“Umat Islam Indonesia adalah orang Indonesia
yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”
ujar mentri agama, Lukman Hakim, seperti dikutip harian Nasional, Rabu (3/8).
[1]
Ungkapan tersebut memang mengandung makna yang
berbeda. “Orang Indonesia yang beragama Islam” bermakna identitas yang dominan
adalah nasionalisme dan agama hanyalah asesoris tambahan.
Sedangkan ungkapan “orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”
menggambarkan identitas aqidah yang dominan, sementara penyebutan nama negara
atau wilayah Indonesia hanya keterangan tambahan yang menggambarkan salah satu
kawasan di muka bumi yang dihuni oleh sekelompok orang tanpa makna mendalam
apapun serta tidak mengandung konsekuensi signifikan jika keterangan wilayah
itu dirubah menjadi Yaman, Inggris, Afrika dan lain sebagainya [2].
Pada awalnya saya bingung dengan pernyataan itu. Tapi
setelah memperhatikan sepak-terjang dan latar belakang mentri agama yang satu
ini, saya sedikit memahami apa yang dimauinya. Contohnya adalah pernyataan dia
yang lain:
“Seharusnya, dalam masyarakat
majemuk seperti Indonesia, demokrasi berarti harus mengakui kepemimpinan dari
kalangan mana pun,” kata Lukman [3]. Menurut Lukman, penolakan
terhadap pemimpin yang berasal dari kelompok etnis atau agama berbeda
menunjukkan rendahnya tingkat komitmen masyarakat terhadap kemajemukan yang ada
di Indonesia.
Dalam kesempatan lain di seminar ‘Fikih dan Tantangan
Kepemimpinan Dalam Masyarakat Majemuk’ di Hotel Alia, Cikini, Jakarta Pusat
(24/2), Lukman Hakim Saifudin mengatakan, “Dalam masyarakat majemuk
seperti Indonesia, demokrasi berarti juga harus mengakui kepemimpinan dari
kalangan mana pun, karena hal itu konstitusional dan diatur dalam konstitusi.”
Komentar Lukman diatas salah satunya menyoroti sikap
penolakan umat Islam Jakarta atas pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI beberapa
waktu lalu. Padahal sikap penolakan umat Islam yang dimotori Front Pembela
Islam (FPI) dan para ulama Jakarta ini dilandasi perintah Allah Swt, karena
umat Islam memang dilarang mengambil pemimpin dari kalangan kaum kafirin.
Kalau kita cermati kata-katanya, maka bisa diambil
kesimpulan umat Islam di Indonesia harus menomorduakan ajaran agama. Kalau
dalam ajaran agama dilarang mengambil pemimpin dari kalangan non-Muslim, maka
hukuman ini tidak berlaku kalau hidup di negara demokrasi yang majemuk. Kalau
ada yang masih ngotot menolak pemimpin non-Muslim maka bisa dituduh sebagai
provokator kekerasan. Oleh karena itu, orang semacam ini perlu di
re-radikalisasi.
Mungkin ini yang dimaksud dengan Islam versi
Indonesia. Harus menyesuaikan dengan muatan lokal, walaupun berseberangan
dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Jadi bukan meng-Islamkan Jawa, sebaliknya
men-Jawakan Islam. Tidak heran budaya-budaya Hindu dan Animisme sebelum Islam,
dipertahankan dengan cara mengasimilasikan dengan simbol Islam, sehingga
menjadi sebuah produk baru seperti Tahlilan, Nujuh Nulanan, Matang Puluh, Haul,
Yasinan, Rotiban, Manakiban, Muludan dan sebagainya.
Jika ada yang mencoba membersihkan budaya-budaya
asimilasi tersebut, bersiap-siaplah menerima tuduhan seperti ini:
“Jangan merasa benar sendiri.”
“Jangan membida’ahkan orang lain.”
“Kamu itu Islam tidak toleran, Islam import, sedangkan kami Islam toleran yang
Rahmatan Lil’alamin.”
“Wahabi loh…fundamentalis loh…”
“Cara dakwah kamu tidak berakhlaq.”
Dan sederet hujatan lainnya. Mereka tidak peduli kalau
kita berikan setumpuk dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Paling-paling
mereka katakan;
“Beragam itu bukan dengan dalil. Makin banyak dalil
makin sesat.”
“Jangan belajar dari Google. Sesat jadinya…”
“Belajar itu sama kiyai bersanad.”
“Kamu bukan lulusan agama, berani-beraninya memperingatkan kami yang lulusan
pesantren.”
“Ini email dan telpon guru saya. Kamu diskusi saja dah sama guru aku. Kalau aku
tinggal ikut apa yang guru aku bilang. Aku dengar dan aku laksankan.”
Herannya, ketika orang-orang yang mengklaim
mengamalkan ajaran Islam Indonesia atau Islam tradisi berkesempatan tinggal di
luar negeri, mereka masih membawa tradisi lokal. Padahal kalau mereka
konsisten, harusnya mereka mengamalkan Islam versi negara yang sekarang ini.
Misalnya kalau tinggal di Australia, maka tidak perlulah mengamalkan Yasinan,
karena budaya lokal Australia tidak ada yang nyangkut-nyangkut ke Yasinan.
Jadi “Islam Indonesia” yang sedang dipopulerkan oleh
mentri agama sekaring tidak lain dan tidak bukan merupakan ideologi NU yang
kembali di populerkan kembali oleh Abdurrahman Wahid. Menurut Abdurrahman
Wahid, “Islam Indonesia” adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam
bernalar nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah
kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Indonesia” bukan kloning Islam
Timur Tengah dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. “Islam Indonesia” adalah
semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan [3].
Maksudnya, kalau ajaran Islam tidak sesuai dengan
budaya lokal, maka patut ditolak atau dimodifikasi terlebih dahulu. Jika tidak
mau, maka silakan tinggalkan Indonesia, karena mereka dianggap bukan penduduk
asli Indonesia. Padahal orang yang dituduh mengimpor ajaran Islam dari
luarpun, lahir di Indonesia. Betapa arogannya mereka.
Mencermati pernyataan Abdurrahman Wahid itu, saya
jadi bingung lagi. Adakah Islam Timur Tengah, Islam Eropa, dst. Ada berapa
jenis Islam sebenarnya?
Bercermin dari propaganda mentri agama di awal tulisan
tadi, maka sangatlah naif ada orang yang mengatakan bahwa kekuasaan tidak
penting ketika menjalankan dakwah. NU saja sampai mati-matian
mempertahankan jabatan mentri agama demi mempertahankan “Islam Indonesia” atau
“Islam versi NU” lebih tepatnya lagi. Tanpa kekuasaan semua tradisi NU itu
lama-kelamaan bisa mati. Mereka belajar dari apa yang terjadi di Arab Saudi
ketika Abdullah bin Wahab bekerja sama dengan penguasa setempat untuk
membersihkan khurafat-khurafat dan kesyirikan yang merajalela di tengah
masyarakat.
[2]http://www.kiblat.net/2014/09/03/menag-kita-adalah-orang-indonesia-yang-islam-bukan-orang-islam-di-indonesia/