Wednesday, June 17, 2015

Pengaruh Ideologi Syiah Transnasional Terhadap Umat Islam Indonesia.

Oleh: Mohammad Baharun*
Fenomena perkembangan politik di Timur Tengah sedang berlangsung sangat dinamis. Dinamika perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari terjadinya polarisasi keagamaan yang ‘abadi’ antara Sunni dan Syiah, yang sesungguhnya punya sejarah panjang permusuhan itu. Terutama pengaruh ideologi Syiah seperti apa yang terjadi saat ini di Irak, Pakistan, Suriah dan Libanon.
Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar — terasa sangat rentan terhadap agresivitas Syiah yang secara transnasional berkembang secara ofensif dan agresif itu. Sementara mayoritas agama bangsa Indonesia ini adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni) yang dikenal moderat dan kompromistis pada hal-hal yang furu’ (cabang) atau yang bukan aqidah (keyakinan). Sehingga bisa dengan mudah adaptasi dengan Kebhinekaan yang ada dan ideologi bangsa yang majmuk ini. Pengaruh ideologi Syiah masuk semenjak dicanangkannya Revolusi Iran tahun 1979, dan secara nyata telah menyumbangkan perpecahan di kalangan umat Islam.
***
Ekspor Revolusi yang didengungkan Ayatullah Khomeini kemudian dibuktikan dengan adanya gelombang pengiriman pelajar dan santri ke Qum (Iran) untuk dididik secara militan, sehingga pulang dari Iran mereka menjadi kader dakwah Syiah di kampung halaman masing-masing. Syiahisasi inilah kemudian  telah menimbulkan keretakan terhadap kerukunan intern ummat Islam yang ada di Indonesia.
Namun umumnya faham transnasional seperti Syiah Rafidhah ini tidak mungkin bisa adaptasi dengan kebhinekaan dan NKRI, karena mereka punya konsep dan cita-cita politik yang ekstrem menurut versi mereka. Yaitu khususnya Syiah Imamiyah Itsna Asyariah yang berpusat di Iran, menganggap bahwa imamah adalah sebuah keniscayaan dalam menegakkan kekuasaan dan pemerintahan yang mutlak tak bisa tergantikan dengan konsep politik apapun. Sehingga kehadirannya pasti menimbulkan benturan dengan aqidah maupun ideologi yang dianut mayoritas Muslim Sunni di mana-mana termasuk di Indonesia.
Di bawah ini ada beberapa fakta yang perlu menjadi bahan renungan ke depan untuk menangani masalah tersebut:

Pertama,  Iran sejak dipimpin oleh Shah Reza Pahlevi memang secara geopolitik di bawah pengaruh Amerika Serikat (AS). Negera adikuasa ini pernah memperkuat militer Kerajaan Iran menjadi negara terkuat (secara militer) nomer 6 di Dunia.
Kedua, ketika pemerintahaan Shah Reza Pahlevi kompromistis dengan Uni Sovyet sebelum Perang Dingin, maka AS “membina” loyalis lain yaitu dari kalangan kaum konservatif Mullah yang memang dikecewakan oleh kebijakan modernitas Shah Reza Pahlevi. Ada Ayatullah Abul Qasim Kasyani yang kemudian dijadikan agen AS. Abul Qasim lantas merekrut Ruhullah Khomeini, dan akhirnya atas bantuan AS pula, kubu konservatif Mullah ini berhasil menjatuhkan Shah Reza Pahlevi (Robert Dreyfuss dalam “Devil’s Game”, diterjemahkan AM Abegebriel, Penerbit: SRIns-Publishing, 2005, hlm. 125-126).
Ketiga, modus yang digunakan AS selanjutnya untuk kasus Irak. Saddam Husein dijatuhkan, dan kekuasaan kemudian “dihadiahkan” pada kelompok Syiah untuk meredam dominasi Sunni yang beroposisi. Paul L. Bremer yang membentuk Dewan Pemerintahan Irak Sementara, ternyata menyerahkan kekuasaan kepada kubu Syiah, secara tidak adil, dengan mengabaikan eksistensi pengaruh Sunni di Irak. (M. Baharun, dalam “Epistemologi Antagonisme Syiah”, Penerbit: Pustaka Bayan, cet’ VI, 2013, hlm. 173-174).
Keempat, dari kasus-kasus tersebut di atas mengandaikan suatu asumsi bahwa AS “memelihara” dominasi Syiah di Timur Tengah ini demi untuk melanggengkan hegemoni di wilayah tersebut. AS tidak ingin Arab yang Sunni bersatu dan menjadi kuat, sebagai imbangannya adalah Syiah di Irak dan Iran yang Syiah dibesarkan untuk “membonsai” potensi Sunni yang ada.
Kelima, akibatnya pengaruh konflik Sunni-Syiah ini ke negara-negara Muslim jadi semacam “bom waktu” (M. Natsir, negarawan RI sebagaimana dikutip Prof. Dr. Yunahar dalam “Tanya Jawab Syiah”, Sinergi, 2013, hlm. di Kata Pengantar). Artinya sewaktu-waktu  bisa meledak dan mengakibatkan konflik sosial horizontal yang berlarut-larut.
Keenam, tidak terkecuali Indonesia yang dijadikan sasaran utama oleh Iran dan Irak melalui proses Syiahisasi. Yaitu pengiriman beasiswa ke Qum (Iran) atau melalui ziarah ke ‘atabat (tempat-tempat ziarah di Irak) yang intinya bertujuan membangun militansi untuk mendorong revolusi imamah di negeri masing-masing. (Majalah Mimbar Ulama, Edisi 357). Ketum PBNU dalam artikel berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia” (NU Online) mensinyalir adanya mobilisasi opini dan gelombang pengiriman beasiswa ke Iran serta pendirian yayasan-yayasan Syiah akan menuju pada penegakan imamah melalui jalur Wilayat-i-Faqih seperti di Iran menjelang revolusi Iran.
Ketujuh, di Indonesia meskipun secara kuantitatif kala itu jumlah mereka sedikit, sudah berani melakukan pemboman Borobudur di Magelang, 2 gereja di Malang dan Bus Pemudi yang menuju ke Bali. Dalam peradilan yang digelar di Malang, sudah terbukti adanya pengaruh Syiah dari Iran. (Solahuddin dalam “Dari NII Sampai JI”, Penerbit: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 188-192)
Kedelapan, kini pola “perjuangan” mereka berubah ketika tersingkapnya kasus Borobudur yang dipelopori kader dari Malang dan sekitarnya.  Yakni membangun militansi dan kaderisasi, dan ada sinyalmen mereka kini sudah memasuki legislatif dan ekskutif pemerintahan, bahkan sudah bisa mempengaruhi proses peradilan. Demikian juga penguasaan media yang diwujudkan dengan bantuan dana yang tidak kecil.
Kesembilan, untuk itu semua perlu adanya upaya pencegahan atas ancaman yang lebih membahayakan yakni mereka bisa bersama-sama menjadi ancaman NKRI, karena pendekatan keyakinan mereka adalah imamah, suatu model kekuasaan yang hanya bisa dijalankan oleh imam-imam yang ditunjuk mereka untuk berdaulat.
Kesepuluh, yang perlu diwaspadai adalah sikap taqiyyah (adaptasi sebelum rencana dapat diwujudkan) dengan siapapun. Karena itu negara perlu melindungi mayoritas Sunni ini dari ancaman tirani minoritas: yakni gerakan Islam ekstrem Syiah Rafidhah transnasional yang dari Irak (Arab), Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang pasti cenderung merusak “Islam Indonesia” yang kondusif ini.
Kesebelas, tidak mustahil politik devide et impera tersebut juga diterapkan oleh Negara adidaya di Indonesia untuk meredam dominasi Aswaja (Ahlussunah wal Jama’ah) yang selama ini beragama secara kondusif itu. Aswaja Indonesia ditandai dengan kerukunan dua ormas Islam besar yaitu NU dan Muhammadiyah yang harus dijaga harmonitasnya dari ancaman distorsi tirani minoritas seperti Syiah Rafidhah.
Keduabelas, perlu diambil langkah-langkah kongkret pencegahan terhadap proses syiahisasi yang menimbulkan benturan seperti di Sampang dan sekitarnya (Jawa Timur) yang jika dibiarkan akan menimbulkan masalah yang lebih massif lagi. Segera  disosialisasikan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang proporsional dan berimbang, yaitu Kewajiban Asasi Manjusia (KAM) – yang ibarat dua mata sisi uang harus seiring sejalan. Oswald Spengler mengatakan, bahwa hak adalah hasil kewajiban-kewajiban; kewajiban adalah hak orang lain atas diri kita”. (F. Budiman dalam HAM: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius, 2011, hlm. 111).@
*Prof. DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA adalah Guru Besar Sosiologi Agama, Rektor UNAS Bandung, Ketua [truncated by WhatsApp]