[ sambungan comments ]
Abul-HaritsDec 7, 2013, 2:17:00 AM
Demikian pula dalam
hal meninggalkan larangan syariat, ada amalan dosa yang jika dilakukan akan
menyebabkan pelakunya kafir diantaranya dosa kesyirikan dan sihir. Adapula
amalan dosa yang jika dilakukan hanya menyebabkan pelakunya fasik, diantaranya
zina, minum khamr, mencuri, memakan harta riba, dsb.
Pernyataan
“barangsiapa yang tidak masuk Islam secara kaffah maka ia kafir” mirip dengan
keyakinan sesat kelompok Khawarij yang menyatakan “barangsiapa yang terjatuh
dalam dosa besar, maka ia kafir dan kekal di neraka”. Menurut kelompok
Khawarij, seorang yang minum khamr maka ia kafir karena tidak mengamalkan Islam
secara kaffah. Seorang yang melakukan zina kafir karena tidak mengamalkan Islam
secara kaffah. Seorang yang mencuri kafir karena tidak mengamalkan Islam secara
kaffah. Seorang yang memakan harta riba juga kafir karena tidak mengamalkan
Islam secara kaffah. Tidak ada perbedaan yang berarti antara keyakinan antum
dan keyakinan Khawarij.
[Kedua] Allah ta’ala dalam Al-Qur’an
seringkali menyeru kaum muslimin dengan panggilan “wahai orang-orang yang
beriman”, kemudian menyebutkan sebuah perintah atau menyebutkan sebuah larangan
agar ditinggalkan. Hal ini tidak melazimkan “kekafiran” seorang muslim yang
belum mampu melakukan perintah Allah tersebut, juga tidak melazimkan
“kekafiran” seorang yang belum mampu meninggalkan larangan Allah tersebut.
Cermati firman Allah berikut,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan” [QS. Ali-Imran: 130]
Apakah seorang yang
memakan harta riba tidak dikatakan beriman (kafir)?
Allah ta’ala juga
berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah
janji..” [QS. Al-Ma’idah: 1]
Apakah seorang yang
menyelisihi janji dikatakan tidak beriman (kafir)?
Ayat-ayat semisal ini
dalam Al-Qur’an sangatlah banyak. Saya kira dua contoh ayat di atas telah
mencukupi. Hanya kelompok Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar
berdasarkan kedua ayat di atas.
Abul-HaritsDec 7,
2013, 2:56:00 AM
2. Kemudian firman
Allah berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada)
Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebahagian
dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan
perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan
kafir). Merekalah orang-orang KAFIR yang sebenarnya. Kami telah menyiapkan
siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS An-Nisa’:
150-151)
Kita lihat tafsir
para ulama berkenaan dengan ayat di atas,
Al-Imam Ibnu Katsir
rahimahullah berkata:
يتوعد تبارك و تعالى
الكافرين به وبرسله من اليهود والنصارى، حيث فَرّقوا بين الله ورسله في الإيمان،
فآمنوا ببعض الأنبياء وكفروا ببعض
“Allah tabaraka wata’ala memberikan ancaman
pada orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kafir kepada rasul-rasul-Nya,
diantara mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka membedakan
antara keimanan pada Allah dan keimanan pada rasul-rasul-Nya. Mereka beriman
kepada sebagian nabi, namun kafir kepada sebagian nabi yang lain” [Tafsir Ibnu
Katsir, 2/445]
Al-Imam Abu Ja’far
Ath-Thabari rahimahullah berkata:
كما فعلت اليهود من
تكذيبهم عيسى ومحمدًا صلى الله عليهما وسلم، وتصديقهم بموسى وسائر الأنبياء قبله
بزعمهم. وكما فعلت النصارى من تكذيبهم محمدًا صلى الله عليه وسلم، وتصديقهم بعيسى
وسائر الأنبياء قبله بزعمهم
“Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi tatkala mereka mendustakan Isa dan Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam
bersamaan dengan keimanan mereka kepada Musa dan para nabi sebelumnya menurut
anggapa mereka.
Demikian pula
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani tatkala mendustakan
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersamaan dengan keimanan mereka kepada
Isa dan para nabi sebelumnya menurut anggapan mereka.” [Tafsir Ath-Thabari,
9/352]
Dari penjelasan para
ulama ahli tafsir di atas, jelaslah bahwa ayat di atas berkenaan dengan
orang-orang Yahudi dan Nashrani yang tidak mau beriman kepada seluruh nabi dan
rasul. Kenapa antum menerapkan ayat di atas kepada orang-orang beriman yang
masih terjatuh dalam dosa besar? Apakah seorang yang masih berbuat dosa telah
kafir kepada sebagian nabi dan beriman kepada sebagian nabi yang lain?
Pendalilan yang aneh dan cenderung dipaksakan.
Akhi, permasalahan
“takfir” (mengkafirkan seorang muslim) merupakan permasalahan besar. Di sana
terdapat konsekuensi yang berat, jika seorang muslim dinyatakan telah kafir
maka ia harus diceraikan dari istrinya yang muslimah, tidak dishalati ketika
meninggal, hartanya tidak diwariskan dan ia akan mendapatkan kekekalan azab di
neraka.
Permasalahan ini
telah dibahas oleh para ulama secara rinci dalam kitab-kitab mereka, tidak
cukup saya sebutkan satu-persatu dalam kolom komentar ini.
Abul-HaritsDec 7,
2013, 4:29:00 AM
3. Kemudian firman
Allah berikut:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman
dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS
An-Naml: 14)
Kembali kita buka
kitab tafsir para ulama ketika menafsirkan ayat di atas,
Al-Imam Ibnu Katsir
rahimahullah berkata:
يقول تعالى لرسوله
صلى الله عليه وسلم مذكرًا له ما كان من أمر موسى، كيف اصطفاه الله وكلمه، وناجاه
وأعطاه من الآيات العظيمة الباهرة، والأدلة القاهرة، وابتعثه إلى فرعون وملئه،
فجحدوا بها وكفروا واستكبروا عن اتباعه والانقياد له
“Allah ta’ala berfirman kepada rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan tentang apa yang telah terjadi pada
Musa, bagaimana Allah telah memilihnya dan mengajaknya berbicara. Allah telah
menyelamatkannya lalu mewahyukan padanya ayat-ayat yang agung, dan jelas
beserta dalil-dalil yang tidak terbantahkan. Allah mengutus Musa kepada Fir’aun
dan pengikutnya. Namun mereka (Fir’aun dan pengikutnya -pen) mengingkari Musa,
mengkufurinya, sombong lagi tidak mau mengikuti Musa dan taat kepadanya.”
[Tafsir Ibnu Katsir, 6/179]
Al-Imam Abu Ja’far
Ath-Thabari rahimahullah berkata:
يقول تعالى ذكره:
فلما جاءت فرعون آياتنا، يعني: أدلتنا وحججنا
“Allah ta’ala menyebutkan tatkala ayat-ayat
Kami telah sampai pada Fir’aun, yaitu dalil-dalil dan hujjah dari Kami..”
[Tafsir Ath-Thabari, 19/435]
Imam Ibnul-Jauzi
rahimahullah berkata:
قال الزجاج : المعنى
: وجحدوا بها ظُلماً وعُلُوّاً ، أي : ترفُّعاً عن أن يؤمِنوا بما جاء به موسى وهم
يعلمون أنها من عند الله
“Az-Zujaj berkata, maknanya adalah mereka
(Fir’aun dan pengikutnya –pen) mengingkarinya secara dzalim dan sombong yaitu
mereka merasa dirinya lebih tinggi sehingga tidak beriman kepada apa yang
datang dari Musa, padahal mereka mengetahui bahwa hal itu berasal dari Allah”
[Zaadul Masiir, 5/17]
Bandingkan dengan
penafsiran antum: “apakah perbedaan antara tidak melaksanakan dengan
mengingkari...karena dalam surat an nisa ayat 150-151 disebut kafir karena
mengingkari...dan di ayat an naml 14 meskipun meyakini tetapi mereka tetap
disebut mengingkari karena kezhaliman dan kesombongannya”
Kementar saya,
[Pertama] Ayat tersebut berkenaan dengan
Fir’aun dan pengikutnya yang kafir, namun antum malah menerapkannya pada
orang-orang yang beriman.
Abul-HaritsDec 7,
2013, 4:42:00 AM
[Kedua] Fir’aun sama
sekali tidak mau beriman kepada Allah, tidak pula mengikuti Musa ‘alaihissalam,
meskipun ia tahu bahwa ajaran yang dibawa Musa adalah kebenaran dan berasal
dari Allah. Apakah antum hendak menyamakan seorang muslim yang masih memakan
harta riba dengan Fir’aun yang kafir? Seorang muslim meskipun fasik sekalipun,
ia masih beriman pada Allah dan beramal shalih.
[Ketiga] "Meninggalkan" (tidak
melaksanakan) tentu berbeda dengan "mengingkari". Agar lebih jelas,
saya berikan dua contoh masalah:
- Seorang yang
meninggalkan shalat Subuh, ini memiliki dua kemungkinan,
Pertama, Shalat Subuh
tidak wajib menurut anggapannya sehingga ia pun meremehkan dan meninggalkan
shalat Subuh. Dalam kasus ini ia meninggalkan shalat karena mengingkari
kewajiban Shalat Subuh.
Kedua, Ia tahu bahwa
Shalat Subuh hukumnya wajib namun ia merasa berat untuk bangun pagi, akhirnya
ia pun meninggalkan shalat karena malas. Dalam kasus ini ia meninggalkan shalat
karena malas, bukan karena mengingkari kewajiban shalat Subuh.
- Seorang yang
meninggalkan haji padahal ia telah mampu, ini juga memiliki dua kemungkinan
Pertama, ia
meninggalkan haji karena mengingkari kewajiban haji. Ia menyatakan bahwa haji
tidaklah wajib dalam Islam menurut anggapannya. Dalam kasus ini ia meninggalkan
haji karena mengingkari kewajibannya
Kedua, ia
meninggalkan haji karena sifat kikirnya. Ia tahu bahwa haji hukumya wajib,
namun ia merasa berat untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Dalam kasus ini ia
meninggalkan haji tanpa mengingkari kewajibannya.
Berbeda bukan?
[Keempat] Para ulama telah bersepakat bahwa
seorang yang terjatuh dalam dosa besar tidaklah dikafirkan selama ia tidak
menghalalkan dosa tersebut.
Ibnu ‘Abdil-Barr
rahimahullah berkata:
اتَّفق أهل السنة
والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ –
من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah –mereka adalah
ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah
dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu
dosa besar –“ [At-Tamhiid, 16/315]
[Kelima] Para ulama juga telah bersepakat
barangsiapa yang menghalalkan perbuatan dosa maka ia dikafirkan.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
مَن فعل المحارم
مستحلاً لها فهو كافر بالاتفاق
“Barangsiapa yang melakukan hal yang
diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan ulama”
[Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].
Mudah-mudahah bisa
dipahami..
AnonymousDec 11,
2013, 1:14:00 PM
Ustadz, terima kasih
atas ulasannya.
apakah saya boleh
mengirim pertanyaan lanjutan mengenai ke alamat email ustadz.
Abul-HaritsDec 13,
2013, 2:29:00 AM
Sebaiknya antum tulis
pertanyaan di kolom komentar, karena saya jarang ngecek email. Kecuali jika
pertanyaan antum bukan untuk konsumsi publik, silahkan kirim ke email.
waffaqanallahu
waiyyakum
AnonymousDec 18,
2013, 5:31:00 PM
ustadz, apakah orang
yang bersyahadat tersebut seperti orang munafiq seperti yang dijelaskan dalam
surat Al Baqarah ayat 8-16 dan Surat Al Munafiqun Ayat 1-8.
yaitu dia
bersyahadat..sehingga dia dihukumi sebagai seorang muslim secara dzahir (haram
harta dan jiwanya). namun karena dia belum mau meninggalkan pekerjaan riba maka
dia termasuk ke dalam orang munafiq yang syahadatnya tidak diterima Allah.
meskipun secara dzahir dia dihukumi muslim.
Apakah demikian
Ustadz?
Abul-HaritsDec 20,
2013, 2:46:00 AM
Bukan demikian, ia
adalah seorang muslim yang berstatus fasik. Karena ia terjatuh dalam dosa besar
yaitu memakan harta riba, namun enggan untu bertaubat. Berapa kali saya
jelaskan pada antum bahwa pelaku dosa besar tidaklah dikatakan kafir atau
munafik. Ini merupakan aqidah ahlus-sunah wal jama'ah.
Ingat, ia bersatus
sebagai muslim yang fasik, bukan kafir, bukan pula munafik !! Kita bermuamalah
dengannya sebagaimana muamalah sesama muslim.
Telah saya singgung
pembahasannya pada komentar sebelumnya, dibaca lagi ya.. Point mana lagi yang
belum jelas? Kok diulang-ulang terus pertanyaanya, hanya saja dengan kemasan
yang sedikit berbeda..
AnonymousDec 24,
2013, 2:19:00 PM
terima kasih ustadz
karena sudah membantu melawan bisikan syetan.
berikut saya rincikan
beberapa bisikan syetan mengenai kasus Orang yang bersyahadat namun belum bisa
meninggalkan riba, semoga Ustadz bersedia membantu mengulas satu persatu secara
detail/lengkap dan disertai dalil mengenai bisikan dibawah ini.
BISIKAN PERTAMA
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan.."percuma kamu bersyahadat karena kamu belum berserah
diri. buktinya kamu belum mau meninggalkan pekerjaan riba. padahal tingkatan
paling rendah dalam iman adalah muslim (berserah diri), kemudian mukmin, muhlis
dan muttaqin. nah kamu belum mau berserah diri total jadi belum bisa dibilang
muslim."
BISIKAN KEDUA
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan.."Ok. untuk orang islam yang berbuat dosa besar (bukan
dosa yang menyebabkan kekafiran) maka tidak dikafirkan. itu karena orang itu
sudah masuk islam. Nah kalau kamu BELUM MASUK islam tetapi sudah berniat/berpikir
untuk belum bisa/berat hati melaksanakan sebagian perintah. tentu hal ini
berbeda donk dengan orang yang sudah masuk dalam wilayah islam namun kemudian
dia melakukan dosa besar."
Apakah ada
perbedaannya ustadz?
BISIKAN KETIGA
setan : Apakah kamu
membenarkan dan meyakini kalimat syahadat?
Anonymous : saya
meyakini dan membenarkan
setan : ah kamu
bohong. kalau kamu yakin harusnya kamu mau donk keluar dari pekerjaan riba.
apakah kamu meragukan bahwa Allah yang memberikan rezeki.
anonymous: saya tidak
ragu bahwa Allah yang memberikan rezeki semua makhluknya.
setan: kalau tidak
ragu kenapa kamu tidak mau keluar dari pekerjaan riba. berarti itu
mengindikasikan bahwa syahadatmu belum benar.
Ustadz, ketika kita
meyakini bahwa Allah yang memberikan rizki. namun kita belum bisa keluar dari
pekerjaan riba tersebut. apakah hal ini mengindikasikan:
1.) kita masih ragu2
bahwa Allah yang memberikan rezeki
2.) atau menandakan
bahwa iman kita masih lemah. karena meskipun kita tetap meyakini bahwa Allah
yang mengatur Rezeki namun kenapa belum mau keluar dari pekerjaan riba. (jadi
ada perbedaan antara ucapan dan perbuatan).
BISIKAN KEEMPAT
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan..."kamu mau bersyahadat tetapi kamu belum mau
meninggalkaa riba. berarti kamu masih mengikuti hawa nafsu. artinya kamu masih
menyembah hawa nafsu. jadi apakah kamu belum mau meninggalkan sesembahan selain
Allah".
Ustadz,
1.)apakah jika
sebelum bersyahadat kita masih berat hati untuk meninggalkan riba maka masih
disebut menyembah hawa nafsu. meskipun di hati kecil sebenarnya ingin keluar
dari pekerjaan tsb namun untuk saat ini belum bisa karena belum punya pekerjaan
lain. dan mengakui bahwa pekerjaan tsb adalah pekerjaan haram.
2.) apakah udzur
karena belum punya pekerjaan lain bisa diterima. atau tidak bisa diterima udzur
tsb dan tetap berdosa namun syahadatnya tetap sah
3.) apakah belum mau
meninggalkan riba berarti kita disebut melakukan Kufur Ibaa’ (enggan) dan
Istikbar (sombong) walaupun disertai pembenaran: seperti kufurnya iblis, karena
ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya
ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia
tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan.
AnonymousDec 24,
2013, 4:03:00 PM
ada tambahan lagi
ustadz..
“Para sahabat,
tabi’in setelah mereka dan para ulama yang aku ketahui, mereka telah bersepakat
(ijma’) bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan
salah satu dari yang lain (ketiganya harus terkumpul –pen-).” [Kitab Al-Iman
hal.197]
terutama dalam point
"Niat"
Orang yang SEBELUM
mengucapkan syahadat (meyakini dan membenarkan) tetapi berpikir belum bisa
melaksanakan SEBAGIAN PERINTAH (meskipun dia menerima semua ajaran hanya saja
belum bisa melaksanakan sebagian perintah karena masih menuruti hawa nafsu).
APakah Niat orang ini sudah benar?
Abul-HaritsDec 24,
2013, 6:42:00 PM
BISIKAN PERTAMA
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan.."percuma kamu bersyahadat karena kamu belum berserah
diri. buktinya kamu belum mau meninggalkan pekerjaan riba. padahal tingkatan
paling rendah dalam iman adalah muslim (berserah diri), kemudian mukmin, muhlis
dan muttaqin. nah kamu belum mau berserah diri total “jadi belum bisa dibilang
muslim”."
Jawab dulu 4
pertanyaan berikut menurut apa yang antum pahami ya..
1. Sebagai ilustrasi,
saya akan memberikan dua contoh berikut,
- Seorang yang
bersyahadat di lisannya, namun tidak mau beramal shalih sebagai konsekuensi
dari syahadatnya. Ia tidak shalat, tidak berpuasa, tidak mengeluarkan zakat,
tidak haji, tidak membaca Al-Qur’an, dsb. Ia juga melakukan berbagai jenis
kemungkaran seperti zina, minum khamr, membunuh, mencuri, merampok, dsb…
- Seorang yang
bersyahadat, kemudian ia dengan sukarela dan sepenuh hati melaksanakan
konsekuensi dari syahadatnya. Ia melakukan shalat 5 waktu berjama’ah di masjid,
berpuasa Ramadhan, menunaikan zakat yang wajib dan bershadaqah, menunaikan
haji, membaca Al-Qur’an, dsb namun ia belum mampu meninggalkan perkerjaan riba.
Apakah perbedaan antara
dua tipe manusia di atas dalam hal “berserah diri”?
2. Seorang yang masuk
ke dalam Islam, ia dituntut untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam beragama baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, dsb.
- contoh dalam
ibadah, kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat malam
adalah membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa’ dalam satu raka’at,
kemudian ruku’ dan sujud dengan panjang yang hampir sama dengan posisi beliau
tatkala berdiri.
Ketika seorang
bersyahadat namun dalam hatinya terbetik niat untuk tidak mengikuti sunah
beliau dalam masalah qiyamullail, apakah ia belum “berserah diri”?
- contoh dalam
akhlak, kita telah mengetahui bahwa akhlak beliau sangatlah mulia. Beliau
adalah sebaik-baik manusia dalam hal akhlak. Jika ada seorang yang bersyahadat
namun akhlaknya masih jauh dengan akhlak nabi, apakah ia belum “berserah diri”?
3. Jika belum
berserah diri secara total menghalangi keabsahan syahadat seseorang, tentu Raja
An-Najasyi tidak dikatakan muslim. Karena ia hanya masuk Islam namun tidak
melakukan kewajiban hijrah ke Madinah atau tidak pula melakukan kewajiban
menerapkan syariat Islam di negerinya. Tentunya anggapan ini tertolak, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ghaib untuknya, hal
ini menunjukkan bahwa An-Najasyi adalah seorang muslim yang diterima
syahadatnya.”
4. Seorang yang
bersyahadat dengan sepenuh hati, kemudian melakukan amal shalih setelah itu,
apakah ini bukan tanda bahwa ia telah “berserah diri” dalam melakukan perintah
Allah?
Abul-HaritsDec 24,
2013, 7:10:00 PM
BISIKAN KEDUA
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan.."Ok. untuk orang islam yang berbuat dosa besar (bukan
dosa yang menyebabkan kekafiran) maka tidak dikafirkan. itu karena orang itu
sudah masuk islam. Nah kalau kamu BELUM MASUK islam tetapi sudah
berniat/berpikir untuk belum bisa/berat hati melaksanakan sebagian perintah.
tentu hal ini berbeda donk dengan orang yang sudah masuk dalam wilayah islam
namun kemudian dia melakukan dosa besar."
Apakah ada
perbedaannya ustadz?
Jawab,
Tidak ada perbedaan,
berikut beberapa alasannya:
1. antum sendiri
telah menyatakan “padahal tingkatan paling rendah dalam iman adalah muslim
(berserah diri)”.
Jika seorang SUDAH
masuk Islam, kemudian ia kehilangan “tingkatan paling rendah dalam iman” maka
otomatis iman yang ia miliki telah hilang secara keseluruhan (kafir).
Keadaannya sama seperti seorang yang BELUM masuk Islam karena sama-sama tidak
memiliki “tingkatan paling rendah dalam iman yaitu berserah diri”.
2. Saya akan membuat
permisalan iman dengan sebuah rumah. Seorang yang ingin membangun sebuah rumah,
namun ia belum membangun tiang sebagai pondasi rumahnya, maka ia belum
dikatakan telah memiliki rumah. Begitu pula seorang yang telah memiliki sebuah
rumah yang megah, lalu terjadilah gempa sehingga tiang dan pondasi rumahnya
rusak, hingga hancur dan robohlah rumah yang ia bangun selama ini.
Diantara yang
menduduki tiang dalam pondasi iman seseorang adalah “berserah diri”. Jika ia tidak
memiliki tiang sebagai pondasi iman, maka ia tidak dikatakan memiliki rumah
iman, sama saja apakah pada asalnya ia belum memiliki rumah atau telah memiliki
rumah namun tiangnya rusak sehingga rumahnya pun roboh dan hancur.
Abul-HaritsDec 24,
2013, 7:35:00 PM
BISIKAN KETIGA
Seorang yang belum
mampu meninggalkan pekerjaan riba, apakah otomatis ia meragukan kekuasaan Allah
dalam memberikan rizki?
Jawabnya, tidak ada
kelaziman demikian, saya berikan contoh yang lain.
1. Seorang yang
melihat film porno di kamarnya sendirian, apakah berarti ia tidak meyakini
bahwa Allah mengetahui dan melihat perbuatan dosa yang ia lakukan dalam
kesendirian? Ia tentu meyakini sepenuh hati bahwa Allah Maha Melihat, hanya
saja ia dikalahkan oleh hawa nafsunya. Hal ini menunjukkan imannya yang lemah
2. Beberapa orang
yang melakukan perbuatan ghibah (menceritakan kejelekan saudaranya), apakah
mereka tidak meyakini bahwa Allah Maha Mendengar apa yang mereka katakan?
3. Seorang yang
berbuat zalim kepada orang lain dengan memukul dan merampas hartanya, apakah ia
tidak meyakini adanya hari pembalasan di akhirat nanti?
Tidak ada seorang pun
yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal ini, pahami baik-baik ya. Jadi jawaban
yang tepat adalah point kedua “menandakan bahwa iman kita masih lemah. karena
meskipun kita tetap meyakini bahwa Allah yang mengatur Rezeki namun kenapa
belum mau keluar dari pekerjaan riba.”. Kecuali jika ia tidak meyakini adanya
Tuhan seperti kelompok Atheis, maka wajar…
Abul-HaritsDec 24,
2013, 8:51:00 PM
BISIKAN KEEMPAT
sebelum bersyahadat
syetan membisikkan..."kamu mau bersyahadat tetapi kamu belum mau
meninggalkaa riba. berarti kamu masih mengikuti hawa nafsu. artinya kamu masih
menyembah hawa nafsu. jadi apakah kamu belum mau meninggalkan sesembahan selain
Allah".
Jawabnya, jika setiap
orang yang melakukan dosa adalah menyembah hawa nafsu atau belum mau
meninggalkan sesembahan selain Allah. Jika memang demikian, maka apakah
perbedaan dosa syirik dan dosa-dosa besar selain syirik?
Ini adalah kelaziman aqidah Khawarij,
saya berikan beberapa contoh :
1. Seorang yang
berbuat zina, maka ia masih menyembah hawa nafsunya sehingga belum mau
meninggalkan sesembahan selain Allah. Jadilah ia seorang musyrik yang kafir
dengan dosa tersebut
2. Seorang anak yang
membunuh orang tuanya karena menginginkan harta warisannya, maka ia masih
menyembah hawa nafsunya sehingga belum mau meninggalkan sesembahan selain
Allah. Jadilah ia seorang musyrik yang kafir dengan dosa tersebut.
Terapkan dua point di
atas dalam seluruh dosa, maka kesimpulannya akan sama. Ia akan mengkafirkan
para pelaku dosa besar sebagaimana pemahaman sesat Khawarij. Bahkan pelaku dosa
kecil pun bisa dikafirkan dengan analogi ini.
Kesimpulan dari
pemahaman sesat ini adalah kekafiran bagi para pelaku dosa, karena setiap dosa
yang ia lakukan termasuk penyembahan terhadap hawa nafsu. Ia masih melakukan
penyembahan pada selain Allah. Jadi, seluruh dosa yang diperbuat seorang hamba
baik mencuri, berzina, membunuh, ghibah, dll adalah dosa kesyirikan yang tidak
akan diampuni oleh Allah !!
Lalu bagaimana dengan
firman Allah berikut,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
syirik dan mengampuni dosa-dosa SELAIN SYIRIK bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
[QS. An-Nisaa’]
Abul-HaritsDec 24,
2013, 9:24:00 PM
Ustadz,
1)apakah jika sebelum
bersyahadat kita masih berat hati untuk meninggalkan riba maka masih disebut
menyembah hawa nafsu. meskipun di hati kecil sebenarnya ingin keluar dari
pekerjaan tsb namun untuk saat ini belum bisa karena belum punya pekerjaan
lain. dan mengakui bahwa pekerjaan tsb adalah pekerjaan haram?
Selama ia masih
menyakini keharaman dosa riba dan ada perasaan bersalah dalam hatinya, maka ia
memiliki iman. Yang lebih tepat adalah ia masih dikalahkan oleh hawa nafsunya,
karena istilah “menyembah hawa nafsu” dapat disalahpahami sebagai aqidah
Khawarij.
2) Apakah udzur
karena belum punya pekerjaan lain bisa diterima. atau tidak bisa diterima udzur
tsb dan tetap berdosa namun syahadatnya tetap sah?
Syahadatnya tetap
sah, namun ia tetap berdosa karena lapangan pekerjaan yang halal masih banyak.
Tidak ada udzur baginya dalam hal ini. Ia terancam dengan firman Allah berikut:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba. Barangsiapa yang telah sampai nasehat dari Tuhan-Nya, kemudian ia berhenti
(meninggalkan riba –pen), maka apa yang telah lalu (halal –pen) baginya dan
perkaranya kembali pada Allah. Barangsiapa yang mengulangi (dosa riba –pen),
maka mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [QS.
Al-Baqarah: 275]
3) apakah belum mau
meninggalkan riba berarti kita disebut melakukan Kufur Ibaa’ (enggan) dan
Istikbar (sombong) walaupun disertai pembenaran: seperti kufurnya iblis, karena
ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya
ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia
tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan?
Ia tidak dikatakan
kufur Ibaa’ atau Istikbar, karena beberapa sisi:
1. Iblis telah
mendapatkan laknat Allah dan telah divonis sebagai penghuni neraka lagi kekal
di dalamnya. Sementara seorang muslim pemakan riba masih bisa diharapkan
taubatnya, atau barangkali Allah masih memberikan ampunan padanya atau ia
diazab di akhirat sebatas dosanya, kemudian dimasukkan ke dalam surga.
2. Iblis mengingkari
perintah Allah dengan kesombongan, sementara ia mengakui kesalahannya dan tidak
sombong kepada Allah. Bukankah setiap hari hatinya merasa gelisah? Ia juga
senantiasa meminta ampun (beristighfar) kepada Allah atas dosa tersebut,
sedangkan Iblis tidaklah demikian
3. Iblis kafir kepada
Allah serta tidak beriman pada para nabi dan rasul. Sedangkan ia telah beriman
pada Allah dan Rasul-Nya, kemudian melakukan ketaatan pada Allah dan meninggakan
larangan-larangan Allah. Meskipun belum semua larangan Allah mampu ia
tinggalkan
Abul-HaritsDec 24,
2013, 9:42:00 PM
Orang yang SEBELUM
mengucapkan syahadat (meyakini dan membenarkan) tetapi berpikir belum bisa
melaksanakan SEBAGIAN PERINTAH (meskipun dia menerima semua ajaran hanya saja
belum bisa melaksanakan sebagian perintah karena masih menuruti hawa nafsu).
APakah Niat orang ini sudah benar?
Niatnya masih keliru,
sehingga perlu diluruskan. Namun kekeliruannya tidaklah menjadikan syahadatnya
tertolak. Adapun niat yang dimaksud dalam perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas
adalah lawan dari nifaq (kemunafikan), yaitu seorang yang bersyahadat dan
beramal secara zhahir namun dalam hati ia hanya berniat untuk melindungi harta
dan jiwanya, bukan karena keimanan pada Allah.
Sedangkan keadaan
orang tersebut pada hakikatnya telah memenuhi tiga komponen iman yang wajib.
1. Ia telah beriman
kepada Allah dalam hatinya
2. Ia telah
bersyahadat di lisannya
3. Ia telah beramal
dengan anggota badannnya dengan melakukan shalat, puasa, zakat, dll
Mudah-mudahan bisa
dipahami, waffaqanallahu waiyyakum
AnonymousDec 27,
2013, 5:24:00 PM
Ustadz, kita
diwajibkan untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai siapapun.
1.) sebelum
bersyahadat namun belum bisa meninggalkan sebagian perintah, apakah kita sudah
disebut telah mencintai Allah dan Rasul-Nya? bukahkah jika mencintai Allah dan
Rasul-Nya maka melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan.
Abul-HaritsDec 28,
2013, 1:54:00 PM
عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ
اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا ، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَكَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - قَدْ
جَلَدَهُ فِى الشَّرَابِ ، فَأُتِىَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ ،
فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى
بِهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَلْعَنُوهُ ، فَوَاللَّهِ
مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ »
Dari Umar bin
Al-Khaththab, bahwa ada seorang laki-laki di zaman Nabi yang bernama Abdullah,
ia diberi julukan Himar. Ia biasa membuat Rasulullah tertawa. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mencambuknya karena minum (khamr). Suatu hari ia
didatangkan (karena minum khamr lagi -pen), maka beliau memberikan perintah
(agar ia dicambuk pen), lalu ia pun dicambuk.
Maka seorang
laki-laki dari sahabat berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya
ia didatangkan!”. Maka Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mengatakan demikian, demi Allâh, yang aku ketahui dia
mencintai Allâh dan RasulNya”." [HR. Bukhari no.6780]
Faidah yang dapat
dipetik:
1. Perbuatan dosa
tidaklah menjadikan kecintaan seorang muslim pada Allah dan rasul-
Nya itu hilang secara
keseluruhan. Tidak boleh dikatakan bahwa ia tidak mencintai Allah dan Rasul
karena telah berkali-kali terjatuh dalam dosa
2. Perbuatan dosa
tidaklah mengkafirkan pelakunya, selama ia tidak menghalalkannya. Buktinya,
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam tidak mengkafirkan sahabat tersebut
3. Iman itu
bertingkat-tingkat. Saya akan membuat permisalan iman dengan 1 lingkaran besar,
1 lingkaran sedang dan 1 lingkaran kecil. Posisi lingkaran kecil berada dalam
lingkaran sedang, kemudian posisi lingkaran sedang berada di dalam lingkaran
besar.
Lingkaran kecil
adalah ashlul iman (pokok keimanan), lingkaran sedang di luar lingkaran kecil
adalah al-iman al-wajib (iman yang wajib), sedangkan lingkaran yang besar di
luar lingkaran sedang adalah kamaalul iman (iman yang sunah/penyempurna iman).
Nah, kecintaan pada Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya pada dirinya, orang
tua, anak dan siapa pun termasuk dalam al-iman al-wajib. Jika ia tidak
memilikinya, ia masih memiliki ashlul-iman yang menjadikan imannya sah dan
syahadatnya diterima.
Jika ia tidak
mencintai Allah dan rasul-Nya, untuk apa ia masuk Islam, kemudian melakukan
shalat, puasa, zakat, membaca Al-Qur,an, meninggalkan zina, dsb?
Keadaan orang
tersebut lebih tepat dikatakan "tidak sempurna kecintaanya pada Allah dan
Rasul, karena ia masih dikalahkan oleh hawa nafsunya". Sesuatu yang tidak
sempurna bukan bearti tidak ada..
AnonymousDec 30,
2013, 5:48:00 PM
Saya pernah membaca
ada orang yang memberikan ta'wil hadits Huzaifah ibn Al Yaman radhiallahu anhu
bukan sebagaimana yang dipahami oleh Beliau, padahal ta'wilnya harusnya kembali
kepada perkataan Hudzaifah Ibn Al Yaman yaitu Beliau menafikan Islam dari orang
yang tidak menyempurnakan sebagian rukunnya, Jadi dinafikannya Islam dari orang
yang tidak melakukannya sama sekali lebih layak. (lih. Fath al Baari, 2/275).
sumber:http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/hadits-tidak-pernah-beramal-kebaikan.html
(pada bagian pertanyaan saudara nurhadi baskar)
apakah maksud dari
menafikan islam dari orang yang tidak menyempurnakan rukunnya?
AnonymousDec 31,
2013, 11:37:00 AM
PERTAMA
Ustadz, bisa
dijelaskan tentang apa saja yang termasuk ke dalam
A. ashlul iman (pokok
keimanan),
B. al-iman al-wajib
(iman yang wajib),
C. kamaalul iman
(iman yang sunah/penyempurna iman)
KEDUA
Ashlul-iman itu
adalah iqraar, tashdiiq, dan inqiyaad. Iqraar itu adalah amal lisaan, tashdiiq
(membenarkan) itu amal qalbu, dan inqiyaad (tunduk) itu amal qalbu [Majmu’
Al-Fataawaa, 7/638].
Untuk kasus yang
bersyahadat namun belum bisa meninggalkan pekerjaan riba. namun orang itu mau
shalat, zakat, puasa, dan kewajiban lain.
APAKAH SYARAT TUNDUK
TELAH TERPENUHI DALAM PENGUCAPAN SYAHADAT ORANG TERSEBUT?
Ustadz, Karena dalam
syarat syahadat Inqiyaad menafikan tark (meninggalkan). sedangkan jika dia
melakukan pekerjaan riba berarti dia "tidak tunduk" atau
"meninggalkan sebagian dari perintah". yang tentu hal ini berlawanan
dengan Inqiyaad itu sendiri yang menafikan tark (meninggalkan).
Apakah syarat
syahadat ini membutuhkan ketundukkan total.
sebagaimana dalam
firman Allah
“Dan barangsiapa yang
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22).
Inti ayat ini
dijadikan dalil dari inqiyad ( tunduk ) syarat Laa Ilaha Illallah adalah pada
perkataan ( berserah diri kepada Allah وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ ). Jika tidak ada syarat maka tidak
ada yang disyaratkan. Jika seseorang tidak mendatangkan syarat inqiyad pada
dirinya maka tidak ada yang disyaratkan yaitu tidak ada islam pada dirinya (
islamnya tidak sah )
terima kasih atas
penjelasannya ustadz. karena ilmu saya masih dangkal dalam memahami "syarat
syahadat yang ada dalam kitab tauhid baik itu karya syaikh abdul wahab maupun
karya syaikh fauzan terutama dalam point "ketundukkan")
Abul-HaritsJan 3,
2014, 5:05:00 AM
Untuk jawaban
pertanyaan pertama, silahkan baca artikel Keterkaitan Ashlul-Iman dan A'mal
Jawarih, terutama bagian paling akhir dari tulisan artikel. Allahua'lam
Abul-HaritsJan 3,
2014, 11:26:00 AM
Ia telah memiliki
pokok inqiyad (ketundukan) dalam hatinya. meskipun ketundukannya belum
sempurna. Seorang dikatakan tidak memiliki ketundukan dalam hati, jika ia
meninggalkan seluruh konsekuensi syahadatnya, yaitu tatkala ia tidak mau
beramal dengan syariat Islam sedikitpun. Adapun orang yang masih beramal shalih
dengan kejujuran dan keikhlasan dari hatinya, tidak ada keraguan bahwa ia
adalah seorang muslim yang memiliki inqiyad (kepatuhan) dalam hatinya.
Jadi yang berkurang
dalam imannya dalam kondisi ini hanyalah al-iman al-wajib, hingga ia pun
terancam dengan azab dengan hal itu. Namun ia masih memiliki ashlul-iman.
Menghukumi keislaman atau kekufuran seseorang hanyalah bisa dilihat dari
zhahirnya. Amalan batinnya kita serahkan pada Allah. Allahua'lam
AnonymousJan 3, 2014,
1:47:00 PM
Ustadz, masih terkait
syahadat orang yang belum mau meninggalkan pekerjaan riba.
PERTAMA
Apakah orang tersebut
sudah IKHLAS dalam pengucapan syahadatnya. dia mengucapkan syahadat bukan
karena harta, wanita, kedudukan. namun dia niatkan karena Allah.
Tetapi dalam hatinya
sering timbul pertanyaan.."apakah benar kamu sudah ikhlas dalam bersyahadat.
kalau ikhlas kenapa kamu belum mau keluar dari pekerjaan riba".
kita tahu bahwa
syahadat merupakan salah satu syarat syahadat. Apabila syarat ikhlas tidak
terpenuhi maka syahadatnya tidak sah.
Imam Sahl bin
Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu
manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk
nafsu.” (Jaami’ul ‘uluumi wal hikam, hlm. 17)
sedangkan orang
tersebut masih mengikuti hawa nafsu (belum mau meninggalkan pekerjaan riba).
Apakah berarti dia disebut belum ikhlas dalam bersyahadat?
KEDUA
dalam surat Shad ayat
82-83 dijelaskan bahwa iblis tidak dapat menyesatkan orang yang ikhlas (muhlis)...
Apakah orang yang
masih sering digoda setan (bisikan setan) menunjukkan bahwa dia bukan orang
yang ikhlas ATAU dia orang yang ikhlas namun bukan dalam tingkatan
"muhlis". karena tingkatan muhlis lebih tinggi dari muslim dan
mukmim..
terima kasih ustadz
AnonymousJan 3, 2014,
1:55:00 PM
Ustadz, barusan saya
ngirim ke email ustadz...terima kasih
Abul-HaritsJan 3,
2014, 7:46:00 PM
Pertama,
Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah mendefinisikan ikhlas dengan "menjadikan Allah sebagai
satu-satunya tujuan dalam ketaatan (ibadah)". Kebalikan ikhlas adalah
syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil. Seorang yang ikhlas (mukhlis)
tidak akan melakukan peribadatan pada selain Allah. Seorang yang masuk Islam
dalam keadaan belum bisa meninggalkan riba, apakah ia melakukan peribadatan
pada selain Allah? jawabnya tidak.
Jadi, kesimpulannya
hampir sama dengan point-point sebelumnya yang antum tanyakan, ia telah
memiliki keikhlasan dalam hatinya, kecuali jika ia masuk Islam niatnya bukan
karena Allah ketika itu, maka tidak sah syahadatnya.
Pendalilan dengan
kelaziman-kelaziman yang antum sebutkan sangatlah lemah. Saya juga bisa berbuat
hal yang serupa untuk mengkafirkan seorang muslim !!! sebagai contoh:
1. Kenapa Anda tidak
berpuasa sunah Senin Kamis? bukankah ini merupakan sunah rasul. Allah
memerintahkan kita untuk mengikuti rasul dalam ibadah. Apakah Anda tidak
meyakini Allah sebagai Tuhan yang harus ditaati? Anda kafir kalo begitu karena
tidak meyakini Allah sebagai Tuhan !!!
2. Kenapa Anda tidak
melakukan shalat sunah Dhuha? bukankah ini sunah rasul. Ketika Anda enggan
melakukan shalat Dhuha, ini merupakan tanda bahwa Anda belum ikhlas dalam
bersyahadat. Buktinya Anda menyelisihi konsekuensi syahadat Anda. Kalo begitu
Anda kafir karena syahadat Anda tidak sah!!!
Pola pikir semacam
ini keliru akhi, tidak perlu lagi kita berlarut-larut membahasnya
AnonymousJan 6, 2014,
1:25:00 PM
Ustadz, saya mau
bertanya tentang syirik.
Di kantor kita sering
melihat kemaksiatan. kita hanya mampu mengubahnya dengan hati. padahal
sebenarnya kita mampu untuk mengubahnya minimal dengan lisan. namun mengubah
dengan lisan tersebut tidak kita lakukan karena kita sungkan dengan orang
tersebut (karena orang tersebut lebih tua).
Apakah tindakan ini
termasuk syirik kecil, karena dia tidak jadi melakukan kebaikan (mengubah
dengan lisan) karena sungkan dengan orang lain?
Abul-HaritsJan 8,
2014, 3:16:00 AM
عن أبي سعيد الخدري
-رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا
فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam bersabda:
“Barang siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah (mengingkari)
dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah
keimanan yang paling lemah.” [HR. Muslim no. 49]
Dalam hadits ini
Rasulullah TIDAK menyatakan bahwa orang yang tidak mengingkari kemungkaran
dengan lisannya telah terjatuh pada kesyirikan. Namun beliau hanya
mengisyaratkan bahwa hal itu adalah tingkatan keimanan yang paling rendah.
Sebelum memvonis
perbuatan ini termask syirik atau bukan, kita harus mengetahui definisi syirik
terlebih dahulu. Para ulama mendefinisikan syirik sebagai berikut:
تسوية غير الله
بالله فى شئ من خصائص الله
"menyamakan
selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan Allah"
Diantara kekhususan
Allah adalah sifat rububiyyah seperti memberi rizki, menghidupkan, mematikan,
mengatur alam semesta dll. Begitu pula kekhususan dalam uluhiyyah yaitu
memberikan segala jenis ibadah hanya untuk Allah. Dalam contoh kasus antum,
saya tidak melihat adanya penyerupaan bagi Allah dalam hal yang merupakan
kekhususan bagi-Nya. Allahua'lam
tito-titoJan 15,
2014, 2:30:00 PM
Bismillah,
Ustadz, sy membaca
apa yg ditulis oleh al akh Abul Jauza dalam blognya:
Bargkali antm sdh
membaca artikel di blog tsb. Dan tidaklah saya menanyakan hl tsb kpd antm tidak
lain (1) setelah saya mencari ke sana kemari mengenai pembahasan ini dan
mendapatkan pembahasan yg memadai dlm hal ini. Sy mengesampingkan adanya
tahdzir dan celaan yg beredar di internet tanpa memberikan faedah pembahasan yg
detail terkait msalah ini.(2) Sy menginginkan bayyinah yg kuat, dan kebenaran
hujjah dlm mslh ini?
Pertanyaan saya:
Apakah dlm artikel Al Akh Abul Jauza tsb mengandung paham irja'? Sy
berulang-ulang membaca tsb, tmsk di kolom komentar hingga paham. Namun, sya
tidak tahu apakah di dalamnya mengandung paham irja' atau tidak; yakni msh dlm
lingkup khilaf antara ahlissunnah?
Jazakallohu khoiron
Tito Abu Ilyas
Abul-HaritsJan 16,
2014, 8:15:00 AM
Silahkan baca artikel
Sebab-Sebab Kesesatan Tokoh Penyebar Pemikiran Murji’ah Kontemporer
Mudah-mudahan bisa
dipahami