Friday, 1 January 2016
Perang dunia pertama berakhir
dengan kekalahan Turki Utsmaniyah. Bersamaan dengan situasi di dalam negerinya
sendiri yang harus menghadapi pemberontakan 'Arab Revolt' tahun 1916.
Pembangkangan ini dimotori oleh Syarif Mekkah (Husein bin Ali) seorang penganut
Sufisme yang bekerja sama dengan Inggris. Pemberontakan ini bermotif
kemerdekaan seluruh wilayah bangsa Arab dari Turki.
Turki Utsmaniyah yang saat itu
mempunyai kedudukan sebagai kekuasaan Islam global terus menunjukkan
superioritas bangsa Turki atas seluruh wilayah Islam, sehingga memicu munculnya
ketidakpuasan dari tanah Arab.
Di sisi lain, Eropa yaitu Inggris
dan Perancis telah menyiapkan planning yang akan diterapkan ke kawasan Arab
melalui perjanjian Sykes-Picot. Yaitu rencana pecah belah wilayah Arab sehingga
nantinya antara lain menghasilkan Irak, Suriah, Trans Jordan, dan kawasan khusus
Palestina. Pasca perang dunia pertama klaim mereka berhasil terwujud.
Administrasi kawasan ini lalu diserahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada mandat
Inggris dan Perancis. Kalangan Zionis internasional kala itupun turut bergerak
aktif untuk mewujudkan mimpi mereka akan sebuah tanah air Yahudi Raya di
Palestina.
Pasca Arab Revolt dan kekalahan
Utsmaniyyah, Syarif Mekkah (keluarga Hasyimiyah) mendapat keistimewaan kontrol
atas wilayah Suriah (sekarang) dan berkuasa atas Hijaz (tanah suci). Pada
akhirnya, hari ini, karena berbagai sebab keluarga Hasyimiyah tinggal berkuasa
atas Yordania. Di Hijaz sendiri kekuasaan Syarif Mekkah diusir oleh Ibnu Saud
yang berpemahaman Ahlusunnah-Wahabiyah. Hijaz masa kini dikenal sebagai Arab
Saudi
Sebelum pengusiran mereka dari
Hijaz, wacana migrasi imigran Yahudi Eropa ke Palestina atau sekitar trans
Jordan mendapat restu dari putra Syarif Mekkah, yaitu Faisal bin Husein. Pada
tahun 1919 terjadi perjanjian Weizmann-Faisal yang isinya menyangkut alasan
ekonomi dan strategi pembangunan kawasan dengan cara memasukkan Yahudi. Dr.
Chaim Weizmann sendiri adalah tokoh Zionisme internasional, sedangkan Emir
Faisal menjadi representasi keluarga Hasyimiyah (Sufi).
Berikut poin-poin perjanjian
Weizmann-Faisal:
1. Kedua belah pihak akan
bekerjasama dengan baik, termasuk untuk merangsang migrasi besar-besaran Yahudi
Eropa. Perlindungan terhadap petani lokal juga harus diberikan, dan kesepakatan
memiliki tempat ibadah masing-masing (tempat suci)
2. Berdirinya negara Palestina
(bersama) akan ditentukan di masa mendatang
3. Zionis Yahudi akan membantu
bangsa Arab setempat untuk memajukan ekonomi kawasan tersebut
4. Tiap masalah akan diselesaikan
di bawah payung hukum Inggris
5. Menjamin kebebasan beragama
tanpa saling singgung
Pasca perjanjian, imigran Yahudi
Eropa terus mengalir (Aliyah) ke kawasan Palestina. Jumlah mereka meningkat
signifikan dari tahun ke tahun di banding era sebelumnya. Tanah yang mereka
miliki juga terus meningkat. Fenomena tersebut sempat menimbulkan pemberontakan
warga Arab Palestina pada tahun 1936 terhadap mandat Inggris.
Setelah mandat Inggris berakhir
tanpa solusi, tahun 1947 PBB membagi kawasan Palestina menjadi 2, sebagian
untuk Arab dan sebagian lainnya untuk Yahudi. Namun atas dukungan dan pengakuan
Amerika serta Uni Soviet, pemukim Yahudi berhasil mendirikan negara Israel di
bawah PBB. Sebelumnya, kemenangan dalam perang Arab-Israel pertama juga membuat
Israel makin banyak mencaplok wilayah baru. (rslh)
'Arab
Revolt', pemberontakan keluarga Sufi melawan Turki Utsmani
Sunday, 17 January 2016
Pada masa perang dunia pertama,
Turki Utsmaniyah memihak blok sentral yang dimotori oleh Jerman, yang berperang
melawan blok sekutu. Sedangkan Inggris yang berada di pihak sekutu saat itu
mulai melancarkan strategi mengalahkan Utsmaniyah dari dalam. Terlebih pemerintahan
pusat Turki mulai menimbulkan berbagai ketidakpuasan dari daerah-daerah
kekuasaan mereka, termasuk bangsa Arab yang merupakan motor perkembangan Islam
sejak awal.
Dimulai pada tahun 1908 gerakan
Turki muda (digawangi Kemal Ataturk) mulai menampakkan pengaruhnya yang
bercita-cita melakukan pembaruan dan melumpuhkan kekuasaan Sultan Utsmaniyah,
menuju nasionalisme bangsa Turki dengan berkiblat Barat (sekuler). Menimbulkan
sikap diskriminatif pada bangsa lain di wilayah Utsmaniyah.
Syarif Husein (Mekkah) sendiri,
seorang Sufi penguasa wilayah Hejaz dan sekitarnya, memiliki cita-cita
membebaskan bangsa Arab dari "penindasan" Kekhalifahan Turki
Utsmaniyah yang memang sudah dianggap "sakit". Syarif Husein menjadi
konseptor kebangkitan nasionalisme Arab, bertujuan untuk mendirikan sebuah
negara tunggal bangsa Arab dari Aleppo hingga Aden. Negara impian ini juga akan
memperjuangkan cita-citanya dengan asas Islam.
Pada bulan Juni 1916, sang Sufi
Hasyimiyah yang bekerja sama dengan Inggris dan Prancis, mulai mengobarkan
'Arab Revolt', sebuah pemberontakan melawan Turki. Putra-putra Syarif Husein,
Abdullah dan Faisal, juga turun memimpin pasukan Arab menyerang hingga ke
Aleppo.
Ada satu nama terkenal yang
menjadi penasehat militer sekaligus kepanjangan tangan sekutu bagi keluarga
Hasyimiyah, yaitu agen Inggris bernama T. E. Lawrence atau dikenal sebagai
"Lawrence of Arabia".
Faisal (depan) dan Lawrence dalam
pertemuan Paris 1919
Sedikit demi sedikit
pemberontakan keluarga Hasyimiyah berhasil menaklukkan pasukan Turki di tanah
Arab. Pasukan Faisal bin Husein dan sekutu Eropanya akhirnya berhasil
membebaskan Damaskus dari pemerintahan Utsmani pada tahun 1918. Selain itu,
Turki Utsmaniyah juga menderita kekalahan dalam perang dunia I.
Gencatan senjata Mudros mengakhiri
perlawanan pasukan Utsmani di kawasan Timur Tengah. Setelah harus melawan pihak
sekutu yang berkolaborasi dengan pemberontakan Arab.
Pemicu 'Arab Revolt' tidak lepas
dari lobi Inggris meyakinkan Syarif Husein untuk segera memberontak melawan Turki.
Dalam korespondensi antara Sir Henry McMahon (pejabat Inggris di Mesir) dan
Syarif Husein, pada tahun 1915-1916, Inggris terus membujuk pemberontakan Arab
dan berjanji akan mendukung semuanya, hingga Arab memperoleh kedaulatan setelah
merdeka dari Turki. Ketidaksepakatan keduanya hanya soal wilayah-wilayah mana
yang akan menjadi milik pasukan Arab nanti.
Akan tetapi Inggris dan Perancis
sudah memiliki agendanya sendiri untuk memecah-mecah wilayah Utsmaniyah. Yaitu
melalui perjanjian rahasia Sykes-Picot. Melibatkan kekaisaran Rusia, mereka
sepakat berbagi wilayah Turki yang digariskan batas-batasnya. Untuk kawasan
Arab, Inggris akan mendapatkan Trans Jordan dan Irak, sementara Perancis
mendapat Suriah dan Lebanon. Serta satu wilayah khusus yang disebut Palestina
di bawah pengawasan internasional.
Tentu saja isi perjanjian
Sykes-Picot bertentangan dengan janji-janji Inggris sebelumnya menurut tafsiran
pihak Syarif Husein, bahkan dinilai menguntungkan Zionis. Apalagi muncul
deklarasi Balfour, dimana Inggris menjanjikan tanah air bagi Yahudi (Zionis) di
kawasan Palestina.
Pasca kalahnya Turki, perjanjian
Sykes-Picot direalisasikan, dengan sedikit mengalami perubahan pada prakteknya.
Di tahun 1919 juga terjadi perjanjian Faisal-Weizzman, yang intinya Arab setuju
masuknya Yahudi ke kawasan Palestina untuk memajukan perekonomian setempat.
(Lihat: Perjanjian Faisal dengan tokoh Zionis)
Keluarga Hasyimiyah di bawah
Faisal bin Husein sempat mengklaim pemerintahan kerajaan Arab pada tahun 1918
yang berpusat di Damaskus, Suriah. Namun kerajaan ini tidak disukai Perancis,
sehingga pada tahun 1920 Suriah berhasil direbut dalam perang Misalun. Suriah
ditetapkan mandat Perancis di Suriah dan Lebanon oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Saudara Faisal, Abdullah bin Husein, sempat berencana untuk merebut kembali
Suriah, namun diurungkan karena mandat Perancis diakui dunia Barat (saat itu).
Digusur di Suriah, Faisal
kemudian mendapat ganti rugi dengan "tukar guling" penguasaan wilayah
Irak yang telah berada di bawah mandat Inggris. Kerajaan Inggris adalah sekutu
keluarga Hasyimiyah saat melawan Utsmani. Di Irak, Faisal dan keluarganya
mendapat status semi otonom, hingga selanjutnya merdeka dari Inggris pada tahun
1932. Namun setelah kematiannya, kondisi politik Irak mulai memanas. Jejak
kerajaan Hasyimiyah di Irak akhirnya tak bersisa setelah kekuasaan Faisal II
dihancurkan oleh kaum nasionalis kiri pada 1958.
Hampir bersamaan dengan Irak yang
diberikan pada Faisal, Inggris juga menyerahkan wilayah Trans Jordan di bawah
Abdullah bin Husein. Hingga berakhirnya mandat Inggris, Yordania sepenuhnya di
bawah keluarga raja Abdullah I.
Sekarang, keluarga Hasyimiyah
hanya berhasil berkuasa atas negara Yordania. Pada tahun 1925, Hejaz (Mekkah
dan Madinah) berhasil direbut sepenuhnya oleh dinasti Saud yang berpaham
Ahlusunnah-Wahabiyah dan kini menjadi wilayah Arab Saudi.
Syarif Mekkah, pencetus 'Arab
Revolt' melawan Turki, meninggalkan Hejaz pada tahun 1924 setelah terdesak oleh
pasukan Ibnu Saud dari Nejd, Inggris tidak membantunya saat diserang Saudi. Ia
meninggalkan putranya Ali atas kontrol Mekkah, Syarif Husein pergi terasing ke
Siprus dan kemudian wafat di Amman (saat masih administrasi Trans Jordan) pada
tahun 1931.
(Sumber: Sejarah Yordania)
Inggris dan Sejarah Berdirinya Arab Saudi
Ottoman semakin lemah. Tahun 1908, khilafah
dihapuskan meski jabatan sultan diperbolehkan hingga beberapa tahun. Ideologi
Ottoman resmi menjadi nasionalisme Turki. Ulama menyebutnya Turaniyah.
Tanggal 29 Oktober 1914, Ottoman mengumumkan
perang terhadap aliansi (Inggris, Prancis, Rusia, dan AS). Ottoman berharap
banyak pada Jerman yang sudah lama bekerjasama. Jadi kalau Inggris dan
kawan-kawan menyerang wilayah Ottoman dan memecahnya, wajar. Namanya saja
perang.
Di sisi lain, muncul pemberontakan di seluruh
wilayah Arab. Selama ini mereka merasa dijajah oleh Ottoman. Ditambah
pernyataan dukungan Inggris, meletuslah pemberontakan Syarif Husain tahun 1916.
Inggris masuk ke wilayah Teluk Arabia dan Iraq.
Mereka berusaha mengamankan wilayah tersebut agar tidak jatuh ke Ottoman.
Mereka mempercayakannya kepada Faisal anak Syarif Husain dan beberapa pemimpin
suku.
Di jantung jazirah Arab, posisi Ibnu Saud makin
kuat. Semua buku sejarah menyatakan daulah tersebut adalah daulah dakwah.
Problemnya, berbagai kekuatan di sekitarnya sedang bertarung.
Saat Ottoman terdesak oleh Inggris di
Palestina, pada tanggal 4 Desember 1917, komandan Ottoman bernama Cemal Pasha
membujuk Syarif Husain dan menjelaskan rencana penyerahan Palestina kepada
Yahudi. Namun Syarif Husain punya perhitungan lain. Jadi tidak benar jika
Syarif Husain tidak tahu perjanjian Sykes-Picott. Bujukan Cemal Pasha
diacuhkan.
Ottoman melihat kekuatan Ibnu Saud. Maka
dikirimlah utusan yang salah satunya adalah ulama terkenal Mahmud Syukri
al-Alusi. Ibnu Saud dihadiahi 10.000 lira emas. Dia diminta agar tidak
mengganggu jalur perdagangan Ottoman serta jamaah hajinya. Ibnu Saud
menyetujuinya.
Inggris mendekati Ibnu Saud dengan harapan
wilayah Iraq, Qatar, Kuwait, tidak diekspansi Ibnu Saud. Karena saat itu Ibnu
Saud melihat ancaman Syarif Husain, maka Inggris menawarkan senjata dan uang
60.000 pound setahun.
Lalu disepakati perjanjian Darin yang pokok
utamanya (nomor 1) adalah Inggris mengakui kedaulatan Ibnu Saudi dengan
batas-batas yang disepakati. Juga agar Ibnu Saud tidak menyerahkan wilayahnya
kepada siapapun. Poin lain soal keamanan jamaah haji.
Syarif Husain di Mekkah, juga tidak ketinggalan
mengirimkan hadiah berupa emas dan pakaian. Kekuatan Ibnu Saud tentu nanti bisa
jadi halangan jika urusan dengan Ottoman selesai. Hadiah dari Syarif Husain ini
tidak diterima Ibn Saud, bahkan membuatnya marah.
Tentara Ottoman kalah oleh Inggris dibantu
Syarif Husain. Garnisun terakhir Ottoman yang dipimpin Jenderal Fakhri Pasha,
bertahan di Madinah.
Selama dikepung Inggris dan Syarif Husain,
mata-mata Ibnu Saud diketahui berhubungan dengan Fakhri Pasha. Ini penuturan
John Philby, penasehat Syarif Pasha sendiri. Fakhri Pasha kemudian dipulangkan
ke Istanbul.
Dengan kenyataan di atas, Ibnu Saud dituduh:
Memberontak kepada Ottoman;
Piaraan Inggris; dan,
Membantu Palestina lepas.
Mereka yang menuduh demikian, menggunakan
alasan karena bantuan Inggris di atas.
Sumber: Vassiliyev, Az-Zirikli, Eugene Rogan,
John Philby, David Murphy, Gary Troeler.
100 Tahun Perjanjian Sykes-Picot Yang Pecah Belah Bumi
Syam Dan Turki Utsmani
Fakta Mengejutkan ! Pengkhiatan Syiah di balik runtuhnya
kekhilafahan Islam ( Utsmaniyah )