Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?
(Kritikan Ilmiah untuk Penentang Dakwah
Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Disusun oleh: Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
Sesungguhnya Alloh telah berjanji menjaga
kemurnian agama-Nya, dengan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk berjuang
membela agama dan membantah ahli bid’ah, para pengekor hawa nafsu, yang
seringkali menyemarakkan agama dengan kebid’ahan dan mempermainkan dalil
al-Qur’an dan as-Sunnah seperti anak kecil mempermainkan tali mainannya. Mereka
memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan lucu. Hal itu karena mereka
memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa nafsu.
Bila anda ingin bukti, terlalu banyak,
tetapi contoh berikut ini mungkin dapat mewakili.
Dalam sebuah majalah bulanan yang terbit
di salah satu kota Jawa timur, seorang yang menamakan dirinya ”Masun Said Alwy”
menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul ”Membongkar Kedok
Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”.
Setelah penulis mencoba membaca tulisan
tersebut, ternyata hanya keheranan yang saya dapati. Bagaimana tidak? Tulisan
tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan, sampai-sampai betapa
hati ini ingin sekali berkata kepada penulis makalah tersebut, ”Alangkah
beraninya anda berdusta! Tidakkah anda takut siksa?!”
Sungguh banyak sekali kebohongan yang
kudapati([1]),
namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi topik bahasan rubrik hadits
adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits” sebagai berikut:
”Sungguh Nabi SAW telah memberitakan
akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda
kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh
hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih
Bukhari & Muslim dan lainnya”. Di antaranya:
الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ
Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah
itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur (Nejed). HR.
Muslim dalam Kitabul Fitan
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري
Akan keluar dari arah timur segolongan
manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka
(tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak anah keluar dari
busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan
kembali ke tempatnya,tanda-tanda mereka ialah bercukur. HR. Bukhari no 7123,
Juz 6 hal 20748. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud
dan Ibnu Hibban.
Nabi SAW pernah berdoa
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam
negara Syam dan Yaman.
Para sahabat bertanya: Dan
dari Nejed wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Alloh, berikanlah kami
berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW
bersabda:
هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ
Di sana (Nejed) akan ada keguncangan
fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk Syetan. Dalam riwayat
lain: Dua tanduk Syetan.
Bani Hanifah adalah kaum nabi
palsu Musailamah Al-Kadzdzab danMuhammad bin Su’ud. Kemudian dalam kitab
tersebut Sayyid Alwimenyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain
ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan,
bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah
merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut
Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya
mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan
berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah
terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh
Sayyid Abdur Rahman al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak
Muhammad bin Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits
Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka
adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat
demikian”.
Al Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin
Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddadmenyebutkan dalam kitabnya “Jala’udz
Dzolam” sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi
SAW:
سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ
Akan keluar di abad kedua belas
nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan
sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman
itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil
untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”. Al-Hadits.
INILAH JAWABANNYA
Demikianlah teks ucapannya sebagaimana
termuat dalam Majalah ”Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H
(September 2005 M) hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi (adapun
penulisan cetak tebal dalam beberapa kata atau kalimat adalah dari admin
blog). Ucapan di atas mendorong penulis menanggapinya dalam tiga point
pembahasan:
I. Pertama: Dakwah Muhammad bin Abdul
Wahhab Adalah Fitnah Nejed?([2])
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh
saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah hal baru melainkan hanyalah daur ulang
dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad
dalam Mishbahul Anam hal. 5-7, al-A’jili dalamKasyful Irtiyab hal.
120, Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah hal.
54([3]),
Muhammad Hasan al-Musawi dalam al-Barahin al-Jaliyyahhal. 71, an-Nabhani
dalam ar-Raiyah ash-Sughra hal. 27, dan lain-lain dari orang-orang
yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud ”Nejed” dalam
hadits-hadits di atas adalah Hijaz (Saudi Arabia sekarang) dan maksud fitnah
yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!
Kebohongan ini sangat jelas bagi orang
yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari
beberapa segi:
A. Hadits itu saling menafsirkan
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur
hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi baginya
penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini. Dalam lafazh yang
dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 12/384
no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin
Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam
kami, wahai Alloh berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa
kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai
Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat
kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”
Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah seorang
yang dikenal haditsnya, sebagaimana kataImam Bukharidalam Tarikh al-Kabir 5/388/1247. Ibnu
Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil 5/322 dari ayahnya,
”Shalih (bagus) haditsnya.”
Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub
al-Fasawi dalam al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam al-Fawa’id
al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam al-Fawa’id 2/164, Abu Nu’aim
dalam al-Hilyah 6/133, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120
dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umardari ayahnya
dengan lafazh:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah
kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah
kami dalam Syam kami. Wahai Alloh, berkahilah kami dalam sha’ kami dan
berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Dalam
Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan
mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut mengatakan, ”Dalam Iraq
kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan
fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.” (Sanad hadits ini shahih,
sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Imam Muslim dalam Shahihnya 2905
meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar
ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:
يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya
kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian
menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya
mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini –beliau sambil mengarahkan
tangannya ke arah timur–, dari situlah muncul tanduk setan….’”
Riwayat ini sangat jelas menunjukkan
bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq sebagaimana dipahami oleh Salim bin
Abdullah bin Umar.
Al-Khaththabi berkata dalam I’lam
Sunan 2/1274, ”Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah,
nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna
’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata
dari ’Ghaur’ yaitu setiap tanah yang rendah
sepertiTihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan Makkah. Fitnah itu muncul
dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal
sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.”
Demikian pula dijelaskan oleh para ulama
lainnya seperti:
al-‘Aini dalam Umdatul Qari 24/200,
al-Kirmani dalam Syarh Shahih
Bukhari 24/168,
al-Qashthalani dalam Irsyad Sari 10/181,
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47,
dan sebagainya.
Hal ini dapat kita temukan juga dalam
kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti al-Qamus al-Muhith oleh ar-Razi
dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur, dan dalam kitab-kitab gharib
hadits seperti an-Nihayah fi Gharib Haditsoleh Ibnu Atsir.
Dengan sedikit keterangan di atas,
jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa
maksud ”Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah nama negeri
tertentu, tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari
sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak
sekali jumlahnya. (lihat Mu’jam al-Buldan 5/265, Taj al-Arus 2/509, Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh Hadits 8/339)
Jadi, Nejed yang merupakan
tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan
(fitnah) adalah arah Iraq. Karena itulah timur kota Madinah
Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan lafazh hadits ini kalau digabungkan,
ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya, sebagaimana hal ini
juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama –yang terdepan adalah Salim, anak
Ibnu Umar-radhiyallahu a’nhu-dan para pakar ahli bahasa.
(2) Sejarah dan fakta lapangan
membuktikan kebenaran hadits Nabi n/ di atas. Benarlah,Iraq adalah sumber
fitnah([4]),
baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Seperti:
Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,
Perang Jamal,
Perang Shifin,
Fitnah Karbala’,
Tragedi Tatar.
Demikian pula munculnya kelompok-kelompok
sesat seperti
Khawarij yang muncul di kota Harura’
–kota dekat Kufah–,
Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih
kuat–,
Mu’tazilah,
Jahmiyah, dan
Qadariyah.
Awal kemunculan mereka di Iraq,
sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.
Dan kenyataan yang kita saksikan dengan
mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu mahal. Banyak
peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan) orang-orang kafir
dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan di
Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan menyatukan barisan
mereka. Amiin.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam al-Istidzkar (27/248),
”Rasulullah mengkhabarkan datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar
secara nyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana.
Seperti perang Jamal, perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya
dari fitnah yang terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang.
Akan sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap
penjuru kota Islam, namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”
Syaikh Abdur Rahman bin
Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265),
”Telah terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah
terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah,
seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah
Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan
Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”
Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi
al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh, Iraq
memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam fitnah
satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’ (kelompok
Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak dikafirkan
oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq. Fitnah
Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok ajaran
mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur. Fitnah ahli
bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang
di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan ghuluw (berlebihan)
mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abu Thalib-radhiyallahu
a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat, merupakan hal yang
sangat masyhur juga.”
.
(3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud
hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka,
sebab hadits tersebut hanya mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat,
tidak menvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya
suatu fitnah di suatu tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang
yang bertempat tinggal di tempat tersebut.
Bukankah Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah
Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan
setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela,
padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di
dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di
dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin
seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di
tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus
fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an
Waswasah Syaikh Dahlan hal. 498-500 oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan mengatakan,
”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu tergantung kepada
penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya.
Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu
lain, demikian pula sebaliknya.
Seandainya Nejed tercela karena
Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para pengikutnya,
niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku nabi….
Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum
Yahudi tinggal di sana dan kota Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya
dahulu mendustakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi
dakwahnya.” (Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il 4/265).
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin
Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis hal. 92,
”Timbangan keutamaan itu tergantung pada
penduduknya, berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang
paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan
sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan,
kebid’ahan, dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak
salafush shalih. Jadi, keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan
orangnya.”
Sebagai kesimpulan, penulis ingin
menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini,Muhammad
Nashiruddin al-Albani yang telah menepis salah paham hadits ini dalam
berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadits yang panjang,
”Sengaja saya memperluas keterangan
takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena
sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid
telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di
jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan
karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
Mereka tidak tahu atau memang pura-pura
tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang
dimaksud adalah Iraq sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini.
Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam
Khaththabi,Ibnu Hajar al-Asqalani, dan sebagainya.
Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang
berasal dari negeri tercela tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia
orang yang shalih. Demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan
fasik di Makkah, Madinah, dan Syam. Dan betapa banyak orang alim dan shalih di
Iraq([5])?
Alangkah bagusnya ucapan Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak
dirinya hijrah dari Iraq ke Syam, ”Amma ba’du,sesungguhnya negeri yang mulia
tidaklah membuat seorang pun menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal
perbuatannya.”
(Silsilah Ahadits Shahihah 5/305)
Beliau juga berkata,
”Jalur-jalur hadits ini menguatkan
bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi adalah arah timur, yang tepatnya
adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat.
Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah
adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum
muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti
bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari 7/77 dan Ahmad 2/85, 153
meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya dia menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu
a’nhu-ketika ditanya oleh seorang dari Iraq tentang hukum membunuh
lalat bagimuhrim (orang yang sedang ihram). Maka berkata Ibnu Umar,
’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya
kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat, padahal kalian telah
membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan beliau (Nabi) sendiri bersabda:
Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kesayanganku di dunia.’”
(Silsilah Ahadits Shahihah 5/655-656)
Beliau juga berkata,
”Apa yang dikhabarkan oleh
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telahterbukti.
Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan
sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits
ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”
(Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq,
hal. 26-27)
.
II. Kedua: Muhammad bin Abdul Wahhab dan
cukur rambut([6])
Adapun tudingan saudara Masun Said
Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan setiap pengikutnya
mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam-tentang Khawarij, ”Tanda mereka adalah cukur rambut.”
Kebohongan ini pun bukanlah hal yang
baru. Ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti:
Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam al-Fajr
ash-Shadiq dan
Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus
Saniyyah,
dan lain-lain.
Tuduhan ini sangat mentah. Tujuan di
balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa point untuk mendustakan
tuduhan ini:
(1) Mereka mendustakan tuduhan bohong ini
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan
orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, ”Sesungguhnya ini adalah kedustaan
dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir
tidak mungkin melakukan hal ini. Karena kekufuran dan kemurtadan tidaklah
terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang maklum
bi dharurah (diketahui oleh semua). Macam-macam kekufuran, baik yang berupa
ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak
mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau
kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah
sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.”
(Durarus Saniyyah 10/275-276, cet. kelima)
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata,
”Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kezhaliman, dan penganiayaan.” (adh-Dhiya’
asy-Syariq hal. 119)
Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi berkata
juga, ”Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan kebohongan yang sangat keji.”
(Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 560)
(2) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab tentang mencukur rambut
Merupakan bukti yang menguatkan
kebohongan tuduhan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjelaskan
pendapatnya dalam masalah mencukur rambut atau memeliharanya, yang menyelisihi
tuduhan musuh-musuhnya. Beliau berkata, ”Imam Ahmad pernah ditanya tentang
seorang yang memelihara rambutnya? Dia menjawab, ’Sunnah yang bagus, seandainya
kami mampu maka kami akan melakukannya. Rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi
wa sallam- sampai ke bahunya.’ Dan disunnahkan sifat rambut seorang
seperti sifat rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kalau panjang maka
sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai ke daun telinga.”
Beliau juga berkata, ”Dibencikah mencukur
rambut kepala pada selain haji dan umrah? Ada dua riwayat;Pertama: Dibenci,
berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-tentang Khawarij,
’Tanda mereka adalah bercukur.’ Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan
larangannya tentang qaza’ (mencukur sebagian rambut dan membiarkan
sebagian lainnya), ’Cukurlah semua atau biarkan semua.’ (HR. Abu Dawud). Ibnu
Abdil Barr berkata, ’Para ulama di setiap tempat bersepakat bolehnya bercukur.’
Cukuplah ini sebagai hujjah.” (Mukhtashar al-Inshaf wa Syarh al-Kabir, kumpulan
karya Syaikh Ibnu Abdil Wahhab 1/28, cet. Jami’ah Imam)
(3) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab tentang Khawarij
Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dikategorikan termasuk hadits yang disinyalir Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri
dari Khawarij. Perhatikan ucapannya, ”Telah mutawatir hadits-hadits dari
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ciri-ciri
khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka.” (Mukhtashar Sirah
Rasul hal. 498)
(4) Ibadah dengan mencukur gundul
merupakan syi’ar Khawarij
Adapun ucapan saudara ”Hal seperti ini tidak
pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya”, ini merupakan
kesalahan dan kejahilan. Sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar
aliran sesat Khawarij dan diikuti sebagian sufi.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata
dalam Fatawanya (hal. 347): ”Alasan para ulama membenci cukur rambut dan
menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar Khawarij
dahulu.” (lihat pula Aridhatul Ahwadzi 7/256 oleh Ibnul Arabi dan Fathul Bari
13/669 oleh Ibnu Hajar)
Dan (syi’ar) ini juga diikuti oleh
sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan oleh:
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam: al-Istiqamah 1/256
dan muridnya, Ibnul
Qayyim, dalam Ahkam Ahli Dzimmah2/749.
Maka ucapan “Hal ini tidak pernah terjadi
pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.
III. Ketiga: Berdusta atas nama hadits([7])
Adapun hadits yang dinukil oleh
saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jala’udz Dzolam fir Raddi
‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” olehSayyid Alwy al-Haddaddari Abbas bin
Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Sebab hadits
ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, tetapi
tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.
Anda jangan tertipu dengan ucapan di
akhirnya: “Al-Hadits”!!
Seandainya itu diriwayatkan oleh ahli
hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya? Lebih terkejut lagi,
kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya bukan dari kitab
aslinya, melainkan hanyalah ucapan Masun Said Alwy.
Seharusnya saudara Masun Said
Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya. Si pengarang kitab tersebut
mengatakan, ”Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang
mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya.” !!
Kalau memang tidak diketahui siapa yang
meriwayatkannya, mengapa dia berdalil dengannya?! Jadi, hadits ini hanyalah
buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya. Dia berdusta atas nama
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara terang-terangan di
depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian, dan
alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka berdusta
atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengaku
cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkinkah dua hal ini dapat
bersatu di hati seseorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli
bid’ah dan pendusta.
Sungguh lucu ucapannya “Tidak diketahui
siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya kepada kitab yang
tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di tengah-tengah
orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya ucapan Nabi.
Kami harap anda jangan heran,
karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan
setiap penggemar bid’ah.
PENUTUP & NASIHAT
Usai kita menanggapi tiga permasalahan di
atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasihat bagi kita semua dan secara
khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel ”Membongkar Kedok
Wahabi”:
(1) Hendaknya kita mempelajari makna
hadits dengan bantuan kitab-kitab syarah(penjelasan) para ulama agar tidak
ngawur menafsirkannya.
Alangkah indahnya ucapan Sufyan bin
‘Uyainah:
يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً
Wahai penuntut ilmu hadits! Pelajarilah
makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits selama tiga puluh
tahun.
(2) Hendaknya kita lebih selektif dan
kritis dalam menerima berita, sebagaimana yang diperintahkan Alloh dalam
kitab-Nya (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS.
al-Hujurat: 6)
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan
Yaman berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas,
memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka
bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah
Syiyanatul Insan hal. 29-30)
Maka kepada para pendengki dakwah ini,
bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian,
niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan kedustaan dan
tuduhan!
(3) Seringkali kami menasehatkan kepada
saudara-saudara kami agar waspada dalam menyampaikan hadits lemah dan palsu,
apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya. Ditambah lagi, apabila hal itu untuk
mendukung selera hawa nafsu. Semua itu dosa yang sangat berbahaya, karena
termasuk dusta atas nama Nabi-shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Sebagaimana kami nasehatkan juga
agar kita selektif dalam menyebutkan hadits, yaitu hendaknyadisertai
riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan “al-Hadits” begitu saja.
Akhirnya kita memohon kepada Alloh
hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.
.
artikel: http://abiubaidah.com
([1]) Seperti tuduhan kejinya
bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah alat Inggrisuntuk
menyebarkan ajaran barunya, mengkafirkan kaum muslimin, punya keinginan mengaku
nabi, merendahkan Nabi n/ dan melecehkannya, menghancurkan makam-makam
bersejarah dan tuduhan-tuduhan dusta lainnya. Penulis telah berniat membongkar
kebohongan-kebohongan ini secara terperinci pada edisi ini tetapi keterbatasan
halaman mengurungkan niatnya. Semoga pada edisi-edisi berikutnya, Alloh
memudahkan terwujudnya niat baiknya.Amiin.
([2]) Disadur dari kitab al-Iraq
fi Ahadits wa Atsar al-Fitan oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin
Hasan Alu Salman, cet. Maktabah al-Furqan.
([3]) Telah diulas bantahannya
dalam majalah AL FURQON Edisi 3 Tahun V Rubrik ”Kutub”. Silakan baca
kembali.
([4]) Oleh karenanya, para ulama
menjadikan hadits ini sebagai salah satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad n/.
Lihat Umdatul Qari 24/200 oleh al-’Aini dan Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah 5/655, dan Takhrij Ahadits Fadhail Syam hal. 26-27
oleh al-Albani.
([5]) ”Tak seorang muslim pun
mengatakan tercelanya para ulama Iraq. Bagaimana tidak, para pembesar ahli
hadits, fiqh, dan jarh wa ta’dil, mayoritas mereka dari Iraq.” (Mishbah Zhalam hal.
336)
([6]) Disadur dari risalah Sya’rus
ar-Ra’si oleh Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi.
([7]) Lihat Muqaddimah Hadzihi
Mafahimuna oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.
Lihat 129 Comments di sumbernya