Telaah Kritis Terhadap Buku : MEMBUMIKAN AL QUR’AN
Buku Membumikan Al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat Adalah sebuah buku popular
yang pernah mendapatkan predikat best seller. Ia berasal dari enam puluh lebih
makalah dan ceramah yang pernah disampaikan penulisnya pada rentang waktu 1975
hingga 1992.
Buku ini terbagi menjadi dua
bagian: yang pertama adalah gagasan al Qur’an yang merupakan penjelasan pokok-pokok memahami
al Qur’an dan yang kedua adalah amalan al Qur’an yang menggambarkan tentang solusi
problem-problem masyarakat dengan berpijak pada pemahaman al Qur’an.
Hanya, setelah kami telaah
buku ini, ternyata di dalamnyaTERDAPAT SYUBHAT-SYUBHAT
YANG MEMBAHAYAKAN AQIDAH DAN PEMAHAMAN SEORANG MUSLIM. Karena itulah, insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha
melakukan telaah kritis terhadap buku ini untuk memenuhi permintaan sebagian
pembaca Al Furqon yang meminta kami untuk membahas buku ini dan sekaligus
sebagai nasihat kepada kaum muslimin secara umum.
Penulis dan Penerbit Buku
Ini
Buku ini ditulis oleh Prof.Dr.Muhammad Quraisy Syihab, MA. Dan diterbitkan oleh penerbitMizan Bandung Edisi Baru cetakan pertama Juli 2007/Rajab 1428
Kitab-Kitab Aqidah Tidak
Relevan Dengan Kondisi Masa Kini..?!
Penulis berkata dalam
hal.289:
“Secara umum, para ahli
keislaman mengakui bahwa materi-materi yang ditemukan di dalam berbagai kitab
aqidah (teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi masa kini.
Materi-materi tersebut diambil oleh generasi demi generasi. Sedangkan
penulisannya pertama kali diperngaruhi oleh situasi sosial politik saat itu.”
Kemudian penulis menyebutkan
rujukannya dalam masalah ini kepada tokoh-tokoh rasioanalis: Abdul Halim Mahmud
dalam kitabnya Al Islam wal
Aql, Mahmud Syaltut dalam kitabnya al Islam Aqidah wa Syari’ah, dan Muhammad al Ghazali dalam Aqidah
al Muslim.
Kami katakan:
Perkataan penulis di atas
senada dengan perkataan Muhammad Surur (Manhajul Anbiya’ Fid Da’wah
Ilallah 1/8): “Aku melihat kitab-kitab aqidah, ternyata kitab-kitab itu ditulis
bukan pada zaman kita. Kitab-kitab itu adalah solusi bagi
permasalahan–permasalahan yang terjadi di saat kitab-kitab itu ditulis,
sedangkan zaman kita sekarang ini membutuhkan solusi-solusi yang baru. Gaya
bahasa kitab-kitab aqidah banyak yang kering karena hanya terdiri dari
nash-nash dan hukum-hukum…”
Syaikh Sholih bin Fauzan al
Fauzan hafidzahullah telah membantah syubhat diatas. Beliau mengatakan (Ajwibah Mufidah ‘An As’ilatil Manahijil Jadidah hal.55-56):
“Orang ini –Muhammad Surur-
hendak menyesatkan para pemuda Islam dengan perkataannya ini, memalingkan
mereka dari kitab-kitab aqidah yang shohihah dan dari kitab-kitab salaf. Dia mengarahkan
para pemuda Islam kepada pemikiran-pemikiran baru dan kitab-kitab baru yang
mengandung syubhat-syubhat. Kitab-kitab aqidah, kelemahannya menurut Muhammad
Surur adalah karena terdiri atas nash-nash dan hukum-hukum, didalamnya terdapat
perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan
dia menginginkan pemikiran fulan dan fulan, dan tidak ingin nas-nash dan
hukum-hukum. Oleh sebab itu, wajib bagi kalian –kaum muslimin- mewaspadai
seludupan-seludupan pemikiran yang bathil ini yang bertujuan memalingkan para
pemuda kita dari kitab-kitab salaf yang sholih.
Alhamdulillah, kita telah
merasa cukup dengan peninggalan-peninggalan salafush shalih seperti kitab-kitab
aqidah dan kitab-kitab dakwah, bukan dengan gaya bahasa yang kering –seperti
yang disangka Muhammad Surur- melainkan dengan gaya bahaya ilmiah dari
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Shohih
Bukhari, Shohih Muslim, dan kitab-kitab hadits yang lainnya, kemudian
kitab-kitab sunnah, seperti kitab as
Sunnah oleh Ibnu Abi AShim, asy Syari’ah oleh al Ajuri, as Sunnah oleh Abdulah
bin Imam Ahmad, kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul
Qoyyim, dan kitab-kitab Syaikhul Islam al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab.
Wajib atas kalian mengambil dari kitab-kitab ini. Maka aqidah tidak boleh
diambil kecuali dari nash-nash Kitab dan Sunnah, bukan dari pemikiran fulan dan
allan.”
Pemikiran Trinitas Tidak
Kafir?
Penulis berkata dalam
hal.290:
“Tentang hukuman kafir bagi
penganut ajaran Trinitas dan hukum haram bagi wanita muslim yang kawin dengan
orang kafir, merupakan hal yang perlu disajikan kepada anak didik. Hanya saja,
penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa penganut ajaran
Trinitas tidak disebut “kafir” oleh al Qur’an melainkan disebut Ahli Kitab”….
Kami katakan:
Bagaimana dikatakan bahwa
penganut ajaran Trinitas tidak disebut “kafir” oleh al Qur’an padahal Allah
azza wa jalla telah berfirman dalam kitab-Nya (yang artinya):
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al Masih putra Maryam”, padahal al
Masih (sendiri) berkata,”Hai Bani Israil, ibadahilah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah
ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal
sekali-sekali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
berenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir diantara
mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [QS.al
Ma’idah/5:72-73]
Imam Ibnu Katsir
berkata,”Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang pengkafirankelompok-kelompok dari
Nasrani: Malakiyyah, Ya’kubiyyah, dan Nusthuriyyah, dari mereka yang mengatakan
bahwa al Masih adalah Allah Ta’ala.” [Tafsir Ibnu
Katsir:2/151]
Perempuan Boleh Berpolitik
Praktis?
Penulis berkata di dalam
hal.435 dari bukunya ini:
“Tentunya masih banyak lagi
yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang.
Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik bahwa mereka sebagaimana sabda Rasul
adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta
hak-haknya hampir dikatakan sama.”
Di antara contoh hak-hak
perempuan yang dikatakan sama oleh penulis dengan hak laki-laki adalah hak
berpolitik praktis sebagaimana dia katakan dalam hal.426:
“Di sisi lain, al Qur’an juga
mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melakukannya:
“Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah.” [QS. 42:38]
Ayat ini dijadikan pula dasar
oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki
dan perempuan…kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita
yang terlibat di dalam soal-soal politik praktis.
Kami katakan:
Hadits wanita adalah Syaqo’iq ar Rijal (saudara-saudara
sekandung kaum lelaki) adalah hadits yang shohih diriwayatkan oleh Abu Daawud
di dalam Sunan-nya:237 dan dishohihkan Syaikh al Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 1/72.
Maksud hadits tersebut, bahwa
wanita itu sama hukumnya dengan laki-laki baik dalam masalah perintah dan
larangan, pahala dan dosa, serta yang lainya. Namun, yang harus disadari, bahwa
Allah dan Rasul-Nya telah membedakan antara keduanya dalam beberapa masalah
karena bagaimana pun juga wanita itu bukan laki-laki, sebagaimana dalam firman
Allah azza wa jalla (yang artinya):
“…Dan laku-laki tidaklah seperti perempuan…” [QS.Ali Imran/3:36]
Syaikh Musthofa al ‘Adawi
rahimahullah berkata, “Hadits di atas berlaku secara umum bagi setiap masalah
yang tidak terdapat nash yang membedakan antara laki-laki dan wanita. Adapun
kalau didapatkan sebuah nash yang membedakan antara laki-laki dan wanita maka
wajib tunduk pada nash tersebut dan memberikan hukum tersendiri bagi laki-laki.
Suatu misal, jangan ada seorang pun yang berkata bahwa persaksian seorang
wanita sama dengan persaksian laki-laki berdasarkan hadits diatas, ini adalah
pendapat yang sangat mungkar dan kedustaan. Jangan sampai ada yang mengatakan
bahwa seorang wanita memiliki hak kepemimpinan sebagaimana seorang laki-laki,
ini adalah pendapat yang dusta dan bathil. Sungguh Allah azza wa jalla telah
berfirman (yang artinya):
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita…” [QS.an Nisa’/4:34]
Juga, jangan ada seorang pun
yang berpendapat bahwa warisan wanita sama dengan warisan laki-laki. Ini adalah
sebuah kesalahan yang nyata.” [Jami’ Ahkamin Nisa’:1/12]
Islam telah memuliakan
wanita, menjaga hak-haknya dan mengarahkannya kepada perkara-perkara yang
mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Islam memerintah
wanita agar berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom dan menjauh dari ikhtilath(campur baur) dengan
laki-laki. Wanita dilarang melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama
mahromnya dan dilakarang berkholwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan
mahrom sebagaimana dalam hadits-hadits yang shohih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Allah azza wa jalla berfirman tentang wajibnya para wanita
berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom (yang artinya):
“…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hti mereka…” [QS.al
Ahzab/33:53]
Dan Allah azza wa jalla
berfirman (yang artinya):
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”….[QS.al
Ahzab/33:59]
Ayat diatas menunjukkan bahwa
hukum hijab berlaku umum bagi Ummahatul Mukminin dan para wanita mukminat.
Adapun tentang masalah
ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita, Allah azza wa jalla
berfirman ketika mengisahkan Nabi-Nya, Musa ‘alaihissalam (yang artinya):
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri
Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita
yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata,”Apakah maksudmu (dengan
berbuat begitu) ?” kedua wanita itu menjawab,”Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya),
sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” Maka musa
memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya….” [QS.al Qoshosh/28:23-24]
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata,”Tidak syak lagi bahwa memberikan kesempatan bagi para
wanita untuk bercampur baur dengan para lelaki adalah sumber semua bencana dan
kejelekan. Ia adalah sebab terbesar dari turunnya adzab yang merata sebagaimana
ia adalah sebab kerusakan perkara-perkara umum dan khusus. Bercampur baurnya
laki-laki dan wanita adalah sebab banyaknya perbuatan-perbuatan keji dan
perzinaan.” [Thuruq Hukmiyyah hal.281]
Membolehkan wanita berpolitik
praktis akan merenggut wanita dari sebab-sebab kemuliaan dan mencampakkannya ke
dalam jurang-jurang kehinaan karena dia diberi kebebasan sebebas-bebasnya,
bepergian ke mana pun yang dia mau tanpa disertai mahrom, bercampur baur dengan
laki-laki mana pun yang dia mau dan berbuat sekehendaknya tanpa ada yang
menjaga dan mengawasinya!
Selamat Natal Menurut al
Qur’an
Penulis, dalam hal.579-580,
membawakan Surat Maryam ayat 23-30 kemudian mengatakan:
“Itu cuplikan kisah Natal
dari al Qur’an. Dengan demikian, al Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa Alaihissalam.
Kemudian penulis berkata
dalam hal.583:
“Tidak kelirulah, dalam
kacamata ini, fatwa dan larangan (ucapan “selamat Natal”) itu, bila ia
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tidak juga salah
mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan
tetap memelihara aqidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan
keharmonisan hubungan.”
Di akhir bahasan dalam
hal.584 penulis mengamalkan apa yang dia serukan untuk mengucapkan selamat
Natal:
“Salam sejahtera semoga
tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat, dan hari kebangkitannya
nanti.”
Kami katakan:
Di antara pokok-pokok aqidah
Islam adalah wajibnya memberikan wala’ (loyalitas) kepada setiap muslim dan
baro’ (membenci dan memusuhi) orang-orang kafir, wajib memberikan wala’ kepada
orang-orang yang bertauhid dan baro’ terhadap orang-orang musyrik. Inilah agama
Ibrahim ‘alaihissalam yang kita semua diperintah Allah agar mengikutinya. Allah
azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata
kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja.”….[QS.al
Mumtahanah/60:4]
Allah azza wa jalla
mengharamkan wala’ kepada orang-orang kafir semuanya sebagaimana dalam
firman-Nya (yang artinya):
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…” [QS.al Mumtahanah/60:1]
Di antara bentuk-bentuk wala’
kepada orang-orang kafir yang diharamkan adalah ikut serta dalam
peringatan-peringatan hari raya orang-orang kafir atau membantu pelaksanaannya
atau menyampaikan ucapan selamat hari
raya kepada mereka atau
menghadirinya.” [Lihat al Wala’ wal Baro’ kar.Syaikh Sholih al Fauzan hal.3-13]
MUI di dalam fatwanya
tertanggal 1 Jumadil Awal 1401H/7 Maret 1981 memutuskan bahwa mengikuti upacara
Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (Sumber: situs resmi Majelis Ulama Indonesia www.mui.or.id)
Lajnah Da’imah Saudi Arabia
di dalam fatwanya (no.11168) menyatakan, “Tidak boleh seorang muslim memberi
ucapan selamat kepada orang Nasrani pada hari raya mereka karena hal itu
berarti tolong menolong di dalam dosa. Sungguh Allah telah melarang kita dari
hal itu (yang artinya):
“….Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran…” [QS.al Ma’idah/5:2]
Sebagaimana di dalam ucapan
selamat itu terdapat kasih sayang kepada mereka, menuntut kecintaan serta
menampakkan keridhoan kepada mereka, padahal mereka selalu menentang Allah dan
menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, menjadikan baginya istri dan anak, Allah
azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak dan anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan
yang datang daripada-Nya.” [QS.al Mujadilah/58:22]
Penutup
Demikianlah di antara hal-hal
yang bisa kami paparkan dari sebagian penjelasan terhadap sebagian
syubhat-syubhat buku ini. Sebetulnya masih banyak hal lainnya yang belum kami
bahas mengingat keterbatasan tempat.
Semoga yang kami paparkan di
atas bisa menjadi pelita bagi kita dari kesamaran syubhat-syubhat tersebut dan
semoga Allah selalu menunjukkan kita kejalan-Nya yang lurus dan dijauhkan dari
semua jalan-jalan kesesatan. Aamiin. Wallahu
A’lam bish showab.
Sumber : Diketik ulang dari
Majalah al Furqon Edisi 07 Tahun kedelapan, Shofar 1430H/Feb 2009 Hal.39-42
Oleh : Abu Ahmad as Salafi
hafizhahullah