21 Okt 2015 21:00
Mungkin kita pernah atau bahkan sering mendengar orang yang
berkata, “Tidak usahlah menyalah-nyalahkan orang lain yang sedang beramal, toh
dia berusaha mengamakan kebenaran.” Atau dalam kalimat yang lain, “Mereka sudah
beramal dan memperjuangkan kebenaran dengan harta dan jiwa, nah kalian?”. Dan
masih banyak lagi kalimat senada. Inilah kalimat yang sering didengar oleh
seseorang berusaha untuk meluruskan sebuah penyimpangan ketika beribadah,
ketika berjuang bahkan ketika berjihad.
Sungguh saudara sekalian, kebenaran itu tidak diukur dan
ditentukan hanya dengan amalan saja. Ketika kebenaran itu disandarkan kepada
amal perbuatan semata, maka akan menghasilkan produk amal berstandar dan
bermerk hawa nafsu.
Amalannya berdasarkan apa yang disenangi oleh nafsunya,
ketika sesuai nafsunya ia lakukan, namun ketika bertentangan dengan nafsunya
dengan segera ia tinggalkan. Merk amalannya bukan lagi asli sesuai tuntunan
Al-Qur`an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafusshalih, namun sudah berubah
menjadi merk KW yaitu hawa nafsu, meskipun terlihat asli namun jika diteliti
akan nampak kepalsuannya.
Ketika standar kebenaran diletakkan pada amal perbuatan
semata, maka kita akan dapatkan orang yang paling benar adalah orang-orang
khawarij. Perhatikanlah sabda Rasulullahshallahu ‘alihi wasallam ketika
menjelaskan sifat mereka, diriwayatkan dari Abi Said Al-Khudry berkisah, ketika
kami bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau sedang
membagikan ghanimah, lalu datanglah Dzul Khuwaishirah salah seorang dari Bani
Tamim dan berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah!” Maka Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celaka! Siapa yang akan berbuat adil
jika saya tidak berbuat adil? Niscaya saya celaka dan binasa jika saya tidak
adil.” Umar bin Khattab berkata, “Wahai Rasulullah! Ijinkan saya memenggal
lehernya.” Namun Berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“دَعْهُ
فَإِنَّ لَهُ أَصْحَاباً يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ
وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَئُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
وَيَمْرُقُوْنَ مِنْ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ.”
“Biarkanlah dia. Sesunggulinya dia
mempunyai banyak teman, dimana dianggap remeh shalat di antara kalian dibanding
shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka, mereka membaca Al?Qur’an
tidak sampai kecuali pada tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam
sebagaimana lepasnya anak panah dari busur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah membandingkan
antara amalan lahiriyah mereka dengan amalan para sahabat, namun masih belum
tertandingi. Meski demikian Rasulullah menjelaskan bahwa kondisi lahiriyah
orang-orang khawarij yang penuh dengan hiasan-hiasan amal yang tak tertandingi
oleh para sahabat, tidak bernilai apa-apa. Amalan mereka tidak menjadikan
mereka dekat dengan Allah, justru mereka jauh dari Allah, amalan mereka tidak
menguatkan tali keIslaman mereka, namun justru membuat mereka sebagai orang
yang paling cepat keluar dari tali keIslamannya. dan mereka pula golongan yang
mendapat celaan dari Rasulullah.
Mengapa hal ini bisa terjadi?, jawabanya dikarenakan mereka
dalam satu waktu melakukan kebaikan dan keadaan yang sama melakukan banyak
kekufuran, pengingkaran kepada ayat-ayat Allah, dan menolak akan hadits-hadits
Rasulullah. Inilah yang menjadikan amalan mereka tidak bernilai disisi Allah.
Contoh lainnya ketika kebenaran disandarkan kepada amalan
lahiriyah saja, maka kita akan dapatkan Abdullah bin Ubai bin Salul si “Gembong
Munafik” pada zaman Rasulullah adalah orang yang benar. Hal mana secara
lahiriyah ia adalah orang yang selalu berada di shaf awal ketika shalat bersama
Rasulullah, namun dengan amalan itu semua Rasulullah tetap menjelaskan akan
status kemunafikannya. Meski Rasulullah memberi despensasi untuk tidak
mengeksekusinya karena khawatir timbul fitnah. Hal ini dikarenakan ia hanya
menghiasi lahiriyahya dengan amalan dzahir, namun di dalam hatinya masih
menyimpan kekufuran berupa kebencian terhadap Rasulullah dan ajaran Islam itu
sendiri.
Fonomena yang kerap terjadi di kehidupan nyata adalah ketika
seseorang tengah menjalankan sebuah ibadah besar seperti amalan jihad, banyak
orang yang beranggapan dengan amalan tersebut si mujahid telah berada di jalan
kebenaran atau jalan ketaatan yang tidak mungkin melakukan kesalahan dan kekeliruan.
Sehingga ketika terdapat suatu kesalahan, dan ada ulama yang
mencoba meluruskannya, maka dengan cepat ia menepisnya dengan perkataan
sederhana, “Ia sedang berjuang menegakkan kebenaran (berjihad), maka ia tidak
mungkin salah.”
Sehingga perlu ditegaskan kembali janganlah menetapkan
seseorang di atas jalan kebenaran, hanya semata dikaranakan amalan-amalan
lahiriyah yang ia lakukan.
Fudhail bin ‘Iyadh telah menjelaskan akan standar kebenaran
itu. ketika menjelaskan makna dari surat Al-Mulk ayat 2.
قال الفضيل بن عياض: هو أخلصه وأصوبه. قالوا: يا أبا علي، ما أخلصه وأصوبه؟ فقال: إن العمل إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقبل. وإذا كان صواباً ولم يكن خالصاً لم يُقبل حتى يكون خالصاً وصواباً. والخالص : أن يكون لله ، والصواب: أن يكون على السنة. ثم قرأ قوله تعالى: ” فمن كان يرجو لقاء ربّه فليعمل عملاً صالحاً ولا يُشركْ بِعبادة ربِّه أَحداً ” .
Fudhail bin ‘Iyadh
berkata: “Maksudnya adalah amalan yang ikhlas dan benar.” mereka bertanya:
“Wahai Abu Aly, apa maksud amal yang ikhlas dan benar?” beliau menjawab: “Sesungguhnya
amal jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak benar tidak akan diterima, dan
jika dikerjakan dengan benar namun tidak ikhlash maka tidak akan diterima pula,
hingga dapat ikhlash dan benar. maksud ikhlash adalah hanya diperuntukkan
kepada Allah, dan benar adalah dilakukan sesuai sunnah. kemudian beliau
menegaskan dengan membaca ayat : “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Perkataan beliau memberikan kesimpulan bahwa kebenaran
seseorang terletak jika ia mampu mengumpulkan dalam amalan keseharianya dua
perkara yaitu; ikhlas dan sesuai sunnah. Sehingga ukurannya adalah dua perkara
ini.Wafaqanallahu ilaa maa yuhibbuhu wa yardhahu.
Oleh: