Direktur Pusat
Kajian Fiqih dan Ilmu-ilmu Keislaman ( PUSKAFI) Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA mengatakan untuk memiliki negara yang kuat, suatu pemerintahan
harus membangun jiwa korsa atau ikatan emosional yang kuat di dalam
masyarakatnya.
“Ibnu Khaldun mengatakan untuk menguasai
sebuah negara dibutuhkan sebuah fanatism, kefanatikkan yang kuat, suatu ikatan
emosional yang kuat. Kefanatikan yang kuat itu hanya bisa dibangun dilandasi
agama,” ujarnya menelaah pemikiran politik Ibnu Khaldun dalam Pengajian Politik
Islam (PPI) di Masjid Al-Azhar, Kebayoran baru, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Lanjut Zain, suatu kelompok yang memiliki satu ikatan agama akan
memiliki visi dan misi yang kuat. Namun, berbeda jika ikatan tersebut dibangun
selain oleh emosional agama.
“Kalau dibangun dengan
kepentingan-kepentingan lain, pasti cepat hancur dan tidak akan kuat karena
sifatnya hanya sesaat. Tapi, jika diikat dengan emosional agama, maka akan kuat
karena sampai akhirat. Memenangkan apa saja jika dibangun ikatan emosional
agamanya, pasti akan kuat,” tegasnya.
Sedangkan, menurutnya, yang mampu membangun
kekuatan ikatan hati hanyalah Allah SWT, seperti diterangkan dalam al-Qur’an
surat al-Anfal: 63.
“Maka, di sini jangan lepas dari Allah
Subhanahu wa ta’aala,” tutur Zain.
Lebih dari itu, Zain mengatakan kekuatan
yang paling mendasar dan tidak mudah dikoyak-koyak oleh musuh itu adalah
kekuatan aqidah. “Maka bangunlah kekuatan politik dengan kekuatan agama,”
tukasnya.
Ia mencontohkan dalam perang Qadisiyah
bagaimana kekuatan agama dapat memenangkan kaum Muslimin dalam menghadapi
Persia.
“Pasukan Persia ketika itu berjumlah 130
ribu sedangkan pasukan Islam hanya 30 ribu, tapi menang. Kenapa? Karena
memiliki kekuatan keyakinan agama itu, ukhuwah Islamiyah,” papar Zain.
Selain itu, peristiwa serupa juga dapat
dilihat dalam perang Yarmuk ketika umat Islam menghadapi pasukan Romawi yang
jumlahnya 140 ribu, sedangkan umat Islam tidak sampai 30 ribu.
“Dalam perang Yarmuk menang juga, karena
dibangun oleh kekuatan agama. Berbeda bila dibangun dengan kekuatan selain
agama, orang akan rebutan kekuasaan, saling berbeda kepentingan dan akan
hancur,” jelas Zain.
Sehingga, menurut Zain, kelompok yang
paling kuat adalah umat Islam di antara kelompok lainnya. Ia menyarankan kepada
elemen gerakan Islam untuk memperhatikan aspek kekuatan agama ini, agar dapat
memenangkan Islam.
“Maka, untuk memenangkan Islam harus bisa
memicu emosional umat Islam,” pungkasnya. (qathrunnada)
Hukum
di Indonesia Tak Jalan Karena Tak Sesuai Jiwa Masyarakatnya yang Muslim
Adab itu hanya ada dan
dikenal oleh umat Islam, umat lainnya tidak mengenal adab
Ketua Komisi Bidang Hukum Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI), Dr Jeje Zaenuddin mengatakan di Indonesia sudah disepakati
undang-undang dibentuk melalui legislasi dan legislasi ditentukan dalam
prolegnas (program legislasi nasional, red).
Sementara, prolegnas itu dirumuskan dengan
empat landasan, yaitu; filosofis, yuridis, sosiologis dan politis.
“Filosofis tersebut maksudnya Ketuhanan
yang Maha Esa, keadilan sosial, kesejahteraan dan sebagainya,” kata Jeje usai
acara bedah buku bertema “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di
Indonesia” di Ruang Utama Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Maka pertanyaannya, kata Jeje, saat pertama
rancangan undang-undang dibuat apakah ada pasal-pasal yang bertentangan dengan
Ketuhanan yang Maha Esa atau tidak? Jika bertentangan menurutnya undang-undang
atau hukum itu gugur dan tidak diperbolehkan.
“Kalau itu sudah terpenuhi selanjutnya
apakah sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab di Indonesia atau tidak?
Lalu apakah arti dari beradab itu?,” ujar Jeje.
Jeje menegaskan jika adab itu hanya ada dan
dikenal oleh umat Islam, sementara umat lainnya tidak mengenal adab.
Untuk itu, menurut Jeje, hukum itu harus
mengandung nilai-nilai moral atau akhlaq, secara murni teori-teori Barat (seperti
hukum itu harus bebas dari norma atau moralitas) seperti itu tidak bisa dan
gugur di Indonesia, karena hukum di Indonesia, lanjutnya, harus sesuai dengan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Produk perundang-undangan itu pun harus
dikontrol oleh masyarakat, apakah sesuai dengan landasan filosofis atau tidak.
Jika bertentangan dengan landasan filosofis Indonesia, berarti hukum itu
gugur,” tegas Jeje.
Jika sudah memenuhi landasan filosofis,
yang kedua menurut Jeje, hukum itu harus sesuai dengan landaskan yuridis
Indonesia, di mana negara harus melindungi agama, karena negara
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maka hukum perundang-undang itu semuanya
harus berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.
“Selanjutnya, hukum harus sesuai landasan
sosiologis atau budaya hukum masyarakat di Indonesia yaitu Islam yang muncul
dari keluarga. Dan dari situ munculah ekonomi, pendidikan, pergaulan dan
lain-lain,” kata Jeje.
Maka, ungkap Jeje, sekarang yang ingin
dirusak oleh orang-orang liberal itu dari keluarga terlebih dahulu. Karena dari
keluarga pangkal munculnya budaya hukum. Jika keluarga tidak disiplin maka
tidak akan ada budaya hukum Negara [baca: Jeje Zaenuddin: Jangan Sampai
Pemikiran Liberalisme Masuk Ke Dalam Keluarga].
“Nah, hukum yang mengingkat masyarakat itu
hukum yang sejiwa dengan masyarakat. Hukum yang efektif itu hukum yang sejalan
dengan jiwa masyarakat,” cetus Jeje.
Di Indonesia, menurut Jeje, hukum tidak
berjalan karena tidak sejalan dengan jiwa masyarakat. Dan, lanjutnya, jiwa
masyarakat Indonesia sendiri adalah muslim tetapi justru hukum yang digunakan
adalah sekuler (hukum buatan orang barat,red) bukan hukum Islam.
Dan yang terakhir, Jeje menegaskan, hukum
tidak akan tegak jika tidak ada dukungan politik. Maka, menurutnya, dukungan
politik itu juga penting. Apalagi saat ini politik di Indonesia telah dikuasai
oleh orang-orang non muslim atau yang memiliki pemikiran barat.
“Sehingga ketiga landasan itu kuat tetapi
gagal karena tidak ada kekuatan politik. Ini masalah kita,” pungkas Jeje.*
Manusia
Tak Akan Nikmati Kedamaian Jika Mengusung Paham Liberal Dalam Jalani Kehidupan
Di negara-negara
liberal orang yang paling menarik keuntungan itu adalah seorang lawyer
Manusia pada akhirnya tidak bisa menemukan atau menikmati
kedamaian, keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan jika mengusung ide atau
pemikiran liberalisme, karena batasan hak antara orang satu dengan lainnya itu
cuma satu yaitu selama perbuatan itu tidak mengganggu orang lain (tidak
memiliki parameter yang jelas, red).
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komisi Bidang Hukum
Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Indonesia, Dr Jeje Zaenuddin usai
acara bedah buku bertajuk “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di
Indonesia” di Ruang Utama Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
“Jika suatu hukum tidak memiliki batasan
atau parameter yang jelas maka kepastian hukum tidak akan pernah ada,” tegas
Jeje.
Maka, menurut Jeje, suatu negara yang tidak
memiliki batasan hukum yang jelas akan kesulitan dan capek sendiri dalam
menangani dan menyelesaikan masalah-masalah atau konflik yang sedang terjadi.
“Negara akan kesulitan ketika harus
menangani konflik yang terjadi di antara warganya (kamu melanggar hak saya dan
begitu seterusnya,red), itu akan capek sekali negara,” ungkap Jeje.
Karena itu, masih menurut Jeje, di
negara-negara liberal orang yang paling menarik keuntungan itu adalah seorang
lawyer. Bahkan, lanjutnya, komposisi masyarakat dengan lawyer di negara-negara
liberal itu 1 banding 100, maksudnya 100 keluarga dengan 1 lawyer.
“Di sana orang bertetangga saja itu sering
berantem dan mereka butuh lawyer.
MasyaAllah, itulah rusaknya negara liberal,” ungkap Jeje merasa prihatin.
Sementara dalam Islam, kata Jeje, tidak
seperti itu karena menurutnya batasan dengan tetangga itu sudah jelas, batasan
antara suami-istri pun juga jelas. Jadi, lanjutnya, pada akhirnya jika bicara
jujur mereka yang mengusung liberalisme dalam bidang hukum maka harus tunduk.
Sebab tidak bisa liberalisme dilandasi dengan hukum.
“Hukum sendiri itu adalah batas ikatan,
setelah fungsinya mencegah, dan melindungi. Lalu, bagaimana hukum bisa dibangun
di atas kebebasan, sementara hukum itu sendiri adalah menjaga dan melindungi?”
pungkas Jeje.*