Ustadz
DR. Ali Musri Semjan Putra
Kemunculan
orang-orang yang berkepentingan duniawi dan dengki terhadap Islam, dan
manusia-manusia yang masuk Islam dengan membawa kepentingan untuk merusaknya
dari dalam menjadi penyebab tersulutnya fitnah besar di tengah umat Islam yang
berujung pada terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân Radhiyallahu anhu dan berkobarnya
peperangan-peperangan yang memecah kesatuan umat. Selanjutnya, timbullah
golongan-golongan (sesat) dalam Islam. Masing-masing golongan berupaya
membenarkan pendapat (ideologi)nya dengan memalsukan hadits-hadits atas nama
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dari situlah, hadits-hadits palsu
berkembang. Tema-temanya pun beragam, di antaranya berisi keutamaan seseorang,
madzhab, wilayah tertentu atau sebaliknya menyerang orang-orang maupun kelompok
tertentu.
SEBAB
PEMALSUAN HADITS
Usaha-usaha
pemalsuan hadits atas nama Rasûlullâh n didorong oleh berbagai motivasi dan
kepentingan. Di antaranya, bertujuan merusak aqidah Islam, mencari popularitas,
fanatisme madzhab, mengais penghidupan seperti yang dilakukan oleh qushshâsh
(para tukang cerita).
“Pemalsuan
hadits yang terjadi, bukanlah fenomena kebetulan yang muncul tanpa
direncanakan. Akan tetapi, merupakan gerakan dengan orientasi tertentu dan
perencanaan yang komprehensif. Gerakan ini memiliki bahaya dan dampak buruk
besar. Di antara dampak buruknya yang langsung mengenai sekian banyak generasi
Islam di banyak negeri, tersebarnya pendapat-pendapat yang aneh, kaedah-kaedah
fiqih yang syadz, dan keyakinan menyimpang serta pandangan-pandangan yang lucu.
Hal-hal yang menyimpang ini didukung dan dipropagandakan oleh golongan-golongan
sesat dan kelompok-kelompok tertentu…Sering kali hadits-hadits palsu ini
bertentangan dengan akhlak dan akal yang lurus, dan apalagi dengan Kitabullâh
dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[1]
KAUM
SYIAH, GOLONGAN TERDEPAN YANG MEMALSUKAN HADITS
Salah
satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui
pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia.
Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah
(hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih
mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits
(palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan
perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai
kebenaran. Padahal sejatinya itu adalah hadits palsu. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah mengucapkan atau melakukannya sama sekali. !
Golongan
batil ini tidak hanya berdusta atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, akan tetapi juga memalsukan riwayat-riwayat dengan mencatut nama-nama
Ulama Islam yang menjadi teladan bagi umat agar kebatilan mereka lebih dikenal
khalayak.
Kaum
Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini.
Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa
berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza
wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia
biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila
tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar
kaum Syiah. Apapun dipandang boleh, demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Persoalan moral tidak diperhatikan selama bertujuan mewujudkan langkah yang
telah direncanakan. !!? Kaidah yang mereka tempuh ialah ‘tujuan menghalalkan
segala cara’. Setiap cara apapun –paling buruk sekalipun- akan dipandang boleh
jika merealisasikan tujuan dan mengantarkan mereka menuju target yang
diinginkan.
USHUL
KAFI, KITAB RUJUKAN TERPENTING KAUM SYIAH, BERISI RIBUAN HADITS PALSU
Cukuplah
Anda tahu bahwa kitab terpenting kaum Syiah, yaitu Ushûl Kâfi sebagai bukti
kedustaan kaum Syiah. Mereka katakan sendiri bahwa kitab ini memuat ribuan
hadits palsu. Seorang Ulama kontemporer kaum Syiah, at-Tijâni ,mengakuinya
sendiri dalam buku yang ia tulis dengan judul Fas alû Ahladz Dzkir.[2]
Bila
sedemikian banyak hadits palsu dalam satu kitab saja, berapa banyak lagi
hadits-hadits yang mereka palsukan di dalam kitab-kitab mereka yang lain?
Bagaimana mungkin buku-buku yang berisi kedustaan seperti ini dipercaya?
KEUTAMAAN
HADITS ZIARAH KUBUR WALI, BUATAN KAUM SYIAH
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa orang terdepan yang
memalsukan hadits tentang disyariatkannya safar (bepergian jauh) untuk
mengunjungi kubur-kubur wali adalah kaum Syiah. Mereka telah menyebabkan
masjid-masjid kosong, dan sebaliknya meramaikan kompleks makam. Mereka
tinggalkan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla (masjid-masjid) yang menjadi tempat
dzikrullâh, sementara makam-makam wali yang sering kali menjadi tempat praktek
perbuatan syirik mereka agung-agungkan. Padahal al-Qur`an dan Hadits
memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid, bukan kuburan[3]
ANDIL
KAUM SYIAH DALAM MENCORENG SEJARAH ISLAM
Kaum
Syiah berkepentingan untuk menyuguhkan sejarah Islam yang buruk di mata umatnya
dan memalsukan hadits. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkemuka, Abu Bakar Radhyallahu anhu, ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsmân
Radhiyallahu anhu, mereka bidik dengan berbagai cacian dan cercaan.
Apabila
kita menelaah buku-buku sejarah yang berbicara tentang fitnah, ternyata
riwayat-riwayat yang membekaskan keraguan-keraguan mendalam itu berpangkal dari
empat orang saja: Abu Mikhnaf Lûth bin Yahya, al-Wâqidi, Muhammad bin Sâib
al-Kalbi, putranya Hisyâm bin Muhammad bin Sâib al-Kalbi. Empat orang ini
merupakan tokoh-tokoh yang berjasa dalam pandangan kaum Syiah. Kitab-kitab kaum
Syiah sarat dengan pujian bagi mereka berempat tersebut.
Dengan
ini, dapat diketahui bahwa kaum Syiah termasuk golongan paling berbahaya bagi
Islam. Wallâhu a’lam
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012.]
(almanhaj.or.id/syiahindonesia.com)
_______
Footnote
[1].
Muqoddimah muhaqqiq kitab al-Maudhû’ât karya Ibnul Jauzi
[2]. Hlm.
34
[3].
Iqtidhâ Shirâthal Mustaqîm hlm. 391