Pesan Rahasia Antara 3 Teroris Besar: Obama, Khamenei
dan Rouhani, Telah Terbongkar
ISU pemecahbelahan terhadap dunia Islam
tidak semuanya fakta; sebagaimana tidak seluruhnya isapan jempol belaka. Sebab,
upaya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam merupakan proyek yang disepakati
banyak kelompok. Posisi umat Islam persis seperti yang disinyalir dalam hadits:
“gerombolan pemangsa yang berebutan terhadap makanannya.”
Sejarah sendiri menunjukkan bahwa kekuatan umat
Islam terdapat dalam empat komponen vital: menegakkan manhaj yang hak, bersatu
dalam manhaj tersebut, mengajak manusia kepadanya, dan akhirnya upaya membela
manhaj itu. Keempat komponen inilah yang dikandung misi Ilahiyah kepada umat
Islam dalam Al-Qur’an:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran/3: 301)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran/3: 110)
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Dalam upayanya, musuh-musuh Islam senantiasa
merongrong keempat komponen vital tersebut, baik global atau parsial. Biasanya
dimulai dengan menyasar manhaj yang hak, kemudian meniupkan angin perpecahan,
demi menciptakan friksi dalam internal umat sehingga kekuatannya lumpuh, tidak
mampu lagi mengajak manusia kepada Islam atau melindungi dirinya.
Strategi ini tampak klise, namun selalu aktual.
Musuh Islam kerap mendapatkan hasilnya, sementara umat yang menjadi korban
menderita kekalahan yang pahitnya dirasakan hingga ke generasi berikutnya.
Musuh-musuh Islam memecah negeri-negeri Muslim dan saling membagi hasil-hasil
buminya.
Faktor-faktor perpecahan, berupa fanatisme
jahiliyah kepada ego pribadi, ras, tanah air, bangsa, atau keturunan; merupakan
penyakit yang mengendap dalam jiwa manusia (QS. Hud: 118-119). Oleh karena itu,
faktor-faktor tersebut hanya menunggu manipulasi serta provokasi, khususnya
terhadap pribadi-pribadi yang lemah.
Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengingatkan umat agar tidak terpancing lewat faktor-faktor tersebut.
Dalam kasus upaya kelompok Yahudi memantik fanatisme jahiliyah dalam diri kaum
Muslim, dimana sebagiannya berhasil terprovokasi, Rasulullah menegur dengan
keras:
“Jauhi seruan-seruan itu, sesungguhnya perkara
tersebut tidak baik!” (HR. Bukhari, no. 3518)
Strategi ini menjadi senjata bagi generasi serta
komprador Yahudi sepanjang zaman. Strategi yang berhasil menggiring generasi
terbaik di era Nubuwah untuk memanggil dengan sentimen kelompok: “Wahai
orang-orang Anshar!” yang dibalas pihak lawannya: “Wahai orang-orang
Muhajirin!” Kendati kedua pihak segera tersadar setelah mereka diperingatkan.
Namun ketika kaum Muslim lengah, kelompok phobi
Islam memanfaatkan kembali sentimen serta fanatisme kelompok tadi. Akibatnya,
umat Islam terpecah dan negeri-negeri mereka terpisah. Proyek besar
memecahbelahan umat selalu memanfaatkan faktor fanatisme jahiliyah, yang jelas
dilarang Al-Qur’an. Fanatisme yang menjadikan standar cinta dan benci, kawan
dan lawan; bukan karena ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam banyak kasus, untuk tidak menyebut
semuanya, lawan Islam tidak perlu menciptakan perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam. Mereka cukup memblow up serta memanipulasi perbedaan pendapat yang
ada. Untuk menciptakan friksi dan persaingan yang sengit, hingga menghasilkan
konflik yang kadang sampai kepada tingkat pertumpahan darah.
Sejak kolonialisme berhasil memecah
negeri-negeri Islam pasca unifikasi di bawah payung kepemimpinan Khilafah
Utsmaniyah, musuh-musuh umat tidak henti-hentinya mengembangkan strategi untuk
menciptakan perpecahan baru. Proyek tersebut menggunakan beragam cara dan
metode, tidak jarang intensitasnya berkurang; namun yang pasti tidak pernah
berhenti. Kerap mengalami kegagalan, tapi tak mengenal putus asa. Sebab, apapun
hasilnya, musuh Islam akan memetik keuntungan ganda.
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan
orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu
dari Tuhanmu.” (QS. al-Baqarah/2: 105)
Dengan kata lain, politik belah bambu senantiasa
membuahkan keuntungan ganda bagi lawan: kekuatan baru serta ekspansi, atau
lumpuhnya kekuatan umat Islam.
Pasca kekalahan Turki Utsmani di PD I, Inggris
dan Prancis membagi dunia Timur Arab sesuai dengan kepentingan jangka pendek
pada saat itu. Perjanjian tahun 1916 M yang dikenal dengan Sykes-Picot
Agreement tersebut sesungguhnya disusun secara acak, yang sengaja menyimpan
potensi konflik perbatasan. Potensi konflik tersebut lahir dari perbedaan
agama, ras, atau aliran. Tiga sumbu “sektarianisme” yang sengaja dipelihara di
daerah perbatasan negara yang telah terpecah, dan menjadi “bom waktu” yang
sewaktu-waktu bisa meledak.
Era perpecahan politik pertama merupakan proyek
Eropa. Salibis Nasrani dengan berbagai sektenya membagi-bagi kekuasaan atas
negeri-negeri kaum Muslim, pra dan pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Juga
setelah menjamin tersedianya tanah rampasan buat komunitas Yahudi. Inggris
menganeksasi Irak, Palestina, Mesir, dan Sudan. Prancis dijatah Suriah dan
Maroko. Italia merampas Libia dan negeri-negeri tanduk Afrika. Tidak
ketinggalan Belanda, Spanyol, dan Portugis yang mendapat bagian terhadap negeri
Islam lainnya.
Di era kolonialisme tersebut, Salibis Nasrani
menanamkan benih-benih disintegrasi, yang kelak bisa dimanfaatkan dalam
menciptakan perpecahan baru, baik itu secara geografis, geopolitik, atau
kekayaan alam. Tanpa kepentingan itu pun, cukup menimbulkan friksi agar
kekuatan lawan (Islam) senantiasa dalam kondisi lumpuh, sibuk mengatasi konflik
dan permasalahan internal.
Penulis akan mengangkat sejumlah proyek
pemecahbelahan/separasi yang terbuka ke publik dalam beberapa dekade terakhir.
Fakta yang membuktikan bahwa proyek tersebut sistematis dan terorganisir.
Musuh-musuh Islam bermain di belakangnya, demi melumpuhkan kekuatan serta
elemen vital umat yang disinggung di atas.
Sebelum masuk ke detail proyek tersebut dengan
segenap dinamika dan dampaknya, ada beberapa benang merah yang harus
digarisbawahi terkait dengan proyek pemecahbelahan itu:
Pertama, bahwa proyek tersebut tidak sekadar
teori di atas kertas, tapi dijalankan dan menjadi policy yang berlaku sejalan
dengan kondisi yang ada.
Kedua, pihak yang menjadi korban utama dalam
seluruh proyek tersebut adalah umat Islam umumnya, dan secara khusus Ahlus
Sunnah, terlebih lagi bangsa Arab. Arab menjadi kawasan yang paling miskin dan
terisolasi.
Ketiga, pasca era kolonialisme Inggris dan
Prancis, ada tiga pihak yang menjalankan proyek tersebut dewasa ini: Amerika
Serikat, Israel, dan Iran.
Keempat, ketiga pihak yang tersebut itu memiliki
strategi ekspansinya masing-masing, yang berusaha membentangkannya ke wilayah
dan kekayaan kelompok Sunni.
Kelima, ketiga pihak tersebut bisa saja berbeda
pendapat dalam segala hal, kecuali permusuhan terhadap Muslim Sunni, sebagai
rival ideologi; atau Arab, sebagai lawan ras.
Keenam, ketiga pihak tersebut memiliki agen yang
bermain di tengah umat, beraksi di kelompok-kelompok minoritas. Nama-nama
mereka sebagaimana Muslim pada umumnya, tapi dengan spirit dan militansi yang
tidak jarang lebih tinggi daripada “sang majikan,” demi kepentingan sesaat
dengan mengorbankan kepentingan kaum Muslim.
Ketujuh, ada banyak kemiripan yang sangat
kentara dari sejumlah proyek tersebut, walaupun aktor dan waktu terjadinya
berbeda. Semuanya sama memandang pentingnya berkonsentrasi kepada empat wilayah
yang merepresentasikan jantung umat Islam: Syam, Mesir, Irak, dan Jazirah
Arabia. Selanjutnya adalah daerah-daerah yang punya nilai strategis sendiri.
Kedelapan, Zionisme global, baik itu sayap
Yahudi atau Nasrani, memiliki peran sentral dalam menanamkan proyek
pemecahbelahan tersebut, sekaligus yang memetik hasilnya. Tidak ada satu pun
proyek pemecahbelahan yang tidak melibatkan tangan-tangan Zionisme, sebagai
teoritikus atau pihak yang diuntungkan.
Israel
Pada tahun 1982, sebuah dokumen rencana proyek
pemecahbelahan yang menyasar sebagian besar negara Arab terungkap. Isi dokumen
tersebut demikian berbahaya. Sebagian besar rencana yang dimuat di dalamnya
telah terwujud di Irak dan Sudan; sedangkan yang menunggu adalah Mesir, Suriah,
Yaman, dan Libya, bila kita tidak mengubah sikap. Dalam laporan organisasi
Zionisme internasional yang dimuat majalah Kivunim (14/2/1982) yang dikutip
koran Mesir al-Ahram al-Iqtishadi, tersebut skenario persis sebagaimana yang
terjadi di Irak saat ini dan diberlakukan terhadap Suriah sejak saat itu.
Laporan tersebut di antaranya menulis: “Irak
yang kaya dengan minyaknya merupakan negari(a) yang rawan konflik internal, dan
dapat disasar oleh Zionisme. Kehancuran Irak bagi kami lebih penting daripada
Suriah. Sebab, dalam jangka dekat Irak adalah ancaman paling berbahaya bagi
negeri Ibrani.”
Sedangkan untuk Suriah, laporan tersebut
menulis:
Suriah secara mendasar tidak berbeda
jauh dengan Libanon yang terdiri dari faksi-faksi yang berbeda, kecuali dari
segi pemerintahan junta militer yang berkuasa. Tapi konflik vertikal antara
mayoritas Sunni dengan minoritas Syiah-Nushairiyah (12%) yang berkuasa
mengindikasikan potensi konflik yang rumit. Memecah Suriah dan Irak berdasar
kelompok ras atau agama menjadi negara-negara kecil yang indipenden di masa
depan merupakan tujuan jangka pendek Zionisme di kawasan Timur. Suriah kelak
akan menjadi negara-negara kecil sesuai dengan komponen ras dan sekte di
dalamnya.
Laporan tersebut selanjutnya mencatat rencana
terhadap Sudan dan Mesir, sebagaimana perkembangan kondisi yang terjadi
akhir-akhir ini.
Sebelum rencana yang detail tersebut dimuat
majalah Kivunim tahun 1982, terbit sebuah buku berjudul Khanjar Israil/Belati
Israel (1957) oleh penulis bernama R.K. Karanjia. Buku tersebut memuat dokumen
yang dikenal dengan nama Dokumen Karanjia sesuai dengan nama jurnalis India
tersebut. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir saat itu, yang menyerahkan dokumen
tersebut kepada Karanjia, setelah bocor atau dibocorkan dari Staf Angkatan
Bersenjata Zionis.
Dokumen itu berisi rencana memecah negara-negara
Arab pasca Sykes-Picot Agreement. Suriah dibagi kepada negera Druze (sekte,
pent.) di daerah selatan, Nushairiyah di Latakia, Sunni di Damaskus dan
sekitarnya. Selanjutnya Syiah di Selatan Lebanon, lainnya Maronites, Sunni di
wilayah tengah dan utara. Tidak lupa negara merdeka bagi suku Kurdi di Irak,
Syiah di selatan, sedangkan Sunni terisolasi di wilayah tengah Irak, Baghdad
dan sekitarnya.
Amerika Serikat
Amerika, sebagaimana juga Israel, melihat bahwa
Inggris dan Prancis sesungguhnya melakukan dua kekeliruan dalam konteks
Sykes-Picot Agreement yang membagi sisa-sisa Turki Utsmani. Salah satunya
adalah bahwa kesepakatan tersebut dibuat secara acak, terdorong oleh
kepentingan sesaat, tanpa mengoptimalkan sekat-sekat sektarian berupa agama
atau aliran keyakinan. Lantaran itu, pernyataan-pernyataan politik AS dan
Israel tentang pemecahan negara-negara Arab senantiasa berangkat dari revisi
terhadap Sykes-Picot Agreement itu.
Kesalahan kedua adalah terlalu sedikitnya negara
yang berhasil dilahirkan lewat kesepakatan tersebut. Seharusnya, versi AS dan
Israel, lebih banyak lagi jumlah negara yang lahir.
Hingga beberapa tahun terakhir, AS memiliki
ambisi ekspansi yang besar, yang bertumpu pada penguasaan terhadap
sumber-sumber minyak dunia yang strategis: Irak, Iran, laut Kaspia, dan
negara-negara Teluk Arab. Proyek tersebut dikenal sebagai Project for the New
American Century (PNAC), yang dipromotori oleh kelompok konservatif baru Yahudi
yang berada di pusat kekuasaan era Bush Junior. Hanya saja proyek tersebut
gagal akibat dampak dari perlawanan terhadap pendudukan AS terhadap Irak dan
Afghanistan, yang menurut rencana sesungguhnya menarget lima negara lainnya.
Di tengah larutnya AS dalam berbagai invasinya,
dalam rangka mewujudkan New American Century itu, mencuat banyak wacana tentang
proyek AS dalam rangka pemecahan negara-negara, khususnya tentang Geater Middle
East. Satu yang sangat populer adalah proposal yang diterbitkan oleh Bernard
Lewis, Yahudi Inggris berkebangsaan Amerika. Dalam serangannya terhadap Irak
dan Afghanistan, AS berkgerak mewujudkan visi Lewis, yang digagasnya di era
40-an. Gagasan yang diperbaruinya di awal era 80-an dan diterapkan pada awal
dekade yang sama.
Proyek Lewis dalam rangka memecah negara-negara
Islam dan Arab berdasar kepada tiga fondasi, sesuai perspektif AS dan Israel,
yaitu perbedaan agama, sekte, dan ras. Lewis juga menuntut untuk mengubah
institusi Islam dan Arab tidak lebih sebagai “bangunan yang terbuat dari kertas
karton,” yang senantiasa lemah sehingga menjamin eksistensi kekuatan Yahudi.
Sejak dini, proposal Lewis menginginkan agar
Irak dibagi menjadi tiga, persis dengan rencana Yahudi yang disinggung
sebelumnya. Sedangkan Suriah menjadi empat bagian: Alawiyyin/Nushairiyah, dua
bagian buat Sunni, dan sisanya buat Druze. Mesir diproyeksikan untuk menjadi
empat bagian: Sina dan timur Delta buat kekuasaan Zionis (dalam rangka Israel
Raya), utara Mesir buat Koptik Mesir dengan ibu kota Iskandariyah, selatan buat
Nobian dengan pusatnya Aswan, dan sisanya buat kaum Muslim dengan ibu kotanya
Kairo.
Dalam proyeksi Lewis, Sudan menjadi empat
bagian: selatannya buat kelompok Nasrani dan masyarakat pagan, ujung utara buat
Nobian, yang akan terkoneksi dengan Nobian di selatan Mesir; Darfur buat kaum
Muslim non-Arab, sedangkan Muslim Arab di bagian tengah.
Adapun Yaman, dia bagi kepada utara dan selatan.
Negara-negara Teluk menurut Lewis harus dibagi kepada negara Syiah Arab yang
terletak di pantai barat Teluk Arab, yang akan mencakup selatan Irak bila kelak
terpisah; utara semenanjung Arab yang digabung dengan Urdun, sebagai negara
alternatif bagi bangsa Palestina, rencana yang gigih diperjuangkan oleh Ariel
Sharon. Selanjutnya Lewis menginginkan agar manajemen Makkah dan Madinah
dipergilirkan, hal yang juga dituntut oleh sekte Rafidhah sejak bertahun
lamanya. Adapun jantung Jazirah, maka dibiarkan bagi Sunni Arab, tanpa kekuatan
dan potensi kekayaan alam!
Tahun 2006, majalah Angkatan Bersenjata AS edisi
Juni mengangkat sebuah artikel oleh Ralph Peters, seorang pensiunan pejabat
intelijen AS, yang mengajukan proposal untuk membagi ulang negara-negara Arab
dan Islam berdasar ras dan keturunan. Dia membuat peta yang disebutnya “blood
borders” yang diajukannya kepada otoritas AS agar dijalankan, sebagaimana
Inggris dan Prancis dengan Sykes-Picot Agreement.
Dalam peta yang dibuatnya, Peters mengulang
kembali detail proyek pemecahbelahan sebelumnya yang pernah ada, khusus yang
terkait dengan negara-negara Arab inti. Tapi dia menambahkan usulan sejumlah
negara baru setelah negara lama yang dibubarkan.
Visi Ralph Peters dangkal dan tidak realistis.
Akan tetapi dia mengungkapkan, meminjam pernyataan Abdulwahab Musayri, simpul
pemikiran di kalangan pemegang kebijakan AS terhadap dunia Islam. Sebab,
penulis artikel tersebut adalah seorang kolonel yang dekat dengan pemegang
kebijakan di samping posisinya di institusi intelijen. Artikel tersebut juga
dimuat di majalah resmi angkatan bersenjata, yang merepresentasikan kebijakan
lembaga.
Kelak, proposal Peters terbukti tidak lahir dari
ruang hampa. Tepat setelah perang Lebanon berkobar tahun 2006, menlu AS saat
itu, Condoleezza Rice segera mengumumkan bahwa peta Timur Tengah sedang
direkonstruksi! Rice menduga bahwa perang akan semakin melebar hingga ke
kawasan sekitarnya, sehingga proyek tersebut akan berjalan.
Iran
Ketika revolusi Iran pecah yang disusul oleh
perang berdarah Iran-Irak, yang berlangsung selama delapan tahun di bawah
dukungan Barat, beberapa tuntutan mengemuka untuk merebut kembali wilayah yang
dicaplok Iran, seperti Shatt al-Arab, Arabistan, dan pulau-pulau Emirat Arab.
Khomeini saat itu menjawab: “Jika kalian menginginkan daerah tersebut karena
merupakan daerah Arab secara historis, maka sesungguhnya Imperium Persia, dalam
sejarahnya, membentang dari Khurasan (Iran dan Afghanistan) hingga Yaman!”
Beberapa dekade setelah pernyataan itu,
konspirasi Revolusi Iran terhadap kawasan Khurasan hingga Yaman tidak pernah
berhenti. Di Yaman, pengaruh Syiah-Persia di wilayah utara menjadi ancaman
serius bagi seluruh semenanjung Arab.
Boleh jadi Iran tidak memiliki rencana yang
dibuka ke publik, sebagimana kasus Israel dan AS, apalagi karena Syiah bertumpu
kepada doktrin “taqiyah” yang merambah sampai ke urusan politik. Akan tetapi
jelas bahwa Iran mengambil keuntungan dari setiap proyek pemecahbelahan yang
lain. Baik itu lewat kolaborasi langsung, atau keuntungan tidak langsung.
Karena setiap kali posisi Ahlus Sunnah melemah, maka akan menambah defisit
kekuatan Iran, rival historis Ahlus Sunnah sejak Shafawiyah mengintrodusir
Syiahisme ke negeri Faris.
Irak, yang diumumkan oleh Israel akan
dipecahbelah sejak empat dekade lewat, tidak hanya direngkuh sepertiga
bagiannya, yang kaya sumber daya alam, oleh Syiah. Bahkan seluruh daerah Irak
sesungguhnya telah jatuh ke dalam kekuasaan Syiah, lewat koalisi semu dan
dengan tokoh sekuler yang menjadi kaki tangannya. Lebanon, yang sebelumnya
diproyeksikan akan dibagi menjadi delapan bagian berdasar kelompok sekte, telah
dikuasai seluruhnya oleh Syiah yang pro-Iran, dalam gerakan yang mirip kudeta
politik.
Jika Yaman diwacanakan terbagi kepada utara dan
selatan yang terpisah, maka proyek Syiah mencakup keduanya. Iran bermain di
belakang kemarahan kelompok separatis di selatan Yaman, sambil mendukung
gerakan di utara Yaman yang bersuara menuntut persamaan. Itu dilakukannya
dengan blow up media yang sitematis dan tanpa henti terhadap gerakan Houthi.
Gerakan separatis di Bahrain telah melampau
batas obsesi, menjadi serakah. Iran tidak hanya menginginkan salah satu laut
Bahrain, tapi kedua-duanya. Menjadi sebuah republik Syiah revolusioner yang
pertama di Teluk Arab yang Sunni. Yang akan menjadi “magnet” bagi
“republik-republik” Syiah selanjutnya.
Suriah dewasa ini menjadi buah bibir proyek
pemecahbelahan pasca rezim Ba’ath-Nushairiyah. Peta lama menginginkan wilayah
utara dengan ibu kota Latakia diserahkan kepada Nushairiyah (Alawiyah). Adapun
Iran, berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan momentum demi menjamin
kepentingannya berupa jalur masuk lewat Laut Tengah, melalui sebuah negera
boneka kecil yang dihuni kelompok Nushairiyah. Negara bentukan Rafidhah
tersebut akan menjadi duri abadi di jantung wilayah Syam (Islam-Sunni).
Iran bertaruh dengan semua proyek pemecahbelahan
yang mengacu kepada faktor sektarianisme aliran. Di samping berusaha mencabut
bagian-bagian dari wilayah Ahlus Sunnah yang berpenduduk mayoritas Syiah, Iran
juga tidak ketinggalan menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri mayoritas Sunni
lainnya. Upaya infiltrasi dilakukan Iran secara intensif di Mesir, Palestina,
Sudan, dan banyak negara Afrika dan Asia.
Artikel ini tidak mampu menyorot semua bahasan
terkait proyek krusial pemecahbelahan yang terjadi di negeri-negeri Islam. Apa
yang diketengahkan tidak lebih merupakan garis besarnya saja. Paparan yang
lebih rinci akan dikemuakakan pada tulisan yang lain, dengan izin Allah. (pz/albayan.co.uk/Islampos)
HNC: Washington dan Moskow
Mendukung Teroris Assad
Kegagalan
gencatan senjata dan solusi politik di Suriah merupakan tanggung jawab dari
masyarakat internasional, kata Komite Negosiasi Tinggi (High Negotiation
Comitte-HNC).
HNC mengatakan dalam sebuah pernyataan
bahwa ada konspirasi AS-Rusia untuk mendukung rezim Assad dan mengaktifkan
milisi Iran dan tentara bayaran mereka untuk diekspor ke Suriah dari Irak,
Lebanon, Afghanistan dan Iran dengan tujuan membunuh rakyat Suriah dan
melanjutkannya ke “pembersihan etnis” dengan cara membiarkan rakyat Suriah kelaparan
dan melakukan pengepungan.
Kepala negosiasi HNC, Asaad al-Zo’bi, mengatakan pada hari Minggu (01/05) bahwa
“masyarakat internasional harus berani untuk melaksanakan tanggung jawabnya
terhadap kegagalan gencatan senjata dan solusi politik,” seraya menambahkan
bahwa “tidak ada pengecualian di sini termasuk Liga Arab.”
“Liga Arab seharusnya memasok kami dengan
peralatan yang diperlukan dan untuk menunjukkan sikap tegas terhadap konspirasi
Rusia-Amerika-Iran yang berusaha terus mengaktifkan Assad dan eselonnya untuk
menghancurkan rakyat Suriah,” lanjut al-Zo’bi.
Karena kondisi saat ini, “kami tidak bisa
pergi ke Jenewa untuk melakukan pembicaraan selama masyarakat internasional
tidak berani menunjukkan tanggung jawabnya dan hingga Jenewa mampu menerapkan
resolusi Dewan Keamanan nomor 2245 dan 2268 untuk memungkinkan bantuan
kemanusiaan masuk menjangkau daerah-daerah yang dikepung dan melepaskan mereka
yang ditahan di penjara Assad, “katanya.
“Oposisi Suriah menegaskan bahwa Assad
harus angkat kaki dan transisi politik harus dimulai; ini adalah jaminan untuk
membuat perundingan (Jenewa) mendatang sukses. ”
HNC bersikeras bahwa tindakan barbar
teroris Assad membombardir warga sipil harus dihentikan dan rezim Assad juga
harus menghentikan perpindahan massal (mengunggsi) warga sipil dan harus
mendapat hukuman sesuai dengan resolusi PBB nomor 2254, artikel 12, 13 dan 14.
Orient News
HNC: Washington dan Moskow
Mendukung Teroris Assad
Kegagalan
gencatan senjata dan solusi politik di Suriah merupakan tanggung jawab dari
masyarakat internasional, kata Komite Negosiasi Tinggi (High Negotiation
Comitte-HNC).
HNC mengatakan dalam sebuah pernyataan
bahwa ada konspirasi AS-Rusia untuk mendukung rezim Assad dan mengaktifkan
milisi Iran dan tentara bayaran mereka untuk diekspor ke Suriah dari Irak,
Lebanon, Afghanistan dan Iran dengan tujuan membunuh rakyat Suriah dan
melanjutkannya ke “pembersihan etnis” dengan cara membiarkan rakyat Suriah kelaparan
dan melakukan pengepungan.
Kepala negosiasi HNC, Asaad al-Zo’bi, mengatakan pada hari Minggu (01/05) bahwa “masyarakat internasional harus berani untuk melaksanakan tanggung jawabnya terhadap kegagalan gencatan senjata dan solusi politik,” seraya menambahkan bahwa “tidak ada pengecualian di sini termasuk Liga Arab.”
“Liga Arab seharusnya memasok kami dengan
peralatan yang diperlukan dan untuk menunjukkan sikap tegas terhadap konspirasi
Rusia-Amerika-Iran yang berusaha terus mengaktifkan Assad dan eselonnya untuk
menghancurkan rakyat Suriah,” lanjut al-Zo’bi.
Karena kondisi saat ini, “kami tidak bisa
pergi ke Jenewa untuk melakukan pembicaraan selama masyarakat internasional
tidak berani menunjukkan tanggung jawabnya dan hingga Jenewa mampu menerapkan
resolusi Dewan Keamanan nomor 2245 dan 2268 untuk memungkinkan bantuan
kemanusiaan masuk menjangkau daerah-daerah yang dikepung dan melepaskan mereka
yang ditahan di penjara Assad, “katanya.
“Oposisi Suriah menegaskan bahwa Assad
harus angkat kaki dan transisi politik harus dimulai; ini adalah jaminan untuk
membuat perundingan (Jenewa) mendatang sukses. ”
HNC bersikeras bahwa tindakan barbar
teroris Assad membombardir warga sipil harus dihentikan dan rezim Assad juga
harus menghentikan perpindahan massal (mengunggsi) warga sipil dan harus
mendapat hukuman sesuai dengan resolusi PBB nomor 2254, artikel 12, 13 dan 14.
Orient News