Terlalu dini menyimpulkan, bahwa belum genap tiga bulan
kekuasaan Raja Salman, kini Saudi benar-benar berubah haluan dari kerajaan yang
didikte AS dan sekutunya menjadi kerajaan yang bersahabat tapi berani mengambil
keputusan. Dalam arti, Saudi di era King Salman memilih tidak membuka
konfrontasi dengan Amerika. Di sisi lain, mengedepankan independensi dalam
pengambilan keputusan.
Langkah King Salman
terbilang berani. Dalam tiga bulan berkuasa, King Salman memberhentikan
"orang-orang berpengaruh Saudi". Di antaranya:
1. Khalid
At-Tuwaijiri, penasihat utama Raja Abdullah.
2. Pangeran Bandar
bin Sulthan, Kepala Badan Intelejen Saudi.
3. Pangeran Muqrin
bin Abdul Aziz, Putera Mahkota Saudi Arabia.
4. Pangeran Suud
Al-Faishal, Menlu Saudi selama lebih dari 4 dekade.
5. Pangeran Mut'ib
bin Abdullah, Pengganti Putera Mahkota Saudi dan Komandan Garda Kerajaan,
jabatan yang diberikan Raja Abdullah.
Perlu dijadikan
catatan, kelima tokoh di atas adalah tokoh sentral Saudi Arabia yang mendukung
kudeta Jenderal As-Sisi di MEsir terhadap Presiden Mursi. Juga tokoh sentral
dalam setiap perlindungan yang diberikan kepada mantan Presiden Yaman, Abdullah
Saleh. Diprediksi, King Salman benar-benar "membersihkan" jajaran
kerajaan Saudi dari pihak-pihak yang selama ini memperburuk hubungan Saudi
dengan blok Sunni yaitu Ikhwanul Muslimin, Qatar, Turki. Efeknya, justru
pengaruh Iran semakin kokoh di kawasan Timur Tengah.
Satu hal yang patut
diperhatikan, keputusan King Salman membuat Amerika dan sekuturnya wait and
see. Perubahan putera mahkota dan naiknya Muhammadain (Muhammad bin Nayef dan
Muhammad bin Salman) di posisi kunci Saudi masa depan, menyulitkan Amerika
membaca arah kebijakan Saudi sebagai sekutu utama hampir 100 tahun lebih.
Terlebih AS sulit membaca file calon pengganti Putera Mahkota Muhammad bin
Salman (33) tahun yang masih belia. Untuk menenangkan Amerika atas strateginya,
King Salman mengangkat Adil Al-Jubair sebagai Menlu. Adil Al-Jubair adalah
sosok pakar studi Amerika dan mantan Dubes Saudi di Washington.
Saya menunggu
langkah King Salman membatalkan dukungan Saudi kepada Junta kudeta di Mesir.
Kemudian menghukum Emirates Arab yang cenderung merusak soliditas Sunni. Nah,
menjewer Raja Jordania yang sangat Israel minded. Semua dengan strategi: airnya
jernih, tangkap ikannya. Untuk sementara, tidak dengan strategi konfrontasi
memutus hubungan dengan AS atau perang terbuka dengan Iran dan sekutunya. Saya
optimis, King Salman mampu memikul harapan besar umat Islam dan menjadi Raja
bagi Rumah Besar umat Islam. Semoga ke depan hadir pemimpin-pemimpin besar
mulai dari King Salman hingga Erdogan plus pemimpin binaan Ikhwanul Muslimin.
Allaahu Akbar!
Nandang Burhanudin
http://muslimina.blogspot.com/2015/05/kejutan-raja-salman-membuat-strategi.html
Perang Islam Lawan Syiah Memaksa Saudi Dekati Ikhwanul
Muslimin
Analis politik Timur
Tengah asal Yordania, Rakan Saa’yidah, mengungkapkan bahwa Kerajaan Arab Saudi
dimasa mendatang akan mendekati kelompok Ikhwanul Muslimin dalam menghadapi
perang ideologi Sunni-Syiah yang kini melanda kawasan Timur Tengah.
Dalam keterangannya kepad kantor berita Rassd, Rakan Saa’yidah mengatakan, “Bukan tanpa halangan, kebijakan Saudi mendekati Ikhwanul Muslimin di masa mendatang akan membahayakan koalisi regional dimana Mesir yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Sisi sangat memusuhi kelompok tersebut.”
Menurutnya Abdel Fattah al-Sisi akan menemukan dirinya dalam dilema antara terus memberangus Ikhwanul Muslimin atau memuaskan keinginan Raja Saudi, yang merupakan penopang ekonomi utama Mesir selain AS dan UEA.
Rakan Saa’yidah menjelaskan bahwa Sisi adalah tipe orang yang siap mengorbankan apapun untuk dapat memuaskan negara-negara kaya Teluk. “Kerajaan Saudi sadar bahwa kepopuleran Sisi saat ini terus menurun di mata rakyat mereka, dan lebih memilih untuk tidak bermusuhan dengan oposisi pemerintah yang setiap saat dapat kembali menjadi penguasa Mesir,” ujarnya.
Pengamat politik Jordania ini melanjutkan, “Memang saat ini Saudi membutuhkan Mesir dalam perang melawan pemberontak Syiah Houthi di Yaman, akan tetapi dukungan dana kepada pemerintah kudeta militer tidak dapat terus berlanjut ditengah kebutuhan dalam negeri Saudi menghadapi pemberontak Yaman.”
“Dan Sisi tidak memahami ini, karena dia adalah seorang tentara yang hanya mengenal perang dan tidak mengerti politik,” tutup Rakan Saa’yidah.
Dalam keterangannya kepad kantor berita Rassd, Rakan Saa’yidah mengatakan, “Bukan tanpa halangan, kebijakan Saudi mendekati Ikhwanul Muslimin di masa mendatang akan membahayakan koalisi regional dimana Mesir yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Sisi sangat memusuhi kelompok tersebut.”
Menurutnya Abdel Fattah al-Sisi akan menemukan dirinya dalam dilema antara terus memberangus Ikhwanul Muslimin atau memuaskan keinginan Raja Saudi, yang merupakan penopang ekonomi utama Mesir selain AS dan UEA.
Rakan Saa’yidah menjelaskan bahwa Sisi adalah tipe orang yang siap mengorbankan apapun untuk dapat memuaskan negara-negara kaya Teluk. “Kerajaan Saudi sadar bahwa kepopuleran Sisi saat ini terus menurun di mata rakyat mereka, dan lebih memilih untuk tidak bermusuhan dengan oposisi pemerintah yang setiap saat dapat kembali menjadi penguasa Mesir,” ujarnya.
Pengamat politik Jordania ini melanjutkan, “Memang saat ini Saudi membutuhkan Mesir dalam perang melawan pemberontak Syiah Houthi di Yaman, akan tetapi dukungan dana kepada pemerintah kudeta militer tidak dapat terus berlanjut ditengah kebutuhan dalam negeri Saudi menghadapi pemberontak Yaman.”
“Dan Sisi tidak memahami ini, karena dia adalah seorang tentara yang hanya mengenal perang dan tidak mengerti politik,” tutup Rakan Saa’yidah.