حَدَّثَنَا الصَّلْتُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ
حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
« لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ فَقُلْتُ
لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَ يَكُونُ
لَهُ سِمْسَارًا
.
“Telah
menceritakan kepada kami Sholtu bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Abdullah bin Thowus dari
ayahnya dari Ibnu abbas ra, ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “ Janganlah
kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang
desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu
mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang
desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya.” (Mutafaq
alaih, lafazh ini dari Al-Bukhori hadits No. 2158) .
Kita ketahui dalam
sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencahariannya sebagai pedagang.
Mereka berdagang dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Ketika mereka
kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk
ma’kah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk
arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah. Oleh
karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah
jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut
menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal.
Membeli barang
dagangan sebelum sampai di pasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan
jual terlarang dalam agama Islam. Rasulullah saw bersabda:
“apabila dua orang
saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum
berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu
dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah
seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat
pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka
berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara
keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli
tersebut. (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik
muslim).
Dalam hadits tersebut
jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak
tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau
kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli,
tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam
satu majlis.
Menurut Hadawiyah dan
Asy-syafi’i melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena
penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya.
Malikiyah, Ahmad, dan
Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir
hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’I membolehkan mencegat kafilah jika tidak
mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada
penduduk, hukumnya makruh.
Rosulullah saw juga
bersabda:
“Kami dilarang orang
kota menjualkan barang orang dusun sekalipun dia itu saudara kandungnya
sendiri.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) Hadits tersebut mengisyaratkan untuk
belajar bahwa kemaslahatan umum harus diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
“Tidak boleh orang
kota menjualkan untuk orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan akan
memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing.” ( H.R Muslim )
Kata-kata Nabi yang
singkat, “biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki kepada mereka itu
masing-masing,” menunjukan sebuah prinsip yang sangat penting dalam dunia
perdagangan, yaitu kiranya masalah pasar, harga dan pertukarannya dibiarkan
mengikuti selera fitrah dan faktor-faktor tabu’i tanpa dicampuri oleh suatu
pemalsuan dari sementara orang.
Dalam hal ini Ibnu
Abbas pernah ditanya tentang maksud orang kota tidak boleh menjualkan untuk
orang dusun, kemudian ia berkata bahwa orang kota tidak boleh menjadi makelar
untuk orang dusun. Islam memang menghalalkan perdangan atau jual beli, akan
tetapi apabila jual beli tersebut ada unsur yang merugikan, maka Islam sangat
menentangnya apalagi hal tersebut berkaitan dengan kepentingan masyarakat
banyak
Larangan Menimbun
Barang Pokok/ Monopoli Barang.
4207 – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الأَشْعَثِىُّ
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلاَنَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ
مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ ».
Imam Muslim
meriwayatkan telah mencetitakan kepada kami Sa’id bin Amr Al-Asyaatsii, telah
menceritakan kepada kami Hatim bin Ismail dari Muhammad bin Ajlan dari Muhammad
bin Amr bin Atho’ dari Said bin Musayyab dari Ma’mar Bin Abdullah RA, dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda: ”Tidaklah orang yang menimbun barang
(monopoli) kecuali orang yang bersalah”(HR Muslim).
Kata Al-Ihtikar yaitu
orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijual kembali,
namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Ini merupakan
pengertian secara terminologi. Kata Al-Khaati’; Ar-Raqhib
berkataAl-khata’adalah merubah arah.
Monopoli adalah
membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar
keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Para ulama membagi
monopoli kedalam dua jenis:
1. Monopoli yang
haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat,
Sabda Rasulullah,
riwayat Al-Asram dari Abu Umamah: yang artinya:
“Nabi SAW melarang
monopoli makanan”
Jenis inilah yang
dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan
melakukan kesalahan.
2. Monopoli yang
diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, itupun dengan
jumlah yang terbatas dan tidak boleh sampai menimbulkan kerugian dan kelangkaan
pada masyarakat lain, seperti madu, pakaian, hewan ternak dan sebagainya.
Sehubungan dengan
celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:
– Hadits Umara dari
Nabi SAW
“Siapa menimbun
makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan
kepadanya.”
– Diriwayatkan Ibnu
Majah dengan sanad Hasan: “orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki
dan orang yang menimbun akan dilaknat”
– Al-Hakim
meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
“Barang siapa yang menimbun barang terhadap
kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”
– Dari ibnu Umar,
dari Nabi SAW: “Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia
telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”
Contoh dari kasus
saat ini ialah kita dapat mengetahui pengusaha kapitalis-kapitalis besar
seperti keluarga Rockefeller (pemilik sebenarnya dari Chevron dan Exxon Mobile,
yang berdiri di bawah Standard Oil perusahaan Rockefeller) dari Amerika Serikat
telah berhasil menimbun barang berupa minyak dan menjadikannya seolah-olah
langka. Ini pun menyebabkan penduduk di negara-negara lain tercipta kelangkaan
minyak, contoh ini dapat diambil pelajarannya karena menyebabkan kerugian dan
penderitaan bagi manusia lain yang membutuhkan.
Para Ahli fiqih
(dikutip Drs. Sudirman), berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
1. Barang yang
ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun.
2. Barang yang
ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik.
3. Menimbun itu
dilakukan saat manusia sangat membutuhkan.
Kesimpulan Hadits :
1. Membeli barang
dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual
beli yang terlarang di dalam agama islam.
2. Kata Al-Ihtikar
yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijual
kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga.
a. Monopoli yang
haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat.
b. Monopoli yang
diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak,
lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
3. Para Ahli fiqih
(dikutip Drs. Sudirman) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
a. Barang yang
ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun.
b. Barang yang
ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
c. Menimbun itu
dilakukan saat manusia sangat membutuhkan
(Ilham)
sumber
: Kitab Shohih Al-Bukhori, Kitab Shohih Muslim;