Michael the
Elder, Patriarch Jacobus dari Antioch, menulis pada akhir
abad kesebelas, bahwa dia dapat menyetujui sikap yang diambil oleh kawan-kawan
seagamanya (Orang-orang Arab kristen wilayah Syam, Syria, Yordan, dll) dan
menyaksikan sendiri kekuasaan Tuhan berada dipihak penakluk-penakluk Arab,
malah setelah gereja-gereja Timur berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin
selama lima abad. Setelah membeberkan panjang lebar tentang cara-cara kekerasan
Heraclius, dia menulis :
“Inilah sebabnya Tuhan Yang Maha Adil dan Maha
Kuasa menukar nasib suatu kerajaan yang bengis dan menyerahkannya kepada ummat
lain sesuai dengan kehendaknya, dan mengangkat derajat orang-orang yang
dihinakan –karena telah menyaksikan kejahatan orang-orang Romawi, yang dengan
kekuasaannya secara kasar merampok gereja-gereja dan biara-biara kita serta
menghukum kita tanpa ampun– Tuhan membangkitkan putra-putra Ismail dari daerah
selatan untuk membebaskan kita dari tangan-tangan kotor Roma. Dan andaikata pun
benar, bahwa kita kehilangan sesuatu, karena Katholik mengambil alih beberapa
gereja dari tangan kita serta menyerahkannya ke tangan pendukung-pendukung
Konsili Chalsedonia, seperti gereja besar Emessa dan Harram, dan ketika
kota-kota tersebut jatuh ke tangan Arab, gereja-gereja tadi mereka serahkan
kembali kepada orang-orang Katholik dan tidak kepada kita, namun kerugian
tersebut tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kekejaman orang-orang
Romawi, kejahatan dan angkara murka mereka terhadap kita, sedang kita kini
(dibawah kekuasaan Islam) hidup dengan damai.”
Ketika pasukan Muslim di bawah pimpinan Abu
Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat
kepadanya berbunyi:
“Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih
bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama
dengan kami, karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih bersikap
belas kasih kepada kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan tidak adil serta
pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium, karena mereka telah
merampok harta dan rumah-rumah kami.”
Penduduk Emessa menutup gerbang kota terhadap
tentara Heraclius serta memberitahukan kepada orang-orang Muslim bahwa mereka
lebih suka kepada pemerintahan dan sikap adil kaum muslimin dari pada tekanan
dan sikap tidak adil orang-orang Yunani.
Demikianlah gambaran jiwa rakyat di Syria selama
masa perang (tahun 633-639 Masehi). Dimana tentara Arab (kaum muslimin) lambat
laun dapat mengusir tentara Romawi dari propinsi itu. Dan tatkala Damaskus pada
tahun 637 mempelopori menciptakan syarat-syarat perdamaian dengan pihak Arab,
yang berarti terjaminnya keamanan dan diperolehnya kondisi-kondisi yang
menguntungkan, maka hal itu segera diikuti oleh kota-kota lainnya. Emessa,
Arethusa, Hieropolis mengadakan perjanjian yang sama dengan pihak Arab, kepada
siapapun mereka harus membayar pajak. Bahkan Patriarch Jerusalem menyerahkan
kota itu dengan syarat-syarat yang sama. Kecemasan terhadap timbulnya kekacauan
agama akibat tindakan Kaisar Romawi yang belot itu mendorong mereka untuk lebih
mendekati sikap toleransi kaum Muslimin, dan tatkala teror pertama dari tentara
pendudukan Byzantium membenarkan kecemasan diatas, maka kecenderungan untuk
menerima penakluk-penakluk Arab makin mendalam dan nyata.
Rakyat propinsi kekaisaran Byzantium yang
direbut tentara muslim dapat menikmati alam toleransi seperti paham Monophysis
dan Nestoria, yang selama berabad-abad tertekan. Mereka diberi kebebasan tanpa
gangguan untuk menjalankan keyakinan mereka, kecuali sedikit pembatasan, yaitu
mereka jangan terlalu menonjol-nonjolkan symbol agama, untuk mencegah bentrokan
antara penganut kedua agama atau timbulnya fanatisme yang dapat melukai
perasaan kaum muslimin. Luasnya toleransi ini -demikian menarik perhatian dalam
sejarah abad ke ketujuh– dapat dilihat dari syarat-syarat yang diberikan kepada
kota-kota yang ditaklukkan (oleh pasukan Islam), dimana perlindungan terhadap
jiwa dan harta penduduk dan keleluasaan menjalankan ajaran-ajaran agama dijamin
sebagai imbalan ketundukan dan pembayaran jizyah.
Perincian yang tepat dari persetujuan ini
tidaklah mudah dipisahkan mana yang asli dari yang tambahan kemudian, tetapi
terlepas dari kenyataan apakah ia authentik atau tidak, sekurang-kurangnya hal
itu telah membuktikan corak tradisi historis, sebagaimana yang diterima oleh
para ahli sejarah muslim pada abad kedua hijrah, - tradisi yang tentunya sulit
dibangun seandainya orang menemukan bukti-bukti yang menentangnya. Sebagai
contoh, dapat dikutipkan disini syarat-syarat persetujuan sebagaimana
ditetapkan pada waktu penyerahan kota Jerusalem kepada khalifah Umar bin
Khattab:
"Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Maha
Pengasih. Inilah persetujuaan keamanan, yang oleh Umar, hamba Allah, Amirul
Mukminin, diberikan kepada penduduk Elia. Dia memberikan kepada semua, yang
sakit atau yang sehat, jaminan keamanan bagi jiwa, milik, gereja, salib, dan
semua hal yang berhubungan dengan agama mereka. Gereja tidak akan dirubah
menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, tidak juga mereka atau perlengkapan
mereka akan dikurangi dengan cara apapun, begitu juga salib-salib atau harta
milik mereka tidak akan diganggu, tidak akan ada paksaan bagi mereka mengenai
soal-soal yang berhubungan dengan keyakinan mereka, dan tidak seorangpun
diantara mereka akan dianiaya."
Sumbangan wajib mereka ditetapkan lima dinar
bagi mereka yang kaya, empat dinar bagi yang menengah dan tiga dinar bagi
rakyat biasa. Bersama sama dengan Patriarch, Khalifah Umar mengunjungi
tempat-tempat suci dan diriwayatkan ketika mereka berada dalam gereja
Resurection, sedang bertepatan dengan waktu sholat, Patriarch mempersilahkan
Khalifah untuk menunaikan sholatnya ditempat itu tetapi oleh Umar ditolak
dengan lemah lembut, seraya mengatakan apabila beliau melakukan hal tersebut,
maka dikhawatirkan kelak umatnya akan menganggap gereja itu sebagai tempat
sholat bagi kaum muslimin.
Sikap dan tindakan harmonis seperti itu juga
diperlihatkan Umar terhadap penduduk yang beragama lain dalam urusan-urusan
lainnya, seperti dituliskan dalam sejarah bahwa Umar pernah memerintahkan agar
menyumbang uang dan makanan dari baitul mal untuk para penderita sakit lepra
dari orang-orang Kristen. Bahkan dalam wasiatnya yang terakhir dimana beliau
menunjuk penggantinya sebagai Khalifah, beliau menyinggung masalah Dzimmi (penduduk non-Islam yang tunduk) ini
sebagai berikut: “Amatlah kuharapkan agar dia (Khalifah Baru) memperhatikan
urusan kaum dzimmi ini, agar mereka itu tetap menikmati
perlindungan Tuhan dan Rasulullah, pula agar dia menepati perjanjian dengan mereka,
dan janganlah memberati mereka dengan beban-beban yang tak dapat mereka
pikul."
Postingan ini dikutip Redaksi Piyungan Online
dari buku 'The Preaching of Islam' Thomas W. Arnold, terjemahan
oleh Drs. A. Nawawi Rambe diterbitkan WIDJAYA cetakan kedua 1981, halaman
49-52.