Sunday, October 16, 2016

Pahami TAKDIR Dengan Benar, Sehingga Tidak Lagi Mengatakan Itu Adalah "PILIHAN" Seperti Pemahaman Sekte Qadariyah. Pemahaman Takdir Allah Menurut Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.


Hidup Ini Pilihan Atau Takdir? Jawabnya,.. PILIHAN JUGA Itu Bagian Dari Takdir…

April 22, 2016
Hidup Ini Pilihan, Atau Takdir?
hidup ini adalah TAKDIRYa sudahlah.. percuma aku berusaha lebih keras lagi, ini sudah takdirku…

Untuk apa menda’wahkan Islam untuk memperbaiki ummat?!
kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…

Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz,
jadi walaupun kita terus berjuang merubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!

Sudah garis tangannya si fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama,
sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha,
oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam..

Rizki itu di tangan Allah, semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia,
jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita,
ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…

Ini ngawurnya,.. RIZKI, ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya? Rizki dari Hongkong?..

Rizki , itu memang sudah ditakdirkan, dan seluruh manusia sudah ditentukan Rizkinya, tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih,. PAS, dan tidak akan tertukar,.

Tapi mencari Rizki tetap wajib diupayakan, ada usaha… dan usaha atau upaya manusia dalam menjemput rizki tersebut, itu sudah DITAKDIRKAN oleh Allah pula,.

Demikian juga tentang nasib manusia, Apakah dia menjadi KAFIR atau MUSLIM, kaya atau miskin, bahagia atau sengsara, jadi ustadz atau preman, atau mualaf,.. itu sudah Allah Takdirkan / tuliskan,.. jauh sebelum alam semesta ini diciptakan,.

Demikian pula apakah dia menjadi pemimpin atau rakyat jelata, semua sudah dituliskan…

Tidak ada garis tangan… itu adalah cara dukun dalam meramal, meramal garis tangan.. ini adalah perbuatan kesyirikan,.

Apakah jika sudah berupaya berarti tidak ada perubahan??..

Ini adalah keliru, justru Allah memerintahkan kita agar berupaya, berusaha agar hidup kita berubah..
Tapi jangan anda salah faham,… UPAYA KITA untuk merubah, itu juga bagian dari TAKDIR,.. Allah menakdirkan kita berupaya,. dan HASIL itu adalah takdir Allah juga..
Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…

Kata-kata takdir seringkali membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan merubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak dari seruan Tuhan mereka.

Ini terjadi karena tidak pahamnya manusia tersebut tentang bagaimana sih memahami takdir dengan benar, sesuai dengan pemahaman islam yang benar.

Masalah takdir, ini merupakan bagian dari RUKUN IMAN, dan takdir ini adalah MASALAH GHAIB, tidak ada manusia yang mengetahui takdir yang akan menimpanya,.

Dampak dari kesalahfahaman tentan takdir ini akan melahirkan pola pikir yang salah, diantaranya menjadikan maksiat atau kesalahan itu sebagai alasan,. ini kan TAKDIR saya,..

Ini seolah-olah manusia yang seperti ini menganggap dirinya mengetahui takdir yang menimpanya..
Ini juga seperti dia sedang berperasangka buruk kepada Allah, yaitu Allah menimpakan takdir yang jelek kepadanya..

Agar tidak salah faham, tidak menjadikan kejelekan atau kesalahan sebagai alasan, silahkan baca postingan ini

Kesalahan pandangan terhadap konsep takdir biasanya dimulai dari tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga hal yang berkaitan dengan Allah, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Mereka yang berpandangan salah tentang konsep takdir merasa bahwa apa yang mereka lakukan dan yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah sebagai yang Maha Tahu, sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz. Sehingga sebagai manusia, makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal tersebut, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan takdir, karena tidak seorangpun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.

Pernyataan yang tidak benar,.
Darimana bisa muncul pernyataan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan takdir?
Justru seluruh takdir itu sudah dicatat dan disimpan di lauhil mahfudz,. Dan Allah mengilmui itu semua, bahkan sebelum disimpan di lauhil mahfudz,

Allah memerintahkan kepada Qalam untuk mencatat seluruh takdir hingga terjadinya hari kiamat,.. dan kehendak Allah, itu juga terkait dengan takdir,.. Allah menghendaki seseorang menjadi muslim, atau menjadi kafir, baik, buruk, kaya , miskin, itu semua atas kehendak Allah,.
Ada sebuah ilustrasi yang sangat masyhur, adalah seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”, dia melanjutkan ”karena apa yang saya lakukan ini sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah tertulis semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal, termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut, sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena perbuatan ini bukan karena kehendak saya”. Hakim tersebut lalu berfikir tentang hal tersebut, setelah lama berfikir akhirnya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan dia kedalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes kepada tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang intinya adalah pencurian itu bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau sudah nasibnya. Sang hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”

Itu hakimnya yang cerdas, paham akidah yang benar, sehingga tidak mau dikadalin oleh si pencuri yang beralasan dengan takdir,.
Ilustrasi diatas memberikan kita kejelasan, bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai sekarangpun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di permukaan air, dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk mengarahkan hidupnya. Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia kedalam surga ataupun kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.

Itu akibat tidak memahami akidah yang benar tentang TAKDIR ini,. maka akan berkesimpulan seperti itu,.

Ini saya bawakan kisah nyata dari orang-orang yang lurus akidahnya,.

Abu Ubaidah bin Jarrah bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.

Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus.

Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya.

Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?”

(Demikian pula, apa yang kita putuskan tidak lepas dari takdir Allah, sebagaimana yang dilakukan penggembala yang mengarahkan kambingnya dari tanah yang tandus menuju tanah yang subur tidak lepas dari takdir Allah –pen.)

Betul sekali manusia tidak bisa merubah apa yang sudah ditakdirkan untuknya yang sudah tercatat di LAUHIL MAHFUDZ,.

Bahkan betul, apakah manusia itu masuk surga atau neraka, itu sudah ditakdirkan, sudah ditetapkan 50 ribu tahun sebelum alam semesta ini diciptakan,.  silahkan baca ulasannya disini
Sehingga, jika kita menginginkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Tidak kita sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya, ia juga mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah pastilah terjadi diatas muka bumi ini.

Kita pun yakin bahwa semua perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan berkehendak Anda membaca artikel ini. di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca sampai pada pembahasan takdir ini.

Tetapi Anda juga ingat bahwa ketika berada di website ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah artikel lain yang Anda baca. Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu, memilih sesuatu dan menjadi sesuatu.

Kehendak bebas atau kesempatan memilih yang diberikan Allah kepada manusia inilah yang akhirnya melahirkan konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya. Pertanggungjawaban ini di akhirat kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya bila kita dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.

Nah… yang salah anda pahami,.. dan ini adalah koreksi bagi anda,.. PILIHAN ANDA, ARTIKEL YANG ANDA PILIH, itu adalah bagian dari takdir juga,. Allah sudah tuliskan bahwa anda akan memilih artikel, akan menulis, akan bikin website, dan lain-lain,.

Bahkan misalkan anda ketika membaca artikelnya itu sambil garuk-garuk hidung, itupun Allah tahu,. sudah Allah tuliskan,..

Jadi, anda sendiri belum memahami dengan benar apa itu takdir,..

Betul, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tapi pilihan itu tidak akan luput sedikitpun dari TAKDIR yang sudah Allah tetapkan,.

Saya berikan permisalan yang simpel,.

Misalkan disodorkan kepada anda makanan, misalkan ada bala-bala, gehu,dodol,siomay,batagor,..

Semua makanan itu disodorkan kepada anda,. dan anda disuruh memilih dan memakan salah satu dari makanan tersebut,..

Nah, ketika anda memilih makanan tersebut, apakah anda merasa sedang dipaksa? Tidak bukan?

Nah,. jika anda memilih salah satu makanan tersebut,.. dan misalkan pilihan anda jatuh pada siomay,. maka itu adalah bagian dari TAKDIR,..

Allah sudah mentakdirkan anda akan memilih siomay, Allah juga mentakdirkan akan ada yang menawarkan makanan-makanan tersebut dan anda disuruh memilihnya,.

Jadi, PILIHAN anda, itu bukan MURNI dari upaya anda, tanpa kehendak Allah, atau luput dari TAKDIR Allah,..

Mudah-mudahan paham..
Pada seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian yang bisa dipilih dan berada di dalam kendali manusia untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian dimana manusia tidak mempunyai pilihan atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu, serta sudah ditetapkan atas manusia, baik dia suka maupun tidak, misalnya manusia pasti akan mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan, pria memiliki kecenderungan kepada wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, bencana alam yang terjadi dan lain-lain.

Dalam hal ini, Allah tidak memberikan ruang kepada manusia untuk memilih, sehingga apapun yang terjadi, manusia tidak perlu atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, karena hal itu tidak dapat dipilihnya. Di dunia pun anda tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya, tidak seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur?

Mengapa manusia akan mati?. Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.

Masih salah… sekali lagi.. Kejadian-kejadian diatas itu adalah TAKDIR  Allah,..

Ketika bencana terjadi,. kata siapa manusia dipaksakan menerima?…  pernah melihat terjadinya bencana? manusia tetap berupaya menghindar dari bahaya, dengan upaya mereka,.  bukan pasrah saja, misal terjadi kebakaran, maka berusaha mencari jalan selamat, demikian pula misalkan terjadi gempa bumi, maka berusaha agar selamat,..

Itu semua TAKDIR, dan upaya utk menyelamatkan diri juga itu adalah bagian dari takdir, adapun selamat atau tidaknya, itu juga adalah TAKDIR,..

Jadi tidak ada istilah ada kejadian yang bisa dipilih dan manusia bisa mengendalikannya,.. dan ada yang manusia tidak mempunyai pilihan atasnya…

Dan keyakinan seperti itu justru adalah keyakinan dari kelompok sesat, yaitu  Jabariyyah.

Saya katakan, bahkan KITA MENGEDIPKAN MATA KITA,. itu adalah atas kehendak Allah, bukan atas kemampuan kita sendiri, kehendak kita sendiri,.. apalagi urusan yang lebih besar dari itu,.
Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa dikelompokkan dalam dua bagian. bagian pertama adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang dapat dipilih, bagian kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang tidak dapat dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya. Pada bagian pertama, kita bisa memilih perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian itu akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini berarti, menjadi rajin ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya adalah sesuatu yang dapat kita pilih.

Tidak ada pembagian kelompok seperti itu,.
Seluruh kejadian di alam semesta ini, semua adalah bagian dari TAKDIR ALLAH,.
Bahkan hingga satu daun yang jatuh, semut yang merayap di batu hitam di malam yang gelap, itu semua tidak luput dari takdir Allah, itu semua atas kehendak Allah, dan sudah dituliskan 50 ribu tahun sebelum alam ini diciptakan,..

Jadi menjadi malas,amanah,khianat,pemarah,penyabar, taat pada Allah atau membangkangnya, itu adalah tidak luput dari TAKDIR ALLAH,. bukan MURNI PILIHAN manusia,..
Karena tidak ada satupun makhluk yang bisa berbuat tanpa kehendak dari Allah,.
Sedangkan pada bagian kedua, kita dipaksa menerima kejadian itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan kepada kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan yakin bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt. Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak boleh protes atau mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya pasti baik.

SALAH BESAR, arti TAKDIR bukanlah itu,..

Pembagian perbuatan menjadi yang bisa dipilih atau tidak, ini saja sudah keliru,. sehingga menganggap yang bisa dipilih itu BUKANLAH BAGIAN DARI TAKDIR, dan yang tidak bisa dipilih, itulah yang disebut sebagai TAKDIR,.. ini adalah pemahaman yang sangat ANEH,. bukan pemahaman Ahlusunnah,. tapi paham MU’TAZILAH, saya sudah postingkan disini
Adapun kalau makhluk seolah-olah dipaksa untuk menjalani takdirnya, ini adalah paham JABARIYYAH,.

Setelah pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak sepatutnya kita menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa kita pilih. Apa yang terjadi di masa yang lalu mungkin beberapa diantaranya termasuk dalam hal yang bisa kita pilih. Masa depan pun sesungguhnya bisa kita pilih, ingin menjadi apakah Anda?

Hebat bener,.. masa depan bisa anda pilih,. emangnya anda siapa?

Pelajarilah akidah yang benar,.. sungguh pemaparan anda tentang takdir ini, jauh dari kebenaran..
sumber pernyataan felix diambil dari websit pribadinya, disini  : felixsiauw.com
Dan pelurusan tentang pernyataannya itu dari admin web aslibumiayu.net
Pahami TAKDIR Dengan Benar, Sehingga Tidak Lagi Mengatakan Itu Adalah "PILIHAN" Seperti Pemahaman Sekte Qadariyah

June 18, 2015
Memahami Takdir Ilahi
”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu.“

Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 70).

Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 29).

Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),”Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96).

Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.

Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam :

[1] Takdir umum mencakup segala yang ada.

Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena).

Allah berfirman kepada qalam tersebut,

“Tulislah”.

Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?”

Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum.

Takdir ini terdiri dari :
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.

(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4).

Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)

Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.

Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi.

Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.

Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.

Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.

Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 28-29).

Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat,“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri.

Kemudian pada ayat selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29).

Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”

Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.

Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.

Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)

Buah dari Beriman kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.

Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu.

Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. LihatSilsilah Ash Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.

[Sumber rujukan utama : [1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan, [2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]
***
Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Bagaimana Cara Memahami Takdir Dengan Benar? Salah Memahami BISA FATAL Akibatnya.

November 11, 2013
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.  Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.

Antara Qodho’ dan Qodar

Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]

Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.

Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.

Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).

Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]

Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.

Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.

Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}

“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]

Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya

Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.

Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,

ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)

نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}

“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)

Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]

Macam-Macam Takdir

Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:

[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[6]

[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,

} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).

[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)

[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,

حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}

“Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)

[5] Takdir Yaumi. Yakni  pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,

يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]

Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir

Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.

Kelompok yang lain adalah yang  terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)

Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan  kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.

Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.

Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]

Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir

Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]

Faedah Penting

Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :

Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.

Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.

Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]

Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
[1] Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed]
[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54.  Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.
[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.

Iman Kepada Takdir

Definisi
Qadha` secara bahasa adalah ketetapan hukum, firman Allah, “Dan telah Kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab itu..” (QS. Al-Isra`: 4).

Secara istilah qadhaâ adalah perkara yang Allah tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan atau perubahan.

Qadar secara bahasa adalah takdir (ukuran, kadar dan ketentuan), firman Allah, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49). Firman Allah, “Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (QS. Al-Mursalat: 23).

Takdir adalah perkara yang Allah takdirkan di azal untuk terjadi pada makhlukNya.

Oleh karena itu kami katakan, bahwa qadhaâ dan qadar memiliki arti berbeda jika berkumpul dan arti sama jika terpisah sesuai dengan ucapan ulama, keduanya adalah kata jika berkumpul terpisah dan jika terpisah berkumpul. Kalau dikatakan ini adalah qadar Allah maka ia mencakup qadhaâ. Kalau keduanya disebut secara bersama maka masing-masing mempunyai makna sendiri.

Kewajiban beriman kepada takdir

Takdir sebagai salah satu rukun iman merupakan perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Rasulullah saw menetapkannya dalam hadits Jibril,

أنْ تُؤمِنَ باللهِ، وَمَلائِكَتِهِ ، وَكُتُبهِ، وَرُسُلِهِ، وَاليَوْمِ الآخِر، وتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيرِهِ وَشَرِّهِ .

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Takdir baik adalah yang sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia menjadi baik, berbahagia dan tenang, semua itu dari Allah.

Buruk dalam takdir adalah yang tidak sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia tertimpa kesulitan dan kesengsaraan.

Musykil, Bagaimana dikatakan takdir buruk sementara keburukan tidak patut dinisbatkan kepada Allah sebagaimana dalam hadits, “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya.” (HR. Muslim)?

Jawab, Keburukan pada takdir tidak berdasarkan kepada takdir Allah padanya akan tetapi berdasarkan apa yang ditakdirkan, di sini ada qadar yang merupakan takdir dan apa yang ditakdirkan sebagaimana ada penciptaan dan apa yang diciptakan (makhluk), ada iradah (keinginan) dan apa yang diinginkan, kalau berdasar kepada takdir Allah maka ia bukan keburukan, justru ia baik bahkan seandainya itu menyengsarakan dan merugikan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya. Kalau berdasarkan apa yang ditakdirkan maka ada yang baik dan ada yang buruk. Jadi maksud dari takdir baik dan buruk adalah apa yang ditakdirkan baik dan buruk.

Contohnya adalah firman Allah, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41).

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya dan tujuan darinya. Kerusakan adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia dan tujuannya adalah, Supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kerusakan yang terlihat di daratan dan lautan mengandung hikmah meskipun ia sendiri buruk akan tetapi karena hikmahnya yang besar maka pentakdirannya menjadi baik.

Begitu pula kemaksiatan dan kekufuran, ia adalah keburukan, ia termasuk takdir Allah akan tetapi karena hikmah yang besar, kalau bukan karena itu niscaya batallah syariat, kalau bukan karena itu niscaya penciptaan manusia hanyalah main-main, kalau bukan karena itu niscaya tidak diketahui mana yang taat dalam arti sebenarnya, kalau bukan kerena itu niscaya tidak dibedakan mukmin sejati dengan mukmin yang berpuara-pura, dan begitu seterusnya.

Demikian pula musibah yang menimpa seseorang dalam bentuk lenyapnya harta atau wafatnya kerabat atau sakitnya diri sendiri, ia buruk karena ia tidak sejalan dengan keinginannya, akan tetapi ia baik dari sisi hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan lenyapnya harta seseorang mengetahui bahwa ia tidak kekal, dengan wafatnya kerabat dia mengatahui bahwa manusia pasti mati, dengan begitu dia akan berbekal, dengan sakit dia menyadari nikmat sehat, dan begitu seterusnya.

Iman kepada takdir baik dan buruknya tidak menuntut iman kepada segala apa yang ditakdirkan karena apa yang ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar’i. Apa yang ditakdirkan secara kauni; Apabila Allah mentakdirkan sesuatu yang tidak kamu sukai atasmu maka ia pasti terjadi, kamu rela atau tidak.

Apa yang ditakdirkan secara syar’i: Mungkin dilaksanakan oleh seseorang dan mungkin tidak, akan tetapi dengan melihat kepada kerelaan kepadanya maka harus diperinci, jika ia adalah ketaatan kepada Allah maka wajib rela kepadanya, jika ia adalah kemaksiatan maka wajib dibenci, dihindari dan dilenyapkan

Dari sini maka kita wajib beriman kepada segala apa yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan qadha dari Allah. Adapun dari sisi ia sebagai keputusan maka kita mungkin rela dan mungkin tidak, seandainya kekufuran terjadi pada seseorang maka kita tidak rela terhadap kekufuran darinya akan tetapi kita rela sebagai ketetapan dari Allah.
Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin.

Terlahir Sebagai Keturunan China Adalah TAKDIR, Memilih Islam itu PILIHAN?? Ini Adalah Pemikiran Yang Menyimpang..


Tingkatan Iman kepada Takdir

Iman kepada takdir memiliki empat tingkatan:
Pertama, Ilmu
Maksudnya adalah beriman kepada ilmu Allah yang merupakan sifatNya sejak masa azali sampai masa abadi, bahwa ilmu Allah ini menyeluruh, mencakup dan meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang terlepas dari ilmu Allah, ilmu Allah mencakup apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi sebagaimana ia terjadi. Ilmu Allah ini tidak didahului dengan ketidaktahuan dan tidak tersusupi oleh kealpaan.

Dalil-dalil yang menetapkan ilmu Allah

Firman Allah, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’âm: 59).

Firman Allah, “Tidak ada tersembunyi daripadaNya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar.” (QS. Saba`: 3).

Ayat-ayat di dalam al-Qur’ân dalam hal ini berjumlah besar.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma, jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang anak-anak orang musyrik, beliau menjawab,

 “Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika Dia menciptakan mereka.”

Dari akal, sudah diketahui dengan akal bahwa Allah adalah pencipta dan bahwa selain Allah adalah makhluk, secara akal Khalik pasti mengetahui makhluk. Allah telah menetapkan hal ini dalam firmanNya, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14).

Tingkatan kedua, Kitabah (Penulisan)

Beriman bahwa Allah menulis takdir makhlukNya di Lauh Mahfuzh, seluruhnya tidak ada yang terlewatkan.

Apa itu Lauh Mahfuzh? Kita tidak mengetahui hakikatnya, dari apa, apakah dari kayu, atau besi atau batu atau emas atau perak atau jamrud? Allah lebih mengetahui tentang itu, yang penting kita beriman kepadanya di mana padanya Allah menulis segala sesuatu dan kita tidak mempunyai wewenang untuk membahas apa yang ada di balik itu akan tetapi seandainya di dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat petunjuk tentangnya maka kita wajib meyakininya.

Lauh ini dikatakan Mahfuzh karena ia mahfuzh (terjaga) dari tangan-tangan makhluk, tidak seorang pun menambah sesuatu atau merubah sesuatu darinya selama-lamanya. Kedua: Karena mahfuzh dari perubahan. Allah tidak merubah sesuatu pun di dalamnya karena Dia menulisnya dengan ilmuNya

Di antara dalil-dalil yang menetapkan hal ini:

Firman Allah,“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Haj: 70).

Firman Allah, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).

Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Amru radliyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah menulis takdir-takdir lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.'”Nabi bersabda, “Dan Arasy-Nya di atas air.”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir berkata, Suraqah bin Malik bin Ju’syam datang kepada Nabi, dia berkata, “Ya Rasulullah, jelaskanlah agama kepada kami seolah-olah kita diciptakan sekarang, untuk apa beramal hari ini, apakah untuk perkara yang telah ditulis oleh pena dan berlaku padanya takdir? Ataukah untuk yang akan datang?”Nabi menjawab, “Tidak, akan tetapi untuk perkara yang telah ditulis oleh pena dan berlaku padanya takdir.” Dia bertanya, “Untuk apa beramal?” Nabi bersabda, “Beramallah karena masing-masing dimudahkan.”

Dalam Musnad Ahmad dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah pena, Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Apa yang aku tulis?” Dia berfirman,”Tulislah apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi sampai Hari Kiamat!.

Tingkatan ketiga, Masyi`ah (kehendak)

Yakni beriman kepada masyi`ah Allah yang pasti berlaku atas makhlukNya secara menyeluruh. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi karena kekuasaanNya dan apa yang tidak maka tidak, bukan karena Dia tidak mampu akan tetapi karena tidak berkehendak. Oleh karena itu kaum muslimin sepakat di atas ungkapan, masya Allah kana wa ma lam yasya` lam yakun.

Firman Allah, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS. Fathir: 44).
Firman Allah, “Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82).

Kalau kita menetapkan masyi`ah bagi Allah, hal ini tidak berarti kita menafikannya dari manusia, karena manusia memiliki kehendak, hanya saja kehendaknya dalam ruang lingkup kehendak Allah. Menetapkan kehendak Allah bukan berarti menetapkan akidah jabariyah.

Firman Allah, “Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29).

Keempat, Khalqu (penciptaan)

Beriman bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia, ia termasuk makhluk Allah.

Firman Allah, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62). Manusia dan perbuatannya termasuk segala sesuatu.

Ayat-ayat yang menetapkan Allah sebagai pencipta berjumlah besar baik secara langsung maupun melalui isyarat.

Sesuatu yang Allah takdirkan tidak luput dari empat tingkatan beriman kepada takdir ini, jika Allah mentakdirkan perkara A misalnya, maka perkara itu dalam cakupan ilmuNya artinya Dia mengetahuinya, Dia menulisnya, menghendakinya dan menciptakannya sehingga ia terjadi.

Faedah beriman kepada takdir

Pertama: Bahwa ia temasuk kesempurnaan iman, iman tidak sempurna kecuali dengannya, khususnya kesempurnaan iman kepada rububiyah Allah karena takdir Allah termasuk perbuatanNya.

Kedua: Mengembalikan perkara-perkara kepada Allah, karena jika seseorang mengetahui bahwa segala sesuatu dengan qadha dan takdir Allah maka dia akan kembali kepada Allah dalam menolak dan menepis mudharat dan menisbatkan kebahagiaan kepada Allah dan dia mengetahui bahwa ia adalah karunia Allah kepadanya.

Ketiga: Seseorang mengetahui kadar dirinya, tidak sombong jika melakukan kebaikan, karena dia sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah dengan takdir.

Keempat: Ringannya musibah atas hamba, karena jika dia mengetahui bahwa ia dari Allah niscaya ringanlah baginya musibah, firman Allah, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Thaghabun: 11). Alqamah berkata, “Dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui bahwa ia dari Allah maka dia ridha dan menerima.”

Kelima: Menisbatkan nikmat kepada pemberinya karena jika kamu tidak beriman kepada takdir niscaya kamu akan menisbatkan nikmat kepada perantara nikmat, ini banyak terjadi pada orang-orang yang menjilat kepada raja-raja, umara dan para menteri, jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan mereka menisbatkannya kepada mereka dan melupakan karunia Allah kepadanya.

Benar kita wajib berterima kasih kepada manusia berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa membuat kebaikan untukmu maka balaslah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Akan tetapi harus tetap diyakini bahwa asalnya adalah karunia Allah yang dititipkan melalui orang tersebut.

Keenam: Mengetahui hikmah Allah karena jika seseorang melihat kepada alam ini dan perubahan-perubahan yang mencengangkan yang terjadi padanya niscaya dia mengetahui hikmah Allah, lain halnya dengan orang yang melalaikan qadar dan qadhaâ’, dia tidak mengambil faedah ini.
Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin dan Kitab Tauhid Ibnu Fauzan.

Berdamai Dengan Takdir

“Apakah manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?“

Jika kita memiliki sebuah keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun ternyata Allah tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut, apakah lantas kita berhak untuk ‘mencaci’ Allah? Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?

Seorang teman beberapa saat lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan beasiswa internasional bahwa dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yang pertama. Rekan saya tersebut telah lima kali mengikuti program ini, sejak menyelesaikan S1 Hukum di sebuah universitas kesohor di Bandung. Dan yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu hingga ke tahap-tahap akhir.

Yang terakhir diikutinya –tahun ini-ia telah melewati seleksi awal, dari seribu orang, tinggal tersisa seratus. Dari seratus orang yang tersisa, ia lolos ke lima puluh orang yang mengikuti seleksi di Jakarta. Di sana, ia pun terpilih dalam lima kandidat penerima beasiswa kuliah di Austria. Tapi, apa lacur… pengumuman terakhir tidak mencantumkan namanya.

Kekecewaan, jelas saya bisa menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes yang ia jalani menunjukkan bahwa ia mampu dan layak. Usaha yang ia lakukan pun bukan lagi sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tidak terhitung lagi berapa besar biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian tes itu, dari penyediaan berkas, akomodasi dan transportasi, juga kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi, sekali lagi, ia mengalami kegagalan pada saat-saaat terakhir.

Dari teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu menera pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang terjadi pada diri kita.

Ketidaklulusan teman saya dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu. Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa kali menunjukkan bukti bahwa ia layak menerima. Tapi sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.

Inilah yang saya katakan pada teman saya tersebut.

Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.

Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi. Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi akuntan sebagaimana dari awal saya sekolah di SMEA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya ‘tersesat’ ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha untuk ‘berdamai’ dengan-Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.

Kalaupun hingga saat ini saya tak juga ‘mampu’ untuk kuliah, bukan lantas saya berhak dengan semena-mena mematikan impian saya yang saya anggap ‘mulia’ ini. Konon, saya telah memaksimalkan usaha saya. Namun, biaya adalah hal pokok bagi saya, dan rasanya memang tak cukup hanya dengan tekad.

Pernah ada seorang teman yang mengatakan, “yang penting adalah niat.” Tapi, untuk saya, hal itu tidak berlaku. Masih kurang besarkah niat saya? Seberapa besar kemampuan niat untuk seorang dengan ekonomi di bawah pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat SMEA pun saya harus pontang-panting mengejar bayaran-bayasan SPP dan sebagainya.

Saat ‘uang tabungan’ saya raib begitu saja, saya masih bisa menghibur diri, “Nantilah, saya akan melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. Saat ini, yang harus saya lakukan adalah menabung.” Tapi, lagi-lagi, kehendak Allah bicara lain. Ijazah SMP dan SMEA saya ikut raib ulah sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu saya sangat ‘bodoh’ dengan bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT yang mengaku akan memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan sesudah itu, saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.

Dengan semua itu, impian saya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya tidak boleh demikian, menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.

Saat saya terantuk kegagalan, yang saya lakuikan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.

Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha. Dari ‘menulis,’ saya menemukan satu pelajaran berharga. Pertama kali menulis, tulisan saya ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan mencoba. Saya menulis dan menulis kembali. Hingga… akhirnya tulisan saya diterima sebuah media, berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya berikutnya. Di tahun 2001 untuk pertama kalinya ada sebuah penerbit yang mau membukukan tulisan-tulisan tersebut.

Tulisan-tulisan saya yang tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk sampah, bukanlah sebuah kegagalan, tetapi proses. Jika tidak melewati fase itu, saya yakin saya tak akan pernah sampai pada kondisi yang sekarang.

Kegagalan bagi saya adalah sebuah perjalanan. Terserah apakah kita akan berhenti sebelum sampai ke tujuan atau kita melanjutkannya dengan berbagai beban konsekuensi dari perjalanan itu sendiri.

Saya mengambil sebuah perumpamaan. Kita pernah sekolah di SD, lantas melanjutkan ke SMP, SMA, hingga kemudian kuliah. Jika telah lulus kuliah dan melamar pekerjaan, apakah kita memakai ijazah SD dan SMP untuk melamar pekerjaan? Tentu tidak. Kita hanya memakai ijazah SMA atau sarjana.

Jika demikian adanya, mengapa kita harus susah-susah sekolah di SD dan SMP? Mengapa kita tidak langsung saja kuliah atau sekolah di SMA?

Ini pertanyaan konyol, memang. Tapi bukankah benar demikian? Tanpa melalui SD dan SMP, kita tak akan pernah sampai ke SMEA atau kuliah. Kendati tidak dipakai dalam melamar pekerjaan, bukan lantas berarti ijazah SD dan SMP kita tidak berguna, bukan?

Begitulah dengan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang ‘tidak berguna,’ sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada kita tentang kematangan, konsep persaingan… atau barangkali Allah tengah menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan. Kegagalan membuat kita semakin mengimani takdir.

Belajar berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yang ‘dikaruniakan’ Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah ‘ijazah’ kesuksesan, tetapi ‘proses’ dan ‘menjadi.’

Konon, seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alenea itu?

Silakan Anda menjawab sendiri.

Hidup bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu”.
Sakti Wibowo
sakti@syaamil.co.id

Memahami Takdir Allah Menurut Perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Iman kepada takdir dan ketentuan Allah Ta’alabagi semua makhluk-Nya adalah salah satu prinsip dasar dan landasan utama agama Islam yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidaklah keimanan seorang hamba akan benar di sisi Allah Ta’ala sehingga dia memahami dan meyakini masalah ini dengan benar[1].

Hal ini disebabkan karena iman kepada takdir Allah Ta’ala secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allah Ta’aladalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti mencipta, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, karena menakdirkan dan menetapkan adalah termasuk sifat-sifat kesempurnaan-Nya[2].

Dalam hal ini, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Di antara sifat-sifat AlahTa’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatupun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari keinginan-Nya. Tidak ada sesuatupun di alam semesta yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Maka tidak ada seorangpun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh(kitab tempat penulisan semua takdir dan ketentuan-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya), Dia maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia menjaga mereka maka niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia menghendaki mereka semua mentaati-Nya maka niscaya mereka akan mentaati-Nya. Dia-lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Dia memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya”[4].

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan kewajiban mengimani takdir AllahTa’ala dalam ucapan beliau: “Ini termasuk ikatan iman (yang utama), landasan utamama’rifatullah (pengenalan terhadap Allah Ta’ala), serta pengakuan (keyakinan) terhadap tauhid dan rububiyah-Nya”[5].

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan hafidhahullah mengomentari ucapan di atas dengan mengatakan: “Inilah akidah (keyakinan yang benar), meyakini ketentuan dan takdir Allah, yang termasuk bagian dari iman kepada-Nya. Maka orang yang tidak mengimani ketentuan dan takdir Allah berarti dia tidak beriman kepada Allah Ta’ala, bahkan dia mencela/menentang Allah. Oleh karena itu, keimanan terhadap takdir Allah dalam berakidah bukanlah termasuk masalah yang bersifat cabang atau pelengkap/nomor dua, akan tetapi ini termasuk inti akidah Islam, bahkan salah satu dari rukun (tiang penopang) keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”[6].

Definisi al-qadar (takdir Allah) dan al-qadha’ (ketetapan-Nya)

Secara bahasa al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[7], maka arti kalimat: “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[8].

Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allah yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia menciptakannya. Maka tidak ada sesuatupun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allah telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[9], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[10].

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa mazhab/keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allah, yang berarti bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan takdir (dari) segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia ‘Azza wa jalla maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya”[11].

Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum, adapun dalam syariat pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, keculai jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat maka mempunyai arti sendiri- sendiri[12].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, beliau berkata: “al-Qadar adalah apa yang Allah Ta’ala takdirkan secara azali(terdahulu) tentang apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadha’adalah ketetapan Allah Ta’ala pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Maka ini berarti takdir Allah mendahului (al-qadha)”[13].

Dalil-dalil penetapan takdir Allah Ta’ala

1– Firman Allah Ta’ala:

{إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Para Imam Ahli Sunnah berargumentasi dengan ayat yang mulia ini atas (wajibnya) menetapkan takdir/ketetapan Allah yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia maha mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya, dan Dia telah menuliskannya (dalam al-Lauhul mahfuzh) sebelum Dia menciptakannya”[14].

2– Firman Allah Ta’ala:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}

“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).

3– Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”[15].

4- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”[16].

5- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan)? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (firman Allah Ta’ala):

{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan)” (QS al-Lail:5-10)[17].

6- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, seandainya (seluruh) umat manusia bersatu untuk memberikan suatu manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu memberikan manfaat bagimu kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu (keburukan) maka mereka tidak mampu mencelakakanmu kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena (untuk menuliskan segala ketentuan takdir Allah) telah diangkat dan lembaran-lembaran (tempat menuliskannya) telah kering”[18].

7- Dari Abdullah bin Fairuz ad-Dailami[19] beliau berkata: “Aku datang (menemui sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam) Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan aku berkata: “Timbul dalam diriku suatu (kerancuan dalam memahami) takdir Allah, sehingga aku khawatir agamaku (imanku) akan rusak, maka sampaikanlah kepadaku suatu (nasehat), supaya Allah menghilangkan kerancuan ini dari hatiku”. Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh seandainya Allah menyiksa semua makhluk yang ada di langit dan bumi maka Dia akan menyiksa mereka dan dia tidak berbuat zhalim/aniaya (dengan menyiksa mereka, karena mereka semua adalah milik-Nya), dan seandainya Dia merahmati mereka semua maka sungguh rahmat-Nya lebih baik bagi mereka daripada amal perbuatan mereka. Seandainya kamu bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah maka Dia tidak akan menerimanya darimu sampai kamu mengimani takdir-Nya dan kamu mengetahui (meyakini) bahwa apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) akan menimpamu maka tidak mungkin luput darimu, dan apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) tidak akan menimpamu maka tidak mungkin menimpamu. Kalau kamu mati dalam keadaan tidak meyakini semua ini maka kamu akan masuk neraka!”. Abdullah bin Fairuz ad-Dailami berkata: “Kemudian aku datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa, lalu aku datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa, kemudian aku datang kepada (sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam) Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa dari (sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[20]. Artinya: ucapan Ubay bin Ka’ab di atas bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[21].

Tingkatan-tingkatan iman kepada takdir Allah Ta’ala[22]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Iman kepada takdir Allah tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara (sebagai berikut):

1- Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara garis besar maupun terperinci, dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya:

{أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (al-Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS al-Hajj:70).

2- Mengimani bahwa Allah Ta’ala menulis dalam al-Lauhul Mahfuzh semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu, sebagaimana dalam firman-Nya:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}

“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”[23].

3- Mengimani bahwa tidak ada sesuatupun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan keinginan dan kehendak Allah yang berkisar antara kasih sayang dan hikmah-Nya (yang maha sempurna). Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak ditanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya, karena sempurnanya hikmah dan kekuasaan-Nya, sedang mereka (manusia) ditanyakan (tentang perbuatan mereka). Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh. Sebagaimana dalam firman-Nya:

{إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).

Juga firman-Nya:

{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ}

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit” (QS al-An’aam:125).

(Dalam ayat ini) Allah menetapkan terjadinya hidayah dan kesesatan (pada diri manusia) dengan kehendak-Nya.

4- Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk AllahTa’ala, tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا}

“Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya” (QS al-Furqaan:2).

Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:

{وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ}

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS ash-Shaaffaat:96)”[24].

Pembagian takdir Allah Ta’ala

Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah berkata: “Takdir Allah ada dua macam:

– Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk, yang tertulis dalam al-Lauhul mahfuzh, karena Allah telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari kiamat. Sebagaimana (yang disebutkan) dalam hadits riwayat Abu Dawud dalam kitab “Sunan Abi Dawud” dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Makhluk) yang Allah ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah!”, maka dia bertanya: Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis? Allah Ta’ala berfirman: “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari kiamat”[25]. Takdir ini meliputi semua makhluk.

– Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum (di atas), takdir ini ada 3 macam:

1. Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu[26] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.

2. Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) pada malam lailatul qadr (di bulan Ramadhan) tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun, sebagaimana dalam firman-Nya:

{إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ}

“Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[27]) yang muhkam (tidak bisa berubah)” (QS ad-Dukhaan:3-4).

3. Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[28], sebagaimana dalam firman-Nya:

{كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ}

“Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya)” (QS ar-Rahmaan:29)”[29].

Mengingkari takdir Allah Ta’ala sama dengan berburuk sangka kepada-Nya

Allah Ta’ala berfirman:

{يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ}

“Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah” (QS Ali ‘Imraan:154).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” (persangkaan orang-orang Jahiliyah) dalam ayat ini, beliau berkata: “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allah (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allah akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya unggul di atas agama-agama lainnya.

Inilah persangkaan buruk kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allah Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya:

{وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرً}

“Dan supaya Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS al-Fath:6).

Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena merupakan prasangka yang tidak pantas bagi nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan…

Maka demikian pula (termasuk berprasangka buruk kepada-Nya) orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah Ta’alaberfirman):

{ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ}

“Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (QS Shaad:27)”[30].

Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya, karena Allah akan memeperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

أنا عند ظنّ عبدي بي

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[31].

Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut[32].

Apa arti “takdir yang buruk”?

Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir Allah Ta’ala yang bersifat “buruk”, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk”[33].

Juga dalam doa qunut pada waktu shalat witir, yang diajarkan oleh Nabi r kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu: “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan”[34].

Apakah arti “takdir-Nya yang buruk”? Apakah ada perbuatan-Nya yang buruk? Bukankah AllahTa’ala maha indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta maha suci dari semua bentuk keburukan? Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa iftitah: “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu, dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[35].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[36] dalam ucapan beliau: “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allah (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdir (perbuatan Allah menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan (perbuatan Allah Ta’ala) dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…

Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allah menakdirkan maka tidak ada (padanya) keburukan (sedikitpun) bahkan semua adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan meskipun menyakitkan baginya. Adapun kalau ditinjau dari al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqduur(sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.

Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allah Ta’ala:

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(QS ar-Ruum:41).

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan tujuan (hikmah)nya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya perbuatan buruk (dosa) manusia, dan tujuan (ditimpakan-Nya) bencana tersebut adalah “supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allah menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.

Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang AllahTa’ala turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna”[37].

Faidah dan manfaat mengimani takdir-Nya[38]

1. Iman kepada takdir-Nya merupakan hal yang menyempurnakan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa hal ini, karena iman kepada takdir Allah Ta’ala termasuk rukun-rukun iman.
2. Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, sebagiamana penjelasan di awal tulisan ini.
3. Merasakan ketenangan hati, kelapangan jiwa dan tidak merasa gelisah dalam menghadapi kesulitan dalam kehidupan di dunia ini, karena semua itu terjadi dengan ketetapan Allah Ta’aladan tidak mungkin dihindari.
4. Merasakan musibah menjadi ringan, sehingga memudahkan seorang hamba untuk bersabar dan meraih pahala dari Allah Ta’ala ketika ditimpa musibah dan bencana. Allah Ta’ala berfirman:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[39].
5. Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada AllahTa’ala, karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allah Ta’ala[40].
6- Menjadikan seorang hamba mengetahui kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri  ketika melakukan perbuatan baik.
7- Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui sempurnanya hikmah Allah Ta’ala dalam semua perbuatan-Nya.
8- Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
9- Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.

10- Merasakan kekayaan/kecukupan dalam hati, dan inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[41].

Penutup

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia di dalam agama-Nya, dengan rahmat dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 21 Syawwal 1431 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com dan dipublikasikan olehhttp://salafiyunpad.wordpress.com
Catatan Kaki:
[1] Lihat kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 549).
[2] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (3/159).
[3] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari
kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).
[4] Kitab “Lum’atul I’tiqaad” (hal. 114).
[5] Kitab “al-‘Aqiidatuth Thahawiyyah” (hal. 32).
[6] Kitab “Jaami’u syuruuhil ‘aqiidatith Thahawiyyah” (1/593).
[7] Lihat kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (5/51).
[8] Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[9] Keterangan Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah dalam kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[10] Lihat kitab “Syarhu ushuulil iman” (hal. 50) tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah.
[11] Kitab “Syarhu shahihi Muslim” (1/154).
[12] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/187-188).
[13] Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/188).
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/341).
[15] HSR Muslim (no. 8).
[16] HSR Muslim (no. 2653).
[17] HSR al-Bukhari (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).
[18] HR at-Tirmidzi (no. 2516) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[19] Beliau adalah seorang Tabi’in senior yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 317).
[20] HR Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77) dan Ahmad (5/182), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 2439).
[21] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (12/305).
[22] Lihat kitab “al-‘Aqiidatul waasithiyyah” (hal. 22), “Syarhu ushuulil iimaan” (hal. 50), dan kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226-227).
[23] HSR Muslim (no. 2653).
[24] Kitab “Syarhu lum’atil i’tiqaad” (hal. 92-93).
[25] HR Abu Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 3319) dan Ahmad (5/317), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[26] HSR al-Bukhari (no. 1226) dan Muslim (no. 2643).
[27] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/175).
[28] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 830).
[29] Kitab “al-Irsyaad ila shahiihil i’tiqaad” (hal. 227).
[30] Kitab “Zaadul ma’aad” (3/196).
[31] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[32] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).
[33] HSR Muslim (no. 8).
[34] HR Abu Dawud (no. 1425), an-Nasa’i (no. 1745), Ibnu Majah (no. 1178), dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (no. 1095), Ibnu Hibban (no. 722) dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[35] HSR Muslim (no. 771).
[36] Lihat juga keterangan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam “Syarhu shahiihi Muslim” (6/59).
[37] Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/191-192).
[38] Pembahasan ini kami rangkum dari kitab-kitab berikut: “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/189-190), “al-Irsyad ila shahiihil i’tiqaad” (229-231), “Syarhu usuulil iman” (hal. 55-56) dan “Arkaanul Islam wal iman” (78-81).
[39] Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[40] Sebagaimana keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 97).
[41] HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albanirahimahullah

Memahami Qadha’ Dan Qadar (Ketentuan Dan Takdir Allah)
(Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).

Iman Kepada Qadar(Takdir) Baik Dan Buruk
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Memahami Qadha’ Dan Qadar (Ketentuan Dan Takdir Allah)
(Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).

Tips Ibnul Qayyim Dalam Menghadapi Takdir Yang Buruk

Bukanlah yang dimaksud dengan kata takdir dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan Allah menakdirkan suatu peristiwa. Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi. Tidak ada satupun keburukan yang terdapat pada diri Allah. Tidak boleh satupun keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Apakah yang Dimaksud dengan Takdir Buruk?

Maksudnya adalah peristiwa pahit yang Allah takdirkan terjadi pada makhluk-Nya. Dalam menjalani kehidupan terkadang seorang mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang menyenangkan dirinya. Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan kebaikan, dan mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah takdir baik dan menggembirakan.
Tips Menghadapi Takdir Yang Buruk

Namun, terkadang dalam hidupnya seorang mukmin harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit keras, ibunya meninggal, dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang dirinya (difitnah) sampai merasa sakit hati. Nah, bagaimana sikap seorang mukmin yang baik?
Tips 1

Di dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur
إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله فيه ستّة مشاهد
Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:
الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو الذي قدّره وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
Pertama: Pandangan (kaca mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan  segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.
Penjelasan:
Seorang mukmin yang di dalam hatinya mengakar kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu dengan kaca mata iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya. Hatinya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya terjadi dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan ataupun keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada hikmahnya, baik kita ketahui atau tidak.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan musibah, Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka pandanglah peristiwa itu dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan musibah ini menimpa diri saya, Allahlah yang memilih saya untuk menjadi orang yang tertimpa musibah ini ,
Allah lah yang memilih saya menjadi korban fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi Rabbku dan Sang Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya. Karena setiap hari seorang hamba berpeluang tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup yang seperti ini dalam Islam disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir pagi dan sore, bahkan disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,
رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى الله عليه و سلم نبيا
“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiku” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
Dengan demikian, setiap kali seorang hamba tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan menggantungkan harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia  mendapatkan jalan keluar dan mampu bersabar dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala dari-Nya.
Tips 2

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah melanjutkan
الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه حكمه، عدل فيه قضاؤه
Kedua: Kacamata keadilan. Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.
Penjelasan
Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).
Bukankah setiap musibah yang ditakdirkan menimpa kita karena akibat dosa kita?
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa: 30).
Tips 3

Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في هذا المقدور غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه
Ketiga: Kacamata kasih sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.
Penjelasan:
Tidaklah Allah menakdirkan atas diri seorang mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih sayang-Nya kepada hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (Al-A’raaf:156).
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman,
إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .
 Tips 4

Selanjutnya, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur
الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا
Keempat: Kacamata hikmah. Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.
Penjelasan:
Hikmah pentakdiran pastilah ada. Namun hikmah tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak tahu. Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu hikmah dari kejadian tertentu , tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Bahwa dengan hikmah Allah, Allah memutuskan suatu takdir. Jadi, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah: 36).
Tips 5

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:
الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه الحمد التام على ذلك من جميع وجوهه
Kelima: Kacamata pujian. Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.
Penjelasan:
Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).
Tips 6

Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah Menjelaskan
السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد محض من كل وجه تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت أحكامه القدريّة كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه
Keenam: Kacamata peribadatan. Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Penjelasan:
Sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan mengakui kepemilikan Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam semesta, maka ia ridha dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar menghamba kepada-Nya saja.
Seorang mukmin juga sadar bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap tertuntut untuk mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang Pemiliknya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah dan tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba Allah, baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” (Maryam: 93).
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).
Semoga bermanfa’at.
***
Referensi:
Fawaidul Fawaid , Imam Ibnul Qoyyim, ta’liq: Syaikh Ali Hasan.
Madarijus Salikin, Imam Ibnul Qoyyim.
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id

Bunuh Diri, Apakah Mati Sebelum Waktunya? Apakah Itu Lari Dari Takdir?.. BUKAN, Memang Dia Ditakdirkan Matinya Seperti Itu

RISALAH TENTANG BUNUH DIRI
bunuh diri itu bukan lari dari takdirMusibah yang menimpa manusia adalah sebuah sunnatullah yang pasti terjadi. Dengan musibah ini Allah hendak menguji para hamba-Nya, siapa yang bersabar Allah akan merahmati dan mengangkat derajatnya, sementara siapa yang tidak bersabar ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima siksa Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kami sungguh-sungguh akan menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (kematian seseorang), dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, ‘Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Mereka itulah yang mendapat pujian dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al Baqarah: 155-157)

Namun, terkadang seorang hamba merasa berat untuk bisa bersabar. Ia merasa putus asa dan lelah mencari jalan keluar bagi permasalahannya. Tak jarang dalam situasi seperti ini ia tidak berpikir jernih, ia ingin segera terbebas namun tak tahu bagaimana caranya? Akhirnya jalan pintas pun ia gunakan: bunuh diri! Na’udzubillahi min dzalik.

Syaikh Abdurrahman Al Barrak di dalam fatwa beliau menjelaskan mengenai seorang yang mati bunuh diri, beliau berkata:

Bahwa bunuh diri itu merupakan kejahatan besar. Orang yang bunuh diri untuk lari dari musibah, kesulitan, kemiskinan, atau karena gejolak perasaan dan rasa marah, dengan semua itu ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima siksa Allah.

Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam naar. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (An-Nisa : 29-30)

Diriwayatkan dengan tsabit dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan menggunakan sebilah besi di tangannya, maka ia akan menusukkan besinya itu ke perutnya di Neraka Jahannam selama-lamanya. Dan barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan racun di tangannya, maka ia akan meminumnya terus-menerus di Neraka Jahannam nanti..” [Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778]
Demikianlah ternyata bunuh diri bukan jalan keluar yang menyelamatkan namun justru ia mengantarkan kepada kesengsaraan.
Saudaraku, kenapa kita tidak pernah berfikir bahwa turunnya musibah atau ujian ini adalah kehendak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memuliakan hamba-hamba-Nya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah berikan musibah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5645)
Dalil Haramnya Bunuh Diri
Bunuh diri adalah haram secara mutlak. Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengan menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
– Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن شرب سمافقتل تفسه فهو يتحساه في  نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا  ))
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
– Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( ومن قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
– Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka. Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجلالفاجر))
“Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu: “Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519). (2)
Terkait dengan hal ini, apakah seseorang yang meledakkan dirinya dengan bom untuk meneror orang-orang kafir di tempat mereka berkumpul bisa digolongkan sebagai aksi bunuh diri?
Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala berkata:
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen). Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka. Oleh karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24). (3)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya: Apa hukumnya orang yang memasang bom pada tubuhnya, dengan tujuan membunuh sekelompok orang Yahudi?
Beliau menjawab: Pandangan saya –dan kami telah peringatkan masalah itu bukan hanya sekali– bahwa ini tidak benar, karena hal ini termasuk bunuh diri. Sementara Allah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (An-Nisa`: 29)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu maka dia akan diadzab dengannya di hari kiamat. ”
(Seseorang hendaknya) berusaha untuk menjaga dirinya, dan apabila disyariatkan jihad maka hendaknya berjihad bersama muslimin. Sehingga apabila terbunuh maka alhamdulillah. Adapun dia membunuh dirinya dengan memasang ranjau/bom pada dirinya sehingga terbunuh bersama mereka atau melukai dirinya bersama mereka (adalah) salah, tidak diperbolehkan. Akan tetapi berjihad adalah bila disyariatkan jihad bersama muslimin. Adapun apa yang dilakukan pemuda-pemuda Palestina, maka itu salah, tidak boleh. Hanyalah yang wajib mereka lakukan adalah berdakwah kepada jalan Allah, taklim dan bimbingan serta nasihat tanpa melakukan perbuatan tersebut. (Dinukil dari buku Fatawa Al-A`immah Fin Nawazil Al-Mudlahimmah, hal. 179) (4)
Wallahu a’lam bish-shawab.
__________________________________
__________________________________
Bunuh Diri, Benarkah Mati Sebelum Waktunya?
Katanya mati bunuh diri itu mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu apakah berarti yang mencabut nyawa bukan malaikat Izrail?
Dijawab oleh Al-Ustadz As-Sarbini Al-Makassari:
Anggapan bahwa orang yang mati bunuh diri mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah aqidah yang batil. Ini adalah aqidah kaum Mu’tazilah yang sesat, yang mengingkari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri, adalah mati sebelum ajal yang diketahui, dikehendaki dan ditetapkan dalam Kitab Lauhul Mahfuzh oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya mati di luar takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau seandainya dia tidak terbunuh atau bunuh diri, dia akan hidup hingga ajal yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi menurut mereka, orang yang mati terbunuh punya dua ajal.
Yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ salaf, bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri adalah mati sesuai ajal yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang mati terbunuh sama halnya dengan orang mati lainnya. Tidak ada seorang pun yang kematiannya mundur dari ajalnya. Sebab ajal setiap sesuatu adalah batas akhir umurnya, dan umurnya adalah jangka waktu kehidupannya (di dunia). Jadi umur adalah jangka waktu kehidupan (di dunia) dan ajal adalah berakhirnya batas umur/kehidupannya.”
Syaikhul Islam juga berkata: “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulisnya. Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati dengan sebab penyakit perut, radang selaput dada, tertimpa reruntuhan, tenggelam dalam air, atau sebab-sebab lainnya. Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati terbunuh, apakah dengan pedang, batu, atau dengan sebab lain yang menjadikan terbunuhnya seseorang.”
Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakdirkan kematiannya dengan sebab itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah suatu jiwa akan meninggal kecuali dengan seizin Allah (takdir Allah), Allah telah menulis ajal kematian setiap.” (Ali ‘Imran: 145)
As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh jiwa tergantung ajalnya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, takdir dan ketetapan-Nya. Siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kematian atasnya dengan takdir-Nya, niscaya dia akan mati meskipun tanpa sebab. Sebaliknya, siapa saja yang dikehendaki-Nya tetap hidup, maka meskipun seluruh sebab yang ada telah mengenainya, hal itu tidak akan memudharatkannya sebelum ajalnya tiba. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan, menakdirkan dan menulis hidupnya hingga ajal yang ditentukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka jika ajal mereka telah datang mereka tidak mampu mengundurkannya sesaat pun dan mereka tidak mampu memajukannya (sesaat pun).” (Al-A’raf: 34)
Sebaliknya, kaum yang menafikan dan menolak adanya sebab musabab dalam terjadinya sestatu yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwa seandainya dia tidak terbunuh, maka dia tetap akan mati saat itu.
Maka hal ini juga batil, dan dibantan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan mengatakan: “Kalau seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa orang tersebut tidak akan mati terbunuh, maka ada kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan kematiannya pada saat itu dan ada kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan tetap hidupnya dia hingga waktu yang akan datang. Maka penetapan salah satu dari dua kemungkinan tersebut atas takdir yang belum terjadi adalah kejahilan. Hal ini seperti perkataan seseorang: ‘Kalau orang ini tidak makan rezeki yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya, maka mungkin saja dia akan mati atau dia diberi rezeki yang lain’.” (Majmu’ Al-Fatawa [8/303-304] cet. Darul Wafa’, Syarhu Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz hal. 143, cet. Al-Maktab Al-Islami, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Yang mencabut nyawa orang yang mati bunuh diri juga malaikat pencabut nyawa, yaitu Malakul Maut. Adapun penamaan malaikat Izrail, maka penamaan ini tidak tsabit (shahih) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penamaan ini diingkari oleh para ulama.
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Syarhu wa Ta’liq Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 84, cet. Maktabah Al-Ma’arif) ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah: “Kita juga beriman dengan Malakul Maut yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh alam.” Al-Albani berkata dalam syarahnya: “Inilah namanya dalam Al-Qur’an. Adapun penamaan Izrail sebagaimana yang tersebar di kalangan manusia, tidak ada dalil (dasar)nya. Hanyalah sesungguhnya hal itu berasal dari cerita Al-Isra’iliyat (cerita Bani Isra’il).”
Al-Imam Al-Faqih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarhu Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 46, cet. Daruts Tsurayyah lin Nasyr): “Demikian pula kita mengetahui bahwa di antara para malaikat ada yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh Bani Adam atau ruh-ruh setiap makhluk yang bernyawa. Mereka adalah Malakul Maut dan rekan-rekan malaikat yang membantunya. Malakul Maut tidak bernama Izrail, karena penamaan tersebut tidak tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Wallahu a’lam.
Sumber:
Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, hal. 71, 72 dan 76.

Rujukan Pendalaman :

Apakah Point ke ( 2 ) Risalah Amman "Iman Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
 [IT] Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (12) – Beriman kepada Taqdir
Keyakinan Ahlussunnah Mengenai Qadha’ dan Qadar Secara Umum
Perbuatan Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti Takdirnya. Kalau Memang Sudah Ditaqdir ( Allah Menciptakan Manusia ), Buat Apa Allah Menyiksanya Di Neraka? Apakah Allah Tidak Adil Jika Memasukkan Hambanya Ke Neraka? ( Bagian I )
Pentingnya Iman Kepada Hari Akhir. Allah Subḥānahu Wa Ta'alā Menjadikan Orang Yang Mengingkari Akherat Sebagai Orang Yang Kafir, Karena Ia Mengingkari KemampuanNya Dan KetuhananNya
www.jalyat.com/jalyatcm/wp-content/uploads/اندونيسي-القضاء-والقدر-عنيزة.pdf
Page 1. Page 2. @ADI-IA'. »¿ QADAR. Syaikh Muhammad Shalih. AI-Utsaimin. Page 3. Syaikh Muhammad Shalih AI-Utsaimin. QADHA'. _ &. QADAR.
Qadha dan qadar [indonesia ]
Muhammad bin shalehal-‘utsaimin
Penerjemah: masykur. Mz
Qadha dan Qadar
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin