"Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu"
Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik...
Nasihat untuk Ahlus Sunnah Aceh dan Seluruh
Negeri (Disertai Jawaban Ilmiah Atas Fatwa Sesat dari MPU Aceh)
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi?
Tunjukkan!
Apakah Para Ulama Atjeh Yang Mengumandangkan
Perang Sabil Melawan Penjajah Belanda Adalah PARA ULAMA WAHABI??
Index ”Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/03/hanya-satu-jalan-menuju-allah-azza-wa.html
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/03/hanya-satu-jalan-menuju-allah-azza-wa.html
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan
Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” [Al-A’raf: 33]
MPU Aceh dan “Fatwa Pujangga” (Analisis
terhadap Fatwa MPU Aceh No. 09 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran,
Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh)
Oleh: Khairil
Miswar
Bireuen, 11 Oktober 2014
Dalam hal theology, mayoritas
masyarakat Aceh merujuk kepada pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari, sedangkan dalam
bidang fiqih berpedoman kepada Mazhab Syafi”iyah. Di sisi lain, secara
teoritis, para teungku dan ulama di Aceh mengakui keberadaan dan kebenaran empat
mazhab mu’tabar. Namun dalam aplikasinya, hal ini sering “terabaikan”. Bahkan,
dalam kondisi tertentu, terkadang perbedaan tata cara ibadah juga menjadi
pemicu timbulnya stigma-stigma sesat terhadap komunitas tertentu yang dianggap
menyalahi tradisi beragama yang telah mengakar dan dilaksanakan secara
turun-temurun oleh masyarakat Aceh.
Fatwa MPU Aceh
Sebagai daerah yang telah
diberi hak untuk menjalankan Syariat Islam, Aceh memiliki beberapa kekhususan
yang diatur secara khusus dalam undang-undang dan qanun. Majelis
Permusyawaratan Ulama merupakan lembaga keagamaan yang memiliki otoritas dalam
melakukan kajian terkait persoalan agama di Aceh. Bagi masyarakat Aceh, MPU
merupakan rujukan terakhir dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kegamaan.
Sebagai masyarakat yang dikenal fanatik terhadap Islam, dapat dikatakan bahwa
fatwa MPU memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat Aceh. Hal ini
disebabkan karena personalia MPU diisi oleh ulama-ulama yang dihormati oleh
masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan Fatwa No. 9 Tahun 2014
tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh.
Meskipun fatwa tersebut dikeluarkan oleh para ulama, namun dalam pandangan
penulis, beberapa poin dalam fatwa tersebut tampak janggal dan terkesan tidak
ilmiah, di antaranya:
Pertama, “mengimani bahwa zat
Allah di atas langit atau ‘Arasy adalah sesat dan menyesatkan.” Klaim yang
difatwakan oleh MPU ini jelas-jelas bertentangan dengan dalil, Alquran dan
Sunnah. Tentang persoalan istiwa Allah di atas ‘Arasy telah jelas disebutkan
dalam Alquran dan hadits shahih. Para ulama besar dan Imam Mazhab juga telah
secara terang menyatakan bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy dan juga turun ke
langit dunia pada sepertiga malam. Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas dalam
salah satu keterangannya telah menyatakan bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk
beriman kepada istiwa Allah. Demikian pula dengan Abu Hasan Al-Asy’ari dalam
Al-Ibanah secara tegas menyatakan bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy tanpa
ada penakwilan. Sangat kontradiktif, ketika di satu sisi MPU Aceh menyatakan
mengikut kepada pemahaman Al-Asy’ari, tetapi di sisi lain MPU Aceh justru menolak fatwa-fatwa
dari Imam Al-Asy’ari.
Kedua, “pemahaman yang
menyatakan bahwa wajib mengikuti Alquran dan Hadits dalam bidang akidah,
syariah dan akhlak adalah salah.” Poin ini semakin mempertegas bahwa MPU Aceh
telah tergesa-gesa dalam membuat keputusan, sehingga fatwa MPU Aceh No. 9 tahun
2014 bertentangan dengan fatwa sebelumnya. Dalam fatwa MPU Aceh No. 04 Tahun
2007 tentang pedoman Identifikasi Aliran Sesat, dalam salah satu poinnya
disebutkan bahwa mengingkari kebenaran Alquran dan mengingkari kedudukan hadits
sebagai sumber ajaran Islam merupakan salah satu kriteria aliran sesat. Jika
merujuk pada fatwa MPU Aceh No. 4 tersebut, maka MPU Aceh telah “menelan ludah
sendiri”, karena telah mengingkari kedudukan Alquran dan hadits sebagai sumber
ajaran Islam.
Ketiga, dalam bab Taushiyah,
MPU Aceh meminta pemerintah untuk segera menutup pengajian yang dinyatakan
sesat oleh MPU, seperti pengajian kelompok Salafi di Gampong Pulo Raya,
Kecamatan Titeu, Kabupaten Pidie. Dalam hal ini, menurut penulis, MPU Aceh
telah keluar dari kewenangannya. MPU Aceh, sesuai dengan Qanun Aceh No. 11
Tahun 2002 hanya memiliki kewenangan untuk menetapkan kriteria aliran sesat.
Adapun pihak yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku aliran sesat adalah
Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan Qanun Aceh No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam. Dengan kata lain, MPU Aceh tidak berwenang untuk menetapkan
seseorang ataupun sebuah kelompok sebagai penganut aliran sesat, apalagi hal
tersebut dilakukan tanpa proses peradilan di Mahkamah Syar’iyah.
Hasil Investigasi Wartawan
Waspada
Pasca terbitnya fatwa MPU No.
9 Tahun 2014, wartawan Harian Waspada Medan (Muhammad Riza) telah melakukan
upaya untuk mewawancarai tokoh-tokoh Salafi di pedalaman Pidie. Dalam wawancara
tersebut, terungkap beberapa hal aneh, di mana MPU Aceh telah melakukan
beberapa “kesalahan” dalam fatwanya tersebut. MPU Aceh, entah karena sengaja
atau pun tidak, telah menambah dan mengurangi keterangan yang diperoleh dari
tokoh Salafi. Di antara “keteledoran” MPU sebagaimana tercatat dalam laporan
Muhammad Riza adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam bidang Akidah;
“mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit atau ‘Arasy adalah sesat dan
menyesatkan.” Menurut Tgk. Adam Abu Rifqi (tokoh Salafi), penambahan kata
“hanya” dalam fatwa tersebut adalah tambahan dari pihak MPU dan bukan berasal
dari keterangan Salafi. Penambahan kata “hanya” tersebut tentunya akan
berimplikasi pada pergeseran makna kalimat. Sebagaimana kita ketahui,
berdasarkan informasi dari Alquran dan Sunnah, juga dari para ulama bahwa Allah
juga turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Dalam fatwa tersebut,
terkesan bahwa penambahan kata “hanya” yang
dilakukan oleh MPU Aceh adalah sebuah upaya untuk “menjerat” Salafi.
Kedua, “mengimani bahwa zat
Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihah) adalah sesat dan
menyesatkan”. Menurut Tgk. Adam, pihak Salafi justru
menolak keyakinan ini dan tidak pernah menyatakan bahwa Allah berjihah. Tapi
sayangnya, pihak MPU Aceh, lagi-lagi “menjerat” Salafi dengan sesuatu yang
tidak pernah mereka yakini.
Ketiga, dalam bidang ibadah;
“pemahaman yang membolehkan niat shalat di luar takbiratul ihram adalah salah.”
Pada prinsipnya persoalan ini adalah masalah fiqih, di mana para ulama telah
berbeda pendapat. Tapi anehnya MPU Aceh telah berlagak layaknya “Mujtahid
Agung” yang dengan penuh percaya diri menetapkan bahwa pemahaman tersebut
sebagai sesuatu yang salah.
Fatwa Pujangga
Dari tiga poin penting yang
penulis kutip dari Harian Waspada di atas, terlihat jelas bahwa MPU Aceh telah
menunjukkan sikap tergesa-gesa dalam mengeluarkan sebuah fatwa. Bagi masyarakat
awam, fatwa MPU merupakan sebuah “titah” yang tidak boleh dibantah, sehingga
akan memunculkan paradigma keliru terhadap kelompok tertentu. Dan bukan tidak
mungkin, dalam kondisi tertentu, jika tidak cermat, fatwa MPU justru dapat
memicu konflik di tengah masyarakat.
Anehnya lagi, fatwa MPU Aceh
terkesan tidak ilmiah dan berseberangan dengan fatwa yang pernah dikeluarkan
oleh MUI Jakarta Utara tentang Salafi. Dalam fatwa yang diterbitkan pada 08
April 2009 tersebut, MUI Jakarta Utara menegaskan bahwa Salafi tidak termasuk
dalam 10 kriteria aliran sesat yang telah ditetapkan oleh MUI Pusat. Menurut
MUI Jakarta Utara, dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan ajaran Islam
dengan kembali kepada Alquran dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat
Radhiallahu 'anhum.
Lagi pula, komunitas Salafi
tidak hanya berada di Aceh, tetapi menyebar di seluruh dunia, khususnya di
Saudi Arabiya. Sehingga menjadi aneh, ketika MPU Aceh menyatakan Salafi sebagai
aliran sesat, sedangkan ulama nusantara lainnya tidak berpendapat demikian.
Uniknya lagi, MUI pusat yang lebih otoritatif justru tidak pernah mengeluarkan
fatwa sesat terhadap komunitas Salafi.
Akhirnya kita hanya bisa
berharap agar MPU Aceh dapat bersikap lebih dewasa dalam menyikapi persoalan
umat. Jangan sampai ego Mazhab menjadi alasan bagi MPU untuk “menyingkirkan”
keberagaman yang telah tertata rapi di tengah masyarakat. Segala keputusan yang
dilahirkan oleh MPU Aceh mestilah memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga fatwa
MPU tidak berubah menjadi “fatwa pujangga. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah pernah
diterbitkan oleh Harian Waspada Medan
Artikel ini juga mendapat
kritik dan tanggapan dari Muhammad Rahmat dalam tulisannya di Website Waspada
dengan Judul Fatwa Pujangga Yang Tak Terbaca.
Juga ditanggapi secara positif olehSyamsul Bahri, MAdalam tulisannya yang berjudul Peran Ulama Aceh
http://patahkekeringan.blogspot.co.id/2015/01/mpu-aceh-dan-fatwa-pujangga-analisis.html#.VmU2onYrLrfJuga ditanggapi secara positif olehSyamsul Bahri, MAdalam tulisannya yang berjudul Peran Ulama Aceh
Akhir-akhir ini, perselisihan terhadap kelompok ‘Salafi’
kembali ramai. Terlebih Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh telah
mengeluarkan larangan terhadap pengajian, penyiaran dan ceramah agama yang
dilakukan kelompok “salafi” yang menyimpang di Gampong Pulo Raya, Kecamatan
Titue, Kabupaten Pidie beberapa waktu lalu.
Bahkan MPU juga meminta pemerintah setempat untuk menutup
pengajian tersebut agar tidak diikuti lagi oleh masyarakat awam untuk
menghindari keresahan yang mengarah pada gangguan ketertiban warga setempat.
Pernyataan pengajian kelompok Salafi itu menyimpang
dituangkan dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 9 tahun 2014 tanggal
25 Juni 2014 tentang pemahaman, pemikiran, pengamalan dan penyiaran agama Islam
di Aceh.
“Fatwa MPU Aceh dikeluarkan terhadap ajaran Salafi itu
dilakukan setelah beberapa pengkajian bersama 47 ulama, yang berada di
kabupaten/kota, termasuk beberapa kali pertemuan dengan pimpinan Salafi,” kata
Ghazali Mohd Syam.
Disebutkan, ajaran Salafi di Pulo Raya khususnya di Aceh,
sangat jauh berbeda dengan ajaran Salafi yang berkembang di masa sahabat Nabi
Muhammad SAW, Salafi di Mesir dan Salafi di Arab Saudi.
“Ada 4 poin di aqidah dan lima poin di ibadah yang ajarannya
bertentangan dengan ajaran agama Islam,” terang Wakil Ketua MPU Aceh, Prof. Dr.
Tgk. H Muslim Ibrahim, MA.
(Klik: MPU Aceh Larang Pengajian 'Salafi', Klarifikasi 'Salafi' atas Fatwa MPU, Fatwa MPU tentang ‘Salafi’)
Berbeda dengan Fatwa MUI Jakut
Fatwa MPU yang memasukkan ‘Salafi’ ke dalam kelompok sesat,
ternyata berbeda dengan keputusan fatwa MUI Jakarta Utara tahun 2009. Melalui keterangan dan penjelasan dari beberapa da’i salafi yang telah
dikonfirmasi oleh pihak MUI Kota Administrasi Jakarta Utara, akhirnya
memutuskan bahwa Salaf/salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat
yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga Salaf/salafi
bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang
belakangan ini.
Bahkan lebih lanjut, MUI Jakarta Utara menghimbau kepada
masyarakat hendaknya tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah
tanpa diklarifikasi terlebih dahulu dan tidak terprovokasi dengan
pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga kepada para
da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan
serta memberikan penjelasan yang obyektif tentang masalah ini kepada masyarakat
(Klik : Fatwa MUI Jakut tentang ‘Salafi’)
Salafi Tolak Disebut Sesat
Sulaiman-BANDA ACEH
ilustrasiJamaah Salafi meminta
pemerintah dan DPR Aceh, memfasilitasi dan memberikan ruang dialog kepada
mereka. Permintaan itu, menindaklanjuti langkah Polres Pidie menghentikan
pengajian kelompok Salafi di Pulo Raya karena menyahuti fatwa Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Sebelumnya pada 25 Juni 2014, MPU Aceh sudah mengeluarkan
fatwa No. 9 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran
Agama Islam di Aceh. MPU menyimpulkan jika ajaran keagamaan di Gampong Pulo
Raya, Kecamatan Titue, Kabupaten Pidie dinilai menyimpang dari ajaran Islam.
Terkait dengan fatwa tersebut, jamaah Salafi menegaskan,
jika mereka tidak menyimpang, apalagi sesat seperti di fatwakan MPU Aceh. “Kita
berharap pemerintah memberikan ruang kepada Salafi agar dapat melaksanakan
ibadah dengan nyaman,”ujar Ketua tim pembela Salafi, Nouval Abu Zaid, saat
mendatangi kantor Harian Rakyat Aceh, Minggu (17/8).
Kedatangan Nouval Abu Zaid bersama belasan jamaah Salafi ke
Kantor Rakyat Aceh, untuk memberikan klarifikasi tentang sikap Polres Pidie
melarang pengajian Salafi.
Jamaah Salafi meminta MPU meninjau ulang fatwa dan membuka
ruang dialog secara terbuka dengan pihak yang ditujukan dalam fatwa tersebut
dengan menghadirkan saksi ahli sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Fatwa
Nomor 04 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.
MPU juga diminta mencabut fatwa No. 9 Thn 2014 tentang
pemahaman, pemikiran, pengamalan dan penyiaran agama Islam di Aceh, sebelum ada
darah Mukmin yang dialirkan di Aceh yang dipicu oleh keluarnya fatwa tersebut.
Pihaknya khawatir, jika perkara ini sampai terdengar oleh
ulama-ulama di Negeri Arab Saudi, Pemerintah Arab Saudi akan menghentikan VISA
haji dan ‘Umrah untuk Aceh dan Indonesia, seperti yang pernah terjadi di negeri
Malaysia, karena lebih 90 persen ulama Arab Saudi adalah salafi.
Menanggapi fatwa MPU, pihaknya menilai jika proses
penetapannya tidak sejalan dan menyalahi fatwa Nomor 04 Tahun 2007 tentang
pedoman identifikasi aliran sesat, BAB III Point 3, dimana disebutkan : salah
satu langkah yang harus dilakukan sebelum penetapan fatwa adalah pemanggilan
terhadap pimpinan aliran atau kelompok dan saksi ahli untuk tahqiq
(Validasi/pendalaman) dan tabayyun (klarifikasi/penjelasan) atas berbagai data
dan aktivitasnya.
Hal tersebut dikatakan tidak dilakukan, karena ketika
guru-guru pengajar di Masjid Gampong Pulo Raya Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie
dan aparat gampong serta tokoh masyarakat dipangggil ke MPU tanggal 28 Mei 2014
hanya membicarakan kronologis kejadian di lapangan dan penjelasan dari guru
pengajian tanpa ada tanggapan benar tidaknya terhadap pemahaman tersebut.
Sementara pemanggilan guru-guru pengajian pada tanggal 21
Juni 2014 hanya diajukan pertanyaan yang sudah disiapkan dengan meminta jawaban
ya atau tidak, tanpa diberi kesempatan untuk mengutarakan penjelasan dan
menyandarkan pemahamannya kepada dalil-dalil serta pendapat para ulama, dan
saksi ahli pun tidak dihadirkan, kalaupun ada dihadirkan tetapi saya tidak
mendengar pendapatnya untuk tahqiq tentang pemahaman yang dipermasalahkan oleh
MPU Aceh.
Selain itu, dari sisi waktu proses penetapan fatwa ini
terburu-buru. Karena hanya berselang empat hari setelah pemanggilan guru-guru
pengajian oleh pihak MPU Aceh (dipanggil tanggal 21 Juni 2014).
“Salafi merupakan salah satu bagian dari umat Islam yang
berpaham ahlussunnah wal jama’ah dan diakui oleh dunia Islam,” tegasnya. (*)
MPU Aceh kalau belum puas silahkan baca dan bantah artikel dibawah ini ( Ilmu untuk mencari kebenaran bukan pembenaran ) :
(Bagian
1) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang (Keberadaan) Rabbnya ?
(Bagian
2) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu tentang tajsim dan mujasimah
(Bagian
3) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah
(Bagian
4) Mengimani Sifat-sifat Allah : 'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah
Jahmiyah dan 'Aqidah "oknum" Aswaja
(Bagian
5) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Keberadaan Allah" Menurut Ustadz
KH Muhammad Idrus Ramli (Intelektual Aswaja)
(Bagian
6) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf
dan bersuara " "
'Aqidah
Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat
(Ru'yatullah)
Melihat
Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 2)
Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 3)
Allah
Berfirman dengan Suara yang Dapat Didengar
Allah
Berfirman dengan Suara dan Huruf
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 1)
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 2/ Comments)
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 3/ Comments)
Dialog Ukhuwah Ustadz Salafi Wahabi Dengan Idrus Ramli (Tokoh NU) ,
Silahkan Tonton,.
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi? Tunjukkan!
Menjawab Fitnah Keempat: Allah Memiliki Arah [Menjawab 17 Fitnah
Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah]
Menjawab Fitnah Kelima: Allah Berjisim1 [Menjawab 17 Fitnah Terhadap
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah]
Pro dan Kontra: Hadith Jariah (2) - Bantahan Bagi Yang Mendha’ifkan
Hadits Jaariyyah ( Muawiyyah bin Hakam Tentang Dimana Allah) !
101
Perkataan Ulama Salaf Tentang Keberadaan Allah Di Atas Arsy
[Oleh
Abu Fahd Negara Tauhid, dengan menukil dari berbagai macam sumber.
Jika Masih Ada yang Bertanya-tanya “Di manakah Allah”
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
Bagi Allah
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
Dimanakah Allah?
http://muslim.or.id/aqidah/dimanakah-alloh.html
http://muslim.or.id/aqidah/dimanakah-alloh.html
TAHUKAH KAMU, DI MANAKAH ALLAH?
(ada 66 comments)
Dalil yang menunjukkan Allah di atas semua makhluknya
Bolehkah Mengatakan Allah Ada di Mana-mana?
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
Ketinggian Allah ta’ala di Atas Semua Makhluk-Nya
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/ketinggian-allah-taala-di-semua-makhluk.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/ketinggian-allah-taala-di-semua-makhluk.html
Dalil Tentang Allah ada Diatas Makhluk-Nya dan Dia subhahanahu wata’ala
di atas langit
http://islamqa.com/id/992
http://islamqa.com/id/992
Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy