Sepak Terjang Barat saat Memimpin Dunia
Pihak Barat, dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat, berulang kali
menjalankan kebijakan-kebijakan yang justru berakhir kontra
produktif. Noam Chomsky, profesor di Universitas Teknologi Massachusets
membeberkan kebijakan yang telah dicanangkan Barat tersebut, disertai
implikasi atas dampak yang terjadi karenanya.
Konsekuensi Strategi Godam Dalam GWOT
Pendek kata bahwa efek strategi
godam (sledgehammer) dalam Perang Global Melawan Teror (GWOT) oleh koalisi
dunia pimpinan AS telah membuat gerakan-gerakan jihadis semakin menyebar luas
dari hanya sejengkal wilayah di Afghanistan ke banyak wilayah dan negara di
seluruh dunia, dari Afrika sampai tanah Syam di Timur Tengah dan dari Asia
Selatan hingga ke Asia Tenggara. Para jihadis juga mendorong dilancarkannya
serangan-serangan tunggal maupun terkoordinasi di daratan Eropa dan Amerika
Serikat.
Invasi militer AS ke Irak secara
signifikan berkontribusi bagi proses eskalatif ini, persis seperti yang
telah banyak diprediksikan oleh lembaga-lembaga intelijen. Ahli spesialis di
bidang terorisme, Peter Bergen dan Paul Cruickshank, sebelumnya pernah
memperkirakan bahwa Perang Iraq “akan meningkatkan intensitas rata-rata
serangan teroris sebanyak tujuh kali lipat per tahun, merujuk pada angka
statistik di mana terdapat ratusan insiden serangan teroris dan ribuan korban
serangan yang kehilangan nyawa. Bahkan, ketika data terorisme di Iraq dan
Afghanistan dikecualikan, serangan-serangan mematikan di belahan dunia yang
lain meningkat lebih dari sepertiganya.” Demikian pula sejumlah cara pendekatan
atau strategi lain juga sama-sama produktif.
Dampak Destruktif Intervensi Politik & Militer Barat
Sekelompok peneliti gabungan dari
beberapa organisasi besar hak asasi manusia, seperti Physicians for Social
Responsibility (AS), Physicians for Global Survival (Kanada), dan International
Physicians for the Prevention of Nuclear War (Jerman) telah melakukan riset
untuk mendapatkan angka prakiraan yang serealistis mungkin tentang jumlah
korban tewas di tiga zona utama di Iraq, Afghanistan, dan Pakistan selama 12
tahun ‘perang melawan teror’. Riset itu juga termasuk sebuah ulasan ekstensif
mengenahi berbagai penelitian lain dan data terpublikasi jumlah korban di
negara-negara tersebut, dan informasi tambahan mengenahi berbagai aksi-operasi
militer. Perkiraan konservatif mereka menunjukkan bahwa perang di
Iraq-Afghanistan-Pakistan telah menewaskan 1,3 juta orang, catatan jumlah
korban tewas yang kemungkinan bisa membengkak hingga 2 juta orang. Sebuah
pencarian database oleh peneliti independen David Peterson beberapa hari
setelah dipublikasikannya laporan ini menemukan bahwa jumlah korban secara
virtual tidak disebutkan. Lalu, siapa yang peduli?
Lebih umum lagi, sejumlah
penelitian yang dilakukan oleh Institut Riset Perdamaian Oslo menunjukkan bahwa
dua pertiga jumlah korban tewas akibat konflik di kawasan itu – dunia Islam –
disebabkan oleh intervensi kekuatan asing yang memaksakan kehendak bagi cara
penyelesaian konflik yang awalnya merupakan masalah domestik negara tertentu.
Dalam konflik-konflik semacam ini, 98% korban jiwa hanya terjadi setelah
kekuatan-kekuatan asing terlibat dalam konflik internal suatu negara dengan
menggunakan kekuatan militer. Di Suriah, jumlah korban tewas secara langsung
melonjak lebih dari tiga kali lipat setelah Barat mulai melancarkan kampanye
serangan udara terhadap apa yang mereka klaim sebagai kelompok ISIS, dan
setelah CIA mulai melancarkan intervensi militer tidak langsung ke dalam perang
yang sama. Intervensi ini pula yang kemudian mendorong Rusia melibatkan diri
ikut campur tangan setelah senjata canggih rudal TOW anti-tank buatan Amerika
terlihat digunakan oleh para pejuang oposisi menekan pasukan rezim Basyar Assad
sekutu Rusia. Indikasi-indikasi awal menunjukkan bahwa bombardemen Rusia
menyebabkan dampak destruktif seperti yang diperkirakan.
Invasi AS Picu Kekerasan & Perlawanan di Seluruh Dunia
Bukti-bukti yang diulas oleh
ilmuan politik seperti Timo Kivimäki mengindikasikan bahwa perang-perang yang
dilakukan oleh koalisi pimpinan AS telah menjadi sebab utama timbulnya
kekerasan di seluruh dunia, terkadang menyumbang lebih dari 50% jumlah korban
tewas akibat konflik yang ditimbulkan. Lebih jauh lagi, dalam banyak kasus
termasuk Suriah sebagaimana yang ia paparkan sebetulnya ada peluang bagi
penyelesaian secara diplomatik, namun diabaikan. Dalam kejadian-kejadian
kekerasan lain yang juga mengerikan, termasuk Perang Bosnia di Balkan pada awal
1990an, Perang Teluk I, Perang Indocina (Vietnam-Kamboja-Laos), telah terjadi
kejahatan terburuk sejak Perang Dunia II. Dalam kasus Iraq, berbagai kejahatan
perang termasuk embargo luas dan penyiksaan tahanan di Abu Ghraib juga tidak
ada yang mempertanyakan. Tentu saja ada banyak pelajaran yang akan tetap
ditulis oleh sejarah di sini.
Dampak atau konskuensi umum diterapkannya
strategi godam oleh kekuatan-kekuatan Barat – terutama Amerika Serikat –
terhadap masyarakat yang rentan menimbulkan reaksi yang tidak diduga oleh
kekuatan-kekuatan tersebut. William Polk secara hati-hati mempelajari tentang
realitas insurjensi yang ia tulis dalam bukunya “Politik Kekerasan (Violent
Politics)”. Buku ini layak dan sangat penting dibaca bagi mereka yang ingin
memahami konflik-konflik hari ini, terutama bagi para perencana kebijakan, yang
masih peduli dengan aspek & konskuensi kemanusiaan, dan yang bukan hanya
mengejar dominasi & kekuasaan semata. Polk mengungkap sebuah pola yang
terus berulang dan berulang. Mulanya, para agresor (penjajah asing) yang
biasanya berpura-pura dengan menampilkan motif paling santun secara alamiah
tidak disukai oleh masyarakat lokal yang tidak mentaati atau menentang mereka.
Pada awalnya dengan cara yang sederhana, lalu timbul respon balik yang keras
yang kemudian semakin memupuk oposisi atau semangat penentangan, dan akhirnya
mendukung perlawanan. Siklus kekerasan terus meluas hingga para agresor itu
pergi, atau berakhir melalui suatu tindakan yang hampir mirip dengan genosida.
Drone & Asasinasi Pemimpin Jihadis
Konskuensi dari kampanye global
pesawat tanpa awak “drone” oleh Obama untuk misi pembunuhan yang dianggap
sebagai inovasi canggih melawan terorisme juga menunjukkan pola yang sama.
Dalam banyak catatan di seluruh dunia, serangan drone tersebut justru semakin
memperbanyak jumlah teroris jauh lebih cepat daripada jumlah target yang
berhasil mereka habisi.
Karakteristik lain yang
ditampilkan oleh intervensi semacam ini adalah keyakinan bahwa insurjensi akan
bisa diatasi dengan cara membunuh pemimpinnya. Namun ketika asasinasi itu
berhasil, biasanya akan muncul pemimpin baru yang lebih muda, lebih determinan,
lebih brutal, dan lebih efektif. Polk memberi banyak contoh. Andrew Cockburn
seorang ahli sejarah kemiliteran mengulas kampanye Amerika untuk membunuh para
gembong narkoba dan para pemimpin jihadis selama periode waktu yang lama dalam
buku hasil penelitiannya “Kill Chain” dan menemukan hasil pola yang sama.
Namun ada catatan, sebagian
kalangan para peneliti, legislator, termasuk regulator di pemerintahan secara
tendensius dan tidak objektif kerap menyandingkan isu terorisme dengan
kejahatan lain seperti narkoba dan korupsi yang dianggap sebagai kejahatan
serius untuk memberikan efek opini bahwa para jihadis adalah pelaku kejahatan.
Melawan
Jihadis, Perang yang Membingungkan
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan strategis AS saat ini adalah untuk
menghabisi sang Kholifah yang dideklarasikan secara sepihak oleh ISIS, Abu
Bakar al-Baghdadi. Dampak yang akan ditimbulkan seandainya upaya Amerika itu
berhasil telah diprediksikan oleh Bruce Hoffman, seorang pakar terorisme
terkemuka sekaligus merupakan tokoh senior di Pusat Kontra Terorisme di Akademi
Militer AS. Menurut Hoffman, kematian al-Baghdadi justru akan membuka
jalan/peluang bagi upaya pendekatan ISIS kepada al-Qaidah sehingga bisa
dibayangkan, akan menciptakan sebuah entitas kekuatan gabungan teroris dengan
jangkauan, kemampuan, ambisi, dan sumber daya yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Polk mengutip sebuah risalah
perang yang ditulis oleh Henry Jomini, yang dilatarbelakangi oleh kekalahan
Napoleon di tangan para gerilyawan Spanyol yang menjadikan tulisan tersebut
sebagai buku rujukan para kadet selama beberapa generasi di akademi militer
West Point. Jomini mengamati bahwa intervensi-intervensi yang dilakukan
berbagai kekuatan besar biasanya akan berlanjut dengan “perang opini”, kemudian
berakhir dengan “perang nasional” atau semacam “perang semesta”. Jika perang
semesta ini tidak terjadi di awal, maka akan terjadi melalui jalan perjuangan
bersenjata oleh berbagai dinamika yang berkembang sebagaimana digambarkan oleh
Polk. Lebih jauh Jomini menyimpulkan bahwa para komandan pasukan reguler
kekuatan agresor asing akan kebingungan menghadapi perang semacam ini karena
mereka tahu akan kalah, dan kemenangan yang nyata pasukan agresor di fase awal
tidak akan berlangsung lama.
Terjebak Permainan Al-Qaidah
Berbagai studi yang secara
hati-hati meneliti al-Qaidah dan ISIS menunjukkan bahwa AS dan sekutu-sekutunya
telah terjebak dan mengikuti rencana/alur permainan mereka (al-Qaidah &
ISIS) dengan seksama. Tujuan mereka (jihadis) adalah menarik Barat sedalam
mungkin dan seaktif mungkin ke dalam “rawa-rawa” peperangan, dan gerakan
jihadis secara terus menerus akan melawan dan melemahkan AS dan dunia Barat
melalui berbagai petualangan perang yang berlarut-larut di banyak wilayah di
luar daratan Amerika. Sehingga upaya tersebut diharapkan akan mengacaukan
tatanan masyarakat Barat sendiri, menghabiskan seluruh sumber daya, dan
meningkatkan level kekerasan, yang pada akhirnya mendorong suatu dinamika
seperti yang diutarakan Polk.
Scott Atran, salah satu peneliti
yang paling detil dalam mengamati dinamika gerakan jihadis, mengkalkulasi bahwa
biaya eksekusi serangan 11/9 antara US$ 400.000 s/d 500.000 (IDR 5,2 hingga 6,5
Milyar), sementara reaksi militer dan keamanan oleh AS dan sekutu-sekutunya
menghabiskan biaya 10 juta kali lipat dari nilai/biaya serangan itu sendiri.
Dari aspek manfaat sistem pembiayaan yang ketat, gerakan jihadis bisa dianggap
sangat sukses, bahkan melampaui apa yang pernah dibayangkan oleh Bin Ladin
sendiri, dan yang hingga kini biaya perang itu terus meningkat. Di sinilah
letak “jurus jujitsu” yang diterapkan secara penuh dalam sebuah perang
asimetris. Bagaimanapun juga masih ada pertanyaan tak terjawab, benarkah
Amerika sudah menang dalam perang tersebut, dan apakah seluruh bahaya telah
menurun?
Jika Barat terus menggunakan cara
pendekatan yang keras atau strategi palu, maka diam-diam mereka telah mengikuti
skenario para jihadis, dan kemungkinan efeknya adalah gerakan jihadis akan
semakin menarik minat & dukungan banyak orang. Gelombang pejuang “teroris”
asing akan semakin besar oleh aliran para jihadis muda yang ingin terlibat
langsung di pusat-pusat konflik, sementara unsur silent-majority pendukung akan
tetap di negara masing-masing. Oleh karena itu, Atran dalam catatannya
memberi rekomendasi, harus ada langkah yang bisa menginspirasi sebuah perubahan
radikal di dalam berbagai strategi kontra terorisme & insurjensi.
Al-Qaidah & ISIS dalam
perkembangannya secara tidak langsung justru “dibantu” oleh sebagian pihak dan
orang-orang Amerika yang mengikuti arahan-arahan mereka. Sebagai contoh,
kandidat utama presiden dari partai Republik, Ted Cruz, menyarankan penggunaan
bom karpet untuk menghabisi para jihadis. Atau, contoh lainnya seperti Thomas
Friedman, kolumnis terkemuka New York Times mengenahi isu-isu Timur Tengah,
pada tahun 2003 pernah menyarankan Washington mengenahi cara berperang di Iraq.
Friedman mengatakan, “Saya ingin menyebutnya dengan istilah gelembung
terorisme. Dan yang perlu kita lakukan adalah kita harus pergi ke bagian dunia
yang menjadi pusat terorisme lalu mengebom gelembung terorisme tersebut. Dan
kita memang harus mendatangi tempat itu, kita hantam jantung dunia terorisme
dan kita bom gelembungnya.”
Rekomendasi Para Ahli
Atran dan sejumlah pengamat
lainnya secara umum setuju dengan rekomendasi Atran tersebut. Menurutnya,
dimulai dengan mengakui hasil penelitian/riset hati-hati yang secara meyakinkan
memberi petunjuk, bahwa motif umum orang-orang untuk berjihad karena mereka
menginginkan sesuatu seperti yang telah terjadi dalam sejarah dan tradisi
mereka, dengan seluruh epik kepahlawanan dan nilai-nilai moral mereka. Dalam
perspektif Atran, meski ISIS brutal dan memuakkan dan bahkan terhadap sebagian
besar dunia Arab & Islam, mereka sedang menyuarakan secara langsung
dan jelas keinginan tersebut.
Sementara menurut rekomendasi
Polk, strategi terbaiknya harus bersifat multinasional, berisi program-program
yang berorientasi pada kesejahteraan serta memberi kenyamanan & kepuasan
psikologis yang nantinya akan membuat kebencian yang dipropagandakan ISIS akan
berkurang. Beberapa elemen yang telah diidentifikasikan di antaranya:
kebutuhan-kebutuhan komunal, kompensasi atas kesalahan/pelanggaran yang
dilakukan pada masa lampau, dan seruan untuk memulai lembaran baru. Polk
menambahkan, “Sebuah ungkapan permintaan maaf secara hati-hati atas kesalahan
masa lalu tidak lah mahal, namun akan banyak memberi dampak positif”. Proyek
semacam ini bisa dimulai dilakukan di kamp-kamp pengungsian, atau bisa juga
misalnya di Banlieue, wilayah pemukiman para imigran di pinggiran Paris yang
kumuh dan memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Atran menulis, tim risetnya
menemukan para imigran di Banlieue banyak yang mentoleransi dan mendukung nilai-nilai
ISIS. Bahkan juga yang bisa dilakukan adalah memberikan dedikasi secara jujur
saat menempuh upaya diplomasi dan negosiasi, bukan sekedar respon spontan
terhadap kekerasan.
Tidak kalah penting adalah respon
yang memberikan respect terhadap masalah atau krisis pengungsi yang sebenarnya
sudah lama ada namun secara masif mulai melanda Eropa pada tahun 2015. Itu
artinya, setidaknya dilakukan dengan meningkatkan bantuan kemanusiaan ke
kamp-kamp pengungsi di Lebanon, Yordania, dan Turki di mana para pengungsi
Suriah berjuang keras untuk bertahan hidup. Tetapi isunya bukan sekedar itu
saja, memberi gambaran sepihak tentang “negara-negara (Barat) yang tercerahkan”
masih jauh dari menarik dan harus ada aksi nyata.
Ada negara-negara yang
menyebabkan gelombang pengungsi akibat kebijakan kekerasan masif mereka,
seperti Amerika Serikat, dan yang kedua adalah Inggris dan Perancis. Kemudian
ada negara-negara yang menampung pengungsi dalam jumlah sangat besar, termasuk
para pengungsi yang menyelamatkan diri dari kekerasan negara-negara Barat,
seperti Lebanon, Yordania, dan Suriah (sebelum Krisis). Sebagian mengalami
overlapping dan terjadi paradok di mana ada negara-negara yang menjadi
penyebab/biang arus pengungsian namun menolak menampung mereka, bukan hanya
negara-negara Timur Tengah, namun juga AS sendiri termasuk di perbatasan bagian
selatan negaranya. Itulah sebuah gambaran aneh, menyakitkan untuk direnungkan.
Perjanjian Sykes-Picot Simbol Sinisme & Brutalisme Imperialis
Barat
Sebuah gambaran jujur akan
melacak secara lebih jauh generasi pengungsi dengan kembali ke sejarah. Seorang
koresponden veteran Timur Tengah, Robert Fisk melaporkan bahwa salah satu video
yang pertama kali diproduksi oleh ISIS memperlihatkan sebuah bulldozer
menggusur dan meratakan tanggul pasir yang menandai batas negara Iraq dan
Suriah. Pada saat alat berat tersebut menghancurkan bangunan pembatas negara,
lensa kamera menyorot ke bawah ke sebuah poster yang bertuliskan tangan yang
tergeletak di atas pasir, berbunyi “Sykes-Picot Tamat.”
Bagi orang-orang yang tinggal di
negara-negara di kawasan tersebut, perjanjian Sykes-Picot merupakan simbol
nyata sinisme dan brutalisme dari imperialisme Barat. Konspirasi rahasia selama
Perang Dunia I, antara Mark Sykes dari Inggris bersama dengan François
Georges-Picot dari Perancis telah membagi-bagi kawasan Timur Tengah menjadi
negara-negara artifisial demi memuaskan tujuan-tujuan imperial mereka sendiri,
dengan ungkapan yang menipu bahwa pembagian batas-batas wilayah adalah untuk
kepentingan masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Barat juga melanggar
janjinya sendiri di masa perang saat harus membujuk orang-orang Arab agar mau
bergabung dengan aliansi mereka. Model kesepakatan tersebut (Sykes-Picot) juga
tercermin dalam tindakan negara-negara Eropa menghancurkan Afrika dengan cara
yang sama. Cara itu, Sykes-Picot, telah mengubah propinsi-propinsi Kekhilafahan
Turki Utsmani yang tadinya damai dan aman menjadi negara-negara kecil yang
tidak stabil dan secara geopolitik internasional paling bergolak di seluruh
dunia.
Krisis Pengungsi & “Pemimpin Dunia” yang Tidak
Bertanggung Jawab
Sejak itu, intervensi yang terus
dilakukan oleh negara-negara Barat baik secara politik maupun militer ke Timur
Tengah dan Afrika semakin memperburuk ketegangan, konflik, dan kekacauan yang
telah mengoyak kehidupan masyarakat di sana. Di antara dampak signifikannya
adalah sebuah krisis pengungsi di mana negara-negara Barat hampir tidak ada
yang mau bertanggung jawab menanggung konskuensi itu. Jerman muncul sebagai
satu negara Eropa yang punya kesadaran, meski hanya di awal (dan kini tidak
lagi), untuk bersedia menampung hampir sejuta pengungsi di negara mereka.
Jerman merupakan salah satu negara terkaya di dunia dengan populasi penduduk 80
juta jiwa. Ironisnya, negara miskin Lebanon telah menampung sekitar 1,5 juta
pengungsi Suriah, dan saat ini seperempat jumlah penduduk Lebanon adalah para
pengungsi Palestina yang telah masuk dalam daftar lembaga pengungsi UNRWA.
Orang-orang Palestina itu mayoritas merupakan korban kebrutalan kebijakan
Israel.
Eropa terus berteriak atas beban
pengungsi dari negara-negara yang notabene telah mereka hancurkan di Afrika.
Negara-negara seperti Kongo dan Angola bisa menjadi saksi. Dan saat ini Eropa
juga merengek dengan mencoba menyuap Turki yang telah menampung 3 juta
pengungsi Suriah untuk mencegah orang-orang Suriah yang meninggalkan negaranya
dari perbatasan Eropa, seperti Obama yang baru saja menekan Meksiko untuk
menjaga perbatasan negaranya dengan AS supaya bebas dari orang-orang yang
ingin menyelamatkan diri dari Perang Global Melawan Teror versi Ronald Reagen –
Presiden AS periode 1981-1989 – , bersama dengan para pengungsi akibat bencana
alam, dan kudeta militer di Honduras yang hampir dilegitimasi oleh satu-satunya
pemerintahan, yaitu AS di bawah Obama. Kudeta di Honduras telah menciptakan
bencana kemanusiaan terparah di kawasan tersebut.
Curhat Chomsky & Kritik Erdogan
Seorang cendekiawan Amerika, Noam
Chomsky mengungkapkan kegelisahannya:
“Sulit diungkapkan dengan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana
sikap dan respon negara AS terhadap krisis di Suriah, setidaknya dengan kalimat
yang mampu saya fikirkan. Maka, layak diajukan pertanyaan kepada para pemimpin,
terlebih kepada orang-orang yang menjadi warga negara di negara-negara yang
kaya dan kuat, yang menikmati warisan tidak biasa berupa kebebasan, privilege,
dan peluang berkat perjuangan orang-orang sebelum mereka:
Siapa sebetulnya yang memimpin dunia sekarang ini?
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai apakah yang memimpin dunia saat
ini?”
Secara lebih tegas pemimpin
Turki, Erdogan mengkritik sepak terjang Barat terutama terhadap krisis
pengungsi Suriah dengan ungkapannya:
“Memalukan, orang-orang Barat yang memalingkan kepekaan mereka
terhadap apa yang disebut dengan kebebasan, hak, dan hukum yang diperlihatkan
dalam perdebatan perkawinan gay, jauh dari perempuan-perempuan dan anak-anak
Suriah, dan orang-orang yang tidak berdosa yang membutuhkan pertolongan.
Sungguh memalukan, orang-orang yang mengalihkan kepekaan mereka
terhadap ruang hidup bagi ikan paus di laut, anjing laut, dan penyu, jauh dari
hak untuk hidup bagi 23 juta rakyat Suriah.
Sangat memalukan, orang-orang yang menempatkan keamanan,
kesejahteraan, dan kenyamanan hidup mereka di depan perjuangan orang lain untuk
bertahan hidup.”
Sumber: Antiwar
Sumber: Antiwar
Penulis: Yasin Muslim