●Grand Syaikh Al-Azhar (
Bidang Hadith Dan Tafsir ) : Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar
Menolak Syiah. Dewan Ulama Senior Saudi ( Imam Masjid Al-Haram ) : Yang
Menghina Istri Dan Sahabat Nabi ( Ulama Madzhab Syi'ah ) Kafir. Syiah Kafir
Tanpa Keraguan.
"Kepada Putra – Putriku".
Risalah kecil itulah yang membawa penulis berkenalan dengan sastrawan ternama
Syaikh Ali Thantawi –rahimahullah-. Waktu itu penulis duduk di bangku kelas dua
Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat itu cukup lama penulis tidak bersinggungan
lagi dengan karya beliau, hingga tahun kedua di bangku kuliah UIM Madinah.
Tulisan sederhana ini merupakan upaya
kecil penulis dalam memperkenalkan Syaikh –rahimahullah- kehadapan sidang
pembaca dan para penuntut ilmu. Penulis sadar bahwa tulisan ini terlalu kecil
untuk mengurai kisah hidup pribadi besar yang menjadi saksi berbagai macam
perubahan di abad ke 20 M, bahkan sebagian sastrawan menobatkannya sebagai
Ringkasan hidup abad 20.
Dari Kelahiran Hingga Masa Remaja
Syaikh Ali Thantawi -rahimahullah- lahir
di Damaskus pada tanggal 23 Jumadil Ula 1327 H bertepatan dengan 19
Juni 1909 M. Keluarganya berasal dari Thanta sebuah kota di Mesir. Namun diawal
abad ke 19 M kakeknya Muhammad bin Musthofa melalukan imigrasi dari mesir
menuju Syam. Bila mengacu pada literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa
beliu –rahimahullah- lahir ditengah keluarga yang dipenuhi ilmu dan hikmah.
Ayah beliu Mustafa Thantawi merupakan ulama kenamaan Syam di masanya. Ibunya
adalah saudara kandung Muhibbuddiin Al-khatiib seorang tokoh pergerakan dakwah
salafiyah di abad ke 20 M. Lingkungan ilmiyah inilah yang mendorongnya untuk
tekun dalam menuntut ilmu.
Thantawi kecil memulai pendidikan dasar
formal pada masa pemerintahan Ottoman Turkey di Madrasah At Tijaariah, tempat
dimana ayahnya menjabat sebagai direktur. Beliau sempat beberapa kali pindah
sekolah, diantaranya Sekolah Dasar As-Sulthaniyah 2, sekolah
Al-Juqmaqiyah dan beberapa lembaga pendidikan negeri lainnya di syam hingga
tahun 1923 M. Untuk mempelajari ilmu Agama pilihananya jatuh
pada Masjid Jaami' Taubah yang tidak jauh dari rumah ayahnya. Masjid ini
merupakan tempat yang digunakan para ulama di masanya untuk menyampaikan
berbagai macam pelajaran dalam berbagai displin ilmu dan juga sebagai tempat
untuk menghafal Al Qur'an.
Dimasjid itulah beliau menghabiskan masa
kecilnya untuk menuntut imu, hingga usianya memasuki 16 tahun saat ayahnya
Mustafa tanthawi meninggal dunia. Syaikh –rahimahullah- berkata: "Di
hari kedua puluh bulan Sya'ban tahun 1342 H Ayahku meninggal dunia. Kalian
semua pasti tau arti dari kematian, karena akhir perjalanan dari setiap yang
hidup adalah kematian. Setiap orang pasti pernah menyaksikan kematian orang
yang paling berharga dalam hidupnya atau kehilangan orang yang dikasihinya. Akan
tetapi kalimat "مات أبى" (ayahku
meninggal) kalian tidak akan pernah tau apa maknanya bagiku" (Dzikrayat jilid
1 hal: 229).
Kepergian ayahnya merupakan pukulan
terberat baginya, itu karena kepergian ayahnya berarti kehidupan baru baginya.
Cucu tertua beliu Ust. Mu'min Diraniah menuturkan: "Dimasa itu syaikh
belum siap menanggung beban keluarga yang dihadapinya itu sendiri, namun dialah
anak tertua dalam keluarga, posisi itulah yang mengharuskannya memikul tanggung
jawab besar itu" (Hayaatul Insaan).
Kondisi ekonomi keluarga yang lemah
selepas kepergian ayahnya membuat Tanthawi muda sangat tertekan. Ayahnya
meninggalkan hutang yang tidak sedikit, hal itu mengharuskan ia dan keluarganya
pindah dari rumah besar ayahnya ketempat kecil yang sangat kumuh. Sebuah
keadaan yang menghentakkan jiwanya, namun berbuah keyakinan bahwa sekaranglah
saatnya untuk menjadi seorang laki2 dalam makna yang hakiki . -(Untuk
mengetahui sebab mengapa ayahnya banyak meninggalkan hutang silahkan
baca: Dzikrayaat jilid 1 hal: 227, untuk kisah digubuk yang kumuh silahkan
lihat Makalah Jawaabun ala kitaab dalam buku Min Haditsin Nafs)-
Sulit memang, kondisi keluarga berubah
drastis, semasa ayahnya hidup ia memiliki kesempatan untuk meluangkan seluruh
waktunya dalam menuntut ilmu dan membaca, namun keadaan memaksanya untuk
berhenti menuntut ilmu dan mencari pekerjaan lain guna menghidupi anggota
keluarga. Thantawi kecil berpindah dari satu pkerjaan ke pekerjaan yang
lain, dari toko satu ke toko yang lain, dari memikul barang dagangan orang lain
hingga berjualan keju dan gula. Sampai akhirnya dia sadar bahwa dirinya tidak
cocok untuk menyibukkan diri dalam jual beli. Kerabat dan kawan dekatnya
mendorongnya supaya kembali menyibukkan diri dengan menuntut ilmu. Saran itupun
diterima.
Beliu akhirnya melanjutkan pendidikan
yang sempat terputus itu di Maktab Anbar sebuah lembaga pendidikan setingkat
SMP dan hanya satu-satunya di kota Damaskus. Pada tahun1928 M disekolah inilah
beliau meraih gelar akademik Bakloria. Cucu beliau Mujahid Diraniah menuturkan
bahwa "Di Maktab Anbariah inilah Syaikh melewati masa-masa yang pnuh
kenangan yang selalu diingatnya sepanjang waktu"(Hayaatul insaan)
Diawal karirnya ia mencoba menggeluti
dunia tulis-menulis yang dikemudian hari menjadi keahliannya. Ust
Kurdi Ali pemilik surat kabar Al Qabs pernah memintanya menulis, namun diumur
yang terlalu muda itu dia merasa kurang percaya diri. Dia bahkan tidak
pernah bermimpi bahwa karya orang muda sepertinya akan dimuat dan dibaca
khalayak ramai. Namun Anwar Atthaar -penyair kawakan dimasa itu yang
merangkap sebagai guru dan kawannya dikemudian hari- mendorongnya untuk maju. Akhirnya
Thantawi mudapun memberanikan diri untuk maju meski dengan tekad bercampur
ragu.
Tak ada yang menduga memang, tulisan
pertamanya membuat Ust Kurdi Ali berdecak kagung, beliau setengah tidak percaya
bahwa anak muda seusianya mampu menghasilkan karya tulis yang begitu indah
dengan gaya bahasa sastra yang tinggi. Ust Kurdi memintanya kembali menuliskan
sebuah artikel yang akan dipublikasikan segera. Thantawi muda masih setengah
percaya, sebab kalangan muda dizamannya tidak pernah bermimpi jika tulisan
mereka akan dipublikasikan, hal itu disebabkan jumlah surat kabar yang sedikit
dan terbatas serta banyaknya sastrawan dan penulis senior yang jauh lebih
popular dianding beliau. Namun sekali lagi, kita boleh menebak soal apa saja,
tapi tidak soal takdir. Tulisannya benar-benar dimuat dan menempati halaman
pertama. Sejak saat itulah kariernya dalam dunia sastra terus melejit.
Satu hal yang membuat Thantawi muda
berbeda dengan teman-teman sebayanya adalah keseriusannya dalam menuntut ilmu
baik di sekolah formal ataupun di majelis-majelis ilmu. Ditambah lagi ketekunan
beliau dalam membaca. Dalam sebuah ceramahnya beliu berkata: "Sejak aku
bisa membaca 70 tahun yang lalu, sejak itulah aku mulai menyibukkan diriku
dengan membaca, aku bukan anak yang suka menghabiskan waktu bermain dengan
anak-anak sebayaku dilorong-lorong komplek" (Fi maaidail Ifthaar).
Di Negeri Piramida
Perkembangan keilmuannya semakin
melampaui rekan-rekan sebayanya, rasa haus terhadap ilmu membuat beliau
akhirnya memutuskan untuk berangkat ke mesir. Disanalah Syaikh –rahimahullah-
banyak bertemu dengan ulama dan sastrawan ternama.
Sebenarnya apa yang mendorong beliau
untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir kala itu..? Syaikh -rahimahullah-
berkata: "Guru-guru kami selalu bercerita tentang Al Azhar dan segala
yang berkaitan dengannya. Cerita mereka membuat kami jatuh cinta pada Jami' Al
Azhar. Kami mengkhayalkan surga ruhiyah dan kenikmatan qalbu. Kami selalu
berfikir bahwa apa yang kami lihat mulai dari karisma hingga kebersahajan
guru-guru kami adalah buah dari surga atau tepian paling jauh dari kenikmatan
(ruhiyah) itu. Setiap malam datang, kami selalu menghiasi tidur kami dengan
kerinduan terhadap Al Azhar, berharap agar dapat mengunjungi mesir dan melihat
keindahan Al Azhar. Namun tatkala aku tiba di Mesir tahun 1927 M, aku melihat
Al Azhar telah berubah, ia tidak seperti yang digambarkan guru-guru kami
dahulu, kondisinya berbeda dari apa yang pernah diceritakan kepada kami dulu.
Akupun meninggalkannya dan memilih melanjutkan pendidikan di Daarul Ulum Ulya.
Saat aku kembali berkunjung ke mesir tahun 1945 M aku tidak lagi menemukan
Jami' Al Azhar, aku hanya mendapati masjid yang kosong, dan gedung-gedung
perkuliahan yang berafiliasi dengan Al Azhar. Semua tak ubahnya seperti
kebanyakan sekolah yang kita ketahui. Aku menangis saat aku merasa
kehilangannya, aku merindukannya. Kerinduanku bukan pada lentera-lentera minyak
dan keindahan serambi masjid yang mengitarinya, namun kerinduan itu pada
ketakwaan dan akhlak (yang pernah diceritakan dulu kepadaku), iya, aku
menangisi guruku" (Fi Sabiilil Islah hal 34-35).
Namun belum sempat menyempurnakan
pendidikan, sang Ibu tercinta meninggal dunia. Beliau akhirnya memutuskan
kembali ke Damaskus dan memilih kuliah di tempat kelahirannya. Beliau
memilih Fakultas hukum hingga meraih gelar lisence di tahun 1933 M. Perihal kepergian
ibunya Ali Thantawi berkata: "Aku membayangkan bahwa aku tidak akan bisa
sehari berpisah dengan ibuku, karena aku adalah bagian dari hidupnya, aku
banyak bergantung padanya. Dialah tempat aku menyimpan segala pedih dan
anganku. Iya, seperti kebanyakan hubungan anak dan orang tua. Ibuku…. Aku tak
pernah berfikir bahwa aku mampu untuk jauh darinya walau sehari, atau aku
bisa hidup setelah kepergiaannya" (Fii Maaidatil ifthaar)
Sekembalinya dari Mesir Thanthawi muda
diajak untuk membentuk sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat tinggi suriah.
Lembaga ini merupakan organisasi kepemudaan yang turut memberikan kontribusi
bagi perlawanan terhadap tirani Perancis yang menjajah Suriah dimasa perang
dunia pertama. Dia dipilih sebagai ketua dan menjalani jabatan itu selama tiga
tahun.
Dibidang pendidikan Thantawi muda memulai
karirnya pada umur 18 tahun sebagai guru dibanyak sekolah swasta. Materi-materi
kuliah yang disampaikannya mendapat apresiasi besar dari pendengar, hingga
beberapa diantaranya dicetak kemudian dipublikasikan. Sejak tahun 1931 hingga
tahun1935 beliau melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Hal itu sebagai
efek dari gejolak perlawanannya terhadap penjajah dan krooni-kroninya yang
menyusup dalam pemerintahan. Tahun 1936 Thantawi pindah ke Iraq bersama
rekannya Anwar At Thaar. Disana beliu mengajar pada sebuah lembaga pendidikan
menegah pertama yang berlokasi di pusat kota Baghdad. Sifat kerasnya dalam
melawan tirani penjajah rupanya telah mendarah daging, manuver-manuver
perlawanan yang dilakukannya di Syam kini dilakukannya juga di Iraq. Hal itu
membuat Syaikh Rahimahullah berpindah dari skolah satu ke sekolah lainnya
diseantero Iraq hingga tahun1939 M. Syaikh akhirnya kembali ke Damaskus untuk
mengemban tugas sebagai dosen pembantu di Maktab Anbar yang tak lain adalah
almamaternya dahulu. Namun seperti biasa beliau tidak pernah berhenti
menyuarakan kebenaran. Sikapnya yang tegas terhadap penjajah semakin tak
tergoyahkan, hal itu yang membuatnya untuk kesekiankalinya dipindah tugaskan ke
Madrash Deer Az Zaur pada tahun 1940 M. Syaikh menetap disana selama satu
semester penuh, kemudian dipindah tugaskan lagi sebagai akibat dari Khutbah
jum'at yang disampaikannya berisi seruan perlawan terhadap penjajah
Perancis.
Hijrah Ke Haramain
Sejak tahun 1941 M hingga tahun 1963
beliau Rahimahullah menduduki beberapa jabatan penting diantaranya sebagai
hakim di beberapa tempat di Damaskus selama sepulah tahun, juga sebagai
konsultan pada Mahkamah An Naqdh di Kairo dan beberapa jabatan lainnya. Pada
tahun 1963 terjadi gejolak politik di Suriah. Suriah ditetapkan tengah
memasuki kondisi gawat darurat, taka ada pilihan lain kecuali hijrah. Beliau
akhirnya memutuskan untuk hijrah ke KSA, disana beliu diberi amanah sebagai
dosen pada Fakultas sastra dan bahasa arab di pusat kota Riyadh. Tugasnya
sebaga dosen di Riyadh tak berjalan lama, dia kembali ke Suriah untuk menjalani
pengobatan. Setahun kemudian beliau kembali lagi ke KSA untuk memenuhi tawaran
yang diajukan padanya.
Syaikh tak menyangka bila disanalah
beliau akan menghabiskan 35 tahun dari sisa umurnya dengan berbagai kegiatan dakwah.
Kepindahannya ke Mekkah dan Jeddah laksana periode baru dalam hidupnya. Beliau
ditugaskan sebagai dosen pada fakultas Tarbiyah di sebuah kampus yang kini
bernama Ummul Quro', namun itu tak berlangsung lama, syaikh memutuskan untuk
berhenti dari tugasnya sebagai dosen dan lebih memilih menjalankan beberapa
program tauiyah sebagai relawan dakwah. Aktifitas barunya ini membuatnya
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain di Saudi untuk menyampaikan
materi kuliah diberbagai universitas, sekolah-sekolah sekaligus menyampaikan
ceramah-ceramah agama disentero Kerajaan Saudi. Tidak hanya itu, kesibukannya
bertambah padat saat ia ditugaskan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil
Haram Makkah pada tempat yang sudah dikhususkan untuknya, ditambah lagi dengan
berbagai program acara di radio dan televisi. Kesibukan itu menjadi
rutinitasnya hingga akhir hayat beliu rahimahullah.
Jasa Beliau Untuk Dunia Islam
Syaikh Ali Thanthawi memiliki
banyak jasa pada dunia islam islam. Salah satu sumbangsihnya terhadap dunia
islam yang paling penting dalam hidupnya adalah misi kampanye krisis
Palestina pada dunia islam. Misi ini sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Muktamar
Islam yang diselenggarakan di Quds pada tahun 1953 M. Misi inilah yang
membawanya menjelajahi negeri-negeri islam hingga Indonesia. Pengabdian tulus
terhadap Islam itu mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan di berbagai
Negara. Dan puncak penghargaan itu berupa anugrah Faisal Aword dari Kerajaan
Saudi yang diterimanya pada tanggal 10-08-1398 H bertepatan dengan 18 January
1990 M.
Sebuah Pilihan (dari Asy Ary Maturidy
menjadi Salafy)
Meski Syaikh Ali Thantawi rahimahullah
tumbuh dan dibesarkan di lingkungan ilmiah, namun ia tidak mendapatkan
pengajaran aqidah yang benar semasa kecilnya, Syaikh Al Majdzuub menuturkan:
"Di awal kehidupannya, beliau (Ali Thantawi) tumbuh di lingkungan sufi.
Ayahnya adalah seorang penganut Tariqah Naqsabandiyah sebagaimana pemuka2 ulama
lainnya di masa itu. Dari ayahnya ia belajar membenci Ibnu Taimiyah dan
Wahhaabiyah, hingga ia pergi ke mesir dan bertemu pamannya Muhibbuddin Al
Khatiib. Pertemuan itu seolah memberi ruh yang mendorongnya untuk melakukan
kajian ulang terhadap kondisi masyarakatnya.."
Al Majdzuub melanjutkan: " Namun
pertemuan itu tidak berujung pada kepastian sikap beliau, hingga kemudian ia
dipertemukan dengan Syaikh Bahjat Al-Bithaar. Sejak itulah kehidupannya
istiqamah diatas jalan yang lurus dengan konsistensi yang kuat. Konsekwensi
dari keistiqomahan itu melahirkan dua karya beliu yang berbicara seputar
kehidupan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tentu saja , konsistensi itu tidak
didapatkannya dengan mudah. Saudara beliu Abdul Ghani –sebagaimana
penuturannya- memaksanya untuk melakukan diskusi yang panjang bersama Syaikh
Bahjat. Mereka masuk dalam rana diskusi tajam yang menyebabkan syaikh murka
terhadap ulah mereka. Padahal Syaikh Bahjad Rahimahulah terkenal dengan
pembawaannya yang tenang dan jauh dari Fanatisme. Diskusi berlangsung hingga
mereka tak lagi memiliki argument yang dapat dijadikan landasan setelah
kebenaran tersingkap dengan terang. (Ulamaa wa mufakkiriina araftuhum jilid 3
hal:192)
Di dalam buku Rijaalun minattaarikh Syaikh Ali rahimahullah mengisahkan
pertemuan beliu dengan syaikh Bahjat Al Bithaar yang kelak menjadi jalan
hidayahnya menuju manhaj salaf, beliau berkata: "Pada tahun 1921 M saat
aku berguru pada syaikh Hami At Taqiy -beliau adalah murid termuda dari
Syaikh Jamaaluddin Al Qaasimy rahimahumullah di sekolah percontohan Al
Muhaajirin di Damaskus- beliau menceritakan kepada kami tentang kawan
belajarnya dalam ilmu qiraah kepada syaikh Jamaluddin Alqasimy yaitu syaikh
Bahjad Al Bithaar yang pada saat itu bertugas sebagai guru di sekolah
percontohan Al Maidaan Al Ibtidaa'i. Berapa tahun kemudian aku mengunjungi Al
Maidaan untuk melaksanakan sholat jum'at di di Jami' Ad Diqaaq. Saat itulah
(untuk pertama kalinya) aku mendengarkan khutbahnya. Aku mendapati sesuatu yang
tidak kudapati di masjid-masjid yang dulu aku pernah sholat didalamnya. Dia
(Syaikh Bahjat) tidak membaca khutbah dari kumpulan-kumpulan khutbah kuno
sebagaimana yang dilakukan banyak khotib dimasa itu. Dan tidak juga melalui
sebuah teks yang membuatnya tidak mengangkat kepala karena sibuk membaca. Dia
menyampaikan khotbah secara spontanitas tanpa melalui persiapan".
Untuk beberapa waktu dia seperti
kehilangan orang yang dikaguminya. Syaikh Bahjat pergi menghadiri muktamar
dunia islam yang diselengarakan oleh raja Abdul Aziz di makkah Al
Mukarramah pada tahun 1345 H. Sejak kunjungannya itu, Raja meminta agar syaikh
Bahjat menetap disisinya dengan tugas sebagai direktur Ma'had Ilmy di Makkah Al
mukarramah.
Pada tahun 1350 H Syaikh Bahjat Al
bithaar kembali ke Damaskus. Beliau kembali menyampaikan khutbah di Jami Ad
Diqaaq. Syaikh Ali berkata: "Dihari-hari itu aku mulai mengenalnya. Aku
mulai kagum terhadapnya. Namun aku tidak sejalan dengan (apa yang disampaikannya).
Apa yang kudengar darinya bertentangan dengan apa yang selama ini aku tumbuh
diatasnya. Dalam masalah aqidah, dimasa itu aku meyakini apa yang telah
ditetapkan oleh Asy'ariyah dan Maaturidiyah. Sebuah keyakinan yang lebih dekat
kepada filsafat Yunani. Sebuah filsafat kuno dalam masaalah theologi.
Aku memegang kuat apa yang didiktekan
dahulu kepada kami bahwa metode salaf dalam memahami sifat-sifat Allah Aslam (jauh
lebih selamat), sementara metode khalaf Ahkam (jauh lebih sempuna).
Aku juga tumbuh dalam ketidaksukaan terhadap Ibnu Taimiyah, berpaling darinya
dan membencinya. Akan tetapi orang ini (Syaikh Bahjat) seolah membuat Ibnu
Timiyah mulia disisiku dan membuatku mencintainya. Dimasa itu aku adalah
seorang penganut mazhab Hanafi yang sangat fanatik, sementara dia ingin aku
berlepas diri dari fanatisme mazhab tersebut dan berpegang tenguh dengan dalil,
bukan dengan apa yang dikatakan mazhab.
Akhirnya uku terpengaruh dengannya, seiring bergulirnya hari akhirnya akupun
menganut mazhabnya dengan penuh keyakinanan. Akan tetapi perpindahan ini bukan
sesuatu yag mudah bagiku, aku bukan orang yang mudah diarahkan dan mudah
mengikuti sesuatu, bahkan aku terus membela apa yang dulu akau yakini, puluhan
majelis aku lalui dalam debat dan dikusi dengan berbagai bantahan, semangat
menggebu dan sikap keras hingga larut malam. Namun syaikh selalu saja
(membuatku kagum) dengan sifat lapang dadanya, kesabaran yang panjang, ditambah
dengan keluasan ilmu dan argumennya yang kuat.
Telah kupaparkan pada jilid pertama dari
bukuku yang berkisah tentang Syaikh Muhammabd bi Abdul Wahhab beragam
fase yang kulalui, bagaimana aku tumbuh sebagai sorang muqallid muawwil,
benci terhadap ibnu taimiyah. Lalu Syaikh Bahjat memberikan pengaruh terhadapku
hingga aku menjadi pengikut aqidah salaf, berpegang teguh dengan dalil.
Dikemudian hari aku berinteraksi dengan Syaikh Zaahid Al Kautsary untuk waktu
yang singkat, aku kembali pada keyakinanku yang dulu. Kemudian aku
tinggal bersama pamanku muhibbuddin Al Khatiib di Mesir, aku mulai mendekati
Sayyid Rasyid Ridho, hasilnya pengaruh Syaikh Bahjat terhadap diriku menguat
lagi hingga aku istiqomah di atasnya. (Rijaalun Minattaarikh hal 480-482 secara
ringkas)
Syaikh berkata: Hubunganku dengan syaikh
Bahjad dimasa itu menyebabkan kesenggangan antara aku dan Guru-guruku, hal itu
karena kebanyakan para Masyaikh di Syam lebih condong pada ajaran Sufi dan
enggan terhadap wahhabiyah. Mereka tidak tahu dan mengerti bahwa di dunia ini
tidak ada mazhab wahhaby, itu hanyalah julukan yang disandarkan secara dusta
oleh musuh-musuh dakwah agar orang lain lari menghindar seperti seseorang yang
menghindar dari musuh berbahaya yang tidak diketahui. Ditengah-tengah
masyarakat kami memang ada Jemaah yang dicap sebagai wahhabiyah dan petingginya
adalah syaikh Bahjad Al Baithaar. (ibid 484-485)
Keberanian beliau dalam menentang bid'ah dan menyuarakan kebenaran.
Syaikh Zuhar As Syawis berkata: Seluruh
ulama yang turut serta dalam menyebarkan dakwah salafiyah di Syam sejak
Jamaluddin Al Qaasimy hingga Abdul Qadir Badran, Abdul Fattah Al Imam, Syaikh
Bahjatil Biithoor, Nasiruddin Al Al Bani semuanya dabat disimbolkan dengan Ali
Thanthawi, karena dia memiliki keberanian lebih yang tidak dimiliki oleh
sebagian mereka. Syaikh Zuhair melanjutkan: "Syaikh Rahimahullah sering
mendatangi perayaan maulid, -tentu perayaan ini merupakan suatu bid'ah- Setiap
orang yang datang berusaha meluruskan dengan sopan dan dengan bahasa yang
santun, seandainya kalin bgini, seandainya begitu. Tapi jika datang Ali
Thantawi, dengan lantang ia berkata, semuai ini adalah kesalahan, ini merupakan
penghinaan terhadap nabi, mengapa kalian berbicara soal matanya, perutnya,
kakinya, soal bibirnya. Apakah ini petunjuk nabi.? Sungguh Hidayahnya ada dalam
petunjuknya, dalam qur'annya. Maka sejurus kemudian manusia terbagi menjadi dua
kubuh, antara pelaku bid'ah dan ahlussunnah. Syaikh Ali lalu keluar
meninggalkan tempat perayaan dan orang-orangpun keluar bersamanya meninggalkan
perayaan tersebut dalam jumlah yg banyak (Hayaatul Insaan)
Mu'min Diraniyah mengatakan, "Ketika
beliu masih duduk dibangku sekolah dasar, sekolahnya biasa mengadakan
kegiatan menyampaikan pidato di pagi hari dihadapan kepada sesama murid. Pada
hari yang menjadi giliran Ali kecil bertepatan dengan kunjungan seorang juru
runding perancis, diapun menyampaikan pidato yang dengan keras menyerang
orang-orang prancis dan mengajak yang hadir agar menghentikan kegiatan
penyambutan atas juru runding itu. Dia memprovokasi masa untuk tidak menghadiri
penyambutan sang juru runding. Ungkapan jujur yang keluar dali mulut Ali kecil
itu ternyata mendapat respon dari sebagian gurunya, mereka akhirnya menolak
menghadiri acara penyambutan juru runding Perancis itu, sebagai ganjarannya
Thantawi kecil pun harus menerima pengurangan nilai akhlak dan suluk sebagai
hukuman atas keberaniannya" (Hayaatul Insaan)
Dan Diapun Pergi.......
Diusianya yang ke delapan puluh, mulailah
terlihat peluh dan letih dari wajah beliau. Rasa letih itu jualah yang membuat
ia memilih berhenti dari berbagai acara di Radio dan Televisi serta memilih
untuk tinggal menetap dirumahnya, kondisi ini membuat rumahnya berubah bak
sebuah Nadwah (balai pertemuan) tempat mendiskusiakan berbagai hal yang
mencakup masalah-masaalah bahasa , fikih dan Sejarah.
Pada hari Jum'at tanggal 4 Rabi'ul awwal
1420 H bertepatan dengan 18 Juni 1999 beliau menutup usia RS Malik Fahd Jeddah
dan dishalatkan di Haram Makki pada hari berikutnya selepas shalat Ashar Sabtu
19 Juni 1999 M. Kepergiannya menjadi topik utama diberbagai media. Ungkapan belasungkawapun
datang dari berbagai penjuru. Pena-pena sastrawan tergerak menggubah
syair-syair perpisahan, semua seolah bercerita tentang namanya yang akan terus
hidup dihati orang-orang yang mencintainya. Rahimakallahu ya Syaikh……
"Kematian bukanlah akhir dari
segalanya. Ia hanyalah perpindahan menuju alam yang lebih luas serta kehidupan
yang lebih panjang (abadi) (dari dunia ini).
Semua tak ubahnya seperti perpindaahan
janin yang melalui proses kelahiran menuju dunia ini.
Sungguh setelah kematian, ada kehidupan
yang menyuguhkan kebahagiaan dan penderitaan, serta kegembiraan dan penyesalan.
Hanya orang gila yang meragukan akan
adanya kehidupan yang lain (di akhirat) dan berusaha mendebatnya atau berkata:
" Kehidupan tidak lain hanyalah
kehidupan dunia, kita mati dan hidup dan kita tidak akan dibangkitkan lagi (QS:
Al-Mu'minun: 37)
(Fushuulun Islaamiyah Hal:66)
Karya Beliau.
Selama hidup beliau telah menulis lebih
dari 15.000 artikel. Sebagian telah dicetak hingga berulang kali. Keindahan
karya beliu terletak pada bahasanya yang mudah dengan tetap mempertahankan
konsep philology sastra arab yang tinggi. Itulah yang membuat penulis membeli
seluru karyanya tanpa terkecuali. Banyak sastrawan yang menilai bahwa beliau
rahimahullah termasuk ulama yang sukses membawa ruh sastra kedalam dunia fiqih
sebagaimana Ibnu Qutaibah dalam dunia Hadits.
Diantara karya beliu adalah:
ذكريات
1-8
فتاوى
تعريف عام بدين الإسلام
أبو بكر الصديق
أخبار عمر وأخبار عبد الله بن عمر
الجامع الأموي في دمشق
هتاف المجد
في سبيل الإصلاح
دمشق (صور من جمالها، وعبر من نضالها)
فكر ومباحث
بغداد (مشاهدات وذكريات)
فصول إسلامية
مقالات في كلمات ج1
مقالات في كلمات ج2
من نفحات الحرم
صيد الخاطر للإمام بن الجوزي، تحقيق الطنطاويين
حكايات من التاريخ (جابر عثرات الكرام، المجرم ومدير الشرطة، التاجر والقائد، قصة الأخوين، وزارة بعنقود عنب، ابن الوزير)
أعلام التاريخ (عبد الرحمن بن عوف، عبد الله بن المبارك، القاضي شريك، الإمام النووي، أحمد بن عرفان الشهيد)
قصص من التاريخ
رجال من التاريخ
صور وخواطر
مع الناس
قصص من الحياة
من حديث النفس
صور من الشرق في اندونسيا
فتاوى
تعريف عام بدين الإسلام
أبو بكر الصديق
أخبار عمر وأخبار عبد الله بن عمر
الجامع الأموي في دمشق
هتاف المجد
في سبيل الإصلاح
دمشق (صور من جمالها، وعبر من نضالها)
فكر ومباحث
بغداد (مشاهدات وذكريات)
فصول إسلامية
مقالات في كلمات ج1
مقالات في كلمات ج2
من نفحات الحرم
صيد الخاطر للإمام بن الجوزي، تحقيق الطنطاويين
حكايات من التاريخ (جابر عثرات الكرام، المجرم ومدير الشرطة، التاجر والقائد، قصة الأخوين، وزارة بعنقود عنب، ابن الوزير)
أعلام التاريخ (عبد الرحمن بن عوف، عبد الله بن المبارك، القاضي شريك، الإمام النووي، أحمد بن عرفان الشهيد)
قصص من التاريخ
رجال من التاريخ
صور وخواطر
مع الناس
قصص من الحياة
من حديث النفس
صور من الشرق في اندونسيا
Sekian.
Wallahu ta'ala a'lam
Aan Chandra Thalib El-Gharantaly.
Madinah Al-Munawwarah, 12-06-1434 H
http://abulfayruz.blogspot.com/2014/02/biografi-syaikh-ali-musthafa-thantawi.html