Rabu, 21 September 2016 20:00
Imam al-Allamah Abu Zakaria
Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi, atau yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi,
adalah sosok ulama besar mazhab Syafi’i. beliau lahir di desa Nawa pada
tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H.
Imam Nawawi terkenal dengan
keluasan ilmu yang melahirkan banyak karya. Dalam literatur mazhab Syafi’i,
beliau digelar dengan “Mujtahid Mazhab“, yaitu pelanjut Imam Ar-Rafi’I dalam
mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi`i. Bahkan telah
populer di kalangan mazhab Syafi`iyyah yaitu apabila terjadi pertentangan dalam
pentarjihan antara An-Nawawi dan Rafi`i, maka didahulukan tarjih An-Nawawi.
Salah satu pendapat beliau
yang cukup tegas adalah tentang pemungutan pajak. Ketika mengomentari hadis
tentang larangan memungut pajak, beliau berkata, “Bahwasanya pajak
termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan
(pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan
yang banyak sekali di akhirat nanti.”(Lihat: Syarah Shahih
Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi)
Pendapat ini menjadi prinsip
yang beliau pegang dalam kehidupannya. Hingga pada suatu ketika terjadi
penyerangan besar-besaran pasukan Tartar terhadap wilayah-wilayah kaum
muslimin. Saat itu, hampir seluruh wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh
pasukan Tatar.
Kondisi kaum muslimin
benar-benar berada dalam keadaan sulit. Dalam Baitul Mal sendiri tidak terdapat
dana yang cukup untuk membiayai perperangan. Pada masa itu yang berkuasa adalah
Sultan Zahir Bairbas. Untuk mengatasi persoalan biaya perang, Ia mengajak para
ulama untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, para ulama yang hadir
sepakat untuk memungut pajak kepada rakyat, terutama yang kaya untuk membantu
biaya perang.
Dikisahkan bahwa Imam Nawawi
tidak hadir dalam acara tersebut. Sebagai ulama yang dihormati dan menjadi
tuntunan bagi mayoritas umat, tentu ketidakhadiran beliau menjadi pertimbangan
sang Sultan.
Akhirnya, Imam Nawawi pun
dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan persetujuan andaterhadap
pendapat para ulama yang lain,” Akan tetapi Imam Nawawi
tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam
Nawawi, “Kenapa anda menolak?”
Imam Nawawi
berkata, “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari
Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa–apa. Lalu Allah memberikan kekayaan
dan dijadikannya sebagai Raja. Saya
dengar sekarang anda juga memiliki seribu orang
hamba sahaya. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas. “
Selain itu, anda pun memiliki
200 orang jariah (budak perempuan), setiap jariah mempunyai
perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai
kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian
tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.”
Mendengar pendapat Imam
Nawawi ini, Sultan Zhahir pun marah kepadanya dan berkata,“Keluarlah dari
negeriku, Damaskus.” Tanpa ada beban sedikit pun, Imam Nawawi
menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan.” Kemudian beliau
pun pulang ke kampung halamannya di daerah Nawa, sebuah desa di daerah Syam.
Para ahli fikih berkata
kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, guru dan panutan
kami.” Mendengar keluhan tersebut, Imam Nawawi pun diminta untuk kembali
ke Damaskus. Tetapi permintaan tersebut beliau tolak dan berkata, “Saya
tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana.” Lalu sebulan setelah
itu Zhahir pun meninggal. (Lihat: Imam As-Suyuti, Husnu al-Muhadharah,
2/105)
Demikian ketegasan sikap yang
ditunjukkan oleh Imam Nawawi dalam mempertahankan prinsipnya. Semoga kisah
teladan ini dapat mengispirasi kita semua dalam memegang nilai-nilai syariat
Islam.
Penulis : Fakhruddin
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan
Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan
Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian I)
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan
Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan
Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 2)
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan
Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan
Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 3)