18
April 2016
Kritik
Ilmiyyah Atas Pemikiran Dr. Quraish Shihab ( Bagian Pertama)
Muqaddimah
Beberapa
bulan lalu, publik dihebohkan oleh ucapan kontroversial seorang
yang—katanya—adalah pakar tafsir Indonesia, yang konon menyatakan bahwa tidak
ada jaminan surga bagi Nabi Muhammad. Kontan saja, komentar tersebut mencuatkan
tanggapan pro dan kontra yang ramai di media, sampai-sampai menteri agama yang
baru saja ditunjuk ikut angkat berbicara. Dan klarifikasi juga langsung
dilakukan oleh sang pelontar untuk mendinginkan suasana.
Membaca
kasus ini, memori saya langsung teringat dengan proyek dan keinginan dalam hati
saya sejak dahulu yang belum terealisasikan untuk menulis tulisan yang menguak
beberapa pemikiran berbahaya yang dilontarkan oleh Dr. Muhammad Quraish Shihab
dalam karya-karyanya sebagai bentuk nasihat yang tulus untuk saudara-saudara
kami agar tidak terjerembab dalam kubangan pemikirannya yang menyimpang, karena
silau dengan popularitas nama dan kebesaran gelar yang disandangnya.
Aduhai,
kalau kita semua diam tidak menjelaskan masalah ini, lantas kapan orang jahil
dapat mengerti?! Muhammad ibn Bundar pernah berkata kepada al-Imam Ahmad:
“Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya saya merasa berat hati untuk mengatakan ‘si
fulan pendusta!!’.” Ahmad menjawab: “Seandainya kamu diam dan saya juga diam,
lantas kapan orang yang jahil mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah?!!”1
Maka
dengan bertawakkal kepada Allah, kami akan menyorot beberapa pemikirannya yang
berbahaya berikut bantahannya secara ilmiyyah. Semoga hal ini difahami sebagai
bentuk nasihat bukan sebagai celaan dan hinaan.
Hakikat
“Ulama”
Selama
ini, banyak orang yang mengklaim dan menganggap Dr. Quraish Shihab sebagai
cendekiawan, intelektual, pakar tafsir al-Qur’an, dan sebagainya hanya melihat
kepada gelar yang disandangnya begitu mentereng, aktif menulis karya tulis
hingga puluhan karya, sering nongol mengisi acara di TV,
apalagi melihat kepada jabatan yang pernah diembannya seperti pernah menjadi
rektor IAIN, mantan ketua MUI, mantan menteri agama—sekalipun hanya sekitar
lima puluh hari.
Ini adalah
pandangan yang salah tentang hakikat ulama, karena tidak setiap yang pandai
bicara dan berpidato di atas mimbar berarti dia adalah ulama. Dan tidak setiap
orang yang pandai menulis kitab berarti ulama karena ulama sejati memiliki
sifat-sifat yang jarang ada pada tokoh-tokoh agama sekarang ini, terutama
memiliki aqidah yang lurus sesuai dengan al-Qur’an dan hadits serta pemahaman
salaf shalih.
Al-Imam
Ibnu Rajab al-Hanbali pernah mengatakan: “Sangat disayangkan, banyak orang
bodoh pada zaman sekarang menyangka bahwa setiap orang yang pandai bicara
berarti dia lebih alim daripada ulama sebelumnya, bahkan ada di antara mereka
yang menganggap pada seseorang bahwa dia lebih alim daripada para sahabat Nabi
karena penjelasannya yang banyak dan pintarnya dalam berdebat.”
Beliau
melanjutkan: “Banyak orang sekarang yang tertipu dalam masalah ini, sehingga
mereka mengira bahwa setiap orang yang banyak omongnya dan debatnya dalam
masalah-masalah agama berarti dia lebih pandai daripada yang tidak demikian,
padahal harus diyakini bahwa tidak setiap orang yang lebih banyak omongnya dan
debatnya berarti dia lebih pandai.”2
Subhanallah, ini keluhan al-Imam Ibnu Rajab pada
zamannya. Lantas bagaimana sekiranya dia jika beliau melihat pada zaman kita
sekarang?!! Oleh karenanya, marilah kita tanamkan pada diri kita masing-masing
untuk mencintai dan mengagungkan kebenaran yang bersumberkan al-Qur’an dan
as-Sunnah, dan tidak silau dengan ucapan seorang hanya karena gelar dan
popularitasnya semata. Jadikanlah timbangan kebenaran dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah untuk menilai seseorang, jangan menjadikan kebenaran berdasarkan
ucapan seorang.
Susunan
Bahasan
Pembahasan
saya di sini hanya akan memaparkan beberapa contoh sebagian penyimpangan dan
ketimpangan pemikiran Dr. Quraish Shihab, terutama dalam tiga poin:
Aqidah
Hadits
Fiqih
Tiga poin
ini akan memuat beberapa subbahasan. Metode kami, terlebih dahulu akan kami
nukilkan ucapan Dr. Quraish Shihab beserta referensinya kemudian kami akan
berusaha melakukan sanggahan dan kritikan ilmiyyah berdasarkan al-Qur’an dan
as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama salaful ummah.
Kerusakan
Pemikiran Quraish Shihab
Aqidah
Dalam
masalah aqidah, Dr. Quraish Shihab terjatuh dalam penyimpangan dan pemikiran
yang sesat baik pemikiran Jahmiyyah, Mu’tazilah, ahli kalam (filsafat),
Asya’irah, Tasawuf yang parah, dan Liberalisme. Hal itu dapat diketahui oleh
setiap orang yang membaca buku-bukunya. Berikut ini beberapa contohnya:
1.
Pemikiran Jahmiyyah dan Mu’tazilah
Di antara
contoh bahwa dia berpemikiran Jahmiyyah dan Mu’tazilah adalah fahamnya yang
menyatakan bahwa Allah ada di mana-mana.
Dr.
Quraish Shihab mengatakan:
Kalau kita
merenung dan berfikir secara tulus dan benar, pasti kita akan menyadari bahwa
Allah hadir di mana-mana. Kita dapat menemukannya setiap saat dan di semua
tempat.3
Jawaban:
Faham ini
jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah karena merupakan faham
Jahmiyyah yang telah dibantah oleh para ulama kita.4
Sungguh
tidak syak (ragu) lagi bagi orang yang mau mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam serta kitab-kitab ulama, dan
bersih dari virus ahli kalam dan filsafat bahwa Allah berada di atas ’arsy-Nya.
Berikut ini dalil-dalilnya.5
a. Dalil
dari al-Qur’an
Banyak
sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Allah dengan beberapa
versi, sampai-sampai sebagian penganut senior madzhab Syafi’i mengatakan:
“Dalam al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah
tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hambaNya.”6 Di
antaranya:
1) Kadang
dengan lafazh ’ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam)
di atas ’arsy. Seperti firman Allah:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS al-Baqarah [2]: 255)
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
Ar-Rahman
(Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ’arsy. (QS Thaha [20]: 5)
2) Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman
Allah:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya-lah
naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS Fathir [35]: 10)
تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ
إِلَيْهِ
Malaikat-malaikat
dan Jibril naik kepada-Nya. (QS al-Ma’arij [70]: 4)
3) Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman
Allah:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن
رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
Katakanlah
Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS an-Nahl
[16]: 102)
b. Dalil
dari as-Sunnah
Ketinggian
Allah di atas langit juga ditegaskan dalam banyak hadits Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wa sallam sehingga mencapai derajat mutawatir7 dan
dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan)
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.
Berikut
ini akan kami sebutkan beberapa hadits saja:
1) Dalil
pertama:
عَنْمُعَاوِيَةَبْنِالْحَكَمِالسُّلَمِيِّa قَالَ: …وَكَانَتْلِيْجَارِيَةٌتَرْعَىغَنَمًالِيْقِبَلَأُحُدٍوَالْجَوَّانِيَةِفَاطَّلَعْتُذَاتَيَوْمٍ,فَإِذَابِالذِّئْبِقَدْذَهَبَبِشَاةٍمِنْغَنَمِهَا, وَأَنَارَجُلٌمِنْبَنِيْآدَمَ, آسَفُكَمَايَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْصَكَكْتُهَاصَكَّةً, فَأَتَيْتُرَسُوْلَاللهِnفَعَظَّمَذَلِكَعَلَيَّ, قُلْتُ: يَارَسُوْلَاللهِ, أَفَلاَأُعْتِقُهَا؟قَالَ: ائْتِنِيْبِهَا, فَقَالَلَهَا: أَيْنَاللهُ؟قَالَتْ: فِيْالسَّمَاءِ, قَالَ: مَنْأَنَا؟قَالَتْ: أَنْتَرَسُوْلُاللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَافَإِنَّهَامُؤْمِنَةٌ.
Dari
Mu’awiyah ibn Hakam as-Sulami Radhiallahu’anhu berkata: “… Saya memiliki
seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud
dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki
seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam,
saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya,
kemudian saya datang pada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, ternyata
beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah
saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau: ‘Bawalah budak itu kepadaku.’ Lalu
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bertanya (kepada sang budak): ‘Di mana
Allah?’ Jawab budak tersebut: ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam bertanya lagi: ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut: ‘Engkau adalah
Rasulullah.’ Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ‘Merdekakanlah budak
ini karena dia seorang wanita mukminah.’”8
Al-Imam
adz-Dzahabi berkata mengomentari hadits ini:
وَهٰكَذَارَأَيْنَاكُلَّمَنْيُسْأَلُ: أَيْنَاللهُ؟يُبَادِرُبِفِطْرَتِهِوَيَقُوْلُ: فِيالسَّمَاءِ. فَفِيْالْخَبَرِمَسْأَلَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُقَوْلِالْمُسْلِمِأَيْنَاللهُ؟
وَثَانِيْهَا: قَوْلُالْمَسْؤُوْلِ: فِيْالسَّمَاءِ. فَمَنْأَنْكَرَهَاتَيْنِالْمَسْأَلَتَيْنِفَإِنَّمَايُنْكِرُعَلَىالْمُصْطَفَىn
“Demikianlah kita melihat setiap orang yang ditanya ‘di mana
Allah’ niscaya dia akan menjawab dengan fithrahnya ‘Allah di atas langit’.
Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim
‘di mana Allah’.
Kedua: Jawaban orang yang ditanya pertanyaan
tersebut ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka
berarti dia mengingkari al-Mushthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi wa
sallam.”9
2) Dalil
kedua:
Hadits-hadits
tentang kisah peristiwa Isra’ Mi’raj. Para pakar ilmu hadits menegaskan bahwa
hadits-hadits tentang kisah Isra’ Mi’raj mencapai derajat mutawatir.10
Al-Hafizh
Ibnu Abil Izzi al-Hanafi berkata: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil
tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang
mencermatinya.”11
3) Dalil
ketiga:
عَنْأَبِيْهُرَيْرَةَأَنَّرَسُوْلَاللهِقَالَ: يَنْزِلُرَبُّنَاتَبَارَكَوَتَعَالَىكُلَّلَيْلَةٍإِلَىالسَّمَاءِالدُّنْيَاحِيْنَيَبْقَىثُلُثُالأَخِيْرِيَقُوْلُ:مَنْيَدْعُوْنِيْفَأَسْتَجِيْبَلَهُ, مَنْيَسْأَلُنِيْفَأُعْطِيَهُ, مَنْيَسْتَغْفِرُنِيْفَأَغْفِرَلَهُ
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika
sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku maka
akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri, dan siapa
yang yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni.’”12
Al-Imam Ibnu
Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di
atas langit, di atas ’arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini
termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan
Jahmiyyah yang berpendapat bahwa Allah ada di mana-mana bukan di atas ’arsy.”13
4) Dalil
Keempat:
عَنْجَابِرِبْنِعَبْدِاللهِفِيْقِصَّةِحَجَّةِالنَّبِيِّ: … فَقَالَبِإِصْبِعِهِالسَّبَابَةِيَرْفَعُهَاإِلَىالسَّمَاءِ, وَيَنْكُتُهَاإِلَىالنَّاسِ:اللَّهُمَّاشْهَدْ, اللَّهُمَّاشْهَدْ, ثَلاَثَمَرَّاتٍ
Dari Jabir
ibn Abdillah Radhiallahu’anhuma tentang kisah hajinya Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam (setelah beliau berkhutbah di Arafah): Lalu Nabi mengatakan dengan
mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia “ya
Allah, saksikanlah, ya Allah saksikanlah” sebanyak tiga kali.14
Hadits ini
merupakan tamparan keras bagi kaum ahli bid’ah yang selalu melarang kaum
Muslimin berisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata: “Kami
khawatir orang-orang akan mempunyai keyakinan bahwa Allah berada di atas
langit, padahal Allah tidak bertempat, tetapi Allah ada di setiap tempat.”
Demikianlah kekhawatiran yang dimasukkan setan ke dalam hati mereka, yang
sebenarnya mereka telah membodohkan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam yang
telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit!!15
c. Ijma’
(kesepakatan) para ulama
Ketahuilah,
wahai saudaraku seiman, bahwa para sahabat, para tabi’in, dan para imam kaum
Muslimin telah bersepakat akan ketinggian Allah di atas langit-Nya, bersemayam
di atas ’arsy-Nya. Ijma’ ini banyak dinukil oleh para ulama, kami nukil
sebagian ucapan mereka sebagai berikut:16
1) Al-Imam
al-Auza’i berkata: “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan: ‘Allah
berada di atas ’arsy-Nya.’ Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan
dalam as-Sunnah.”17
2) Al-Imam
Abdullah Ibnul Mubarak berkata: “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di
atas ’Arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana
kaum Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Allah ada di sini (beliau menunjuk ke
bumi).”18
3) Al-Imam
Qutaibah ibn Sa’id berkata: “Inilah pendapat para imam Islam Ahli Sunnah wal
Jama’ah bahwa kami mengetahui Rabb kami di atas langit-Nya ketujuh di atas
’Arsy-Nya.”19
4) Al-Imam
Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: “Ahli Islam telah bersepakat untuk menetapkan
sifat bagi Allah dan bahwasanya Allah di atas ’Arsy berpisah dari makhluk-Nya
dan ilmu-Nya di setiap tempat. Barangsiapa yang mengatakan selain ini maka
baginya laknat Allah.”20
5) Al-Imam
Utsman ibn Sa’id ad-Darimi berkata: “Telah bersepakat kalimat kaum Muslimin dan
kafirin bahwa Allah di atas langit.”21
6) Al-Imam
Abu Umar at-Tolmanki berkata: “Kaum Muslimin dari Ahli Sunnah bersepakat bahwa
Allah tinggi di atas ’Arsy-Nya.”22
7) Al-Imam
ash-Shabuni berkata: “Para ulama umat dan imam dari salaf shalih tidak
berselisih pendapat bahwa Allah di atas ’Arsy-Nya dan ’ArsyNya di atas
langit-Nya.”23
8) Al-Imam
Isma’il ibn Muhammad at-Taimi berkata: “Kaum Muslimin bersepakat bahwa Allah
tinggi sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an.”24
9) Al-Imam
adz-Dzahabi berkata: “Ucapan para salaf dan imam-imam Sunnah bahkan para
sahabat, Allah, Nabi, dan seluruh kaum mukmin bahwasanya Allah di atas langit
dan di atas ’Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujjah-hujjah mereka
adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang banyak.”25
d. Dalil
akal
Setiap
akal manusia yang masih sehat tentu akan mengakui ketinggian Allah di atas
makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama: Ketinggian Allah merupakan sifat yang mulia
bagi Allah.
Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang
rendah merupakan sifat yang kurang bagi Allah. Maha Suci Allah dari sifat-sifat
yang rendah.
e. Dalil
fithrah
Sesungguhnya
Allah telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya baik Arab maupun non-Arab
dengan ketinggian Allah. Marilah kita berfikir bersama di saat kita memanjatkan
do’a kepada Allah, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas?
Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab “ke atas”.
Pernah
dikisahkan bahwa suatu hari al-Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam
majlisnya: “Allah tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia
berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya
berkata: “Wahai Ustadz, kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang
sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik
al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan: “Al-Hamdani
telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”26
Akhirnya,
al-Imam al-Juwaini pun mendapat hidayah Allah dan kembali ke jalan yang benar.
Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
Sebenarnya
masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini yang semuanya telah
dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara
mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi al-Imam
adz-Dzahabi dalam bukunya, al-’Uluw lil Aliyyil Azhim.
Semoga
Allah merahmati al-Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan—setelah
menyebutkan 18 segi dalil—: “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya
dibukukan tersendiri maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil.27 Oleh
karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil
ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.”28
Adapun
faham Dr. Quraish Shihab bahwa Allah di mana-mana yang juga banyak dianut oleh
sebagian kaum Muslimin sekarang ini, tahukah mereka pemahaman siapakah ini
sebenarnya?! Faham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah, Hululiyyah, dan
Mu’tazilah.29
Konsekuensi
faham sesat “Allah di mana-mana” ini sangatlah batil, yaitu Allah berada di
tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk. Sebagaimana
diceritakan dari Bisyr al-Marisi30 tatkala
dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu.” Lalu ditanyakan kepadanya:
“Apakah Allah berada di kopiahmu itu?!” Jawabnya: “Ya.” Ditanyakan lagi
kepadanya: “Apakah Allah ada dalam keledai?!” Jawabnya: “Ya.”(!!!)
Perkataan
ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah,
sebagian ulama salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan
Yahudi dan Nashrani, tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!”
Al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari berkata:
وَزَعَمَتِالْمُعْتَزِلَةُوَالْحَرُوْرِيَّةُوَالْجَهْمِيَّةُأَنَّاللهَعَزَّوَجَلَّفِيْكُلِّمَكَانٍ،فَلَزِمَهُمْأَنَّهُفِيْبَطْنِمَرْيَمَوَفِيْالْحُشُوْشِوَالأَخْلِيَةِ،وَهٰذَاخِلَافُالدِّيْنِ،تَعَالَىاللهُعَنْقَوْلِهِمْ.
“Dan kaum
Mu’tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat
sampah, dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha Suci Allah dari ucapan
mereka.”31
2. Pemikiran Syi’ah
Bagi
seorang yang mencermati beberapa buku karya Dr. Quraish Shihab, maka sangatlah
nyata pembelaannya terhadap kaum Syi’ah, ikut andil menyelundupkan racun-racun
faham Syi’ah, dan usahanya dalam melakukan kompromi pendekatan Sunni dan
Syi’ah, sekalipun dia mengaku keberatan jika disebut sebagai penganut faham
Syi’ah.
Hal ini
sangat tampak, terutama dalam bukunya yang berjudulSunnah-Syi’ah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?32 dan
kata pengantarnya terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah.33 Dua
buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran Syi’ah, penuh dengan kerancuan
seperti celaan kepada para sahabat Nabi, terutama Umar Radhiallahu’anhu dan Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu, menyatakan Abdullah ibn Saba’ adalah tokoh fiktif,
dan ajakan agar kaum Sunni bergandeng tangan dengan kaum Syi’ah seperti dalam
kesimpulan akhir kitabnya yang pertama. Ada dua hal yang ingin kami tanggapi di
sini:
a. Celaan
kepada Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu
Diantara
ucapan Dr. Quraish Shihab yang mencela sahabat Abu Hurairah:
Karena
itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang,
semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima
riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan. Di samping itu
semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah,
demikian juga pengenalan Abu Hurairah menyangkut Nabi berada di bawah kemampuan
sahabat besar Nabi SAW seperti istri Nabi Aisyah.34
Jawaban:
Sejatinya,
melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam sekaliber Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan menggunakan pendekatan
apa pun tidak akan bisa meruntuhkan reputasi dan keagungan kedudukan beliau.
Dan sangat mengherankan adalah ketika Quraish Shihab menjadikan
serangan-serangannya terhadap Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan
bersenjatakan kitab Adhwa’ ’ala Sunnah Nabawiyyah karya Abu
Rayyah.35Padahal,
para penuntut ilmu hadits sangat mengenal siapa Abu Rayyah dan bagaimana isi
kitabnya tersebut.36
Wahai
saudaraku, ketahuilah barangsiapa yang mencela sahabat Abu Hurairah, maka
sesungguhnya dia ingin merusak aqidah Islamiyyah. Karena tujuan utama dari
celaan mereka, bukanlah hanya pribadi Abu Hurairah saja, namun lebih dari itu
mereka ingin merusak agama Islam. Sebab, apabila Abu Hurairah telah berhasil
dicerca, maka ribuan hadits -yang merupakan sumber hukum agama- tentang Islam
akan termentahkan37.
Semoga Allah merahmati imam Abu Zur’ah yang telah mengatakan:
إِذَارَأَيْتَالرَّجُلَيَنْتَقِصُأَحَدًامِنْأَصْحَابِرَسُوْلِاللهِفَاعْلَمْأَنَّهُزِنْدِيْقٌ, وَذَلِكَأَنَّالرَّسُوْلَعِنْدَنَاحَقٌّوَالْقُرْآنَحَقٌّ,وَإِنَّمَاأَدَّىإِلَيْنَاهَذَاالْقُرْآنَوَالسُّنَنَأَصْحَابُرَسُوْلِاللهِ, وَإِنَّمَايُرِيْدُوْنَأَنْيَجْرَحُوْاشُهُوْدَنَالِيُبْطِلُوْاالْكِتَابَوَالسُّنَّةَ,وَالْجَرْحُبِهِمْأَوْلَىوَهُمْزَنَادِقَةٌ.
“Apabila
engkau mendapati orang yang mencela salah satu sahabat Nabi, maka ketahuilah
bahwa dia adalah seorang zindiq (munafik). Hal itu karena Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam adalah benar dan al-Qur’an juga benar menurut
(prinsip) kita. Dan orang yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah para
sahabat Nabi. Dan para pencela para saksi kita (sahabat) hanyalah bertujuan
untuk menghancurkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mencela mereka lebih pantas.
Mereka adalah orang-orang zindiq.”38
Al-Imam
al-Hakim menukil perkataan al-Imam Ibnu Khuzaimah: “Sesungguhnya orang yang
mencela Abu Hurairah Radhiallahu’anhu guna menolak haditsnya, tidak lain
kecuali orang yang dibutakan hatinya oleh Allah sehingga mereka tidak memahami
hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Orang kelompok Jahmiyyah
menolak riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang bertentangan dengan faham
kekufuran mereka dengan mencela dan menuduhnya secara dusta dan bohong untuk
menipu orang-orang awam yang bodoh. Orang kelompok Khawarij yang menghalalkan
darah kaum Muslimin dan tidak taat terhadap khalifah/imam tatkala mendengarkan
riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
yang tidak sesuai dengan faham sesatnya, tiada cara lain untuk menghujatnya
kecuali dengan senjata pamungkasnya, mencela Abu Hurairah Radhiallahu’anhu …
Demikian pula orang jahil yang sok pintar fiqih tatkala mendengar hadits Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu yang bertentangan dengan madzhab yang dianutnya
dengan taklid buta/membeo, dia mencela pribadi Abu Hurairah Radhiallahu’anhu
dan mementahkan haditsnya yang tidak sesuai dengan madzhabnya dan memakai
haditsnya yang sesuai dengan madzhabnya. Sebagian golongan telah mengingkari
hadits-hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang tidak mereka fahami
maksudnya…”39
b. Usaha
Penyatuan Sunni dan Syi’ah
Dr.
Quraish Shihab ini berusaha untuk menyatukan antara Syi’ah dan Sunnah
sebagaimana maksud dan kesimpulan bukunya tersebut.
Jawaban:
Ini adalah
suatu hal yang sangat aneh. Mungkinkah kaum Muslimin (Ahli Sunnah) akan bersatu
dengan suatu kaum (Syi’ah) yang menjadikan celaan serta pengkafiran kepada para
istri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat sebagai agama?!!
Landasan agama mereka berbeda dengan landasan agama Islam yang mulia. Bagaimana
kaum Muslimin akan bersatu dengan suatu kaum yang menolak ijma’ dan menyengaja
untuk menyelisihi ijma’ ulama kaum Muslimin?! Bagaimana akan bersatu, sedangkan
tokoh Syi’ah sendiri enggan dengan persatuan ini?!!40
Simaklah
ucapan seorang tokoh mereka, Ni’matullah al-Jazairi, yang mengatakan: “Kita
tidak akan bersatu dengan mereka (Ahli Sunnah) dalam satu tuhan, nabi, atau
imam. Hal itu karena mereka mengatakan: “Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang
Muhammad Nabi-Nya dan khalifah setelahnya adalah Abu Bakar. Sedangkan kami
tidak sependapat dalam Rabb dan Nabi mereka, bahkan kami mengatakan:
Sesungguhnya Rabb yang khalifah Nabinya adalah Abu Bakar maka bukanlah Rabb
kita dan Nabinya bukan Nabi kita.”41
Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Saya adalah seorang yang sangat bersemangat
untuk menyatukan antara Sunnah dan Syi’ah. Saya telah berusaha semaksimal
mungkin selama tiga dekade dan saya tidak mengetahui seorang muslim pun yang
lebih semangat daripada saya untuk persatuan tersebut, lalu tampak jelaslah
bagi saya dengan pengalaman yang lama bahwa mayoritas ulama Syi’ah sangat
enggan dengan persatuan ini, sebab hal itu sangat berlawanan dengan manfaat
pribadi mereka berupa harta dan kedudukan. Saya telah berdialog tentang hal ini
dengan banyak orang di Mesir, Suriah, India, dan Iraq. Dari pengalaman tersebut
saya menarik kesimpulan bahwa Syi’ah sangat memusuhi Ahli Sunnah!!! Mereka
bersemangat untuk menyebarkan kitab-kitab untuk mencela Sunnah, para Khalifah
Rasyidin yang menaklukkan negeri dan menyebarkan Islam di penjuru dunia, dan
mencela para pembela Sunnah dan imamnya serta orang-orang Arab secara umum.”42
3.
Pemikiran Wahdatul Wujud
Dr.
Quraish Shihab juga berkata:
Ulama asal
Iran itu (Husain Thoba’thobai) lebih jauh menggarisbawahi bahwa penyifatan
Allah sebagai nur mengisyaratkan bahwa Dia adalah wujud yang paling nyata, tidak
ada sesuatupun yang tidak mengenal-Nya karena semua yang wujud dan nampak
adalah limpahan dari penampakan-Nya.43
Jawaban:
Demikianlah
Dr. Quraish Shihab menukil ucapan tokoh Syi’ah dari Iran tersebut tanpa
memberikan sanggahan bahkan menyetujuinya padahal ini adalah pemahaman tasawuf
yang sesat dan menyesatkan yaitu aqidah wahdatul wujud, yang
biasanya diistilahkan dengan Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu
bersatunya Tuhan dengan hamba. Sungguh, ini adalah sebuah aqidah yang
bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan
menghancurkan persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlak, dan sebagainya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud)
merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan
agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari
jalan Allah. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia
seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak
agama.”44
Di antara
pengibar bendera faham sesat ini adalah beberapa tokoh zaman dahulu seperti
Ibnu Arabi,45 al-Hallaj,
Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya. Adapun pengibar benderanya di
Indonesia, di Jawa: Syaikh Siti Jenar, di Sumatra: Hamzah al-Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani, di Sulawesi dan Kalimantan: Yusuf al-Maqossari dan
Muhammad Nafis al-Banjari. Akhir-akhir ini ada yang berusaha membungkus
pemahaman sesat ini dengan baju sains yaitu Agus Musthofa dalam bukunya Bersatu
dengan Allah.46
Sesungguhnya
aqidah kufur47 dan
sesat ini sangat rusak dan memiliki dampak negatif yang banyak dalam berbagai
sektor baik masalah tauhid, akhlak, ibadah, dan sebagainya.48
Salah satu
kerusakan faham sesat ini adalah munculnya faham bahwa seorang apabila telah
sampai pada tingkatan tertentu maka gugurlah hukum taklif baginya49 karena
dia merasa telah bersatu dengan Allah.50 Faham
tasawuf ini sangat bertentangan dengan Islam. Allah berfirman (yang artinya):
Dan Dia menjadikan
aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan
kepadaku (mendirikan) shalat”" dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.
(QS Maryam [19]: 31)
Dalam ayat
yang mulia terdapat bantahan yang sangat jelas terhadap faham ahli khurafat
yang menggugurkan taklif apabila telah sampai pada tingkatan tertentu, karena
Nabi Isa ‘Alaihissalam menggantungkan kewajiban ibadah dengan selama hidupnya.51
Faham ini
juga bertentangan dengan firman Allah:
Dan sembahlah
Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS al-Hijr [15]: 99)
Makna
“al-yaqin” dalam ayat ini adalah kematian dengan kesepakatan para ulama.
Barangsiapa yang menafsirkan dengan tingkatan tertentu sebagaimana dalam
istilah kaum sufi maka dia telah melakukan kedustaan yang amat besar dan
mempermainkan ayat Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Penafsiran
ini salah dengan kesepakatan kaum Muslimin, ahli tafsir, dan lainnya, karena
semua kaum Muslimin bersepakat tentang wajibnya ibadah seperti shalat lima
waktu sekalipun seorang telah mencapai tingkatan yang tinggi.”52
Al-Qadhi
Iyadh berkata: “Kaum Muslimin bersepakat tentang kafirnya seorang yang
mendustakan atau mengingkari suatu syariat yang diketahui secara mutawatir dari
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan disepakati oleh para ulama, seperti
ucapan sebagian kaum sufi bahwa seorang yang lama beribadah dan jernih hatinya
akan bisa gugur dari kewajiban dan boleh melakukan keharaman.”53
Alangkah
bagusnya nasihat al-Imam al-Ajurri tatkala mengatakan: “Sesungguhnya aku
memperingatkan saudara-saudaraku kaum mukminin untuk berhati-hati dari
pemahaman hululiyyah (Allah menyatu dengan makhluk-Nya). Setan
telah mempermainkan penganut pemahaman ini sehingga dengan pemahaman yang jelek
ini mereka menyimpang keluar dari rel para ulama menuju kepada
pemahaman-pemahaman yang keji, yang tidak dianut kecuali oleh orang yang
terfitnah dan binasa … Perkataan mereka tidak sesuai dengan al-Qur’an,
as-Sunnah, perkataan para sahabat, maupun perkataan para imam kaum Muslimin.”54
5.
Pemikiran Liberal
Dr.
Quraish Shihab sangat nyata memiliki pemikiran sesat liberal55 yang
telah difatwakan kesesatannya oleh MUI dalam MUNAS 19–22 Jumadil Akhir
1426 H.56 Banyak
sekali bukti-bukti ucapannya yang menunjukkan hal itu, di antaranya:
a. Ahli
kitab bukan kaum kafir
Dr.
Quraish Shihab mengatakan:
Tentang
hukuman kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman haram bagi wanita
muslim yang kawin dengan pria kafir, merupakan hal-hal yang perlu disajikan kepada
anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan
penjelasan bahwa penganut ajaran Trinitas tidak disebut kafir oleh Al-Qur’an
melainkan disebut ahli Kitab.57
Jawaban:
Pemikiran
ini adalah pemikiran yang sesat dan menyimpang, karena Ahli Kitab alias Yahudi
dan Nashrani adalah kaum kafir dengan ketegasan al-Qur’an, hadits, dan ijma’
kaum Muslimin, berbeda dengan celotehan para pengusung liberalisme. Allah
berfirman:
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk.58
عَنْأَبِيهُرَيْرَةَa عَنْرَسُولِاللهِn أَنَّهُقَالَ:« وَالَّذِينَفْسُمُحَمَّدٍبِيَدِهِ،لَايَسْمَعُبِيأَحَدٌمِنْهٰذِهِالْأُمَّةِيَهُودِيٌّوَلَانَصْرَانِيٌّ،ثُمَّيَمُوتُوَلَمْيُؤْمِنْبِالَّذِيأُرْسِلْتُبِهِ،إِلَّاكَانَمِنْأَصْحَابِالنَّارِ ».
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam beliau
bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun
dari umat ini baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentangku kemudian dia
meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka.”59
Al-Imam
asy-Syathibi berkata: “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan
Nashrani mengetahui tentang agama Islam dan banyak mengetahui banyak hal
tentang seluk-beluknya, tetapi semua itu tidak bermanfaat bagi merekaselagi mereka tetap di atas kekufuran60 dengan
kesepakatan ahli Islam.”61
b.
Selamat Natal
Dr.
Quraish Shihab membuat sebuah judul “Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”, setelah
membawakan surat Maryam ayat 23–30, dia berkata:
Itu
cuplikan kisah Natal dari Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an mengabadikan
dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
Al-Masih.62
Lalu dia
juga mengatakan:
Tidak
kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan (ucapan Selamat Natal) itu,
bila ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tidak juga
salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif dan
bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut
merupakan tuntutan keharmonisan hubungan.63
Jawaban:
Ucapan ini
keliru dan menyimpang, karena hari Natal telah dijadikan sebagai umat Nashrani
sebagai hari besar mereka dan syiar agama mereka. Apa itu hari Natal?! Natal
adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih
‘Alaihissalam) yang dalam pandangan umat Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan
dan Tuhan anak, sedang mereka meyakini ajaran Trinitas.
Apa sih yang
sedang mereka rayakan? Apa yang sedang mereka gembirakan?? Tentunya semua kaum
Nashrani—dari Sabang sampai Merauke—sepakat bahwa mereka sedang merayakan hari
kelahiran tuhan dan sembahan mereka. Mereka tidak sedang merayakan kelahiran
Yesus sebagai seorang nabi, tetapi merayakan kelahiran Yesus sebagai “Tuhan”
atau “anak Tuhan”.
Setelah kita
tahu bahwa perayaan Natal adalah mengandung aqidah kufur yang menuhankan Isa
al-Masih, maka pantaskah seorang muslim mengucapkan selamat atas perayaan
tersebut. Jawabnya: Tentu tidak boleh. Coba kita renungkan dengan akal sehat…,
tatkala seorang muslim mengucapkan selamat kepada mereka, apakah yang difahami
oleh mereka? Apakah mereka memahami seorang muslim sedang menyatakan “selamat
atas kelahiran Yesus sebagai seorang nabi”? Tentunya sama sekali tidak(!!!),
karena jika mereka memahami demikian tentunya mereka akan mengamuk dan merasa
dihina oleh seorang muslim…
Karena
itu, mengucapkan selamat hari Natal menimbulkan kelaziman-kelaziman yang sangat
buruk … ((selamat hari Natal = selamat hari lahirnya “tuhan” kalian = selamat
menyembah salib = selamat kalau Allah punya anak = selamat bertrinitas =
selamat memusuhi agama tauhid (Islam) = selamat bahagia dengan bangkitnya kaum
salibis yang senantiasa mengharapkan hancurnya Islam)).
Ucapan
selamat Natal lebih parah daripada ucapan “selamat berzina…”, “selamat mabuk…”,
“selamat mencuri…”, “selamat membunuh…”, “selamat korupsi…”, karena dosa
terbesar adalah dosa kesyirikan…
Akan
tetapi, masih banyak kaum Muslimin yang tidak menyadarinya…!!!!
Hal ini,
ternyata telah jauh-jauh hari yang lampau diperingatkan oleh para ulama. Ibnul
Qayyim Rahimahullahuta’ala menegaskan: “Adapun ucapan selamat dengan
syiar-syiar kekufuran yang khusus, maka hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama, seperti
ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran maka minimal
adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud
mereka terhadap salib, bahkan hal itu lebih parah dosanya dan lebih dahsyat
kemurkaannya di sisi Allah dengan ucapan selamat atas minum khamr, membunuh,
berzina, dan sebagainya. Sungguh, banyak orang yang tidak memiliki agama dalam
hatinya terjatuh dalam hal tersebut dan tidak mengetahui kejinya perbuatannya
tersebut.”64
Tidak
diragukan bagi orang yang berakal/waras bahwasanya jika seseorang berkata
kepada orang lain “selamat berzina” sambil mengirimkan kartu ucapan selamat,
disertai senyuman tatkala mengucapkannya, maka tidak diragukan lagi bahwasanya
ini menunjukkan ia ridha dengan “zina” tersebut. Dan itulah yang difahami oleh
sang pelaku zina.65
Lantas
jika ada orang yang mengucapkan “selamat hari Natal”, bukankah ini menunjukkan
ia ridha dengan acara kesyirikan dan kekufuran tersebut?? Ucapan selamat
seperti ini tidak diragukan lagi secara zhahir menunjukkan keridhaan!!!
Dari
sinilah kenapa para ulama mengharamkan ucapan “selamat Natal” meskipun
pelakunya tidak bermaksud ridha dengan kekufuran dan kesyirikan, bahkan ini
merupakan kesepakatan ulama sebagaimana nukilan Ibnul Qayyim di atas dan ini
merupakan fatwa ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin.
c.
Kitab-Kitab Aqidah Ulama tidak relevan pada zaman sekarang
Dr.
Quraish Shihab mengatakan:
Secara
umum, para ahli keislaman mengakui bahwa materi-materi yang ditemukan di dalam
berbagai kitab akidah (teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi
masa kini. Materi-materi tersebut diambil dari generasi demi generasi.
Sedangkan penulisannya pertama kali dipengaruhi oleh situasi sosial politik
ketika itu.66
Jawaban:
Ini adalah
ucapan yang penuh dengan kesesatan dan penyimpangan, bertujuan untuk
memalingkan umat Islam dari kitab-kitab aqidah salaf yang berdasarkan al-Qur’an
dan as-Sunnah, serta ingin menggantinya dengan kitab-kitab aqidah yang berisi
filsafat dan ilmu kalam.
Sungguh
ini adalah celaan kepada kitab-kitab ulama terdahulu dan tidak menghargai jasa
dan jerih payah mereka. Maka waspadalah dari pemikiran-pemikiran sesat seperti
ini.67
Disusun
oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
1Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah al-Baghdadi hlm. 63 , al-Abathil
wal Manakir al-Jauzaqani 1/133, al-Maudhu’at Ibnul
Jauzi 1/43, Syarh ’Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab hlm. 88.
2Bayanu Fadhlu Ilmi Salaf ’ala Ilmi
Khalaf hlm.
38–40. Dan lihat penjelasan secara bagus tentang hakikat ulama, ciri-ciri
mereka, perbedaan antara ulama asli dan palsu, serta etika terhadap ulama dalam
kitab Qawa’id fi Ta’amul Ma’al Ulamakarya Abdurrahman ibn Mu’alla
al-Luwaihiq.
3Dia Di Mana-Mana hlm. ix, karya Dr. Muh. Quraish Shihab,
Penerbit Lentera Hati, Ciputat, Tangerang, Cet. Kelima, Mei 2007 M/Jumadil
Awwal 1428 H.
4Seperti al-Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Itsbat
Shifat al-Uluw, al-Imam adz-Dzahabi dalam al-Uluw lil Aliyyil Azhim,
al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’ Juyusy al-Islamiyyah,
asy-Syaikh Usamah al-Qashashas dalam Itsbat Uluwwillahi ’ala Khaliqihi
war Raddu ’ala al-Mukhalifin, asy-Syaikh Humud ibn Abdillah at-Tuwaijiri
dalam Itsbat Uluwwillahi wa Mubayanatihi li Khalqihi, asy-Syaikh
Dr. Musa ibn Sulaiman ad-Duwaisy dalam Uluwwullahi ’ala Khaliqihi.
Semua kitab ini secara khusus membahas ketinggian Allah di atas langit dan
bantahan terhadap faham Jahmiyyah yang mengatakan Allah di mana-mana.
5Kami telah membahas masalah penting ini secara
khusus dalam risalah kami Di Mana Allah? Pertanyaan Penting yang Terabaikan terbitan
Media Tarbiyah, Bogor. Bagi pembaca yang ingin penjelasan lebih luas, silakan
membaca buku tersebut.
6Majmu’ Fatawa 1/121, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/555.
7Sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam
adz-Dzahabi dalamShifat Rabbil ’Alamin 1/175/2 dan Kitabul
Arsy 2/21, Ibnu Qudamah dalam Itsbat Shifat Uluw hlm.
12, dan al-Albani dalamMukhtashar al-Uluw hlm. 50.
8HR Muslim dalam Shahih-nya: 537,
al-Bukhari dalam Juz al-Qira’ah: 70, asy-Syafi’i dalam ar-Risalah:
242, Malik dalam al-Muwaththa’ 2/77, Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya
5/447, dan lain-lain banyak sekali.
9Al-’Uluw lil ’Aliyyil Azhim hlm. 81 (Mukhtasar al-Albani)
10Di antaranya adalah Imam al-Ashfahani dalam al-Hujjah
fi Bayan al-Mahajjah (1/538), al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’
al-Juyusy al-Islamiyyah hlm. 29, al-Allamah as-Safarini berkata dalam Lawami’
al-Anwar (1/191), al-Muhaddits al-Albani dalam Mukhtashar
al-Uluw hlm. 90 dan ash-Shahihah(1/616/2), as-Suyuthi
dalam al-Azhar al-Mutanatsirah, as-Sakhawi dalam Fathul
Mughits sebagaimana dinukil dan disetujui oleh al-Kattani dalam Nazhmul
Mutanatsir hlm. 219–22.
11Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277
12HR al-Bukhari: 1145 dan Muslim: 758
13At-Tamhid 3/338
14HR Muslim: 1218
15Lihat Al-Masaail, oleh Ustadzuna
al-Fadhil Abdul Hakim bin Amir Abdat 1/124, terbitan Darul Qolam.
16Kami banyak mengambil manfaat nukilan-nukilan
ini dari kitab Ahaditsul Aqidah Allati Yuhimu Zhahiruha Ta’arudh hlm.
531–542 oleh Dr. Sulaiman ibn Muhammad ad-Dubaihi.
17Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Asma’ wa
Shifat: 408, adz-Dzahabi dalam al-’Uluw hlm. 102 dan
dishahihkan Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa 5/39
dan lbnul Qayyim dalam Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 131.
18Diriwayatkan ash-Shabuni dalam Aqidah
Salaf Ashhabul Hadits hlm. 28.
19Dar’u Ta’arudh Naql wal Aql Ibnu Taimiyyah 6/260
20Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah al-Lalikai 1/198
21Naqdhu Abi Sa’id ala Mirisi
al-Jahmi al-Anid 1/228
22Dar’u Ta’arudh 6/250, Ijtima’ Juyusy hlm.
142, al-’Uluw: 246.
23Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 176
24Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 182
25Al-’Uluw hlm. 143
26Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar
A’lam Nubala’ 18/475,al-’Uluw hlm. 276–277 oleh
adz-Dzahabi.
27Sebagian pembesar sahabat asy-Syafi’i berkata:
“Dalam al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah
tinggi di atas para hamba-Nya.” (Majmu’ FatawaIbnu Taimiyyah 5/121)
28Syarh Aqidah Thahawiyyah hlm. 386
29Lihat Naqdhu Ta’sis Ibnu
Taimiyyah 1/7.
30Demikian harakatnya yang benar, dengan
memfathah mim, mengkasrah ra’ dan menyukun ya’. (Wafayatul A’yan Ibnu
Khallikan 1/278).
31Idem hlm. 26.
32Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera
Hati, Ciputat, Tangerang, cetakan pertama Maret 2007 M/Rabi’ul Awal
1428 H. Buku ini telah dibantah secara tuntas dalam bukuMungkinkah
Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab
“Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” Penulisnya adalah Tim
Penulis Buku Pustaka Sidogiri. Diterbitkan oleh Pustaka Sidogiri, Pasuruan,
tahun 2012, dan di buku bantahan ini dijadikan referensi oleh MUI dalam buku
“Mengenal dan Mewaspadai Syiah Di Indonesia” hlm. 85–87.
33Buku ini ditulis oleh Tim Ahlul Bait
Indonesia. Diberi pengantar oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Buku ini
sarat dengan propaganda pemikiran-pemikiran Syi’ah dan melontarkan
kerancuan-kerancuan pemikiran yang sangat berbahaya bagi umat Islam. Lihat beberapa
kritikan terhadap buku ini dalam tulisan Ustadzuna Arif Fathul Ulum, Lc. dalam
Majalah Al Furqon Edisi 147/Tahun 13 dengan judul
“Noda-Noda Hitam Buku Putih Madzhab Syiah”.
34Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah? hlm.
160
35Idem hlm. 322–323
36Mahmud Abu Rayyah adalah seorang yang sangat
benci terhadap Sunnah dan para pembelanya dari kalangan para sahabat, terutama
Sahabat mulia Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang banyak meriwayatkan hadits. Di
antara buku hasil goresan tangannya yang keji adalah Adhwa’ Islamiyyah
’ala Sunnah Muhammadiyyah yang memuat pendapat para tokoh Mu’tazilah,
Syi’ah, dan orientalis sehingga buku ini sangat menyenangkan musuh-musuh Islam.
Oleh karena itu, para ulama bangkit membantah kitab sesat tersebut seperti
asy-Syaikh Abdurrazzaq Hamzah dalam bukunya Zhulumat Abu Rayyah dan
asy-Syaikh Abdurrahman ibn Yahya al-Mu’allimi dalam bukunya al-Anwar
al-Kasyifah…(lihat as-Sunnah wa Makanatuha asy-Syaikh
Musthafa as-Siba’i hlm. 467 dan Zawabi’ fi Wajhi Sunnah Maqbul
Ahmad hlm. 81–85). Telah banyak para ulama yang membantahnya dan membongkar
kegelapan kitabnya tersebut, seperti asy-Syaikh Muhammad Abdurrazzaq Afifi
dalam kitabnya Zhulumat Abi Rayyah dan al-Allamah asy-Syaikh
Abdurrahman ibn Yahya al-Mu’allimi dalam al-Anwar al-Kasyifah yang
mengatakan dalam muqaddimahnya: “Tatkala saya mencermati isi buku ini, ternyata
telah tersusun rapi untuk menghujat dan mencela hadits Nabi.”
37Al-Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam Jawami’
Sirah: 275 bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meriwayatkan sebanyak 5.374
hadits. Demikian juga Ibnul Jauzi dalam Talqih Fuhum Ahli Atsar:
183 dan adz-Dzahabi dalam Siyar 2/632. Dr. Muhammad Dhiya’
Rahman al-A’zhami telah mengumpulkan riwayat-riwayat Abu Hurairah dalam Musnad
Imam Ahmad danKutub Sittah, beliau dapat mencapai 13.336 hadits
saja. LihatAbu Hurairah fi Dhau’i Marwiyyatihi hlm. 76. (Dinukil
dari Syarh Bulughul Maram al-Audah 1/275)
38Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah hlm. 48 oleh al-Khathib al-Baghdadi
39Al-Mustadrak ’ala ash-Shahihahin 3/513
40Lihat Masalah Taqrib Baina Ahli Sunnah
wa Syi’ah 1/375–390 oleh Dr. Nashir al-Qifari dan Baina Syi’ah
wa Ahli Sunnah hlm. 16–17 karya asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir.
41Al-Anwar Nu’maniyyah 2/278–279 karya Ni’matullah al-Jazairi
42Majalah al-Manar 31/290,
dinukil dari Khud’atu Taqrib Baina Sunnah wa Syi’ah Asyraf ibn
Abdul Maqshud hlm. 39–40.
43Dia Di Mana-Mana hlm. 58 karya Dr. Muh. Quraish Shihab,
Penerbit Lentera Hati, Ciputat, Tangerang, Cet. Kelima, Mei 2007 M/Jumadil
Awwal 1428 H.
44Majmu’ Fatawa 2/132
45Dia adalah seorang dedengkot Sufi, pengibar
bendera wahdatul wujud (wafat 638 H). Dia mempunyai berbagai pemikiran
kufur. Oleh karena itu, para ulama menganggapnya sesat bahkan tak sedikit yang
mengkafirkannya. Asy-Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i (885 H) menulis sebuah
kitab berjudulTanbih al-Ghabiyyi ’ala Takfir Ibni Arabi sebanyak
241 halaman. Dalam kitab tersebut, beliau menukil ±50 ulama yang mengkafirkan
atau minimal menganggapnya sesat; di antaranya: al-Izz ibn Abdussalam, Ibnu
Daqiq al-’Id, Ibnu Shalah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Bulqini, al-Iraqi, Abu
Zur’ah al-Iraqi, al-’Aini, adz-Dzahabi, Badruddin ibn Jama’ah, al-Jazari, Ibnu
Hisyam, as-Subki, Abu Hayyan, dan lainnya. (Lihat pula Juz Aqidah Ibni
Arabi wa Hayatihi oleh Taqiyuddin al-Faasi, Mashra’ Tashawwuf hlm.
138–168 oleh Burhanuddin al-Biqa’i dan ar-Radd ’ala ar-Rifa’i wa
al-Buthi hlm. 111–113 oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.)
46Lihat Misteri Syekh Siti Jenar karya
Prof. Dr. Hasanu Simon hlm. 386, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan
Pejuang karya Abu Hamid hlm. 180, Ensiklopedi Islam Indonesia hlm.
676–678. (Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwahhlm.
91–92, al-Ustadz Abdullah Zaen)
47Al-Qadhi Iyadh menukil ijma’ (kesepakatan
ulama) tentang kafirnya orang yang mengaku bersatu dengan Allah seperti ucapan
kaum Sufi, Bathiniyyah, Nashrani, dan Qaramithah. (Lihat asy-Syifa’ 2/1067.)
48Lihat secara luas masalah ini dalam kitab yang
bagus yang khusus mengupas aqidah sesat ini yaitu kitab Aqidah
Shufiyyah, Wihdatul Wujud al-Khafiyyah oleh Dr. Ahmad ibn Abdul Aziz
al-Qushayyir, terbitan Maktabah ar-Rusyd.
49Lihat bantahan secara detail terhadap faham
ini dalam kitabar-Raddul Munif ’ala Da’wa Raf’i Taklif karya Dr.
Muhammad ibn Ahmad al-Juwair.
50Alangkah bagusnya apa yang diceritakan bahwa
Abu Rudhabari pernah ditanya tentang seorang yang mendengar nyanyian dengan
alasan “Nyanyian halal bagiku, karena saya telah sampai kepada derajat yang
tidak mungkin ada perubahan”? Beliau menjawab dengan enteng: “Benar, dia telah
sampai, tetapi ke Neraka Saqar!!” (al-Hilyah 10/356 danSiyar 14/536)
51Min Kulli Suratin Fa’idah hlm. 146, Abdul Malik ibn Ahmad
Ramadhani.
52Dar’u Ta’arudhil Aqli wa Naqli 3/270. Lihat pula Madarijus
Salikin 3/316 oleh Ibnul Qayyim dan Adhwa’ul Bayan 2/325
oleh asy-Syinqithi.
53Asy-Syifa’ 2/1074
54Asy-Syari’ah: 287–288
55Ada sebuah buku yang cukup bagus berjudul 50
Tokoh Islam Liberal Indonesia karya Budi Handrianto, Hujjah Press,
cet. 3, November 2007. Namun, sayangnya sang penulis belum mencantumkan Dr.
Quraish Shihab sebagai tokoh liberal. Semoga ini menjadi bahan pertimbangan
untuk memasukkannya dalam cetakan berikutnya, karena saya yakin bahwa bukunya
tersebut bukan sebagai pembatasan, apalagi nama Dr. Quraish Shihab jauh lebih
populer dari sebagian nama tokoh yang ada dalam daftar buku tersebut. Wallahu
A’lam.
56Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia hlm. 92–97, Edisi Ketiga, 2010.
57Membumikan Al-Qur’an, hlm. 290, penerbit Mizan Bandung, edisi baru
cetakan pertama Juli 2007/Rajab 1428 H. Dan penerbit Mizan, Bandung,
sangat populer sebagai penerbit buku-buku Syi’ah. Maka waspadalah. Lihat juga
buku panduan MUI Pusat Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di
Indonesia hlm. 110, tentang daftar lembaga penerbit Syi’ah, disebutkan
di antaranya adalah Mizan. Anehnya, saya pernah mendapati beberapa mahasiswa-mahasiswi
yang mempelajari buku ini karena dijadikan sebagai kurikulum mata kuliah di
Universitas Islam!!!
58QS al-Bayyinah [98]: 6
59HR Muslim: 153
60Asy-Syaikh Masyhur ibn Hasan berkomentar:
“Seperti para orientalis dan para peneliti ilmu syari’at dari orang-orang
kafir. Dan hal ini sangat masyhur pada zaman sekarang.”
61Al-Muwafaqat 1/85, tahqiq asy-Syaikh Masyhur Hasan.
62Membumikan Al-Qur’an hlm. 579–580
63Idem hlm. 583
64Ahkam Ahli Dzimmah hlm. 202–203
65http://www.firanda.com/index.php/artikel/status-facebook/363-dibalik-ucapan-selamat-hari-natal
66Membumikan Al-Qur’an hlm. 289
67Lihat al-Ajwibah al-Mufidah ’an
As’ilah Manahij Jadidah hlm. 55–56 oleh Dr. Shalih ibn Fauzan
al-Fauzan.