yang dibukakan Allah hatinya akan dapat mengenal Tuhannya dengan ayat-ayat Kitab Suci-Nya yang disampaikan oleh Rasul-Nya, dengan menjauhkan diri dari ta’wil, ta’thil, takyif, dan tamtsil, menghindarkan diri dari mengubah-ubah arti kata dari Kalamullah, membayangkan suatu cara atau bentuk bagi Allah, atau membayangkan suatu cara atau bentuk tertentu bagi Allah seperti bentuk makhluk.”
[1] Ungkapan, “Baginya Tangan…,” bermula tangan itu terjemah bagi lafal al-yad dengan bahasa Melayu. Maka adakah harus diterjemah akan segala shifat Allah Ta’ala yang mutasyabih seperti al-yad dan al-wajh denghan bahasa Melayu dan lain daripadanya atau tiada harus?
Jawab: berkata Al-Imam Abu Saiful Haq wad-Din Abul Mu’in An-Nasafi $ di dalam kitabnya, Bahrul Kalam:
و يجوز أن يقال بأن لله تعالى يدا بالعربية، لا يجوز بالفارسية. انتهى.
Artinya, “Dan harus bahwa dikatakan dengan bahwasanya ada bagi Allah Ta’ala yad dengan bahasa ‘Arab, tiada harus ia dengan bahasa Persi.
Dan berkata Al-Imam Abu Hanifah $ di dalam kitab Al-Fiqh Al-Akbar:
و كل ما ذكره العلماء بالفارسية من صفات الله تعالى عزت أسماؤه و تعالت صفاته فجاز القول به سوى اليد بالفارسية، و يجوز أن يقال بروى خدا (أي وجه الله)بلا تشبيه و لاكيفية.
Artinya, “Dan tiap-tiap barang yang menyebut akan dia oleh ulama dengan bahasa Persia daripada segala shifat Allah Ta’ala Mahamulia nama-Nya dan Mahatinggi segala shifat-Nya, maka harus berkata dengan dia, kecuali al-yad dengan bahasa Persia. Dan harus bahwa dikatakan بروي خدا (artinya: muka Allah) dengan ketiadaan menyerupakan dan ketiadaan kaifiyat.
Difaham daripada perkataan dua imam ini akan bahwasannya tiada harus diterjemah akan al-yad dan harus diterjemah ajan yang lain daripada yang lain daripadanya seperti al-wajhu. Tetapi berkata oleh Al-Imam Nashirus Sunnah Mulla ‘Ali bin Sukthan Muhammad Al-Qari di dalam Syarah-nya atas Al-Fiqh Al-Akbar pada halaman 93:
و إذا كان القول مقرونا بالتنزيه و نفي التشبيه فالفرق بين اليد و الوجه تدقيق يحتاج إلى تحقيق. انتهى.
Artinya, “Dan apabila adalah perkataan itu disertakan dengan menyucikan dan meniadakan menyerupakan, maka farq antara al-yad dan al-wajh tadqiq yang berhajat ia kepada tahqiq.”
Berkata aku, “Maka barangkali karenma ini menerjemah oleh ulama Melayu kita akan shifat mutasyabihah di dalam kitab-kitab mereka itu seperti Firidah Al-Faraid, dan kitab Ad-Durr Ats-Tsamin, dan kitab ‘Aqidah An-Najin. Wallahua’lam.
[2] Qs Asy-Syura: 11.
[3] Qs Al-Ikhlas: 1, 2, 3, 4.

Tuhan itu Bertempat Tinggal (aqidah Muhammadiyah 
dalam fatwa Tarjih)

Salah satu aqidah Muhammadiyah dalam fatwa Tarjih disebut, bahwa Allah itu “Semayam di Arasy”, ada suatu tempat yang berada diatas langit, sebagaimana tercantum dalam firman Allah: “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
Keyakinan “Muhammadiyah” berdasarkan ayat ayat Allah yang banyak menempatkan kata Arasy, sebagai tempat tertinggi setelah Allah. Tidak ada yang lebih tinggi dari tempat itu kecuali Allah itu sendiri. Pembicaraan ini dalam ilmu kalam telah menimbulkan perdebatan yang cukup tajam dan hangat hingga sekarang. Berbagai kalangan saling berpendapat “Allah di mana”. Cukup menegangkan kalau baca karya karya Ulama, hingga pernah terjadi saling menumpahkan darah di Jaman Imam Ahmad.
Tetapi bagaimana sebenarnya memahami Ayat Allah diatas Arasy, itu yang perlu telaah mendalam, tidak sebatas cukup meyakini saja, untuk lebih mendapatkan kebenaran ayat , apa sebenarnya yang di maksud.
“Allah diatas Arasy” atau bersemayam diatas arasy, adalah tidak terletak pada kebiasaan dan konsekwensi manusia. Jelas berbeda, ketika kita menyebut “Atas atau Bawah” dengan sebutan Allah yang menyebut sama perkataan “atas bawah”. Karena Allah yang Maha segalanya jelas berbeda dengan ciptaan-Nya, tidak berhubungan sama sekali dengan keberadaan Allah yang menciptakan mereka. Artinya tidak ada kaitan dari  berbagai sifat yang di milikinya meskipun sama dalam sebutan. Itulah sebabnya, meskipun Allah dikatakan bersemayam diatas Arasy itu menurut pengucapan Allah dan berlaku hanya kepada Allah. Taruklah kata “Allah duduk” sekalipun, tetap saja berbeda dengan makhluqnya.
Karena Quran merupakan Firmannya, sudah tentu menjadi info syariat Islam, yang menetapkan dirinya memiliki sifat sifat sesuai kemaunya yang disebutkan dalam Quran, tanpa ada keinginan kita untuk merombak kata “semayam atau Tinggal” dalam bentuk pengertian kita.
Salahnya kita ketika menyebut Allah bersemayam diatas langit atau Arasynya, adalah dengan menggambarkan Allah sama sifatnya dengan kita, hal inilah yang keliru, tetapi kalau Allah dikatakan memiliki sifat sifat “semayamatau Istiwa”, mendengar, melihat dengan mata penglihatannya, ya tentu berbedalah dengan sifat sifat-Nya dengan sifat ciptaannya. Menyeret pengertian pada upaya penyelamatan faham dengan memberikan ta’wil pada sifat sifatnya dengan makna lain atau sengaja atau tidak sengaja menyamakan dengan manusia itu yang salah. Tetapi meskipun sebutannya sama dalam soal nama , duduk, mendengan, melihat, berjalan atau lari, ketawa, marah. Akan menjadi berbeda ketika diarahkan kepada Allah yang berkekalan.
Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Kata “kursi” dalam hadits ini jelas bukan kursi dalam pengertian kita, kalau kemudian dita’wil sesuai dengan keinginan kita juga salah, karena kursi yang dimaksud adalah berdasarkan keinginan Firman, hingga kata kata kursi bukan bermakna “tempat duduk yang layak menjadi tempat duduk manusia”, Apa yang dapat ditarik dari kata “kursi” hanya bisa dikembalikan kepada “Allah” itu sendiri. Meskipun “kursi” itu adalah benda, tentu bukanlah benda yang sering dibuat tukang kayu atu pabrik kursi. Kursi dalam makna Allah atau Islam, adalah kursi tempat “ Allah kaki Allah bertahta diatas arasy-Nya – Singgasa-Nya.
Dalam pikiran yang “increase” terbayanglah sebagaimana Mu’tazilah, syiah atau kelompok asy’ariyah, bahwa Allah tidak pantas duduk, tidak layak bagi Allah memiliki sifat duduk, karena sifat duduk berlaku kepada makhluqnya saja. Juga tuduhan sebagai kesimpulan yang salah. Karena dalam menarik kesimpulan “duduk” beberapa kelompok Islam itu, membayangkan duduknya Allah sama dengan manusia.
Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali). Jadi tidak ada larangan mengatakan “Allah duduk, semayam” selama memang ada ayatnya atau haditsnya. Karena apapun yang dikatakan manusia itu hanya sebatas pencernaan bahasa, bukan hakikatnya pengertian yang di pas buat Allah. Apalagi berkaitan dengan soal “Kaifiyat “ , jelas umat Islam tidak memiliki hak bertanya tentang tata caranya.
Dari sisi bahasa kata “Istiwa” memiliki makna sebagai berikut :
‘ala (tinggi)
Irtafa’a (terangkat)
Sho’uda (naik)
Istaqarra (menetap)
Semua pengertian itu benar, tinggal soal keimanan kita kepada Allah, meyakini sifat sifatnya sesuai dengan Ayat ayatnya yang tertera dalam Quran dan hadits. Kesimpulannya Allah punya tempat tinggal yang hanya bisa dita’wilkan menurut Allah itu sendiri.

Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?

Alhamdulillah wa syukru lillahi, laa haula wa laa quwwata illa billah. Was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.
Salah satu sumber penulisan dalam blog ini ialah pertanyaan-pertanyaan pembaca dalam forum diskusi. Kadang suatu pertanyaan tidak cukup dijawab di forum diskusi, sehingga perlu diberikan jawaban yang lebih luas dalam wujud artikel tersendiri. Walhamdulillah.
Pertanyaan sebagian pembaca tentang tuduhan adanya kesamaan antara konsep Tauhid dengan teologi Trinitas Kristiani, alhamdulillah sudah ditulis (tetapi belum dipublikasikan). Dan kini ada lagi pertanyaan dari pembaca tentang “tempat tinggal” Allah Ta’ala.
Isi lengkap pertanyaan dari saudara @ Awam (setelah di-edit seperlunya)  adalah sebagai berikut:
“Saya mau tanya kepada Mas Abisyakir dan @ Ahmad (salah seorang pembaca yang berkomentar dalam artikel “Allah Ta’ala Ada di Langit”). Kalau memang Allah ada (bersemayam) di langit atau di atas Arasy, lalu dimanakah Allah  tinggal sebelum Arasy dan langit diciptakan oleh Allah? Apa mungkin Allah berpindah tempat? Sedangkan yang saya tahu, itu sangat mustahil! Tolong beri penjelasan yang masuk akal!”
Si penanya merasa ragu (atau tidak yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan itu, dia melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy.
Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih jauh.
 “Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.
PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu (misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang (misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal). Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak, padahal mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).
Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak  menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min dzalik.
Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?
KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan lagi.
KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.
Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).
KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir, tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.
KEENAM, ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy).
Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu. Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.
KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).
Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu a’lam bisshawab.[Abahnya Syakir].

Dimana Allah??? (Bantahan terhadap pemahaman yg mengatakan Allah dimana-mana atau Allah ADA NAMUN TAK BERTEMPAT & TAK BERARAH)

Pada kesempatan kali ini, kami angkat sebuah topik permasalahan yang klasik dan kontemporer, yaitu mengenal “Dimana Allah?”, Karena di sana banyak kita dapati di antara masyarakat yang menyimpang dalam aqidah (keyakinan) yang agung,

prinsip Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan para shahabat -Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajmain-, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kita mendapati di antara kaum muslimin di zaman ini, bermacam-macam keyakinannya atas pertanyaan “Dimana Allah?”. Di antaranya ada yang berkeyakinan bahwa:

1. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di hati,
2. bahwa Allah itu berada dimana-mana,
3. bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher,
4. bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersatu dengan hamba-Nya,
5. Lebih parah lagi, ada juga yang berkeyakinan bahwa, Allah itu tidak di kanan, tidak di kiri, tidak diatas, tidak di bawah, tidak di depan, dan tidak pula di belakang.

Sungguh ini adalah pernyataan yang sangat lucu. Lantas dimana Allah?! Padahal kalau kita mau mengikuti fitrah kita yang suci, sebagaimana fitrahnya anak yang masih kecil, pemikiran mereka yang masih polos, seperti putihnya kertas yang belum ternodai dengan tinta. Kita akan dapati jawaban dari lisan-lisan kecil mereka, jikalau mereka ditanya, “Dimana Allah?” Mereka akan menjawab, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit.”

Allåh Berada diatas langit dan Bersemayam diatas ‘Arsy:
Hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Salami menceritakan ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. kemudian beliau (Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu beliau bersabda:

أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Di manakah Allah? dia menjawab: Di Langit beliau bertanya lagi : Siapa aku? Jawab Jariah: Kamu Rasulullah. Lalu beliau berkata: merdekakan dia karena dia adalah Mukminah.

Takhrij hadits
- Muslim bin Hajjaj dalam Sahih Muslim, no: 537.
- Malik bin Anas dalam al-Muwattha’, no: 1468.
- Abu Daud al-Tayalisi dalam al-Musnad, no: 1105.
- Muhammad bin Idris as-Syafi’i dalam al-Umm, no: 242.
- ‘Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf, no: 16851.
- Ibn Abi Syaibah dalam al-Musannaf, no 30333.
- Ahmad bin Hanbal dalam al-Musannaf, no: 7906, 23762, 23765 & 23767.
- Abu Daud al-Sajastani dalam Sunan Abu Daud, no: 930 & 3282.
- Ibn Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalaf al-hadits, no: 272.
- ‘Utsman bin Sa’id al-Darimi dalam al-Rad ‘ala al-Jahmiyyah, no: 62.
- al-Harith bin Abi Usamah dalam al-Musnad, no: 015.
-’Amr bin Abi ‘Ashim al-Shaibani dalam al-Sunnah Li Ibn Abi ‘Ashim, no: 489.
- an-Nasai dalam Sunan al-Nasai, no: 1142, 7708, 8535 & 11401.
- Ibn Jarud dalam al-Muntaqa, no: 212.
- Ibn Khuzaimah dalam Kitab al-Tauhid wa Itsbat Sifat al-Rabb ‘Azza wa Jalla, no: 178, 179, 180, 181 & 182.
- Abi ‘Uwanah dalam al-Musnad, no: 1727 & 1728.
- Abu al-Husain ‘Abd al-Baqi’ dalam al-Mu’jam al-Sahabah, 735.
- Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, no: 165 & 2247.
- al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, no: 937 & 938.
- Muhammad bin Ishaq bin Manduh dalam al-Iman, no: 091.
- al-Lalaka’I dalam Syarah Usul I’tiqad Ahl al-Sunnah, no: 652.
- Abu Nu’aim al-Asbahani dalam al-Musnad al-Mustakhraj ‘ala Sahih Imam Muslim, no: 1183.
- Ibn Hazm dalam al-Muhalla, no: 1664.
- al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, no: 15266, 15268, 19984 & 19985.
- ‘Abd Allah bin Muhammad bin ‘Ali al-Harawi dalam al-’Arba’in fi Dalail al-Tauhid, no: 011.

Derajat Hadits
Hadits di atas adalah SAHIH. Imam Muslim telah memasukkan hadits ini kedalam kitab Sahihnya pada kitab ( المساجد والمواضع الصلاة ) dalam bab (تحريم الكلام في الصلاة ونسخ ما كَان مِن إباحتِه ).
Bahkan sangat masyhur karena banyaknya yang meriwayatkan hadits ini, seperti yang kita lihat pada takhrij di atas. Ada sebahagian golongan yang sangat anti kepada dakwah ahlus-sunnah as-salafiyyah, yang bahkan mengatas namakan diri mereka ahlus sunnah, dan memang ‘kelihatannya’ berhujah berlandaskan al-Quran dan Sunnah, tapi jika kita hadapkan dengan kasus ini, terbuktilah apa-apa yang mereka bawa (dalil-dalil) itu hanyalah untuk mereka sesuaikan menurut akal dan hawa nafsu mereka semata, karena mereka ingkar aqidah para salaf bahwa Allah di atas ‘Arasy.

Orang-orang yang mempertahankan aqidah “Allåh wujud bi la makan” (yang artinya “Allåh ada, tidak bertempat”; tidak di atas, tidak dibawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam dan tidak di luar”), telah ingkar dengan hadits di atas, bahkan sampai menjatuhkan derajatnya kepada dha’if semata-mata ingin membenarkan hujjah mereka. Kemudian mereka mencerca ulama hadits yang tidak bersalah dengan tuduhan yang tidak berasas.

Adapun para Salafush Sholeh, mereka tidak pernah pun mentakwil ataupun menukar (tahrif) makna hadits ini. hadits ini juga menunjukkan, bahwa tidak salah jika kita berkata “Allah itu di atas langit” karena memang Allah itu di atas langit, karena Allåh berada diatas ‘Arasy dan ‘Arasy itu sendiri berada di atas langit.

Aqidah ini telah dijelaskan dalam Kitabullah, As-Sunnah, ijma’, dan komentar para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab-kitab mereka. Mereka sudah patenkan (tetapkan) bahwa barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia adalah ahli bid’ah, dan menyimpang.

Dalil-dalil lain dari Al-qur’an dan As-sunnah ash-shåhihah
Dalil-dalil masalah ini sangatlah banyak dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Berikut ini kami akan sebutkan -insya’ Allah- beberapa di antaranya saja, dan sebenarnya tidak terbatas.
>Dalil-dalil dari al-qur’an
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Tuhan yang Maha Pemurah beristiwa di atas ‘Arasy. [QS. Taha: 5]

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Al A’raf: 54)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan.” (QS. Yunus: 3)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Ar Ra’d: 2)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.” (QS. Al-Furqon: 59)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy.” (QS. As-Sajadah: 4)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
Kemudian Dia beristiwa ke arah langit dan langit itu masih merupakan asap. [QS. Fushsilat: 11]

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas ‘Arasy. [QS al-Sajdah: 4]

Berkata Ibn Kathir Rahimahullah:
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. …
“Dan adapun FirmanNya Ta’ala: (ثم استوى على العرش) maka bagi manusia pada masalah ini pendapat yang banyak dan bukanlah di sini tempat membahasnya dan sesungguhnya hendaklah diikuti dalam masalah ini madzhab As-Salaf Ash-Shålih: Malik, Auza’i, As-Tsaury, Al-Laith bin Saad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan selainnya daripada imam-imam muslimin dahulu dan sekarang yaitu menjalankan dan memahaminya sebagaimana datangnya tanpa takyif (memberi rupa), dan tidak pula tsaybih (penyerupaan), dan tidak pula ta’thil (membatalkan sifat)….” –Tafsir al-’Adzhim.
>Dalil-dalil dari Hadits
Ibn ‘Abd al-Barr menjelaskan tentang hadits ini:
وأما قوله في هذا الحديث للجارية: أين الله ؟ فعلى ذلك جماعة أهل السنة وهم أهل الحديث، ورواته المتفقهون فيه، وسائر نقلة، كلهم يقول ما قال الله تعالى في كتابه: ((الرحمن على العرش الستوى)) وأن الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان.
“Dan adapun hadits jariah: Di manakah Allah? Maka menjadi pegangan atasnya oleh jama’ah ahli sunnah dan mereka-mereka juga adalah ahli hadits dan seluruh perawi yang memahaminya, mereka semua berkata sebagaimana firman Allah dalam kitabnya: “al-Rahman Bersemayam di atas ‘Arsy.” Dan bahwa sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla di langit dan Ilmu-Nya pada setiap tempat. [Al-Istizkar: al-Jamii' li mazhab Fuqaha al-Ansor wa 'Ulama al-Aqtar]

Al-Hafizh Al-Baihaqy-rahimahullah- berkata dalam Al-I’tiqod (1/114), “Ayat-ayat itu merupakan dalil yang membatalkan pendapat orang Jahmiyyah yang menyatakan bahwa Dzat Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada dimana-mana.”
Dalil-dalil dalam permasalahan ini banyak sekali, jika kita ingin memeriksa Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar para salaf. Oleh karena itu, Ibnu Abil Izz Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (288), “Dalil-dalil yang semisal dengannya,kalau seandainnya dihitung satu-persatu, maka akan mencapai ribuan dalil”
Dalil-dalil lain dari as-sunnah

Sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لمَاَّ خَلَقَ اَللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
“Ketika Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan makhluk-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menuliskan di dalam kitab-NYa (Lauh Mahfudz) yang ada di sisi-Nya diatas Arsy (singgasana) ‘Sesungguhnya rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3022, 6969, dan 6986), dan Muslim dalam Shohih-nya (2751)]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنَنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ يَأْتِيْنِيْ خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian percaya kepadaku? Sementara aku dalam keadaan beriman kepada Yang dilangit. Datang kepadaku berita dari langit di waktu pagi hari dan petang….” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (4094), Muslim dalam Shohih-nya (1064)]

Al-Qurthuby -rahimahullah- dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata, “Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara (kaifiyyah) Allah bersemayam, karena sifat bersemayam itu tidak bisa diketahui hakekatnya. Imam Malik -rahimahullah- berkata : [‘Sifat bersemayam itu diketahui maknanya secara bahasa, tidak boleh ditanyakan cara Allah bersemayam, dan pertanyaan tentang cara Allah bersemayam merupakan bid’ah dan ajaran baru.”

Jadi, madzhab Ahlis Sunnah menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, namun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun aqidah yang menyatakan bahwa Allah berada dimana-mana, bukanlah merupakan aqidah Ahlis Sunnah, akan tetapi merupakan aqidah ahli bid’ah yang batil berdasarkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah di atas Arsy beserta keterangan Ulama Ahlis Sunnah yang telah kami sebutkan, dan berikut tambahan keterangan dalam masalah ini:
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/129), “Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu’tazilah yang berkata: “[Allah berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]”.Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlul Haq/Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” dan firman-Nya Azza wa Jalla: “ Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy…”.

Imam Al-Qurthuby-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/162): “Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …”.
Shodaqoh-rahimahullah- berkata, “Saya mendengar At-Taimy berkata, “Andaikan aku ditanya: Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit.” [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]

Pernyataan Imam yang Empat Mengenai Sifat-sifat Allåh
1. IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang Dzat Allah kecuali kepada diriNya, dan tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapat (ra’yu)nya. Maha Suci serta Maha Tinggi Allah Ta’ala, Rabb semesta Alam.” (Syarhul Aqidah at-Tahawiyah (2/472), tahqiq Dr. At-Turky, Jalaulm’Ainain, hal. 368)

Ketika Imam Abu Hanifah ditanya tentang nuzulul Ilah (turunnya Allah), ia menjawab: “Ia turun dengan tidak kita menanyakan bagaimana (kaifiatnya) caranya.” (Aqidatus salaf Ashabil hadits, hal. 42, al-Asma’ Was Sifat oleh al-Baihaqi, hal. 456)

Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?” berarti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. (al-Fiqhul Absath, hal. 46)

Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.”

Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (QS. al-Hadid: 4).

Imam Abu Hanifah menjawab: “Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, sesungguhnya aku selalu bersamamu, padahal engkau tidak ada di sampingnya.” –al-Asma’ was Sifat, hal. 4292.

2.IMAM MALIK BIN ANAS
Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah keringat. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata:

“Cara bersemayam-Nya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwa-Nya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui (maknanya), beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentang (bagaimana)nya adalah bid’ah. (Dan) Aku menyangka engkau adalah pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar.

(Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, hal. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, hal. 103)

3. IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AS-SYAFI’I
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wassalam. kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah Subhanallahu wa Ta’ala. yang telah sampai kepadanya dalil bahwa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan masalah itu.

Maka barangsiapa mengingkari atau berbeda dengan semuanya itu padahal hujah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, berarti ia telah kafir kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Adapun jika ia menentang karena belum mendapat hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni karena kebodohannya, karena pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala:

(1) bahwa Dia Maha Mendengar dan bahwa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (QS. al-Maidah: 64). Dan bahwa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “…Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (QS. az-Zumar: 67)

(2) dan bahwa Allah itu memiliki Wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan: “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah…” (QS. Al-Qasas: 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (QS. Ar-Rahman: 27).

(3) Juga bahwa Allah mempunyai Telapak Kaki (Qådamur Råhman), sesuai dengan pernyataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Nabi bersabda, “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

(4) dan Allah tertawa berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya….” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim, no:1890).

(5) Dan bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

(6) Begitu juga keterangan bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. ketika beliau menyebut dajjal, beliau bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933)

(7) Dan bahwa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama.

(8) juga bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala. mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah hal.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis)

Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam untukNya, (dan) hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau pikiran dan orang yang mengingkarinya karena bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir.

Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 11).
(Dinukil dari I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais)

4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyebut kata-kata Imam Hanbal: “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” [Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30)]

Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. (Manaqib Imam Ahmad, hal. 221)

Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan: “Jahm bin Safwan telah menyangka bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam haditsnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” [Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, hal. 104]

Penutup
Demikian di atas kami nukilkan dalil-dalil dari al-qur’an dan as=sunnah sesuai pemahaman para shåhabat, beserta pernyataan-pernyataan para Imam empat untuk membuktikan bahwa aqidah mereka adalah sama, yakni sesuai dengan pemahaman salafush shåleh, yang tidak melakukan penambahan maupun pengurangan. Tidak ada takwil dengan makna tahrif, terlebih dengan menta’tilkan, yaitu menafikan sifat. Maka, jelas aqidah yang benar dan selamat adalah mengatakan Allah bersemayam di atas ‘Arasy sebagaimana hujah-hujah telah diberikan di atas tadi.

Inilah pandangan Salafush Shålih, inilah aqidah yang benar yang dijadikan rujukan seluruh ulama ahlus-sunnah, terkecuali ulama-ulama muta-akhirin yang telah mengubah atau mentakwil Istawa dengan ‘istaula’ yang bermakna ‘menguasai’ yang berasal dari golongan asya’irah dan maturidiyyah.

Adapun aqidahnya golongan asya’irah dan maturidiyyah yang sangat mati-matian hendak menyelewengkan fakta yang ada, malah sebaliknya, dalil-dalil yang mereka bawakan itulah yang menguburkan hujjah mereka karena ketidakjujuran mereka dalam menukilkan tulisan ulama-ulama terdahulu.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq dan pemahaman yang lurus serta agar kita termasuk dari golongan yang selamat yang berjalan diatas jalan yang lurus dan dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang. aamiin....

Washolallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Ahlihi wa Ashhaabihi Ajmain.