Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan
Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (1): SIAPA KITA, SIAPA MU’AWIYAH?
Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan
Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (2): KONSPIRASI MENCABIK KEHORMATAN
MU’AWIYAH BIN ABI SOFYAN
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/pembelaan-salafi-ahlussunnah-terhadap_14.html
Keutamaan Mu’awiyah Kesepakatan Ahlussunah
Sepanjang Zaman
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma adalah perkara yang
sangat jelas menurut para sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Demikian pula
dalam pandangan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah kesepakatan umat. Tidak ada
seorang ulama pun yang mencela Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, apalagi
mengeluarkan beliau dari wilayah Islam. Justru sebaliknya, ulama bersepakat
bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam, generasi terbaik yang beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam puji.
Adapun dalil-dalil kaum zindiq (munafik) untuk menyudutkan Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu, semua adalah dalil-dalil palsu, lemah, atau riwayat sahih
yang disimpangkan maknanya menurut akal mereka yang rusak.
Dalam ruang yang terbatas mari kita telaah bersama beberapa keutamaan
sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Semoga Allah Azza wa
Jalla memberkahi setiap langkah kita dan membimbing kita di atas jalan-Nya yang
lurus. Aaamin.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, Paman Kaum Mukminin
Beliau adalah Amirul Mukminin, Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi
Sufyan—Harb—bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi.
Nasabnya yang mulia bertemu dengan nasab Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
pada Umayyah bin Abdisy Syams, dan bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam pada kakeknya, Abdu Manaf.
Beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah. Ibnu Asakir rahimahullah
meriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq dengan sanadnya sampai kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku telah masuk Islam lebih dahulu
dari itu (Fathu Makkah), tetapi aku menyembunyikan keislamanku… Demi Allah,
ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam meninggalkan Hudaibiyah, saat
itulah aku beriman kepada beliau.”1
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu memiliki kedekatan dengan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Saudarinya seayah, Ummu Habibah Ramlah bintu Abi
Sufyan radhiallahu ‘anha, dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam menjadi salah satu ummahatul mukminin, ahlu bait Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam. Mu’awiyah pun menjadi saudara ipar Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam dan mendapat julukan “Khal al-Mukminin”, paman kaum mukminin.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah (wafat 241 H) berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum mukminin.
Demikian pula, Ibnu Umar adalah paman kaum mukminin.” (as-Sunnah, al-Khallal,
2/433)
Seseorang bertanya kepada al-Hakam bin Hisyam al-Kufi, “Apa pendapatmu
tentang Mu’awiyah?”
Ia berkata, “Dia adalah paman seluruh kaum mukminin.” Al-‘Ijli meriwayatkan
atsar ini dalam ats-Tsiqat (1/314)—dan Ibnu Asakir (15/88) meriwayatkan melalui
jalan beliau dengan sanad yang sahih.
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu Adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam Berdasarkan Ijma’
Telah menjadi ijma’ ulama Ahlus Sunnah dan seluruh kaum muslimin bahwa
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma termasuk sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Artinya, ulama bersepakat bahwa beliau adalah
seorang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, beriman kepada
beliau, dan meninggal di atas keislaman.2
Di antara bukti kesepakatan tersebut, seluruh ulama ahlul hadits, Ahlus
Sunnah wal Jamaah, menerima riwayat hadits Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Bukti lain, al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits-hadits Mu’awiyah bin
Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma dalam ash-Shahihain. Sementara itu, kaum muslimin
bersepakat bahwa semua hadits dalam dua kitab ini adalah sahih. Dengan
demikian, umat Islam bersepakat bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah
seorang sahabat, yang riwayatnya diterima tanpa perselisihan.
Bukti lain atas kesepakatan ini, kita mendapatkan ulama ahlul hadits, ulama
sirah (sejarah), penulis kitab-kitab thabaqat (biografi para ulama berdasarkan
tahun), biografi, dan kitab-kitab hadits, memasukkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhuma dalam thabaqat (level) sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam.
Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain Rafidhah. Mereka justru
memasukkan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam deretan orang-orang kafir,
termasuk pula ayahnya, Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu. Sebaliknya, Abu Thalib
yang mati dalam keadaan kafir sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat-riwayat
sahih dan mu’tabar malah diangkat tinggi-tinggi, bahkan dikatakan sebagai
mukmin sejati.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Aku telah membaca
sebuah kitab hadits dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Di dalamnya termuat banyak
hadits lemah seputar masuk Islamnya Abu Thalib. Namun, tidak ada satu pun yang
sahih, wa billahit taufiq. Aku telah meringkasnya dalam kitab al-Ishabah pada biografi
Abu Thalib.” (Fathul Bari 7/234)
Kesepakatan Ahlus Sunnah bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma
termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah sisi
terpenting dalam menepis segala syubhat yang berusaha menjatuhkan sahabat yang
mulia ini. Sebab, semua dalil tentang keutamaan sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam, maka Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu masuk ke dalamnya menurut
kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Demikian pula semua dalil tentang larangan
mencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, maka termasuk pula di
dalamnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tanpa kecuali adalah
manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an
dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali
Imran: 110)
Tidak diragukan bahwa ayat ini pertama kali ditujukan kepada para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Allah Azza wa Jalla mengabarkan bahwa
mereka adalah umat terbaik.
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam juga memberikan
rekomendasi dalam sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ،
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya, kemudian
generasi sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2652 dari Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu)
Kemuliaan
sahabat akan terus kokoh bersama kekokohan al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’.
Walaupun para pendengki terus berusaha merobek lembaran keutamaan itu, tetapi
perjuangan sahabat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam akan selalu
dikenang sepanjang masa. Pahala akan terus mengalir kepada mereka, generasi
yang gigih memperjuangkan syariat Allah Azza wa Jalla dan membelanya. Nama
mereka akan selalu harum.
Adapun
pihak yang membenci mereka, demi Allah, akan tenggelam dalam kehinaan akibat
kebencian mereka kepada generasi yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ini.
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,3 adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya. Tunas itu pun menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….”
(al-Fath: 29)
Seluruh
Sahabat ‘Adil (Tepercaya) dan Dijanjikan al-Jannah
Ahlus
Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwasanya seluruh sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
adalah orang tepercaya dan mulia. Mereka adalah kaum yang diakui ‘adalah
(kesalehan dan ketsiqahan)nya.
Seluruh
sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mendapatkan janji al-Jannah, baik
yang beriman sebelum Fathu Makkah atau sesudahnya. Hal ini sebagaimana firman
Allah Azza wa Jalla,
“Tidak
sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Dan Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka semua (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (al-Hadid: 10)
“Al-Khusna”
dalam firman Allah Azza wa Jalla adalah al-Jannah (surga), sebagaimana
penafsiran Mujahid bin Jabr al-Makki dan Qatadah rahimahumallah. Dengan
demikian, makna ayat di atas adalah seperti apa yang diterangkan oleh Ibnu
Jarir ath-Thabari rahimahullah, “Mereka semua yang menafkahkan hartanya sebelum
Fathu Makkah dan berjihad, serta yang menafkahkan hartanya sesudahnya dan
berperang, Allah Azza wa Jalla menjanjikan mereka dengan al-jannah.” (Tafsir
ath-Thabari)
Al-Khathib
al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kifayah, setelah menyebutkan
dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang kemuliaan seluruh sahabat dan
‘adalah mereka, beliau berkata, “Ini adalah mazhab seluruh ulama dan fuqaha
yang diakui ucapannya.” (al-Kifayah, hlm. 67)
Kesepakatan
ulama tentang ‘adalah sahabat—tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhuma—dinukil oleh banyak ahli ilmu. Di antara mereka adalah
al-Juwaini, al-Ghazali, Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-‘Iraqi,
Ibnu Hajar, as-Sakhawi, al-Alusi, dan lainnya.
Sisi
ini sesungguhnya cukup untuk membantah seluruh syubhat yang dilontarkan
terhadap beliau. Namun, karena musuh-musuh Allah Azza wa Jalla terus berusaha
menyebarkan kebencian kepada sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu di
tengah-tengah umat dengan berbagai syubhat, melalui berbagai media, maka dengan
memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla, kita akan melihat beberapa sisi
kemuliaan lain dari sosok Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu
‘anhuma.
Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu, Tirai bagi Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam
Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama ahlul hadits adalah
tirai yang melindungi kehormatan seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam. Sikap seseorang terhadap Mu’awiyah adalah barometer yang menunjukkan
sikapnya terhadap para sahabat lainnya. Abu Taubah ar-Rabi’ bin Nafi’
rahimahullah berkata,
مُعَاوِيَةُ
بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سِتْرَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n فَإِذَا كَشَفَ الرَّجُلُ السِّتْرَ
اجْتَرَأَ عَلَى مَا وَرَاءَهُ
“Mu’awiyah
bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam. Siapa yang berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang
terhadap yang berada di baliknya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi
rahimahullah dalam Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu Asakir rahimahullah dalam
Tarikh Dimasyq [59/209])
Benarlah
kata Abu Taubah. Siapa yang berani membicarakan sahabat Mu’awiyah radhiallahu
‘anhu dengan kejelekan niscaya ia akan lancang membicarakan sahabat lainnya
karena tirai telah tersingkap, sebagaimana tirai rumah yang apabila terbuka
akan terlihatlah apa yang ada di baliknya.
Oleh
karena itu, al-Imam Abdullah ibnul Mubarak al-Marwazi rahimahullah berkata,
مُعَاوِيَةُ
عِنْدَنَا مِحْنَةٌ، فَمَنْ رَأَيْنَاهُ يَنْظُرُ إِلَى مُعَاوِيَةَ شَرًّا
اتَّهَمْنَاهُ عَلَى الْقَوْمِ، أَعْنِي عَلَى أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ n
“Mu’awiyah
di sisi kami (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) adalah ujian (sebagai barometer).
Siapa yang kita lihat ia memandang Mu’awiyah dengan pandangan jelek, kita
berprasangka bahwa orang ini juga berpandangan jelek kepada seluruh sahabat
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.” (Tarikh Dimasyq 59/209)
Asy-Syaikh
Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah memberikan komentar atas dua ucapan di
atas ketika membantah kesesatan seorang Syiah Rafidhah, Hasan al-Maliki, “Benar
perkataan Abu Taubah dan Ibnul Mubarak—semoga Allah Azza wa Jalla merahmati
keduanya. Sesungguhnya ketika al-Maliki berani membicarakan Mu’awiyah dengan
kejelekan, mencaci, dan mengeluarkan beliau dari barisan sahabat, ia pun
lancang kepada sahabat lainnya dan mengatakan bahwa semua yang menyertai
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sesudah perjanjian Hudaibiyah bukan
sahabat. Lebih parah lagi, ia mencela kekhilafahan Abu Bakr, Umar, dan Utsman,
serta meragukan kekhilafahan mereka. Tidak diragukan bahwa penyelewengan akan
membuahkan berpalingnya hati, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
‘Maka
tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.’
(ash-Shaff: 5).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar fi Raddi Abathil Hasan
al-Maliki hlm. 99)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh melaknat dan
mencerca salah seorang pun dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam. Barang siapa melaknat salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan yang semisal
keduanya, atau yang lebih afdal dari keduanya, seperti Abu Musa al-Asy’ari, Abu
Hurairah, dan lainnya, atau yang lebih utama dari mereka, seperti Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr
ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, atau Aisyah Ummul Mukminin, atau
sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lain radhiallahu ‘anhum,
sungguh orang ini berhak mendapatkan hukuman berat dengan kesepakatan
ulama-ulama Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam bentuk apa
hukuman berat itu, dibunuh atau yang lebih ringan.”4
Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu, Penulis Wahyu
Di
antara keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah mendapat kepercayaan dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mencatat wahyu Allah Azza wa Jalla.
Ini adalah sebuat amanat yang besar dan keutamaan yang sangat agung. Keutamaan
tersebut dapat dilihat dalam banyak riwayat yang sahih, di antaranya riwayat
al-Imam Muslim dalam Shahih-nya bab “Fadha’il Abi Sufyan bin Harb” no. 2501.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah salah
seorang penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Tulisannya
sangat indah. Ia fasih pula berbicara, lagi lembut, dan sangat berwibawa.”
(al-Ishabah 9/232)
Pembaca
rahimakumullah, mencela Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu pada hakikatnya adalah
mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang telah memercayainya
menulis wahyu. Seakan-akan ia berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau berikan
tugas paling penting ini kepada orang yang tidak pantas dan bukan ahlinya?”
Bahkan, ini adalah celaan kepada Allah Azza wa Jalla, seakan-akan ia berkata,
“Mengapa Allah Azza wa Jalla membiarkan Nabi-Nya memberikan tugas menulis wahyu
kepada orang yang tidak dipercaya?”
Sungguh,
tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberikan kepercayaan
mencatat wahyu Allah Azza wa Jalla melainkan kepada orang yang telah beliau
ridhai. Tidaklah yang beliau lakukan itu melainkan berdasar wahyu Allah Azza wa
Jalla.
Posisi
Mu’awiyah yang sangat strategis dan sangat mulia sebagai salah seorang pencatat
wahyu Allah Azza wa Jalla membuat musuh-musuh Islam semakin getol berusaha
mencoreng kemuliaan Mu’awiyah. Tidak lain tujuan akhirnya adalah menanamkan
keraguan terhadap al-Qur’an karena ternyata salah satu penulisnya adalah
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata,
إِذَا
رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَاعْلَمْ
أَنَّهُ زِنْدِيقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ
وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقَرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللهِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَن يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ
وَالسَّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ
“Apabila
engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam (siapa pun sahabat itu), ketahuilah sesungguhnya dia adalah
zindiq. Hal itu karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah haq di
sisi kita, demikian pula al-Qur’an adalah haq. Sementara itu, yang menyampaikan
al-Qur’an dan sunnah tidak lain adalah sahabat-sahabat Rasulullah. (Sungguh)
yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni para sahabat) demi
menolak al-Qur’an dan as-Sunnah. Merekalah yang lebih pantas dicela. Mereka
adalah kaum zindiq.”5
Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu, Kepercayaan Generasi Terbaik
Di
antara keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, beliau mendapat
kepercayaan para sahabat setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberikan
kepercayaan kepadanya untuk sebuah tugas yang sangat agung, mencatat wahyu
Allah Azza wa Jalla.
Di
masa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, Mu’awiyah diangkat sebagai
komandan perang, di hadapan para pembesar sahabat, as-sabiqunal awwalun dari
kalangan Muhajirin dan Anshar.
Pada
masa Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, beliau dipercaya sebagai amir
(gubernur) Syam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika
Yazid bin Abi Sufyan meninggal di masa kekhilafahan Umar, beliau (Umar)
mengangkat saudaranya—Mu’awiyah bin Abi Sufyan—(sebagai amir). Sesungguhnya
Umar bin al-Khaththab termasuk manusia yang paling kuat firasatnya, paling
mengerti keadaan manusia, dan paling teguh berpegang kepada al-haq.”6
Demikian
pula di masa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, beliau memberikan kepercayaan
kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menjadi amir (gubernur) wilayah Syam.
Al-Qadhi
Abu Bakr ibnul ‘Arabi (wafat 543 H) berkata, “… Cobalah Anda semua perhatikan
rangkaian ini. Alangkah kuatnya ikatan beliau. Tidak ada seorang pun yang
dikaruniai anugerah seperti ini setelah mereka.” (al-‘Awashim min al-Qawasim,
hlm. 81)
Genap
empat puluh tahun Mu’awiyah memimpin dan mendapatkan kepercayaan generasi
terbaik. Dua puluh tahun sebagai gubernur di Syam dan dua puluh tahun memegang
kekhilafahan. Pada masa kekhilafahan beliau, tidak ada sedikit pun masalah yang
berarti. Hal ini menunjukkan keutamaan beliau dan kearifan beliau dalam
memimpin kaum muslimin.
Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu, Mujahid dan Tokoh Besar Futuhat Islamiyah (Perluasan Wilayah
Islam)
Ini
adalah keutamaan lain dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma yang
lembut, namun tegas dan kokoh dalam memegang al-haq. Tidak ada yang melupakan
atau mengingkari keutamaan ini selain orang yang jahil, tidak mengerti tarikh
Islam, atau hatinya telah dipenuhi kedengkian kepada sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Wilayah
Islam sepeninggal al-Khulafa ar-Rasyidin sangat luas, sementara itu rongrongan
musuh-musuh Allah Azza wa Jalla sangat kuat, baik dari dalam maupun dari luar.
Kita tidak bisa melupakan fitnah besar yang berakibat syahidnya Utsman bin
Affan radhiallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Bermunculan
pula pada masa itu firqah-firqah sesat, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah,
dan lainnya.
Tugas
besar menanti di hadapan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
1.
Beliau harus menstabilkan kondisi daulah yang diliputi oleh fitnah;
2.
Beliau harus mempertahankan wilayah Islam dari rongrongan musuh;
3.
Melanjutkan risalah jihad, menyebarkan dan mendakwahkan Islam, memperluas
wilayah Islam, mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid.
Semua
itu—walhamdulillah— beliau tunaikan dengan baik. Fitnah-fitnah teredam,
rongrongan musuh Islam dihentikan. Wilayah Islam pun meluas bersamaan dengan
meluasnya dakwah tauhid.
Sebagai
seorang ahli strategi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma segera
merapikan pasukan perang. Beliau membagi pasukan menjadi dua. Pasukan yang
berperang di musim dingin dan pasukan yang berperang di musim panas. Dengan
demikian, perluasan wilayah pun berlanjut dan berkesinambungan.
Negeri
Persia berusaha melepaskan dirinya dari jizyah yang harus mereka bayar. Mereka
mulai membuat fitnah pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam
rangka memerangi hukum Islam. Pasukan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu pun harus
menghadapi ancaman ini dan memadamkannya. Perjalanan perjuangan perluasan
negeri dilanjutkan ke arah timur. Sungai Jaihan (=Amu Darya, salah satu sungai
terpanjang di Asia Tengah) diseberangi sehingga terbukalah wilayah Bukhara,
Samarkand, dan Turmudz.
Pada
waktu yang bersamaan, kerajaan Romawi juga melakukan rangkaian penyerangan
untuk mempersempit wilayah Islam dengan cara menyerang wilayah barat laut. Oleh
karena itu, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu mempersiapkan armada laut yang
berkekuatan 1.700 kapal. Angkatan laut yang besar ini, dengan izin Allah Azza
wa Jalla, berhasil menaklukkan wilayah Siprus, Rhodes (salah satu pulau di
Yunani), dan kepulauan lainnya yang masuk dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Pembaca,
sejenak kita melihat ke belakang dan membuka lembaran sejarah pembentukan
pasukan laut. Dahulu, tidak pernah terbayang bahwa para sahabat akan berperang
di tengah lautan. Namun, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam
menyingkap tirai gaib bahwa umat ini akan berperang di atas lautan.
Jasa
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dalam pembentukan angkatan laut
tidak bisa dilupakan dalam tarikh Islam. Pembentukan angkatan laut pertama
terwujud di zaman Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Saat itu, Mu’awiyah
menjabat gubernur Syam dan diberi kepercayaan penuh memimpin armada laut.
Bahkan, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu memerintah Mu’awiyah untuk membawa
serta istrinya—Fakhitah bintu Qaradzah—berperang di atas laut untuk membuktikan
keberanian, kesiapan, dan tanggung jawab Mu’awiyah membawa pasukan kaum
muslimin.
Keutamaan
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu ini tampak dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam ketika menyebutkan umatnya akan berperang di laut. Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ
فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَدَخَلَ
عَلَيْهَا رَسُولُ اللهِ n يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ
فَنَامَ رَسُولُ اللهِ n ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا
يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ
غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ، مُلُوكًا عَلَى
الْأَسِرَّةِ –أَوْ: مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ؛ يَشُكُّ أَيَّهُمَا
قَالَ- قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي
مِنْهُمْ. فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ
يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ
مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ-كَمَا قَالَ فِي
الْأُولَى-قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي
مِنْهُمْ. قَالَ: أَنْتِ مِنَ الْأَوَّلِينَ. فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ
مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ
خَرَجَتْ مِنَ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan7, lalu
beliau disuguhi makanan olehnya. Saat itu, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin
ash-Shamit radhiallahu ‘anhu. Suatu hari, Rasulullah datang menemuinya lalu
disuguhi makanan, kemudian wanita itu duduk sambil mencari kutu dari kepala
beliau hingga tertidurlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Tiba-tiba
beliau terbangun dan tersenyum.
Ummu
Haram bertanya, “Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai Rasulullah?”
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, “Beberapa orang dari umatku
diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan
menaiki kapal di tengah lautan, raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan—atau
seperti raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan.”—Perawi ragu antara keduanya.
Ummu
Haram berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar Dia menjadikan aku
termasuk golongan mereka.”
Lalu
beliau mendoakannya dan segera meletakkan kepalanya lagi lalu tertidur kembali.
Ketika terbangun, beliau tersenyum lagi.
Ummu
Haram berkata, “Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai
Rasulullah?’
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, ‘Beberapa orang dari umatku
diperlihatkan kepadaku mereka sedang berperang di jalan Allah (dst, seperti
yang beliau sabdakan sebelumnya).’
Ummu
Haram berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar
Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka’.”
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Engkau termasuk orang-orang yang
pertama.”
Kemudian
berlayarlah Ummu Haram pada masa Mu’awiyah. Namun, ketika hendak keluar dari
kapal, ia terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga wafat. (Shahih Muslim no.
3535)
Al-Bukhari
meriwatkan dalam Shahih-nya (6/102 no. 2924 bersama dengan Fathul Bari) dari
Ummu Haram al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia mendengar Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa sallam bersabda,
أَوَّلُ
جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمَّ
حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيْهِمْ؟ قاَلَ: أَنْتِ فِيهِمْ.
ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ n: أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي
يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ. فَقُلْتُ: أَنَا فِيْهِمْ، يَا
رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ.
Pasukan
perang pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib
atas mereka (yakni mereka melakukan amalan besar yang mengantarkan kepada
al-Jannah).
Ummu
Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama dengan mereka (pasukan
pertama yang berperang di atas laut)?”
Rasulullah
bersabda, “Engkau termasuk mereka.” Beliau bersabda kembali, “Pasukan perang
pertama umatku yang memerangi kota Kaisar (yakni Konstantinopel), mereka
diampuni dosanya.”
Aku
berkata, “Apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Tidak.”
Muhallab
bin Abi Shufrah rahimahullah (wafat 435 H) berkata, “Hadits ini mengandung
dalil tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang
di atas laut. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan keutamaan putranya,
Yazid, karena dialah yang pertama kali memerangi kota Kaisar.” (Dinukilkan oleh
Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari)
Az-Zubair
bin Abu Bakr rahimahullah berkata, “Mu’awiyah membelah lautan, berperang
bersama kaum muslimin di zaman kekhilafahan Utsman menuju Siprus. Ummu Haram,
istri Ubadah, ikut dalam perang tersebut. Ketika Ummu Haram mengendarai
bagalnya keluar dari kapal, ia terjatuh dan meninggal—seperti kabar Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Ibnul Kalbi rahimahullah berkata, ‘Perang yang
dipimpin oleh Mu’awiyah tersebut terjadi pada tahun 28 H’.” (Ibnu Baththal 5/9)
Di
zaman pemerintahan Mu’awiyah, angkatan laut diperbesar sehingga semakin
kokohlah kekuatan muslimin dan semakin tangguh mempertahankan wilayah dan usaha
futuhat, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Menceritakan
tarikh perjuangan beliau membutuhkan lembaran yang banyak untuk menunaikan
haknya. Namun, yang sedikit ini semoga mengingatkan hati yang lalai akan jasa
generasi sahabat radhiallahu ‘anhum secara umum, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhuma secara khusus.
Wahai
kaum muslimin, tidakkah kita menimbang betapa buruknya mulut-mulut pendusta
yang mencerca sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu? Apa jasa mereka terhadap
Islam? Demi Allah, andil mereka hanyalah ucapan-ucapan kotor yang membantu
Iblis dan balatentaranya untuk meruntuhkan Islam. Para pencela Mu’awiyah
sesungguhnya adalah kaki tangan Iblis.
Lihatlah,
wahai kaum muslimin, betapa besar jasa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Lihat pula
perjuangannya memimpin kaum muslimin puluhan tahun, memadamkan api-api fitnah,
mempertahankan wilayah Islam, dan menegakkan jihad mengajak manusia memeluk
agama Allah Azza wa Jalla. Keamanan pun terwujud, darah-darah kaum muslimin
terjaga, ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah tersebar. Namun, hanya manusia berakal
sajalah yang bisa menimbang, sedangkan manusia semacam Rafidhah, hati mereka
memang sudah dipenuhi kebencian kepada seluruh sahabat, istri-istri Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, dan agama Islam yang mulia. Allahul musta’an.
Mu’awiyah,
Periwayat Hadits-Hadits Rasulullah n
Di
tengah kesibukan memimpin daulah, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu tidak lupa
menunaikan tugas menyampaikan ilmu, meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Beliau pun memperoleh keutamaan doa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir,
نَضَّرَ
اللهُ عَبْدَا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَبَلَغَهَا مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا
“Semoga
Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku kemudian
ia memahami dan menghafalnya, lalu ia sampaikan kepada orang yang belum
mendengarnya.”
Tidak
ada kitab-kitab hadits melainkan kita dapatkan sebagian besar kitab tersebut
memuat hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Di antara
hadits-hadits yang beliau riwayatkan disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari
dan Muslim.8
Asy-Syaikh
Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits-hadits Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu ada dalam Shahihain dan selainnya. Al-Khazraji dalam
al-Khulashah berkata, ‘Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam Kutub as-Sittah
memiliki 130 hadits, empat di antaranya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim.
Al-Bukhari meriwayatkan empat hadits dari Mu’awiyah secara tersendiri,
sedangkan Muslim lima hadits.’ Dalam Musnad al-Imam Ahmad, hadits yang
diriwayatkan oleh Mu’awiyah mencapai seratus sebelas hadits, mulai no. 16828
hingga no. 16938 (dan satu hadits tambahan riwayat Abdullah bin al-Imam Ahmad,
yakni no. 16939, -pen.).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar hlm. 99)
Di
antara hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah adalah sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam,
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa
yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, Allah akan memahamkan dia dalam hal
agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau
juga meriwayatkan hadits,
أَلَا،
إِنَّ رَسُولَ اللهِ
n قَامَ فِينَا فَقَالَ: أَلَا، إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ،
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah berdiri di hadapan
kita dan bersabda, ‘Ketahuilah sungguh kaum sebelum kalian dari ahlul kitab
berpecah menjadi 72 golongan. Sungguh, umat ini akan terpecah menjadi 73
golongan. Tujuh puluh dua golongan dalam neraka dan satu berada di jannah.
Mereka (yang satu) adalah al-Jamaah’.” (HR. Abu Dawud no. 3981)
Hadits-hadits
Mu’awiyah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi’in. Semua ini tentu
menunjukkan keutamaan beliau dari sisi periwayatan hadits.
Banyak
sahabat mengambil hadits dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, di antaranya Usaid
bin Zhuhair, Malik bin Yakhamir, Mu’awiyah bin Hudaij, an-Nu’man bin Basyir,
Wail bin Hujr, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Abu ad-Darda’, Abu Dzar al-Ghifari,
Abu Sa’id al-Khudri, dan Abul Ghadiyah al-Asy’ari, semoga Allah Azza wa Jalla
meridhai mereka semua.
Adapun
tabi’in yang menjadi murid beliau adalah Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh, Ishaq
bin Yasar, Aslam maula Umar, Aifa’ bin Abdin al-Kala’i, Iyas bin Abi Ramlah
asy-Syami, Ayyub bin Abdillah bin Yasar, Ayyub bin Maisarah bin Halbas, Bisyr
Abu Qais al-Qanasrini, Tsabit bin Sa’d ath-Tha’i, Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid
al-Bashri, Jubair bin Nufair al-Hadhrami, al-Hasan al-Bashri, Hakim bin Jabir,
Humran bin Aban maula ‘Utsman bin ‘Affan, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf,
Hanzhalah bin Khuwailid, Abu Qabil Huyai bin Hani’, Khalid bin ‘Abdilah bin
Rabah, dan sekumpulan lain yang cukup banyak jumlahnya.
Dari
sini, kita juga mengerti maksud buruk yang terselip di balik celaan munafik
kepada sahabat pada umumnya dan perawi hadits secara khusus, seperti Abu
Hurairah dan Mu’awiyah, yaitu untuk menjatuhkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sebagai sumber hukum dan sendi-sendi Islam.
Beberapa
Riwayat Marfu’ dan Mauquf Tentang Keutamaan Mu’awiyah
Diriwayatkan
dengan sanad yang sahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda kepada
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
اللَّهُمَّ
اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya
Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai orang yang memberi petunjuk dan mendapat
hidayah serta jadikanlah manusia mendapat hidayah melalui dirinya.” (HR.
at-Tirmidzi, 5/687, beliau berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan gharib.”)
Hadits
ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (4/615). Beliau berkata,
“Para perawinya seluruhnya tsiqat (tepercaya) yang termasuk perawi Shahih
Muslim. Selayaknya at-Tirmidzi menyatakannya sahih (tidak cukup hanya
menyatakan hasan, -pen.).”
Diriwayatkan
pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mendoakan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhuma:
اللَّهُمَّ
عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“Ya
Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab, berhitung, dan lindungilah ia dari azab.”
(HR. Ahmad no. 4/127 dan no. 28/383, no. 1752, cetakan ar-Risalah, al-Bazzar
[no. 977, Kasyful Asytar], Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, dari Irbadh bin
Sariyah radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam
ash-Shahihah no. 3327)
Riwayat
lain mengenai keutamaan Mu’awiyah adalah hadits dari Ummu Haram radhiallahu
‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,
أَوَّلُ
جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمُّ
حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيهِمْ؟ قَالَ: أَنْتِ فِيهِمْ
“Pasukan
pertama yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka (yakni
mereka melakukan amalan yang memasukkan mereka ke dalam al-Jannah).” Ummu Haram
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk mereka?” Kata Rasul n, “Ya, kamu
termasuk….” (HR. al-Bukhari no. 2707, Ma Qila Fi Qitali ar-Rum)
Al-Muhallab
rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah radhiallahu
‘anhu karena beliaulah yang pertama kali memerangi Romawi (di atas lautan).”
(Syarah Ibnu Baththal 5/107)
Adalah
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sekembalinya beliau dari Shiffin berkata,
أَيُّهَا
النَّاسُ، لاَ تَكْرَهُوا إِمَارَةَ مُعَاوِيَةَ، فَإِنَّكُمْ لَوْ فَقَدْتُمُوهُ
رَأَيْتُمُ الرُّؤُوسَ تَنْدُرُ عَنْ كَوَاهِلِهَا كَأَنَّهَا الْحَنْظَلُ.
“Wahai
manusia, jangan sekali-kali kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah. Sungguh,
jika kalian kehilangan Mu’awiyah niscaya kalian akan melihat kepala-kepala
manusia berguguran dari badan-badan mereka seperti buah hanzhal.” (al-Bidayah
wan Nihayah 8/125)
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari, seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma, putra paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan ulama umat
ini, “Wahai Ibnu Abbas, adakah engkau (berkomentar) tentang Amirul Mukminin
Mu’awiyah, karena ia tidaklah melakukan witir melainkan hanya satu rakaat?”
Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
دَعْهُ،
فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُولَ اللهِ n قَالَ: أَصَابَ إِنَّهُ فَقِيهٌ
“Tinggalkan
(komentarmu kepada) Mu’awiyah, sungguh ia seorang (sahabat) yang telah
menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.” Kemudian berkata,
“Mu’awiyah benar, ia seorang yang faqih.” (“Kitab Fadha’il Shahabah”, bab
“Penyebutan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu”, Fathul Bari [7/103] no. 3765)
Atsar
Salaf dan Ulama tentang Keutamaan Mu’awiyah
Mujahid
bin Jabr al-Makki rahimahullah, salah seorang ulama tabi’in dan tokoh tafsir
berkata,
لَوْ
رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ لَقُلْتُمْ: هَذَا الْمَهْدِيُّ.
“Seandainya
kalian melihat Mu’awiyah niscaya kalian akan berkata, ‘Dia adalah al-Mahdi’.”
(Diriwayatkan oleh al-Khallal rahimahullah dalam as-Sunnah [1/438] dan
disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam al-Bidayah wan Nihayah [8/137])
Al-Khathib
al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dalam Tarikh-nya dari Rabah bin al-Jarrah
al-Maushili, ia berkata, “Aku mendengar seorang bertanya kepada al-Mu’afa bin
‘Imran, ‘Wahai Abu Mas’ud, bagaimana perbandingan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan?’
Marahlah
al-Mu’afa seraya berkata, ‘Tidak seorang pun boleh dikiaskan dengan sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Mu’awiyah seorang sahabat, beliau
juga ipar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, sekretaris dan kepercayaan
Rasul atas wahyu yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada beliau.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah bersabda, -Biarkan
sahabat-sahabatku dan kerabatku (jangan kalian cela mereka). Siapa mencaci
mereka, ia mendapatkan laknat Allah Azza wa Jalla, para malaikat, dan
manusia-’.” (Tarikh Baghdad 1/209, asy-Syariah, al-Ajurri rahimahullah 5/167,
Syarh Ushul I’tiqad, al-Lalikai rahimahullah. Sanad hadits ini sahih sampai
kepada al-Mu’afa rahimahullah)
Ketika
al-Mu’afa ditanya, “Mu’awiyah yang lebih mulia atau Umar bin Abdul ‘Aziz?”
Al-Mu’afa
berkata, “Sungguh Mu’awiyah lebih mulia enam ratus kali daripada Umar bin Abdul
‘Aziz.” (as-Sunnah, al-Khallal, 1/437)
Di
masa Daulah Abbasiyah, sebagian manusia menjadikan pemerintahan Umar bin Abdul
‘Aziz t sebagai permisalan yang paling tinggi dalam hal keadilan. Kepada
mereka, al-Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy rahimahullah berkata, “(Jika
kalian kagum dengan keadilan Umar bin Abdul ‘Aziz –pen.), lantas bagaimana jika
kalian berjumpa dengan Mu’awiyah (tentu kalian lebih kagum)?” Mereka berkata,
“Apakah dari sisi kelembutannya?” Al-A’masy berkata, “Bukan hanya itu, demi
Allah, bahkan dalam hal keadilannya.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam
as-Sunnah [1/437] dan Minhajus Sunnah [3/185])
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika masa kepemimpinan Mu’awiyah
dibandingkan dengan masa sesudahnya, tidak ada dalam sejarah penguasa Islam
yang lebih baik dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Tidak pula ada masyarakat
dalam sejarah kerajaan Islam, yang lebih baik daripada masyarakat di zaman
Mu’awiyah….” (Minhajus Sunnah 3/185)
Keutamaan
Mu’awiyah adalah kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah adalah raja
(penguasa) yang paling mulia dari umat ini, karena empat sahabat sebelumnya
adalah khilafah nubuwah. Adapun beliau adalah raja pertama. Adalah pemerintahan
beliau kerajaan dan rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Masyarakat ketika itu (termasuk
di antaranya para sahabat, demikian pula tabi’in –pen.) seluruhnya bersatu atas
bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H…. Pemerintahan beliau terus berlangsung
hingga tahun wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan,
kalimat Allah Azza wa Jalla ditinggikan, harta rampasan perang terus mengalir
kepada baitul mal, dan kaum muslimin bersama beliau berada dalam kelapangan dan
keadilan. (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)
Atsar
dari salaf dan ucapan para ulama tentang kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhuma sangatlah banyak. Kiranya cukup atsar di atas
sebagai isyarat bagi orang yang memiliki hati yang bersih dan akal sehat untuk
segera memuliakan seluruh sahabat tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
Tulisan-tulisan
Pembelaan Terhadap Mu’awiyah
Pembelaan
para ulama terhadap kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu
‘anhuma juga menunjukkan keutamaan beliau. Sangat banyak ulama Ahlus Sunnah
yang menulis baik secara umum maupun khusus untuk membela kemuliaan sahabat Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Di antara tulisan yang bersifat umum adalah
al-Bidayah an-Nihayah karya Ibnu Katsir rahimahullah, al-‘Awashim minal
Qawashim karya Abu Bakr Ibnul Arabi rahimahullah, dan Minhajus Sunnah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Adapun
tulisan-tulisan yang secara khusus ditulis untuk membersihkan nama baik
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan membela kehormatan beliau, di antaranya:
1.
Akhbar Mu’awiyah dan Hikamu Mu’awiyah, ditulis oleh Ibnu Abid Dunya rahimahullah
(wafat 281 H)
2.
Juz fi Fadha’il Mu’awiyah, karya Muhammad as-Saqathi rahimahullah (wafat 604 H)
3.
Tanzih Khal al-Mukminin dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Hanbali
rahimahullah (wafat 458 H)
4.
Syarhu ‘Aqdi Ahlil Iman fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Ahwazi
rahimahullah (wafat 446 H)
5.
Su’al fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728
H)
6.
Tathhirul Jinan wal Lisan karya Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (wafat 973
H), dll.
Semoga
Allah Azza wa Jalla memberi taufik kepada kita untuk mencintai seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, senantiasa mendoakan mereka, serta
diselamatkan dari kedengkian dan hasad, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa,
“Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Catatan
Kaki:
1
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma meninggal di bulan Rajab tahun 60
H dalam usia mendekati delapan puluh tahun, setelah dua puluh tahun menjadi
Amirul Mukminin dengan penuh keadilan, kearifan, dan kelembutan.
2
Inilah definisi sahabat, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
kitabnya al-Ishabah (1/7—8).
3
Yakni para sahabat.
4
Dinukil oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam tulisan beliau Min Aqwalil
Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah hlm. 21.
5
Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Kifayah (hlm. 98) dan Ibnu
‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
6
Makna ucapan ini, apabila Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu bukan orang yang mulia
dan disepakati kemuliaannya, tidak mungkin seorang seperti Umar bin
al-Khaththab radhiallahu ‘anhu akan memberikan kepercayaan kepadanya.
7
Ibnul Jauzi menukil dari Yahya bin Ibrahim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
sallam membolehkan Ummu Haram mencari kutu di kepala beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wa sallam karena dia masih memiliki hubungan mahram dari arah bibi-bibi beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Karena, ibu Abdul Muththalib (kakek Nabi n)
berasal dari Bani Najjar (kabilah orang-orang Anshar). Ini adalah salah satu
jawaban terhadap masalah yang mungkin dianggap janggal ini. Di samping itu,
masih ada beberapa jawaban lain dari para ulama, hanya saja perlu dikaji lebih
lanjut. (lihat Kasyful Musykil min Hadits ash-Shahihain, -red.)
8
Telah dimaklumi, umat bersepakat bahwa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
adalah kitab paling sahih di muka bumi setelah al-Qur’an. Artinya, Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu disepakati oleh umat sebagai sahabat yang tepercaya
penukilannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam karena hadits-hadits
beliau diriwayatkan dalam Shahihain.
Sumber:
Asy Syariah Edisi 078 http://asysyariah.com/keutamaan-muawiyah/