by alfanarku
Artikel ini adalah tulisan ke dua yang merupakan
sambungan dari artikel sebelumnya di blog ini yaitu Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits
Ghadir Khum bagian-1 , pada tulisan bagian ke dua ini akan banyak dibicarakan
mengenai definisi dari kata Maula dan apa makna yang tepat untuk kata Maula
yang terdapat pada hadits Ghadir Khum.
Siapa saja yang marah kepada Ali radhiyallahu ‘anhu
pada saat itu?
Kaum Syi’ah mengklaim bahwa hanya Khalid ra dan
Buraidah ra yang marah kepada Ali ra.
Taair-al-Quds, Admin of ShiaOfAhlAlBayt mengatakan :
Tak ada hadits yang menyebutkan pihak ketiga selain
Khalid bin Walid dan Buraidah (atau Bara di riwayat tirmidzi) sebagai
pengkomplain atau orang yang memulai mengkampanyekan kebencian kepada Imam Ali
(as) sebagaimana dilaporkan dalam kejadian ini.
Ini adalah kebohongan lain yang nyata dari
Taair-al-Quds, kenyataannya, semua (atau paling tidak sebagian besar) pasukan
Ali ra marah pada beliau. Bukan hanya satu atau dua orang dari pasukan saja.
Syaikh Mufit menulis :
Amirul mukminin as mengambil kembali baju besi
tersebut dari orang-orang dan menaruhnya kembali ke karung-karung. Mereka
(pasukan Ali as) merasa tidak puas kepada Ali karena hal itu. Ketika mereka
datang ke Mekah, mereka komplain kepada Amirul Mukminin as berkali-kali.
Rasulullah (s) berseru diantara orang-orang : “Hentikan lisanmu terhadap Alibin
Abi Thalib, dia adalah seorang yang tajam untuk kepentingan Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Tinggi, bukan orang yang menipu dalam agamanya…
(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufit, hal 121-122)
Yang melakukan komplain terhadap Ali ra adalah
sejumlah besar dan itu adalah kumpulan orang-orang yang merasa kecewa (bukan
satu atau dua orang saja), dan Nabi shalallahu alaihi wassalam menyeru kepada
orang-orang secara umum. Itu jelas mayoritas dari pasukan Ali ra yang kecewa
terhadap dia karena dia menolak untuk mengijinkan mereka untuk memakai baju
besi dari harta khumus. Oleh karena itu, adalah hal yang tidak benar,
menyalahkan satu atau dua orang individu saja, tetapi yang benar dari kejadian
tersebut bahwa Ali ra telah membuat marah seluruh pasukannya. Dan kita
berlindung kepada Allah dari menyalahkan seseorang khususnya setelah Nabi
shalallahu alaihi wassalam sendiri telah memaafkan Buraidah ra dan yang
lainnya. Poin yang perlu digarisbawahi, bagaimanapun juga, banyak orang yang
marah kepada Ali ra dan ini adalah alasan mengapa Nabi shalallahu alaihi
wassalam harus membuat suatu deklarasi/pernyataan di Ghadir Khum untuk
membebaskan Ali ra dari segala tuduhan dan bukan untuk menunjuk Ali ra sebagai
pengganti beliau.
Tambahan-tambahan Palsu
Taktik yang biasa digunakan Syi’ah untuk membodohi
kaum Sunni yang awwam adalah dengan menyatakan yang pertama kali bahwa hadits
Ghadir Khum adalah tercantum dalam Bukhari dan sebagian besar kitab-kitab Sunni
terpercaya (seringkali dengan cara membuat kaum Sunni terkesan dengan
menyebutkan banyak referensi), dan kemudian mereka mulai menukil dari
versi-versi yang berbeda dari sumber-sumber yang samar dan tidak dipercaya yang
menggambarkan Ghadir Khum dengan kejadian yang sangat berbeda dibandingkan
dengan yang sesungguhnya dinyatakan dalam kitab-kitab yang shahih. Taktik
membodohi orang ini disebut “acceptance by association”.
Kenyataanya, hanya ada dua tambahan pada hadits
tersebut yang dipertimbangkan shahih dan itupun hanya oleh beberapa ulama saja.
Untuk tujuan berdialog, bagaimanapun kami akan menerimanya sebagai shahih.
Sekali lagi, dua tambahan tersebut tidak ada dalam shahihain tetapi
tambahan-tambahan tersebut ada pada riwayat-riwayat yang berbeda dalam
kitab-kitab yang lain. Sebagaimana para pelajar jurusan hadits mengetahuinya,
bahwa hadits mempunyai berbagai macam tingkatan. Untuk hadits Ghadir Khum, yang
tershahih adalah apa yang tercantum dalam shahih Bukhari :
4350 – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مَنْجُوفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا إِلَى خَالِدٍ لِيَقْبِضَ الْخُمُسَ وَكُنْتُ
أُبْغِضُ عَلِيًّا وَقَدْ اغْتَسَلَ فَقُلْتُ لِخَالِدٍ أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا
فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ
لَا تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الْخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
(5/163)
Diriwayatkan oleh
Buraidah ra :
Nabi shalallahu
alaihi wassalam mengirimkan Ali kepada Khalid untuk membawa harta Khumus (dari
harta rampasan perang) dan saya membenci Ali, dan Ali selesai mandi junub
(sesudah mencampuri seorang budak wanita yang merupakan bagian dari khumus).
Saya katakan kepada Khalid “Tidak kah kamu melihat ini (Ali)?” ketika kami
menjumpai Nabi shalallahu alihi wassalam, saya menyebutkan hal itu kepada
beliau. Beliau (Nabi shalallahu alaihi wassalam) berkata, “Ya Buraidah! Apakah
kamu membenci Ali?” Saya menjawab, “Ya” Beliau berkata, “Apakah kamu membencinya,
untuk dia berhak lebih dari itu mengambil dari Khumus.”
(Shahih Bukhari,
Kitab Al-Maghazi, 5/163 No. 4350)
Hadits di atas adalah
versi Ghadir Khum yang diriwayatkan dalam shahihain, tanpa menyebutkan sama
sekali kata “Maula”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : untuk perkataan
beliau shalallahu ‘alaihi wasallam “siapa yang menganggap aku Maula nya, Ali
adalah Maula nya”, ini tidak terdapat dalam kitab Shahih (Bukhari dan Muslim),
tetapi ini adalah satu dari kabar-kabar yang diriwayatkan oleh para ulama dan
mengenai keshahihannya orang masih memperdebatkannya.”
dua tambahan tersebut
adalah :
1)Tambahan pertama :
“Man Kuntu Mawla fa’ Ali Mawla.”
2)Tambahan kedua :
“Allahummu wali man waalah wa ‘adi man ‘adaah.”
Tambahan yang pertama
secara umum diterima, dan yang kedua lebih lemah tetapi beberapa ulama
berpendapat bahwa tambahan itu shahih. Sejauh yang diketahui, tambahan-tambahan
yang lain tidak terdapat di kitab-kitab shahih bahkan maudu’ atau palsu.
Umumnya, Syi’ah mengisi dasar argumentasi mereka atas dua tambahan ini, tetapi
tidak diragukan setelah itu semua dibantah, mereka akan seringkali kemudian
berlindung dengan menggunakan sumber-sumber yang tidak jelas untuk membuat
tambahan-tambahan lebih lanjut seperti Nabi shalallahu alaihi wassalam
mengatakan Ali ra adalah Washi, khalifah, Imam dan lain-lain. Itu semua adalah
palsu, dan sejarah telah menjadi saksi kaum Syi’ah telah biasa membuat
hadits-hadits palsu. Syi’ah dapat membuat daftar referensi tidak jelas yang
begitu panjang tentang Ghadir Khum karena mereka sendirilah yang bertanggung
jawab terhadap begitu banyaknya riwayat-riwayat palsu sehubungan dengan Ghadir
Khum.
Kita telah melihat di
atas versi Ghadir Khum dalam shahih bukhari dan dalam hadits tersebut sama
sekali tidak tercantum tambahan kata “Maula”. Sedangkan tambahan kata “Maula”
baru dapat ditemukan dalam variasi hadits dalam kitab-kitab yang lain seperti
berikut ini :
22995 – حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا الفضل بن دكين ثنا بن
أبي عيينة عن الحسن عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن بريدة قال Y غزوت مع علي اليمن فرأيت منه جفوة فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه و
سلم ذكرت عليا فتنقصته فرأيت وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم يتغير فقال يا
بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم قلت بلى يا رسول الله قال من كنت مولاه فعلي
مولاه
K إسناده صحيح على شرط الشيخين
Buraidah ra
meriwayatkan: “Saya menyerang Yaman dengan Ali dan saya melihat kekerasan hati
dari dirinya, lalu ketika saya kembali menghadap Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam dan menyebut tentang Ali dan mengkritiknya, saya melihat wajah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berubah dan beliau berkata : “Ya
Buraidah, Bukankah saya lebih dekat/lebih berhak atas orang-orang beriman
daripada diri mereka sendiri?” Saya jawab “Benar ya Rasulullah”, beliau berkata
“Siapa yang menganggap aku Maula-nya maka Ali adalah Maula-nya juga”
(Musnad Ahmad 5/347
No. 22995) Syaikh Al-Arnauut mengatakan sanad hadits ini shahih sesuai dengan
syarat Syaikhain, (An-Nasaa’i dalam Sunan al-Kubra 5/45 No. 8145), (Al-Hakim
dalam al-Mustadrak 3/119 No. 4578), Abu Nu’aim, Ibnu Jarir dan yang lainnya.
Dalam versi lain yang
sedikit berbeda :
Buraidah ra
menceritakan : “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengirimku ke Yaman bersama
Ali dan saya melihat kekerasan hati dari dirinya, ketika saya kembali dan saya
komplain tentangnya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau
mengangkat kepalanya kepadaku dan bersabda : “Ya Buraidah! Siapa yang
menganggap aku Mawla-nya maka Ali adalah Mawla-nya juga”
(Sunan al-Kubra 5/130
No. 8466, riwayat yang serupa dapat ditemukan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah)
Dalam riwayat-riwayat
yang lain, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Allahummu wali man
waalah wa ‘adi man ‘adaah” diterjemahkan “Ya Allah, jadikan teman, orang-orang
yang menjadi temannya, dan jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya” beberapa
ulama telah meragukan keshahihan pernyataan ini, tetapi di sini kami akan
menerima tambahan kedua ini sebagai shahih.
Hanya ada dua
tambahan tersebut di atas pada hadits Ghadir Khum yang dapat dipertimbangkan
shahih, dan oleh karena itu kami hanya akan berhubungan dengan dua tambahan
tersebut saja.
Definisi Maula
Syi’ah mengklaim
bahwa kata “Maula” di sini adalah berarti “Pemimpin”. Ini adalah penterjemahan
yang keliru dari kata tersebut yang mereka mengklaim bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam telah menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau. Pada
kenyataannya, kata “Maula” – seperti kata dalam bahasa Arab yang lainnya-
mempunyai banyak makna. Orang syi’ah yang awwam mungkin akan terkejut jika
mereka mengetahui bahwa sesungguhnya definisi yang paling banyak digunakan
untuk kata Maula adalah “pelayan” bukan “pemimpin”. Seorang mantan budak yang
menjadi pelayan dan tidak mempunyai hubungan suku disebut sebagai seorang
“Maula”, seperti Salim yang dipanggil Salim Maula Abu Hudzaifah karena dia
adalah pelayan Abu Hudzaifah.
Hanya diperlukan
membuka sebuah kamus bahasa Arab untuk menjumpai berbagai macam definisi dari
kata “Maula”. Ibnu Al-Atsir mengatakan bahwa kata “Maula” dapat digunakan untuk
mengartikan diantaranya : Tuan, Pemilik, Penolong, Pembebas, Yang membantu,
Kekasih, Pendukung, Budak, Pelayan, Saudara Ipar, Saudara Sepupu, Teman dan
lain-lain.
Sekarang mari kita
uji lagi hadits tersebut :
“Siapa yang menanggap
aku sebagai maula-nya, maka Ali sebagai maula-nya, Ya Allah jadikan teman siapa
saja yang jadi temannya dan jadikan musuh siapa saja yang memusuhinya”
Kata “Maula” di sini
tidak dapat diartikan dengan “pemimpin”, tetapi terjemahan terbaik untuk kata
“Maula” adalah “seorang teman yang dicintai”. Ini jelas bahwa “Maula” di sini
merujuk pada cinta atau hubungan yang dekat, bukan khalifah dan imamah. Muwalat
(Cinta) adalah lawan dari Mu’adat (kebencian/rasa permusuhan). Definisi kata
“Maula” tersebut adalah yang paling masuk akal sehubungan dengan konteksnya,
karena kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tiba-tiba berkata
“Ya Allah jadikan teman siapa saja yang jadi temannya dan jadikan musuh siapa
saja yang memusuhinya”.
Syi’ah mungkin
menolak untuk percaya bahwa Maula di sini maksudnya adalah “teman yang dicintai
atau sahabat” dan kenyataannya adalah kata ini tidak bisa diterjemahkan dengan
cara yang lain karena tambahan kalimat yang kedua dari riwayat di atas adalah
tentang pertemanan dengan-nya (Ali ra), bukan tentang dibawah aturan-nya (Ali
ra) atau hal-hal yang seperti itu. Sungguh hal yang susah dipercaya, Syi’ah
bisa menterjemahkannya dengan Khalifah atau Imam yang konteksnya tidak ada
hubungannya dengan hal itu.
Al-Jazari berkata
dalam al-Nihayah :
Kata Maula sering
disebutkan di dalam hadits, dan ini adalah sebuah nama yang diterapkan pada
banyak hal. Ini bisa merujuk pada seorang tuan, seorang pemilik, seorang
pemimpin, seorang penolong, seorang budak yang merdeka, seorang pendukung,
seorang yang mencintai sesama, seorang pengikut, seorang tetangga, saudara
sepupu, seorang pendukung, saudara ipar, seorang budak, seorang yang telah berbuat
baik. Sebagian besar makna-makna ini disebutkan dalam berbagai macam hadits,
sehingga akan bisa dimengerti dalam aturan yang sedang diterapkan oleh konteks
hadits dimana kata itu disebutkan.
Imam Syafi’i berkata
dalam hubungannya dengan kata Maula dalam hadits khusus Ghadir Khum ini:
“Apa yang dimaksud
dengan itu adalah ikatan (persahabatan, persaudaraan dan cinta) dalam Islam”.
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an :
“Maka pada hari ini
tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir, tempat
kamu ialah neraka, dialah tempat berlindungmu (Maula). Dan dia adalah
sejahat-jahat tempat kembali.” (QS 57:15)
Tidak ada penterjemah
di bumi ini yang pernah menterjemahkannya dengan “Imam” atau “Khalifah”, yang
akan menjadikan ayat tersebut menjadi tidak berarti. Neraka di atas disebut
sebagai Maula untuk orang-orang kafir karena sangat dekatnya mereka dengannya,
dan ini adalah definisi untuk kata Maula yang disebutkan dalam hadits Ghadir
Khum (kedekatan yang sangat antara Nabi shalalalahu ‘alaihi wasallam, Ali dan
kaum mukminin). Sesungguhnya, kata Maula berasal dari kata “Wilayah” bukan
“Walayah”. Wilayah merujuk kepada cinta dan pertolongan, dan tidak dibingungkan
dengan Walayah yang merujuk pada kepemimpinan.
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an :
Yang demikian itu
karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena
sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung. (QS 47:11)
Ayat tersebut tidak
merujuk pada makna Khalifah atau Imamah, tetapi lebih merujuk pada sebuah
perlindungan dari Teman yang dekat, selain daripada itu, ayat ini akan menjadi
tidak masuk akal. Para komentator Syi’ah tampaknya mengabaikan bagian kedua
dari ayat ini dimana Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang kafir itu
tidak mempunyai Maula”. Apakah kalimat ini bisa diartikan bahwa orang-orang
kafir tidak mempunyai pemimpin? Tentu saja orang-orang kafir juga punya
pemimpin, seperti misalnya orang-orang kafir di Amerika dipimpin oleh George
Bush sebagai pemimpin mereka. Al-Qur’an sendiri telah menyebutkan bahwa
orang-orang kafir mempunyai pemimpin:
maka perangilah
pemimpin-pemimpin (Imam) orang-orang kafir itu (QS 9:12)
Dan Kami jadikan
mereka pemimpin-pemimpin (Imam) yang menyeru (manusia) ke neraka (QS 28:41)
Sehingga ketika Allah
berfirman “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Maula”, ini
merujuk kepada makna sebuah perlindungan yang sangat dekat, bukan bermakna
mereka tidak mempunyai pemimpin. Ayat ini tidak menggunakan Maula dalam
pengertian Imam atau Khalifah sama sekali, tetapi lebih merujuk kepada makna
sebuah perlindungan yang dekat.
Hadits Ghadir Khum
dimaksudkan dalam hal yang sama. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati
orang-orang agar mencintai Ali ra dan dekat dengannya. Dan ini adalah apa yang
sesungguhnya Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra lakukan (mereka menjadi
sahabat Ali ra). Pada kenyataannya Umar begitu disayangi Ali ra yang dia telah
menikahkan putrinya dengan Umar ra. Ali menjadi wazir dan orang kepercayaan
ketiga khalifah tersebut, saling menyayangi dan mengagumi terjadi diantara tiga
khalifah ra dan Ali ra. Dengan kata lain, hadits Ghadir khum tidak ada
hubungannya dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Ali ra sebagai
pengganti beliau, tetapi untuk menghentikan kritikan orang-orang kepada Ali ra
dan himbauan agar mencintainya.
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an,
Sesungguhnya penolong
(sahabat, teman yang dicintai) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya (sahabat, teman yang dicintai), maka sesungguhnya
pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS 5:55-56).
Dalam ayat ini Allah menunjuk
semua orang-orang yang beriman sebagai Maula. Bagaimana bisa Syi’ah mengklaim
bahwa kata Maula tersebut merujuk kepada khalifah atau imamah, konsekuensinya,
berarti semua orang-orang beriman adalah imam atau khalifah?? (untuk ayat ini,
Syi’ah membuat klaim dengan keterlaluan bahwa ayat ini merujuk kepada Ali ra
saja, meskipun kenyataannya ayat tersebut mengacu kepada orang-orang yang
beriman dalam bentuk plural atau jamak. Tidak diragukan, Ali ra sebagaimana
orang-orang yang beriman lainnya termasuk yang dimaksud orang-orang yang
beriman dalam ayat ini, tetapi tidak bisa ini ditujukan hanya kepadanya saja
karena sangat jelas bentuknya adalah plural). Sesungguhnya, kata Maula di sini
mengacu kepada cinta, kedekatan yang sangat, dan menolong. Pada kenyataannya,
tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an dimana kata Maula digunakan untuk
mengacu kepada Imamah atau Khalifah.
Pada ayat yang lain
Allah berfirman :
yaitu hari yang
seorang karib (Maula) tidak dapat memberi manfaat kepada karibnya (Maulanya) sedikitpun..
(QS 44:41)
Apakah kata Maula
dalam ayat tersebut dapat diterjemahkan seperti ini : “yaitu hari yang pemimpin
tidak dapat memberi manfaat kepada pemimpinnya sedikitpun..” ? sungguh ini
tidak masuk akal. Kita lihat pada ayat ini, Allah sedang berbicara mengenai dua
orang dan keduanya disebut sebagai “Maula”, jika Maula diartikan sebagai
pemimpin, hanya satu diantara mereka yang dapat disebut pemimpin dari yang
lain. Tetapi jika Maula di sini diartikan sahabat atau karib, maka sungguh
mereka dapat saling menjadi Maula diantara mereka dan secara bahasa adalah
benar memaksudkan keduanya adalah sebagai Maula sebagaimana Allah sebutkan
dalam Al-Qur’an.
Kata Maula yang
digunakan dalam hadits tersebut berarti sahabat atau karib; Dalam shahih
Bukhari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Suku Quraisy,
Al-Anshar, Juhaina, Aslam, Ghifar dan Asyja’ adalah para penolong terdekatku
(Mawali), dan mereka tidak ada pelindung bagi mereka kecuali Allah dan
Rasul-Nya”
Apakah kata “Maula”
di sini berarti Khalifah atau Imamah? Apakah berbagai suku Arab tersebut sebagai khalifah atau Imam atas Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam? Tentu saja tidak. Yang lebih masuk akal adalah
mereka sangat dekat dan mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan dengan
begitu mereka sebagai Mawali (jamak dari maula).
Kesimpulan :
Kata Maula mempunyai
banyak makna, untuk mengetahui makna yang tepat dari kata tersebut harus
diperhatikan konteks saat kata tersebut diucapkan. Berdasarkan konteks yang
ada, kata Maula yang disebutkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di Ghadir
Khum berarti “Sahabat dekat” atau “teman yang dicintai” atau “Karib” dan bukan
Khalifah ataupun Imamah.
16 Responses : Lihat rujukan
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum
( Bagian 1/3 )