Jum'at, 23 September 2016 11:00
Hingga hari ini, arus
penyebaran ajaran Syiah Rafidhah masih terus menyusup ke tengah-tengah
masyarakat Islam. Berbagai macam strategi mereka gunakan. Selain berupaya untuk
bertaqiyah, mereka juga berusaha mengaburkan pengertian syiah yang
sesungguhnya. Caranya, setiap kali ditanya tentang kesesatan kelompok syiah,
mereka selalu mengembalikan pengertiannya kepada makna bahasa dan
mengait-ngaitkannya dengan pengikut Ali bin Abi Thalib (baca; Syiah Ali).
Benar. Secara bahasa,
kata Asy-Syiah bermakna pengikut atau penolong. Sehingga setiap kaum
yang bersepakat dalam suatu urusan, maka mereka itu disebut sebagai Syiah.
(lihat; Mishbahul Munir, pembahasan kata syaya’a)
Sementara menurut istilah,
kata Syiah sangat berkaitan erat dengan sejarah kemunculan mereka dan tahapan
perkembangan keyakinannya. Sebab, jika diperhatikan, keyakinan dan pemikiran
Syiah senantiasa berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu.
Fase Perubahan Ajaran Syiah
Paham Syiah pada periode awal
berbeda dengan paham Syiah pada periode-periode selanjutnya. Sebab, pada awal
kemunculannya, yang disebut sebagai kelompok Syiah adalah orang-orang yang
lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah daripada Utsman bin
Affan. Karena itulah kemudian ada istilah Syi’i (kelompok yang mengutamakan Ali
bin Abi Thalib) dan Utsmani (kelompok yang mengutamakan Utsman).
Berdasarkan kenyataan ini,
maka istilah Syiah pada periode awal hanya ditujukan kepada orang-orang yang
lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Utsman bin Affan. (Lihat; Fatawa
Ibni Taimiyyah, 3/153 dan Fathul Bari, 7/34)
Laits bin Abi Sulaim
mengatakan, “Aku menyaksikan secara langsung golongan Syiah generasi
pertama, dan mereka tidak mengutamakan seorang pun atas Abu Bakar dan Umar bin
Khathab.”(Al-Muntaqa, hal. 360-361)
Demikian juga penulis kitab
Mukhtashar At-Tuhfah, ia menyebutkan bahwa, “Orang-orang yang hidup pada
masa pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, baik dari kalangan
Muhajirin maupun Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
semuanya mengakui hak Ali bin Abi thalib dan meletakkan keutamaan pada tempat
yang semestinya. Mereka tidak mengurangi keutamaan seorang pun dari
teman-temannya yang merupakan para shahabat Rasulullah SAW, apalagi mengafirkan
dan mencelanya.” (Mukhtasharut Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 3)
Hanya saja, paham Syiah yang
bersih, murni, selamat, dan luhur ini tidak bertahan lama. Dasar-dasar paham
Syiah terus berubah seiring berjalannya waktu hingga terbagi menjadi beberapa
golongan. Kelompok ini juga menjadi sarang persembunyian bagi orang-orang yang
bermaksud melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin dari kalangan
musuh-musuh Islam yang zalim dan dengki. Oleh sebab itulah, kita menyebut
orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar bin Khathab dengan sebutan
Rafidhah, bukan Syiah, karena sifat-sifat Syiah tidak pas diterapkan pada
mereka. (Ushulusy Syiah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah, 1/66-67)
Orang yang mengetahui tahapan
perkembangan keyakinan kelompok Syiah, tentu ia tidak heran ketika mendapati
adanya para ahli hadits, ulama, dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang
disebut-sebut sebagai orang Syiah. Bahkan tidak jarang pada hakikatnya mereka
adalah para ulama Ahlussunnah. Sebab, Syiah pada zaman dahulu memiliki
pemahaman dan definisi yang berbeda dengan Syiah pada zaman sekarang.
Syiah Sekarang lebih tepat
disebut Rafidhah
Secara bahasa,
kata rafidhah berasal dari kata ar-rafdhu yang berarti
meninggalkan dan berlepas diri dari sesuatu. Sedangkan secara istilah Rafidhah
adalah suatu kelompok yang dinisbatkan kepada orang-orang yang mendukung Ahlul
bait, berlepas diri dari Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan sebagian besar
shahabat Rasulullah SAW serta mengafirkan dan mencaci maki mereka. (Al-Intishar
lish Shuhubi wal Ali, hal. 25)
Sebab penamaan Rafidhah
sendiri berawal dari penentangan mereka terhadap Zaid bin Ali yaitu mengingkari
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Karena itu lah, Zaid bin Ali
berkata, “Rafadhtumûnî (Kalian telah meninggalkan aku).”
Ibnu Taimiyah berkata, “Abu
Bakar dan Umar bin Khathab hanya dibenci dan dilaknat oleh kaum Rafidhah, tidak
oleh kelompok-kelompok yang lainnya.” (Majmu’ul Fatawa, 4/435)
Sebagian sekte Rafidhah zaman
sekarang, mereka mereka gusar dan tidak rela terhadap penamaan tersebut.
Menurut mereka, nama Rafidhah merupakan julukan yang dilekatkan oleh
orang-orang yang memusuhi mereka. Muhsin Al-Amin mengatakan, “Rafidhah adalah
sebutan untuk mencela orang yang lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dalam
kekhalifahan dan seringnya digunakan untuk mendiskreditkan dan mencela orang-orang
itu.” (A’yanusy Syî’ah, 1/20)
Karena itulah, pada zaman
sekarang mereka menamakan dirinya dengan Syiah, dan mereka pun lebih populer
dengan nama ini (Syiah) di tengah-tengah khalayak ramai. Ironinya, beberapa
penulis dan cendekiawan muslim terpengaruh dengan sebutan itu, sehingga kita
mendapati mereka menggunakan nama Syiah dalam menyebut sekte Rafidhah. Padahal,
Syiah adalah istilah umum yang pengertiannya mencakup setiap orang yang
mendukung Ali bin Abi Thalib. (Maqalatul Islamiyyîn, 1/65 dan Al-Milal wan
Nihal, 1/155)
Dengan demikian, menggunakan
nama Syiah untuk menyebut kaum Rafidhah secara umum tanpa ada keterangan
tambahan tidaklah benar. Sebab, istilah Syiah mencakup golongan Zaidiyah yang
mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khathab.
Bahkan, menyebut Rafidhah
dengan nama Syiah akan menimbulkan asumsi bahwa mereka adalah kaum Syiah pada
zaman dahulu yang muncul pada masa Ali bin Abi Thalib a dan generasi
setelahnya, yang mereka bersepakat lebih mengutamakan Abu Bakar dan Umar bin
Khathab atas Ali bin Abi Thalib, tetapi lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib
atas Utsman bin Affan. Di antara kaum Syiah generasi pertama ini banyak
terdapat para ulama dan orang-orang yang dikenal dengan kebaikan dan kemuliaan.
Dampak buruk dari hal itu
adalah apa yang terjadi pada sebagian pelajar pemula yang tidak memahami
definisi sebenarnya dari istilah Syiah dan Rafidhah. Para pelajar pemula itu
salah besar dalam menilai serta menyikapi antara Rafidhah dan Syiah. Mereka
menggunakan istilah Syiah untuk menyebut Rafidhah, sehingga mereka mengira
bahwa pernyataan para ulama zaman dahulu tentang Syiah juga berlaku juga bagi
Rafidhah. Padahal, para ulama membedakan antara kedua kelompok tersebut dalam
segala hukum yang mereka tetapkan.
Dengan demikian, kita harus menyebutkan
orang-orang yang mengingkari kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khattab serta
mereka yang mengafirkan para sahabat dengan nama sebenarnya, yaitu Rafidhah.
Kita juga tidak boleh menyebut mereka dengan nama Syiah secara umum, karena
bisa menimbulkan kerancuan dan ketidakjelasan.
Namun apabila terpaksa
menyebut mereka dengan nama Syiah, maka kita harus menyertakan keterangan
tambahan yang menunjukkan jati diri mereka secara spesifik, misalnya dengan
mengatakan Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariyah, sebagaimana kebiasaan
para ulama ketika menyebut mereka. (lihat: Al-Intishar lish Shuhubi wal
Ali, hal. 30) Wallahu a’lam bish shawab!
Penulis : Fakhruddin
Diringkas dari buku khawarij
dan syiah karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, penerbit Aqwam, Solo