Perubahan arah kebijakan
Arab Saudi di bawah kendali Raja Salman tentunya dirasa membawa angin segar
bagi kalangan Islamis dan terutama bagi Ikhwan. Akan tetapi, belajar dari
pergolakan-pergolakan yang terjadi di berbagai belahan dunia, sejak dari Perang
Teluk, Reformasi Indonesia, perang melawan terorisme, hingga Arab Spring, perlu
sebuah kewaspadaan ekstra bahwasanya kemesraan antara Saudi dan Islamis bisa
jadi justru merupakan jebakan yang berujung pada target penghancuran keduanya.
Baik Reformasi di
Indonesia maupun Arab Spring, seringkali Islamis berada di garda terdepan.
Namun kita jangan menyederhanakan permasalahan, bahwa pergolakan-pergolakan
tersebut adalah proses demokratisasi yang akan menjadikan Islamis tampil
sebagai leading. Kita sedang berada di pusaran fitnah akhir zaman yang dahsyat,
ada tangan-tangan tak tampak yang bermain di belakang peristiwa-peristiwa
besar, mendesain, merencanakan secara sistematis dan terstruktur, dengan
agenda-agenda yang berkebalikan dengan yang diperkirakan kalangan Islamis.
Hasil dari
pergolakan-pergolakan yang terjadi, bukanlah runtuhnya diktator menuju
terwujudnya pemerintahan yang demokratis atau islami, tetapi justru makin
termarjinalisasinya kalangan Islamis itu sendiri. Membenturkan antara kekuatan
reformis dan status quo, antara kalangan sekuler dan Islamis, serta antara
kalangan tradisionalis dan kontemporer, berakibat memperlemah kekuatan Sunni
secara signifikan, terjebak pada berbagai kepentingan yang saling berbenturan.
Akhirnya berujung jatuhnya satu per satu negara-negara Muslim Sunni ke dalam
pengaruh Syiah, dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, Irak, Afghanistan dan
Yaman. Juga menguatnya peran politik Syiah secara global, termasuk di
Indonesia.
Terkait dengan benturan
antara Sunni dengan Syiah, tidak sesederhana menumpas pemberontakan Syiah Hutsi
di Yaman atau berhadapan dengan Iran. Di balik menguatnya pengaruh Syiah, ada
kolaborasi yang pelik di antara kekuatan-kekuatan super power dunia, benturan antara
Barat dan Timur, dan tentru saja akar permasalahan dunia itu sendiri, Zionisme,
serta pertarungan antara al haq dengan al bathil. Apa yang dicapai Syiah saat
ini, tidak didapat dengan tiba-tiba, tetapi telah melalui upaya yang sistematis
dalam berbagai bidang, tahapan demi tahapan yang sangat terukur, telah
dilaksanakan selama beberapa dekade bahkan sejak beberapa abad yang lalu (Baca: Di Ambang Syiah).
Dalam perspektif era
Kolonialisme Barat beberapa abad lampau, upaya penaklukkan dunia Islam tentunya
amat memperhitungkan kondisi dunia Islam waktu itu, potensi friksi terbesar dan
paling signifikan adalah antara Sunni dan Syiah. Rivalitas keduanya silih berganti
mendominasi sejarah dunia Islam. Inilah yang melatarbelakangi kolaborasi manis
antara Syiah dan berbagai kekuatan luar dalam berhadapan dengan Sunni. Dalam
perspektif ini, kondisi umat Islam pada saat ini khususnya kalangan Sunni, bisa
dikatakan berada di ujung tanduk, terkepung berbagai kepentingan yang bertarung
memperebutkan supremasi dunia.
Ketika benturan antara
Sunni dan Syiah terjadi secara terbuka, diperlukan sikap yang hati-hati dan
kewaspadaan yang ekstra, terutama bagi kalangan Islamis dan Jihadis. Kita tidak
hanya berada pada era kecanggihan teknologi yang kasat mata, tetapi juga era
kecanggihan strategi dan tipu daya. Belajar dari peristiwa-peristiwa
sebelumnya, memperhatikan kompleknya permasalahan yang dihadapi, jangan sampai
keteguhan mereka justru menjadi blunder, terjebak dan menjadi bulan-bulanan,
kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai, melengkapi kelemahan komitmen
kalangan sekuler dalam tubuh Sunni itu sendiri untuk menjaga eksistensi Sunni.
Bisa jadi, kondisi dunia
saat ini belum kondusif untuk tujuan akhir yang ingin dicapai, artinya masih
membutuhkan kerja keras dan banyak pengorbanan. Terutama juga penting dicermati
bagi Ikhwan, diperlukan kebesaran hati untuk tidak tersandera pada kezhaliman
yang menimpa mereka selama ini, termasuk kepedihan yang menimpa mereka pasca
Kudeta Mesir, demi kepentingan yang lebih besar, ketika umat ini berada di
ujung tanduk. Bukan untuk meraih kekuasaan jangka pendek, dan memang tak
mungkin akan dicapai di tengah cengkeraman tiran dunia, tetapi ustaziyatul
alam yang
universal, yang membutuhkan jalan yang lebih panjang.
Ketika umat Islam berada
pada kondisi yang sangat lemah, tidak memiliki kemandirian secara teknologi,
termasuk sebatas menjadi pemakai dalam bidang persenjataan militer, sekaligus
berhadapan dengan pertarungan strategi yang sengit, diperlukan kemampuan yang
baik untuk menempatkan diri di antara benturan berbagai peradaban dunia, bukan
sebaliknya.
Seolah jalan terbentang,
padahal tak ubahnya hanya sebuah jebakan, begitulah dahsyatnya fitnah akhir
zaman. Kita perlu mewaspadai jika di balik pergolakan ini ada upaya
‘memursikan’ Saudi sekaligus juga penghancuran bagi Ikhwan. Sulit dibayangkan
jika bagunan-bangunan megah yang baru saja dibangun di dua kota suci, hancur
lebur menjadi abu.
Hasbunallah
wanikmal wakil nikmal maula wanikman nashir.
Wallahu
a’lam bishawwab.