Oleh : Rizki Ridyasmara
Penulisan sejarah tentang
Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum
terjawab. Salah satunya tentang peranan kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo)
khusus pembunuh dari kelompok Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari
kelompok Syiah di bawah Dinasti Fathimiyah.
Konon, Hashyashyin ini
merupakan “guru” dari Knights Templar yang dibentuk oleh Ordo Sion di tahun
1118 Masehi. Keduanya—Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak kemiripan.
Mulai dari struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid’ah) dan
bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin
pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta keterampilan dalam
hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan warna
mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan
modern menganggap Sekte Syiah Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins—sebagai
kelompok Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama
Hamdan al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan
kebatinan, mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From
the Earliest Times to the Present, 2002).
Templar sendiri sesungguhnya
pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.
Sebab itu, banyak sejarawan
Barat yang menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini
sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu
yang memunculkan dugaan ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guu Besar Studi
Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri
dikenal sebagai wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas
penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu Paus
Clement V di tahun 1307 M.
Profesor Hillenbrand dalam
bukunya “The Crusade, Islamic Perspective” (1999) menulis bahwa setahun sebelum
pasukan salib gelombang pertama yang dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di
pintu Yerusalem di tahun 1099 dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan
dari Dinasti Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi
tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah
kekuasaan Bani Fathimiyah.
Atas kejadian ini, Hillebrand
mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari para sejarawan Muslim.
“Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah
Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang amat tepat, memerlukan penjelasan yang
belum diberikan para sarjana Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini?
Apakah karena ia telah tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila
demikian, apakah ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang
sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang
dikemukakan peraih The King Faisal International Prize for Islamic Studies ini
adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon,
karena sesungguhnya Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara
ideologi dengan Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu
al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem.
Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama berselang setelah
Konsili Clermont usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand,
al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi
kekuasaan, karena al-Afdhal mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut
Hillenbrand bisa dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak
demikian. “Tentara Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri,”
tulisnya. Lantas di mana peranan Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang Perang Salib pertama,
dunia Barat dan Timur masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang hebat.
Dunia Barat setidaknya menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat
di Byzantium dan Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte
Gereja Yohanit yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan
menyusun kekuatannya.
Di sisi lain Dunia Islam juga
terbagi menjadi dua kekuatan besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan
Abbasiyah yang Sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang Syiah yang berpusat di
Mesir.
Carole Hillenbrand menulis,
“Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak 1092 M, terjadi rentetan
pembersihan semua pemimpin politik terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke
timur. Tahun 1092, seorang menteri terkemuka Dinasti Seljuk Sunni bernama Nizam
al-Mulk terbunuh (belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”
Tiga bulan kemudian, Sultan
Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah berkuasa dengan gemilang selama
duapuluh tahun juga meninggal dengan sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan
ia juga telah diracun Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya
pun meninggal dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun
1092 M sebagai “Tahun Kematian”.
Apalagi dengan peristiwa
meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir, al-Muntanshir, musuh besar
Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah
Abbasiyah Al-Muqtadhi juga meninggal.
Rentetan perubahan yang
berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand disamakan dengan terjadinya Perestroika
di Uni Soviet yang mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan
negara kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia
Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia yang
penuh kekacauan dan anarki.
Hillenbrand mengajukan
pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat
itu pasukan Salib telah diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang
sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?”
Jika di balik, pertanyaan
Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik, seperti: “Adakah kekacauan di Dunia
Islam ini telah diatur? Assassins bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan
Islam dengan melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang
kuat, dan di lain sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon
sebagai dua tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi
Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa
hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota suci
itu telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan
persekongkolan antara Assassins dengan Ordo Yohanit di mana keduanya memang
diketahui cenderung kepada ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan
sebagainya yang menjurus pada ajaran Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua
kejadian besar itu merupakan hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah
dengan pembagian kerja: Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit
(Ordo Sion dan kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan rahasia umum lagi bila
Assassins dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar
sering mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu
korban dari Assassins adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi
sendiri pernah menerima terror dari Assassins.
Suatu pagi, Salahuddin
terbangun dari tidur di dalam tendanya dan menemukan sepotong kue yang telah
diracun di atas dadanya dengan tulisan, “Anda berada dalam kekuasaan kami.”
Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan Assassins. Dan
hal ini terbukti kemudian, setelah membebaskan Yerusalem, Salahudin terus
melakukan pembebasan hingga ke Benteng Alamut, markas besar Assassins di
Persia, sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan pembersihan terhadap sekte
Syiah.
═════💠💠═════
Sebutan Hashyashyin atau dalam
lidah orang Barat “Assassins” berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama
dari Venesia ini pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng
besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di
dalamnya, di wilayah Persia.
Dalam catatannya tentang
Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang
diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:
“…Beberapa pemuda yang berumur
duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi,
dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa
masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka
disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur
pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu
mendapati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi
para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis
itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka
sungguh-sungguh dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka
mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan
tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka
akan dengan senang hati akan melaksanakannya.
“Surga” yang sangat indah telah
menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali,
bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun
akan pergi juga ke surga,” ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy
inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the Mountain
Freya Stark, seorang wartawati
Inggris berdarah campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi
Bagdad Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya.
Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun
1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan
perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat
kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark membuat peta baru yang
terperinci atas wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku
yang sangat menarik berjudul “The Valley of the Assassins”.
Dalam bukunya, Stark menulis
tentang latar belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman
kepada literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.
“Assassins itu sebuah sekte
Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib,
menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali,” demikian
Stark (hal. 159).
Aliran Ismailiyah memisahkan
diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq.
Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran
lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.
Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune
(pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial. Bahkan
di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang
kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam
Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di
zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh
Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978)
menyatakan, “Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya
raya namun gila perang. Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan
menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam
dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan,
melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap
agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan
pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61)
Paparan Stark di atas merupakan
alat utama pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis.
Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur, ketiga agama samawi
yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Ke dalam agama Yahudi yang
sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum
Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan
berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai
‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi
di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar
berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini
pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum
Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum
Kabbalah memasukkan seorang Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus
ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh
berbeda, membuat Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan
Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya
Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan
mana yang asli dan mana yang tidak.
Lalu ke dalam agama Islam, kaum
Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang
Islam bernama Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat
Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada
saat Rasulullah SAW masih hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan,
ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir
atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu
pusat berkembangnya ajaran Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di
Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh
“Dua Kaki” yakni Militer dan Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini
sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun
Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa as.
dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan
kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama
Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins
ini menyusup ke semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang
dai Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah
muncul sebagai tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan
sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari
kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan
al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan
ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme
dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia menciptakan suatu
penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu.
Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi
satu alat politik berasaskan sumpah,” tulis Sou’yb. Dan tentu saja,
proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang
memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun
menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The Secret Garden atau Taman
Rahasia yang terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat
inisiasi para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang
dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para
Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta
seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.
═════💠💠═════
Hassan al-Sabbah merupakan
pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia.
Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa
Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif
al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai
kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan
ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam
usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan
menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih
menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas
permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan
diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan
sekte-sekte lainnya.
Assassins sebenarnya bukan
hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan
doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai
bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan
puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia,
gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan
merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut
Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi
sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut,
Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.
Benteng Alamut merupakan
benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu
jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng
yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat
ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di
mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng
Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok
Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah
maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa
The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi
pembicaraan kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain Tentara Salib dengan
Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus
menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana
Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya
saat dia tengah tertidur.
Sebab itu, setelah membebaskan
Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak
berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan
daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan
pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar
ke berbagai wilayah, utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun
kemudian, kelompok ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah
mengalami perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah
ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia
Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok
pro-komunis di Lebanon dan Suriah. Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan
hingga kini di sekitar wilayah tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai hari ini, sejarawan
masih bersilang pendapat soal hubungan antara Sekte Assassins dengan Ksatria
Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle Hillebrand dalam karyanya yang
mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah
permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini
sebenarnya terdapat kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki kemiripan di
dalam memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun Assassins
dituduh telah melakukan heresy atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab
sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak
tertulis di dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua
sebagai kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun
mirip. Wallahu’alam bishawab.