Rektor
UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menilai Islam Indonesia berbeda
dengan Islam di Arab. Islam Indonesia menurutnya bercorak kehidupan Bahari.
“Indonesia ini satu-satunya
negeri mayoritas Muslim atau majority muslim country yang hidup di alam bahari
atau kelautan,” katanya dalam bedah buku Agama dalam Kearifan Bahari karya
Radar Pancha Dharma di Cipta Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu
(18/2015).
Kebudayaan bahari ini,
lanjutnya, melahirkan keislaman yang khas dan distingtif (berbeda). Karena,
menurut dia corak alam Indonesia tidak memberi tempat bagi radikalisme. Oleh
karena itu, menurutnya gerakan radikalisme di Indonesia secara sosilogis
dikembangkan oleh orang-orang keturunan Timur-Tengah.
“Gerakan radikal, bukan
dikembangkan oleh indigenous muslim (Muslim lokal), seperti saya yang
indigenous Muslim, 100 % Minang,” akunya.
Islam Indonesia yang bercorak
maritim, menurutnya memiliki ciri-ciri diantaranya, pusat pemerintahan kerajaan
Islam di Indonesia 95 persen menempati wilayah pesisir. Corak maritim ini,
melahirkan Islam yang berkarakter kosmopolitan atau mendunia.
“Karena berpusatnya di
kota-kota pelabuhan yang selalu didatangi pedagang mancanegara, jadi kosmopolit
atau mendunia.Sehingga, mereka terbuka atau inklusif, berbeda dengan Islam di
pedalaman,” tuturnya.
Menurut Azra, karakter
inklusif ini muncul untuk menopang kehidupan sehari-hari Muslim pesisir yang
harus melakukan kontak ekonomi dengan pedagang dari berbagai latar belakang
bangsa dan kepercayaan.
“Kalau mereka tidak bersikap inklusif, bagaiman mereka bisa berdagang,” ungkapnya.
Karakter Muslim bercorak maritim selanjutnya adalah fluid atau cair, mereka bersikap akomodatif. Azra menilai, tidak ada bangsa Muslim lainnya yang memiliki corak maritim seperti Indonesia. Umumnya, negara Muslim lainnya pusat pemerintahannya berada di pedalaman. “Pusat pemerintahan kita juga masih di pesisir, seperti Jakarta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, ketika budaya Islam pesisir masuk ke pedalaman, terjadi proses akomodasi terhadap budaya pedalaman. hal ini ditunjang, dengan karakter Indonesia yang tidak memiliki kebangaan pada tribalisme atau kabilah.
“Kita memang ada suku bangsa, tapi sikap fluid itu yang membuat suku-suku saling mengakomodasi,” klaimnya.
Sementara, lanjut Azra, kehidupan Muslim di Timur Tengah lebih bercorak kebudayaan padang pasir yang keras. Sehingga, karakter keras itu diidentifikasi sebagai keislaman disana. Situasi di Timur Tengah menurutnya tidak memberi ruang bagi toleransi atau tepo seliro seperti di Indonesia. “Makanya, di sana menjadi pusat konflik, terutama setelah perang dunia ke-2,” tegasnya.
Bagaimana pendapat Anda?“Kalau mereka tidak bersikap inklusif, bagaiman mereka bisa berdagang,” ungkapnya.
Karakter Muslim bercorak maritim selanjutnya adalah fluid atau cair, mereka bersikap akomodatif. Azra menilai, tidak ada bangsa Muslim lainnya yang memiliki corak maritim seperti Indonesia. Umumnya, negara Muslim lainnya pusat pemerintahannya berada di pedalaman. “Pusat pemerintahan kita juga masih di pesisir, seperti Jakarta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, ketika budaya Islam pesisir masuk ke pedalaman, terjadi proses akomodasi terhadap budaya pedalaman. hal ini ditunjang, dengan karakter Indonesia yang tidak memiliki kebangaan pada tribalisme atau kabilah.
“Kita memang ada suku bangsa, tapi sikap fluid itu yang membuat suku-suku saling mengakomodasi,” klaimnya.
Sementara, lanjut Azra, kehidupan Muslim di Timur Tengah lebih bercorak kebudayaan padang pasir yang keras. Sehingga, karakter keras itu diidentifikasi sebagai keislaman disana. Situasi di Timur Tengah menurutnya tidak memberi ruang bagi toleransi atau tepo seliro seperti di Indonesia. “Makanya, di sana menjadi pusat konflik, terutama setelah perang dunia ke-2,” tegasnya.
Islam yang Satu. Tak Ada yang
Arab, Tak Ada yang Indonesia
Pendapat Azyumardi Azra
tentang perbedaan Islam Arab-Islam Indonesia [baca berita
sebelumnya] pernah dibantah oleh Juru Bicara Hizbut
Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto. Menurutnya Islam di Indonesia berbeda dengan
di Arab hanya karena faktor sosiologis terkait penampilan wajah umat Islam.
Kata Ismail, Islam memang
berbeda-beda dalam tampilannya di tiap negara. Perbedaan itu muncul karena ada
interaksi budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal yang berbeda.
“Tampilan umat Islam di tiap
negara pasti berbeda-beda karena memiliki latar budaya berbeda,” katanya kepada
Ismail saat dihubungi Kiblat.net, pada Rabu (11/2).
Namun, menurut Ismail Islam
sangat universal. Di negara manapun, Islam sangat cocok untuk tumbuh dan
berkembang.
“Islam tidak berbenturan dengan bangsa manapun,” tandasnya.Adapun, Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath menegaskan Islam yang perlu dianut umat Islam di dunia dan di Indonesia adalah Islam model Rasulullah SAW bukan Islam versi mana pun.
“Sebab Rasulullah SAW adalah
satu-satunya model Islam. Tidak ada model lain, apalagi Islam model Indonesia,”
katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2).
Menurut beliau, agama
Islam bukan hasil buatan manusia, sehingga Islam tidak memiliki varian yang
diukur dari nilai suatu daerah.
“Islam bukan produk budaya
masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau
model Islam Indonesia,” ucap Ustadz Khaththath.
Syarif Baraja: Islam Ala
Indonesia Berarti Bukan Islam Ala Sahabat Nabi SAW
Dai muda dan Motivator
‘Sholat For Success’, Ustadz Syarif Baraja menolak pandangan Menteri Agama yang
meminta agar Islam moderat atau Islam ala Indonesia dikembangkan. Menag
beralasan, model Islam ala Indonesia menjadi harapan para ilmuwan di dalam dan
di luar negeri.
“Islam ala Indonesia itu
berarti bukan Islam ala Sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam,” katanya
menanggapi pertanyaan dari pertemanan Facebooknya, pada Senin (9/2).
Menurut da’i muda yang
memiliki 30 ribu follower twitter ini, para ilmuwan bukanlah standar kebenaran
untuk menentukan Islam mana yang cocok diterapkan oleh umat Islam baik di
Indonesia ataupun di luar negeri.
“Para ilmuwan itu bisa kasih
apa di akhirat nanti? Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan itu
berbeda dengan Islam yang diharapkan oleh Allah?” tanyanya retoris.
Seperti diketahui, dalam
sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat
Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim
menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan
dunia.
“Islam Indonesia oleh
beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang
bisa diharapkan,” ujar Lukman pada Ahad lalu (08/02).
Menag: Islam Ala Indonesia
Bukan Islam yang Terlalu Hitam-Putih
[Korupsi/Riba belum tentu Haram, bisa diatur ???]
Menteri
Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin kembali menegaskan apa yang ia maksud sebagai
Islam ala Indonesia atau Islam Nusantara.
“Islam Nusantara itu ialah
Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang penuh dengan kedamaian,
Islam yang bisa hidup di tengah keragamaan. Karena hakikatnya Indonesia adalah
bangsa yang sangat besar dan penuh dengan keragaman,” jelas Lukman Hakim kepada
Kiblat.net usaiacara
Launching Musabaqah Kedubes Saudi di Hotel Raffles, Jakarta, tadi malam (11/02).
Menurut beliau, para
pendahulu kita telah mewariskan ajaran Islam yang toleran dan rahmatan lil
alamin. Sehingga, mampu melihat perbedaan itu sebagai keragaman yang variatif
bukan yang kontradiktif.
“Saya lebih senang menyebut
perbedaan sebagai keragaman. Itu adalah dalam rangka untuk saling melengkapi
dan mengisi sehingga saling menyempurnakan kita manusia yang pada dasarnya
terbatas,” tambahnya.
Lukman menambahkan, Islam ala
Indonesia bukanlah Islam yang terlalu hitam-putih, yang mudah
untuk menyalah-nyalahkan atau bahkan mengkafirkan.
“Karena beberapa negara sudah
mulai ke arah sana sehingga di era globalisasi ini agar paham-paham seperti itu
tidak terlalu mempengaruhi umat Islam Indonesia yang sesungguhnya mempunyai
karakteristik tersendiri, yaitu Islam Nusantara itu,” jelas Lukman.
Seperti diberitakan
Kiblat.net sebelumnya, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat
Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim
menyatakan bahwa Islam ala Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan
dunia.
“Islam Indonesia oleh
beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang
bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).
Islam ala Indonesia Tolak Syariat, Islam Ala
Rasulullah SAW Terapkan Syariat
Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ustadz Muhammad
Al-Khaththath menanyakan apa yang dimaksud dengan Islam moderat dan Islam ala
Indonesia.
Apakah Islam moderat itu yang dimaksud adalah
menolak syariat Islam berlaku dalam kehidupan bernegara? Jika seperti itu,
sudah tentu bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
“Islam yang dibawa Rasulullah SAW itu justru
ditegakkan dan diterapkan dengan negara,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa
(10/2). Hal itu diutarakannya ketika menanggapi pernyataan
Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin tentang perlunya mengembangkan Islam ala
Indonesia.
Lanjutnya, Nabi SAW memutuskan perkara-perkara
di masyarakat dengan hukum Islam yang diturunkan Allah SWT kepada beliau SAW
seperti dijelaskan oleh QS Al-Maidah: 48-49.
Sementara, tidak mungkin memutuskan perkara di
masyarakat kalau ia bukan seorang pejabat negara.
“Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
kita tidak boleh main hakim sendiri. Artinya, negara tidak punya wewenang
memutuskan perkara persengketaan di masyarakat, Hakim itu harus kepala negara
atau pejabat negara yang diberi wewenang,” terang Ustadz Khaththath.
Menurut Ustad Khaththath, Rasulullah SAW
mengangkat sahabat Muadz bin Jabal sebagai wali negeri atau setara dengan
gubernur di Yaman untuk menerapkan Syariat Nabi SAW. Nabi pernah bertanya
kepada Muadz: Dengan apa anda memutuskan perkara? Maka dijawab oleh Muadz:
Dengan Kitabullah.
“Jadi Islam yang dibawa oleh Rasulullah
menjadikan negara sebagai pelaksana Syariah,” tegasnya.
Sementara itu, kata Ustadz Khaththath, Islam
moderat menolak jihad dan hal-hal yang dianggap sebagai kekerasan. Berbeda
dengan Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.
“Apakah Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW
menolak jihad dan perang untuk meninggikan kalimat Allah? Tentu tidak,”
ucapnya.
Bahkan, sambungnya, ayat Al-Qura’an yang
menerangkan bahwa Nabi SAW adalah Uswah Hasanah atau teladan yang baik bagi
umat Islam adalah ayat perang dalam surat perang.
“Ayat Uswah Hasanan ada di surat Al-Ahzab
merujuk pada perang Ahzab atau perang sekkutu (koalisi musuh-musuh Islam,
red),” tandasnya.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara
ta’aruf Kongres Umat
Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim
menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan
dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari
dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar
Menag, Ahad (8/2/2015).