Muqaddimah
Sejak detik-detik babak baru
negeri kita Indonesia beberapa waktu lalu, para anak manusia yang memiliki
penyakit dalam hatinya merasa mendapatkan angin segar dan semakin berani
menampakkan taringnya untuk menebar syubhat (kerancuan) dalam agama dan melakukan
penistaan dan penghinaan kepada Islam dan simbol-simbolnya.
Haluan dan gelombang api
huru-hara ini harus disadari oleh semua pihak, terkhusus bagi para ulama dan
ustadz negeri ini agar semakin tegak dan semangat dalam menangkis dan
menguaknya sebagai pembelaan kepada agama yang suci, karena ini adalah termasuk
tanggung jawab berat di pundak mereka.
Maraknya fenomena penistaan agama
dan gencarnya serangan terhadap Islam dengan penuh kelancangan dan keberanian
adalah sinyal kebangkitan paham Abu Lahab dkk. yang telah berani mencela Allah,
rasul-Nya, kitab-Nya, dan agama-Nya.
Namun, kita harus selalu optimis
bahwa di balik semua ini pasti ada hikmah yang mendalam dan kita harus yakin
bahwa kebenaran pasti menang. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
عَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُلَّكُمْ
“Bisa jadi kalian
membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 216)1
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Termasuk sunnatullah, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala
ingin menampakkan agama-Nya, maka Dia membangkitkan para penentang agama
sehingga Dia akan memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, karena
kebatilan itu pasti akan hancur binasa.”2 Al-Imam Ibnul Qayyim juga berkata:
وَالْحَقُّ
مَنْصُوْرٌ وَمُمْتَحَنٌ فَلَاتَعْجَبْ فَهَذِيْ سُنَّةُ الرَّحْمٰنِ
Kebenaran itu akan
menang dan mendapat ujian
Janganlah heran,
sebab ini adalah sunnah ar-Rahman.3
Pada tulisan kali
ini, kita akan mengupas sedikit tentang fenomena penistaan terhadap agama yang
marak akhir-akhir ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita
darinya.
Bahaya
Istihza’/Penistaan Terhadap Allah dan Agamanya
Ketahuilah wahai
saudaraku seiman—semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahimu—bahwa istihza’
(mengolok-ngolok) Allah, nabi-Nya, kitab-Nya, dan/atau agama-Nya bukanlah
masalah yang sepele, melainkan masalah besar yang sangat berbahaya karena bisa
membatalkan keislaman seorang hamba.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menurunkan ayat yang tegas tentang masalah ini tentang orang-orang
munafik yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat f\ dengan ucapan mereka, “Kami tidak mendapati orang yang lebih buncit
perutnya dan pendusta lidahnya dan lebih pengecut ketika perang daripada mereka
(Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat f\).” Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya yang dibaca hingga hari kiamat
sebagai peringatan bagi orang-orang yang berusaha menghidupkan kembali perilaku
keji kaum munafik tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَئِن
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ
وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65} لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {66}
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya
Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa.” (QS at-Taubah [9]: 65–66)
Ayat yang mulia ini
memberikan kepada kita beberapa masalah penting:
Pertama: Kita harus
memuliakan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barang siapa menghina
Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kafir, seperti ucapan Yahudi yang mengatakan
Allah fakir dan pelit, atau seperti ucapan Nashrani yang mengatakan bahwa Allah
adalah Isa ibn Maryam. Semua ini adalah celaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan termasuk kekufuran.
Kedua: Menghina Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunnahnya adalah kekufuran pula
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah kita semua untuk memuliakan dan
mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga: Kita harus
mengagungkan al-Qur’an dan memuliakannya karena al-Qur’an adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-Nya yang mulia.
Keempat: Kita harus
memuliakan agama Islam dan tidak mencelanya. Tidak boleh kita menghinanya dan
melecehkannya.
Kelima: Orang yang
tidak mengingkari penghinaan kepada Allah, rasul-Nya, dan kitab-Nya maka
dihukumi sama dengan penghina (dianggap setuju dengan penghinaan tersebut),
karena dalam kejadian ini penghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanyalah satu orang saja, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumi sama
terhadap semua munafik yang ada karena mereka semua mengetahuinya tetapi tidak
mengingkarinya.
Keenam: Siapa yang
mencela Allah Subhanahu wa Ta’ala, rasul-Nya, atau kitab-Nya maka dia kafir
baik sengaja atau hanya bercanda.
Karena pentingnya
ayat yang mulia ini, seyogianya setiap muslim merenungi dan menghayatinya agar
tidak terjatuh dalam kubangan dosa penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan agama-Nya yang semarak terjadi pada zaman sekarang, baik secara lisan atau
tulisan di media-media cetak atau elektronik. Hendaknya kita semua mewaspadai
hal ini dengan menjaga lisan kita dan menyibukkan diri dengan ilmu yang
bermanfaat dan amal shalih.4
Menguak Fenomena
Istihza’ Akhir-Akhir Ini
Berikut ini beberapa
catatan kecil tentang beberapa pelecehan dan penistaan agama yang harus
diwaspadai karena mengandung kesesatan bahkan kekufuran. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyelamatkan kita dari fitnah-fitnah yang menyambar.
1. Menghina Allah
Jika kaum Yahudi
dahulu menghina Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai fakir dan pelit sebagaimana
dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا
مِّنْهُم مَّآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا
بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَآأَوْقَدُوا
نَارًا لِّلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ وَيَسْعَوْنَ فِي اْلأَرْضِ فَسَادًا
وَاللهُ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Orang-orang Yahudi
berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah yang
dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan
sebagaimana Dia kehendaki. Dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu
sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya, dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS al-Ma’idah [5]: 64)
لَّقَدْ سَمِعَ
اللهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ فَقِيرُُ وَنَحْنُ أَغْنِيَآءُ
سَنَكْتُبُ مَاقَالُوا وَقَتْلَهُمُ اْلأَنبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ
ذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya Allah
telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesunguhnya Allah
miskin dan kami kaya.’ Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan
mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan
(kepada mereka), ‘Rasakanlah olehmu adzab yang membakar.’” (QS Ali Imran [3]:
181)
Beberapa waktu yang
lalu, justru ada yang lebih berani dari kaum Yahudi, tatkala dengan lancangnya
mereka menulis dalam spanduk tema mereka “TUHAN MEMBUSUK” dalam Orientasi
Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus lalu.
Walau mereka berkilah
dan membela diri dengan mengatakan bahwa maksud ungkapan “Tuhan Membusuk” bukan
Tuhan Dzat Yang Esa, melainkan tuhan-tuhan yang tumbuh dalam diri manusia,
tetap saja mereka salah dan harus mempertanggungjawabkan tulisan mereka
tersebut. Sebab, jika memang maksudnya demikian yaitu untuk mengkritik
orang-orang yang membusukkan ajaran agama, lantas mengapa tidak memilih kata-kata
lain yang lebih tepat seperti “Pembusukan Nilai-Nilai Ketuhanan”, misalnya,
bukan kata-kata seperti itu yang secara jelas berisi penistaan dan penghinaan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh, demi Allah,
bukan Tuhan yang membusuk, tetapi yang benar adalah otak mereka yang membusuk.
Tidakkah mereka takut kepada Allah?! Tahukah mereka bahwa ucapan dan tulisan
mereka adalah kekufuran?! Ishaq ibn Rahawaih mengatakan, “Kaum muslimin sepakat
bahwa orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kafir sekalipun dia
meyakini dengan semua ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.”5 Ibnu Hazm mengatakan,
“Adapun mencela Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada seorang muslim pun di
muka bumi ini yang berselisih bahwa itu adalah kekufuran.”6
Bahkan para ulama
menegaskan bahwa siapa pun yang mengucapkan kekufuran adalah kafir baik serius
atau bercanda tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Keyakinan hatinya tidak
dianggap karena yang menjadi patokan adalah secara zhahir yang terucap dalam
lisannya bukan yang tersimpan dalam hatinya.7
2. Menghina Nabi
Jika dahulu
orang-orang kafir melontarkan kata-kata celaan kepada para nabi mereka dengan
gelar “gila” dan “penyihir” sebagaimana firman Allah:
كَذَلِكَ مَآأَتَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Demikianlah tidak
seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan
mereka mengatakan, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’” (QS
adz-Dzariyat [51]: 52)
Dalam sirah juga
diceritakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah
pada musim haji kepada beberapa kabilah agar bertauhid, ternyata Abu Lahab
selalu membuntuti di belakangnya seraya memperingatkan orang-orang haji dengan
isyarat dan terang-terangan bahwa beliau adalah pendusta dan penyihir, maka
hati-hatilah kalian jangan sampai tertipu oleh silat lidahnya!!
Ternyata pada zaman
ini, paham Abu Lahab dan kaum kuffar tersebut dibangkitkan kembali. Adalah
Jalaluddin Rakhmat, pentolan Syi’ah menghina dan menuduh Nabi Muhammad Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam disertasinya yang sedang dia tulis. Nabi
Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia sebut penyihir yang
brilian.
“Ajaib, Muhammad
adalah seorang yang cerdas dan seorang penyihir yang brilian. Ternyata dia
tidak berhasil mengorganisasikan masyarakat sesudahnya, karena dia tidak
meninggalkan siapa pemimpin masyarakat sesudahnya. Dia pergi begitu saja, tanpa
meninggalkan siapa yang dia amanati untuk meneruskan memimpin masyarakat,” kata
Jalal, menjelaskan tulisan dalam disertasinya.8
Apa komentar Anda
tentang ucapan kotor ini?! Tahukah kita bahwa para ulama telah sepakat
mengatakan bahwa penghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kafir dan hukumannya adalah dibunuh sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir.9
Al-Khaththabi mengatakan, “Saya tidak mendapati perselisihan di kalangan ulama
tentang wajibnya dia dihukum bunuh.”10 Sahnun mengatakan, “Para ulama sepakat
bahwa pencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kafir dan
terancam dengan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hukumannya adalah dibunuh.
Barang siapa ragu tentang kafirnya maka dia kafir.”11
Semua itu karena
kemuliaan dan keutamaan Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga kita harus mencintainya dan
mengagungkannya. Sebab itu, siapa pun yang mencela dan menghinanya maka pedang
terhunus sangatlah pantas baginya dan kebinasaan sangat tepat untuknya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ اْلأَبْتَرُ
“Sesungguhnya
orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 3)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah v\ berkata, “Maka setiap orang yang melecehkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membencinya, dan memusuhinya, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala membinasakannya dan melenyapkannya.”12
3. Menghina al-Qur’an
Jika dahulu
orang-orang kafir berani menghina al-Qur’an dengan mengatakan bahwa al-Qur’an
adalah ucapan manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancamnya dengan
ancaman yang keras yaitu siksa Neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ هَذَآ إِلاَّ
قَوْلُ الْبَشَرِ {25} سَأُصْلِيهِ سَقَرَ {26} وَمَآأَدْرَاكَ مَاسَقَرُ {27}
لاَتُبْقِى وَلاَتَذَرُ {28} لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ {29} عَلَيْهَا تِسْعَةَ
عَشَرَ {30}
“‘Ini tidak lain
hanyalah perkataan manusia.’ Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.
Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak
membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Dan di atasnya ada
sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS al-Muddatstsir [74]: 25–30)
Pada zaman sekarang
juga ada orang-orang yang mengunggulkan hukum manusia daripada hukum Allah yang
merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap al-Qur’an. Dalam acara ILC di TV
One pada hari Selasa, 14 Oktober 2014, Ketua Umum GP Anshor Nusron Wahid
menyebut kalimat kekufuran, “Ayat Konstitusi di atas ayat al-Qur’an.”13
Tidakkah dia membaca
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah hukum
jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Ma’idah [5]: 50)
Ayat ini adalah
pertanyaan sekaligus tantangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada siapa pun
yang berani mengunggulkan hukum manusia di atas hukum Allah.
Tidakkah dia
menyadari bahwa kalimat tersebut adalah bentuk pelecehan dan kekufuran karena
telah menghina kitab suci al-Qur’an yang mulia. Al-Qadhi Iyadh mengatakan,
“Ketahuilah bahwa barang siapa merendahkan al-Qur’an atau mushaf, mencela
keduanya, mengingkarinya sekalipun satu ayat atau satu huruf saja, atau
mendustakannya maka dia kafir dengan kesepakatan ahli ilmu.”14 Ibnu Farhun juga
mengatakan, “Barang siapa mencela al-Qur’an atau sebagiannya atau
mengingkarinya maka dia kafir dengan kesepakatan ulama.”15
4. Menghina sahabat Nabi
Jika dahulu, kaum
munafikin menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
f\ dengan cemoohan murahan seperti, “Kami tidak mendapati manusia yang lebih
buncit perutnya, lebih pendusta lisannya, dan lebih pengecut ketika perang
daripada mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
Radhiallahu’anhum).” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala langsung menurunkan ayat
yang tegas tentang mereka:
وَلَئِن
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ
وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65} لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {66}
“Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan
menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’
Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.”
(QS at-Taubah [9]: 65–66)
Pada zaman sekarang
pun, paham kaum munafik ini dihidupkan kembali yang dipelopori oleh kaum Syi’ah
Rafidhah yang sesat dan menyesatkan, sehingga mereka menjadikan caci maki kepada
para sahabat Radhiallahu’anhum serta mengkafirkan dan melaknat para sahabat
Radhiallahu’anhum adalah bentuk ibadah termasuk dalam pesta dan perayaan
mereka.
Al-Khumaini (dikenal
sebagai “Khomeini” di media massa) menyatakan bahwa Aisyah, Thalhah, Zubair,
Mu’awiyah, dan orang-orang sejenisnya meskipun secara lahiriah tidak najis,
tetapi mereka lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi.16 Di
Indonesia, berbagai publikasi Syi’ah telah memfitnah, menjelek-jelekkan,
melaknat, dan bahkan mengkafirkan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antaranya:
“Syi’ah melaknat
orang yang dilaknat Fatimah.” (Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syi’ah. Editor:
Jalaluddin Rakhmat. Bandung: IJABI, cet. ke-2. 2009, hlm. 90)
Dan yang dilaknat
Fatimah adalah Abu Bakr dan Umar. (Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi.
Depok: Pustaka IIMaN, 2008. Dalam catatan kaki hlm. 404–405 dengan mengutip
riwayat kitab al-Imamah was Siyasah)
Jalaluddin Rakhmat
menulis dalam bukunya, “Berdasarkan riwayat dalam kitab al-Ansab karya Mash’ab
al-Zubairi, disimpulkan bahwa Ruqoyyah dan Ummu Kultsum, istri Khalifah Utsman,
bukan putri Nabi Muhammad.” (Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi, Muthohhari
Press, hlm. 164–165; Manusia Pilihan yang Disucikan, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2008 hlm. 164)
“Para sahabat suka
membantah perintah Nabi.” (Jalaluddin Rakhmat. Sahabat Dalam Timbangan
Al-Qur’an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan. Pps UIN Alauddin 2009, hlm. 7)
“Tragedi Karbala
merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kedhaliman musuh (Bani
Umayyah).” (Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi. Depok: Pustaka IIMaN, 2008,
hlm. 493)
“Aisyah memprovokasi
khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Utsman bin Affan.”
(Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah-Syiah, cet. MIZAN, 1983, hlm. 357)
“Aisyah, Thalhah, dan
sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as.
Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman.” (Emilia Renita AZ. 40
Masalah Syi’ah. Editor: Jalaluddin Rakhmat. Bandung: IJABI, cet. ke2. 2009,
hlm. 83) 17
Padahal, mencela para
sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa besar18 dan
perbuatan nista19. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا
بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa di antara golongan yang paling sering terkena ancaman ini
adalah orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kaum
Rafidhah yang telah mencela para sahabat f\ dan menuduhkan yang bukan-bukan,
bahkan mereka (kaum Rafidhah) menjuluki para sahabat f\ dengan sifat-sifat yang
bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menyatakan
ridha dan memuji kaum Muhajirin dan Anshar. Namun, justru orang-orang bodoh dan
tolol tersebut (Syi’ah Rafidhah) malah mencela dan mencaci maki para sahabat f\
serta menuduhkan yang bukan-bukan. Sesungguhnya merekalah yang terbalik akalnya
sehingga mencela orang-orang yang terpuji dan memuji orang-orang yang
tercela.20
Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara tegas telah bersabda:
«لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ
أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ».
“Janganlah kalian
mencela sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya
seorang di antara kalian menginfaqkan emas seperti Gunung Uhud, sungguh belum
menyamai satu mud (infaq) seorang di antara mereka, tidak pula separuhnya.” (HR
al-Bukhari: 3673 dan Muslim: 2541)21
Dalam pandangan ulama
empat madzhab, tindakan mencaci apalagi mengkafirkan sahabat Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tercela dan dikecam. Berikut beberapa
nukilannya:
Dari kalangan ulama
Hanafiyyah, “Jika seorang Rafidhi mencaci maki dan melaknat Syaikhaini
(maksudnya Abu Bakar dan Umar Radhiallahu’anhuma) maka dia kafir, demikian
halnya dengan mengkafirkan Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, dan Aisyah—semoga
Allah meridhai mereka—(juga adalah kafir).”22
Dari kalangan ulama
Malikiyyah, al-Imam Malik berkata, “Jika dia berkata bahwa para sahabat itu
(Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu’awiyyah, ’Amr ibn ’Ash Radhiallahu;anhum) berada
di atas kesesatan dan kafir maka ia dibunuh, dan jika mencaci mereka seperti
kebanyakan orang maka dihukum berat.”23
Dari kalangan ulama Syafi’iyyah,
“Dipastikan kafir setiap orang yang mengatakan suatu perkataan yang ujungnya
berkesimpulan menyesatkan semua umat Islam atau mengkafirkan semua sahabat
Radhiallahu;anhum.”24
Dari kalangan ulama
Hanabilah, “Siapa yang menganggap para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah murtad atau fasik setelah Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat, maka tidak ragu lagi bahwa orang itu kafir.”25
Dengan demikian,
siapa pun yang mencela apalagi mengkafirkan sahabat, seperti yang dilakukan
kaum Syi’ah, maka berarti telah mengkhianati dalil al-Qur’an dan hadits Rasul
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyalahi keyakinan mayoritas umat
Islam.
5. Menghina simbol dan syari’at Islam
Jika dahulu kaum
kuffar dan munafikin mencela syari’at Islam serta kaum zindiq menghujat dan
mengolok-olok syari’at Islam, maka pada zaman sekarang paham seperti itu banyak
ditemukan. Di antaranya adalah ucapan Jalaluddin Rakhmat mencela syari’at
salam, “Tapi yang menarik bagi saya adalah, hampir semua pembicara di mimbar
memulainya dengan ‘Alhamdulillahirabbil’alamin’. Ya Allah, ini mirip
pesantren,” kata tokoh Syi’ah Indonesia yang baru diangkat jadi anggota DPR-RI
dari PDI-P ini. “Apakah ini pengaruh pesantren pada parlemen atau pengaruh
parlemen pada pesantren, masih dalam penelitian saya. Hatta yang mewakili PDI
Perjuangan sekalipun itu ‘Alhamdulillahirabbil’alamin wa sholatu wa salam’.
Gila ni, saya bilang, parlemen sudah diislamkan!” Sontak hadirin pun tertawa
mendengar penuturan Jalal.26
Demikian juga tulisan
Mahmud Suyuti berjudul “Jenggot Bukan Sunnah Nabi Lebih Dekat Ke Bidah” dan
“Cadar bukan Pakaian Muslimah” di kolom Opini Tribun Timur, salah satu koran
terbesar di Sulsel tertanggal 10 Oktober 2014. Padahal, Mahmud Suyuti merupakan
Ketua MATAN Sulawesi sekaligus dosen pada salah satu perguruan tinggi Islam di
Makassar yakni Universitas Islam Makassar (UIM). Di UIM, ia mengajar
Hadits.(!!!!)27
Semua itu adalah
ucapan yang kotor dan sangat berbahaya karena tujuannya adalah mencela syari’at
Islam dan bisa mengeluarkannya dari agama sebagaimana mencela Allah Subhanahu
wa Ta’ala, rasul-Nya, dan kitab-Nya yang telah dibahas di muka. Lajnah
Da’imah28 menjawab, “Barang siapa mencela jenggot dan menyerupakan dengan bulu
kemaluan maka dia telah melakukan kemungkaran besar yang bisa mengeluarkannya
dari Islam, karena mengolok-olok sesuatu yang ditunjukkan al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu kekufuran dan
kemurtadan dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَئِن
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ
وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65} لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {66}
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman…” (QS at-Taubah [9]: 65–66)
Kita memohon kepada
Allah bagi kita dan kalian serta segenap kaum muslimin hidayah dan taufiq dari
fitnah-fitnah yang menyesatkan.29 Demikian juga hukumnya celaan dan
pengingkaran pada syari’at salam, cadar, dan sebagainya karena sama-sama hukum
Islam. Wallahu A’lam.
Film Mahabharata
Setali tiga uang
dengan masalah ini adalah menjamurnya film Mahabharata, Khrisna, Mahadewa, dan
sejenisnya yang merupakan parade kisah dewa-dewa orang-orang musyrik. Kita
dapati banyak kaum muslimin mulai anak-anak hingga orang tua, pria maupun
wanita yang menggandrungi dan menikmati film ini tanpa sedikit pun risih dalam
hatinya dan khawatir akan virus aqidah yang akan menggerusnya. Sampai-sampai
banyak yang mengidolakan mereka dengan memajang foto dan gambar para pemainnya.
Hanya kepada Allah-lah kita mengadukan semua ini!!
Subhanallah, manakah
pengagungan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Manakah cinta dan benci
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
Bagaimana mungkin
seorang muslim duduk asyik larut memelototi film syirik tersebut, padahal dalam
shalat kita selalu membaca “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar)?
Di manakah kewibawaan
tauhid dan manakah wala’ wal bara’ (loyal dan berlepas diri) yang bersarang di
dada sehingga tak mampu beranjak dari hadapan layar kaca yang menayangkan
parade ritual kesyirikan? Bukankah dahulu ketika Umar ibn al-Khaththab a\
membaca Taurat saja, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung murka
dan menegurnya?!!
Oleh karenanya, mulai
sekarang nyatakan “talak tiga” pada film Mahabharata dan sejenisnya yang berisi
pengagungan kepada dewa-dewa. Sebab, pada dasarnya ini adalah penghinaan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agama serta virus yang dapat merusak aqidah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ
عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا
وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ
وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah
telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian),
tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua
orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS an-Nisa’ [4]:
140)
وَإِذَا رَأَيْتَ
الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ
الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan apabila kamu
melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS al-An’am
[6]: 68)
Ayat-ayat ini
menunjukkan wajibnya meninggalkan tempat yang di dalamnya terdapat kekufuran
dan penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agama-Nya karena hal itu
termasuk mendukung dan menyetujui kemungkaran, padahal yang sewajibnya bagi
kita adalah mengingkari kemungkaran tersebut bukan malah nimbrung di
dalamnya.30
Ke Manakah Pengagungan?!
Bila kita cermati
bersama, sumber penistaan agama yang semarak pada zaman sekarang ini adalah
karena hati anak manusia yang terkontaminasi oleh noda-noda dan kotoran-kotoran
sehingga hilanglah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, nabi-Nya,
kitab-Nya, dan agama-Nya. Benarlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَاقَدَرُوا اللهَ
حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS az-Zumar [39]: 67)
Ayat ini merupakan
tamparan keras bagi kaum musyrikin dan pengingkar sifat Allah yang mengingkari
tauhid-Nya, kitab-Nya, dan para rasul-Nya. Dalam ayat ini pula, Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengabarkan tentang sifat-Nya yang Maha Mampu untuk mengubah alam
semesta dan menggantinya sebagai peringatan kepada orang-orang yang mendustakan
hari kebangkitan, yang merupakan nenek moyang para penentang wahyu dengan akal
dan logika mereka.31
Marilah kita semua
mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, rasul-Nya, kitab-Nya, dan syari’at-Nya.
Dan marilah kita mendidik umat untuk pengagungan tersebut, karena dengan
demikian kita akan meraih istiqamah (tegar) dalam ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah mengatakan, “Istiqamah hati itu diraih dengan dua hal:
Pertama: Tatkala
kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih didahulukan dari semua bentuk
cinta lainnya, sehingga tatkala berbenturan antara cinta Allah dengan
selain-Nya maka cinta Allah dinomorsatukan. Alangkah mudahnya pengakuan dan
alangkah sulitnya fakta ‘kenyataan’. Semua itu akan teruji dengan ujian.
Kedua: Mengagungkan
perintah dan larangan-Nya karena itulah simbol pengagungan kepada Dzat yang
memerintah dan melarangnya. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela
orang yang tidak mengagungkan-Nya dan tidak mengagungkan perintah dan
larangan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنِ اعْبُدُوا
اللهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ
“(Yaitu) sembahlah
olehmu Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.” (QS Nuh [71]: 3)
Para ulama mengatakan
dalam tafsirnya, ‘Kenapa kalian tidak takut dengan keagungan Allah?’”
Selanjutnya beliau
menjelaskan tentang tanda-tanda pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
di antaranya, “Dia marah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala hukum-hukum
Allah diterjang; dia sedih tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala dimaksiati di muka
bumi-Nya, perintah-perintah-Nya tidak ditaati. Namun, dia tidak bisa untuk
mengubah semua itu.”32
Akhirnya, marilah
kita berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan kita semua
hamba-hamba-Nya yang cinta kepada-Nya dan cinta kepada apa dan siapa yang
dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar As-Sidawi
1.Ayat ini merupakan
kaidah penting dalam menatap hidup ini. Lihat penjelasannya secara bagus dalam
Qawa’id Qur’aniyyah hlm. 17–21 oleh Dr. Abdullah ibn Umar al-Muqbil.
2.Majmu’ Fatawa 28/57,
al-Uqud ad-Durriyyah Ibnu Abdil Hadi hlm. 364.
3.Al-Kafiyah
asy-Syafiyah No. 217
4.Disadur dari kitab
Durusun fi Syarhi Nawaqidhil Islam hlm. 124–134 oleh asy-Syaikh Dr. Shalih ibn
Fauzan al-Fauzan.
5.Ash-Sharimul Maslul
’ala Syatimi Rasul hlm. 4 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
6.Al-Muhalla 11/411
7.Lihat Ahkamul
Qur’an 2/543 oleh Ibnul Arabi, al-Bahru Ra’iq 5/134, Bada’i’ ash-Shana’i’
7/217.
9.Al-Ijma’ hlm. 76
10.Ash-Sharimul Maslul
’ala Syatimi Rasul hlm. 4 karya Ibnu Taimiyyah
11.Asy-Syifa’ bi Ta’rifi
Huquqil Musthafa hlm. 576 karya al-Qadhi ’Iyadh.
12.Ash-Sharimul Maslul
hlm. 165
13.http://www.nahimunkar.com/demi-bela-ahok-nusron-wahid-bilang-ayat-konstitusi-di-atas-ayat-al-quran/
14.Asy-Syifa’ bi Ta’rifi
Huquqil Musthafa hlm. 376–380
15.Tabshiratul Hukkam
2/287
16.Kitab Thaharah 3/457
oleh al-Khumaini
17.Dinukil dari buku
panduan Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di
Indonesia oleh Tim Penulis MUI Pusat, hlm. 55–57.
18.Oleh karenanya,
al-Imam adz-Dzahabi mencantumkannya dalam kitab al-Kaba’ir hlm. 410, tahqiq:
Masyhur Hasan Salman.
19.Mahmud Syukri
al-Alusi memiliki kitab khusus tentang masalah ini berjudul Shabbul Adzab ’ala
Man Sabbal Ash·hab, telah tercetak.
20.Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim 4/481 oleh Ibnu Katsir, cet. Dar Thaibah
21.Lihat tentang hadits
dalam risalah khusus mengenainya Juz’ Thuruqi Haditsi La Tasubbu Ash·habi karya
al-Hafizh Ibnu Hajar, telah tercetak dengan tahqiq Syaikhuna Masyhur ibn Hasan
alu Salman, cet. Dar Ammar.
22.Al-Fatawa
al-Hindiyyah 2/286.
23.Asy-Syifa’ bi Ta’rifi
Huquqil Musthafa 2/1108 oleh al-Qadhi ’Iyadh
24.Raudhah Thalibin
7/290 oleh an-Nawawi
25.Ash-Sharimul Maslul
hlm. 128 oleh Ibnu Taimiyyah
28.Komisi Fatwa di Saudi
Arabia yang diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, anggota: asy-Syaikh
Abdurrazzaq Afifi, asy-Syaikh Abdullah ibn Qu’ud, dan asy-Syaikh Abdullah
al-Ghudayyan.
29.Fatawa Lajnah Da’imah
5/141–143
30.Tafsir al-Qur’anil
Karim surat an-Nisa’ 2/352 karya asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin
31.Ash-Shawa’iqul
Mursalah 4/1363 karya Ibnul Qayyim, Bada’i’ut Tafsir 4/67–68 kumpulan Yusri
Sayyid Muhammad.
32.Al-Wabilusy Shayyib
hlm. 14–15, 26, tahqiq: Abdurrahman ibn Hasan Qaid