Oleh: Mohammad Baharun*
Fenomena perkembangan politik di Timur
Tengah sedang berlangsung sangat dinamis. Dinamika perkembangan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari terjadinya polarisasi keagamaan yang ‘abadi’ antara Sunni
dan Syiah, yang sesungguhnya punya sejarah panjang permusuhan itu. Terutama
pengaruh ideologi Syiah seperti apa yang terjadi saat ini di Irak, Pakistan,
Suriah dan Libanon.
***
Ekspor Revolusi yang didengungkan Ayatullah
Khomeini kemudian dibuktikan dengan adanya gelombang pengiriman pelajar dan
santri ke Qum (Iran) untuk dididik secara militan, sehingga pulang dari Iran
mereka menjadi kader dakwah Syiah di kampung halaman masing-masing. Syiahisasi
inilah kemudian telah menimbulkan keretakan terhadap kerukunan intern
ummat Islam yang ada di Indonesia.
Namun umumnya faham transnasional seperti
Syiah Rafidhah ini tidak mungkin bisa adaptasi dengan kebhinekaan dan NKRI,
karena mereka punya konsep dan cita-cita politik yang ekstrem menurut versi
mereka. Yaitu khususnya Syiah Imamiyah Itsna Asyariah yang berpusat di Iran,
menganggap bahwa imamah adalah sebuah keniscayaan dalam menegakkan kekuasaan
dan pemerintahan yang mutlak tak bisa tergantikan dengan konsep politik apapun.
Sehingga kehadirannya pasti menimbulkan benturan dengan aqidah maupun ideologi
yang dianut mayoritas Muslim Sunni di mana-mana termasuk di Indonesia.
Di bawah ini ada beberapa fakta yang perlu
menjadi bahan renungan ke depan untuk menangani masalah tersebut:
Pertama, Iran sejak dipimpin oleh Shah Reza Pahlevi memang secara
geopolitik di bawah pengaruh Amerika Serikat (AS). Negera adikuasa ini pernah
memperkuat militer Kerajaan Iran menjadi negara terkuat (secara militer) nomer
6 di Dunia.
Kedua, ketika pemerintahaan Shah Reza
Pahlevi kompromistis dengan Uni Sovyet sebelum Perang Dingin, maka AS “membina”
loyalis lain yaitu dari kalangan kaum konservatif Mullah yang memang
dikecewakan oleh kebijakan modernitas Shah Reza Pahlevi. Ada Ayatullah Abul
Qasim Kasyani yang kemudian dijadikan agen AS. Abul Qasim lantas merekrut
Ruhullah Khomeini, dan akhirnya atas bantuan AS pula, kubu konservatif Mullah
ini berhasil menjatuhkan Shah Reza Pahlevi (Robert Dreyfuss dalam “Devil’s
Game”, diterjemahkan AM Abegebriel, Penerbit: SRIns-Publishing, 2005, hlm.
125-126).
Ketiga, modus yang digunakan AS selanjutnya
untuk kasus Irak. Saddam Husein dijatuhkan, dan kekuasaan kemudian
“dihadiahkan” pada kelompok Syiah untuk meredam dominasi Sunni yang beroposisi.
Paul L. Bremer yang membentuk Dewan Pemerintahan Irak Sementara, ternyata
menyerahkan kekuasaan kepada kubu Syiah, secara tidak adil, dengan mengabaikan
eksistensi pengaruh Sunni di Irak. (M. Baharun, dalam “Epistemologi Antagonisme
Syiah”, Penerbit: Pustaka Bayan, cet’ VI, 2013, hlm. 173-174).
Keempat, dari kasus-kasus tersebut di atas
mengandaikan suatu asumsi bahwa AS “memelihara” dominasi Syiah di Timur Tengah
ini demi untuk melanggengkan hegemoni di wilayah tersebut. AS tidak ingin Arab
yang Sunni bersatu dan menjadi kuat, sebagai imbangannya adalah Syiah di Irak
dan Iran yang Syiah dibesarkan untuk “membonsai” potensi Sunni yang ada.
Kelima, akibatnya pengaruh konflik
Sunni-Syiah ini ke negara-negara Muslim jadi semacam “bom waktu” (M. Natsir,
negarawan RI sebagaimana dikutip Prof. Dr. Yunahar dalam “Tanya Jawab Syiah”,
Sinergi, 2013, hlm. di Kata Pengantar). Artinya sewaktu-waktu bisa
meledak dan mengakibatkan konflik sosial horizontal yang berlarut-larut.
Keenam, tidak terkecuali Indonesia yang
dijadikan sasaran utama oleh Iran dan Irak melalui proses Syiahisasi. Yaitu
pengiriman beasiswa ke Qum (Iran) atau melalui ziarah ke ‘atabat (tempat-tempat
ziarah di Irak) yang intinya bertujuan membangun militansi untuk mendorong
revolusi imamah di negeri masing-masing. (Majalah Mimbar Ulama, Edisi 357).
Ketum PBNU dalam artikel berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia” (NU Online)
mensinyalir adanya mobilisasi opini dan gelombang pengiriman beasiswa ke Iran
serta pendirian yayasan-yayasan Syiah akan menuju pada penegakan imamah melalui
jalur Wilayat-i-Faqih seperti di Iran menjelang revolusi Iran.
Ketujuh, di Indonesia meskipun secara
kuantitatif kala itu jumlah mereka sedikit, sudah berani melakukan pemboman
Borobudur di Magelang, 2 gereja di Malang dan Bus Pemudi yang menuju ke Bali.
Dalam peradilan yang digelar di Malang, sudah terbukti adanya pengaruh Syiah
dari Iran. (Solahuddin dalam “Dari NII Sampai JI”, Penerbit: Komunitas Bambu,
2011, hlm. 188-192)
Kedelapan, kini pola “perjuangan” mereka
berubah ketika tersingkapnya kasus Borobudur yang dipelopori kader dari Malang
dan sekitarnya. Yakni membangun militansi dan kaderisasi, dan ada
sinyalmen mereka kini sudah memasuki legislatif dan ekskutif pemerintahan,
bahkan sudah bisa mempengaruhi proses peradilan. Demikian juga penguasaan media
yang diwujudkan dengan bantuan dana yang tidak kecil.
Kesembilan, untuk itu semua perlu adanya
upaya pencegahan atas ancaman yang lebih membahayakan yakni mereka bisa
bersama-sama menjadi ancaman NKRI, karena pendekatan keyakinan mereka adalah
imamah, suatu model kekuasaan yang hanya bisa dijalankan oleh imam-imam yang
ditunjuk mereka untuk berdaulat.
Kesepuluh, yang perlu diwaspadai adalah
sikap taqiyyah (adaptasi sebelum rencana dapat diwujudkan) dengan siapapun.
Karena itu negara perlu melindungi mayoritas Sunni ini dari ancaman tirani
minoritas: yakni gerakan Islam ekstrem Syiah Rafidhah transnasional yang dari
Irak (Arab), Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang pasti cenderung merusak
“Islam Indonesia” yang kondusif ini.
Kesebelas, tidak mustahil politik devide et
impera tersebut juga diterapkan oleh Negara adidaya di Indonesia untuk meredam
dominasi Aswaja (Ahlussunah wal Jama’ah) yang selama ini beragama secara
kondusif itu. Aswaja Indonesia ditandai dengan kerukunan dua ormas Islam besar
yaitu NU dan Muhammadiyah yang harus dijaga harmonitasnya dari ancaman distorsi
tirani minoritas seperti Syiah Rafidhah.
Keduabelas, perlu diambil langkah-langkah
kongkret pencegahan terhadap proses syiahisasi yang menimbulkan benturan
seperti di Sampang dan sekitarnya (Jawa Timur) yang jika dibiarkan akan
menimbulkan masalah yang lebih massif lagi. Segera disosialisasikan
Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang proporsional dan berimbang, yaitu Kewajiban
Asasi Manjusia (KAM) – yang ibarat dua mata sisi uang harus seiring sejalan.
Oswald Spengler mengatakan, bahwa hak adalah hasil kewajiban-kewajiban;
kewajiban adalah hak orang lain atas diri kita”. (F. Budiman dalam HAM: Polemik
dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius, 2011, hlm. 111).@
*Prof. DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA
adalah Guru Besar Sosiologi Agama, Rektor UNAS Bandung, Ketua [truncated by
WhatsApp]