Takdir
(Qadha Wa Qadar). (Bagian 2)
Hidup
Ini Pilihan Atau Takdir? Jawabnya,.. PILIHAN JUGA Itu Bagian Dari Takdir…
April 22, 2016
Hidup Ini Pilihan, Atau
Takdir?
hidup ini adalah TAKDIRYa
sudahlah.. percuma aku berusaha lebih keras lagi, ini sudah takdirku…
Untuk apa menda’wahkan Islam
untuk memperbaiki ummat?!
kenyataan bahwa kaum muslim
kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah
tertulis di Lauh al-Mahfudz,
jadi walaupun kita terus
berjuang merubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
Sudah garis tangannya si
fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama,
sedangkan aku garis tangannya
menjadi pengusaha,
oleh karena itu bukan
urusanku untuk menyampaikan agama Islam..
Rizki itu di tangan Allah,
semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia,
jadi jangan kuatir dengan
rizki, kalau memang rizki itu milik kita,
ia akan datang walaupun kita
tidak mengusahakannya…
Ini ngawurnya,.. RIZKI, ia
akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya? Rizki dari Hongkong?..
Rizki , itu memang sudah
ditakdirkan, dan seluruh manusia sudah ditentukan Rizkinya, tidak ada yang
kurang, tidak ada yang lebih,. PAS, dan tidak akan tertukar,.
Tapi mencari Rizki tetap
wajib diupayakan, ada usaha… dan usaha atau upaya manusia dalam menjemput rizki
tersebut, itu sudah DITAKDIRKAN oleh Allah pula,.
Demikian juga tentang nasib
manusia, Apakah dia menjadi KAFIR atau MUSLIM, kaya atau miskin, bahagia atau
sengsara, jadi ustadz atau preman, atau mualaf,.. itu sudah Allah Takdirkan /
tuliskan,.. jauh sebelum alam semesta ini diciptakan,.
Demikian pula apakah dia
menjadi pemimpin atau rakyat jelata, semua sudah dituliskan…
Tidak ada garis tangan… itu
adalah cara dukun dalam meramal, meramal garis tangan.. ini adalah perbuatan
kesyirikan,.
Apakah jika sudah berupaya
berarti tidak ada perubahan??..
Ini adalah keliru, justru
Allah memerintahkan kita agar berupaya, berusaha agar hidup kita berubah..
Tapi jangan anda salah
faham,… UPAYA KITA untuk merubah, itu juga bagian dari TAKDIR,.. Allah
menakdirkan kita berupaya,. dan HASIL itu adalah takdir Allah juga..
Kegagalan saya bukanlah
kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…
Kata-kata takdir seringkali
membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang
terbaik, dan merubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah
menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis
dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak
dari seruan Tuhan mereka.
Ini terjadi karena tidak
pahamnya manusia tersebut tentang bagaimana sih memahami takdir dengan benar,
sesuai dengan pemahaman islam yang benar.
Masalah takdir, ini merupakan
bagian dari RUKUN IMAN, dan takdir ini adalah MASALAH GHAIB, tidak ada manusia
yang mengetahui takdir yang akan menimpanya,.
Dampak dari kesalahfahaman
tentan takdir ini akan melahirkan pola pikir yang salah, diantaranya menjadikan
maksiat atau kesalahan itu sebagai alasan,. ini kan TAKDIR saya,..
Ini seolah-olah manusia yang
seperti ini menganggap dirinya mengetahui takdir yang menimpanya..
Ini juga seperti dia sedang
berperasangka buruk kepada Allah, yaitu Allah menimpakan takdir yang jelek
kepadanya..
Agar tidak salah faham, tidak
menjadikan kejelekan atau kesalahan sebagai alasan, silahkan baca postingan ini
Kesalahan pandangan terhadap
konsep takdir biasanya dimulai dari tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga
hal yang berkaitan dengan Allah, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh
al-Mahfudz. Mereka yang berpandangan salah tentang konsep takdir merasa bahwa
apa yang mereka lakukan dan yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah
sebagai yang Maha Tahu, sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak
serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz. Sehingga sebagai manusia,
makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang
sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal tersebut, yaitu Ilmu
Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh sekali-kali
dicampuradukan dengan pembahasan takdir, karena tidak seorangpun yang
mengetahui ilmu Allah, seperti apa Allah berkehendak atas dirinya, dan juga
tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.
Pernyataan yang tidak benar,.
Darimana bisa muncul
pernyataan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh dicampur
adukkan dengan pembahasan takdir?
Justru seluruh takdir itu
sudah dicatat dan disimpan di lauhil mahfudz,. Dan Allah mengilmui itu semua,
bahkan sebelum disimpan di lauhil mahfudz,
Allah memerintahkan kepada
Qalam untuk mencatat seluruh takdir hingga terjadinya hari kiamat,.. dan
kehendak Allah, itu juga terkait dengan takdir,.. Allah menghendaki seseorang
menjadi muslim, atau menjadi kafir, baik, buruk, kaya , miskin, itu semua atas
kehendak Allah,.
Ada sebuah ilustrasi yang
sangat masyhur, adalah seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan
Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim.
Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas
tuan menghukum saya”, dia melanjutkan ”karena apa yang saya lakukan ini
sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya
(mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya
pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah
tertulis semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal,
termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut, sehingga
tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena perbuatan ini
bukan karena kehendak saya”. Hakim tersebut lalu berfikir tentang hal tersebut,
setelah lama berfikir akhirnya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si
pencuri itu. ”Baik, masukkan dia kedalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri
protes kepada tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang
intinya adalah pencurian itu bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau
sudah nasibnya. Sang hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau
menjatuhkan hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah,
dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya
mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”
Itu hakimnya yang cerdas,
paham akidah yang benar, sehingga tidak mau dikadalin oleh si pencuri yang
beralasan dengan takdir,.
Ilustrasi diatas memberikan
kita kejelasan, bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak
Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir
menjadi kacau. Dan sampai sekarangpun masih banyak kelompok atau individu yang
salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis,
yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di
permukaan air, dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk
mengarahkan hidupnya. Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia kedalam
surga ataupun kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, dan
manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Itu akibat tidak memahami
akidah yang benar tentang TAKDIR ini,. maka akan berkesimpulan seperti itu,.
Ini saya bawakan kisah nyata
dari orang-orang yang lurus akidahnya,.
Abu Ubaidah bin Jarrah
bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”
Umar menjawab, “Kalau saja
bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran
–pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.
Apa pendapatmu seandainya
engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua
lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus.
Jika engkau menggembalakannya
di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah?
Begitu pun sebaliknya.
Kalau engkau
menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga
dengan takdir Allah?”
(Demikian pula, apa yang kita
putuskan tidak lepas dari takdir Allah, sebagaimana yang dilakukan penggembala
yang mengarahkan kambingnya dari tanah yang tandus menuju tanah yang subur
tidak lepas dari takdir Allah –pen.)
Betul sekali manusia tidak
bisa merubah apa yang sudah ditakdirkan untuknya yang sudah tercatat di LAUHIL
MAHFUDZ,.
Bahkan betul, apakah manusia
itu masuk surga atau neraka, itu sudah ditakdirkan, sudah ditetapkan 50 ribu tahun
sebelum alam semesta ini diciptakan,.
silahkan baca ulasannya disini
Sehingga, jika kita
menginginkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita tidak boleh
mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh
al-Mahfudz. Tidak kita sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang
terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya, ia juga mengetahui semua perbuatan
hamba-Nya, baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan
kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah
pastilah terjadi diatas muka bumi ini.
Kita pun yakin bahwa semua
perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di Lauh
al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih apa yang
kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan berkehendak Anda
membaca artikel ini. di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini
jam sekian Anda membaca sampai pada pembahasan takdir ini.
Tetapi Anda juga ingat bahwa
ketika berada di website ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah
artikel lain yang Anda baca. Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan untuk
melakukan sesuatu, memilih sesuatu dan menjadi sesuatu.
Kehendak bebas atau
kesempatan memilih yang diberikan Allah kepada manusia inilah yang akhirnya
melahirkan konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban manusia atas
perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya. Pertanggungjawaban ini di akhirat
kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya bila kita
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.
Nah… yang salah anda
pahami,.. dan ini adalah koreksi bagi anda,.. PILIHAN ANDA, ARTIKEL YANG ANDA
PILIH, itu adalah bagian dari takdir juga,. Allah sudah tuliskan bahwa anda
akan memilih artikel, akan menulis, akan bikin website, dan lain-lain,.
Bahkan misalkan anda ketika
membaca artikelnya itu sambil garuk-garuk hidung, itupun Allah tahu,. sudah
Allah tuliskan,..
Jadi, anda sendiri belum
memahami dengan benar apa itu takdir,..
Betul, manusia diberi
kebebasan untuk memilih, tapi pilihan itu tidak akan luput sedikitpun dari
TAKDIR yang sudah Allah tetapkan,.
Saya berikan permisalan yang
simpel,.
Misalkan disodorkan kepada
anda makanan, misalkan ada bala-bala, gehu,dodol,siomay,batagor,..
Semua makanan itu disodorkan
kepada anda,. dan anda disuruh memilih dan memakan salah satu dari makanan
tersebut,..
Nah, ketika anda memilih
makanan tersebut, apakah anda merasa sedang dipaksa? Tidak bukan?
Nah,. jika anda memilih salah
satu makanan tersebut,.. dan misalkan pilihan anda jatuh pada siomay,. maka itu
adalah bagian dari TAKDIR,..
Allah sudah mentakdirkan anda
akan memilih siomay, Allah juga mentakdirkan akan ada yang menawarkan
makanan-makanan tersebut dan anda disuruh memilihnya,.
Jadi, PILIHAN anda, itu bukan
MURNI dari upaya anda, tanpa kehendak Allah, atau luput dari TAKDIR Allah,..
Mudah-mudahan paham..
Pada seorang individu, selain
perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian yang bisa dipilih dan berada di
dalam kendali manusia untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian dimana
manusia tidak mempunyai pilihan atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu,
serta sudah ditetapkan atas manusia, baik dia suka maupun tidak, misalnya
manusia pasti akan mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan, pria memiliki
kecenderungan kepada wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat,
bencana alam yang terjadi dan lain-lain.
Dalam hal ini, Allah tidak
memberikan ruang kepada manusia untuk memilih, sehingga apapun yang terjadi,
manusia tidak perlu atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
terjadi, karena hal itu tidak dapat dipilihnya. Di dunia pun anda tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya,
tidak seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau
bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur?
Mengapa manusia akan mati?.
Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih, kita tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.
Masih salah… sekali lagi..
Kejadian-kejadian diatas itu adalah TAKDIR
Allah,..
Ketika bencana terjadi,. kata
siapa manusia dipaksakan menerima?…
pernah melihat terjadinya bencana? manusia tetap berupaya menghindar
dari bahaya, dengan upaya mereka,. bukan
pasrah saja, misal terjadi kebakaran, maka berusaha mencari jalan selamat,
demikian pula misalkan terjadi gempa bumi, maka berusaha agar selamat,..
Itu semua TAKDIR, dan upaya
utk menyelamatkan diri juga itu adalah bagian dari takdir, adapun selamat atau
tidaknya, itu juga adalah TAKDIR,..
Jadi tidak ada istilah ada
kejadian yang bisa dipilih dan manusia bisa mengendalikannya,.. dan ada yang
manusia tidak mempunyai pilihan atasnya…
Dan keyakinan seperti itu
justru adalah keyakinan dari kelompok sesat, yaitu Jabariyyah.
Saya katakan, bahkan KITA
MENGEDIPKAN MATA KITA,. itu adalah atas kehendak Allah, bukan atas kemampuan
kita sendiri, kehendak kita sendiri,.. apalagi urusan yang lebih besar dari
itu,.
Sederhananya adalah,
kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa dikelompokkan dalam dua
bagian. bagian pertama adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang
dapat dipilih, bagian kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang
tidak dapat dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya. Pada bagian pertama, kita
bisa memilih perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian
itu akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini berarti, menjadi rajin ataupun
menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang
pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya adalah
sesuatu yang dapat kita pilih.
Tidak ada pembagian kelompok
seperti itu,.
Seluruh kejadian di alam
semesta ini, semua adalah bagian dari TAKDIR ALLAH,.
Bahkan hingga satu daun yang
jatuh, semut yang merayap di batu hitam di malam yang gelap, itu semua tidak
luput dari takdir Allah, itu semua atas kehendak Allah, dan sudah dituliskan 50
ribu tahun sebelum alam ini diciptakan,..
Jadi menjadi
malas,amanah,khianat,pemarah,penyabar, taat pada Allah atau membangkangnya, itu
adalah tidak luput dari TAKDIR ALLAH,. bukan MURNI PILIHAN manusia,..
Karena tidak ada satupun
makhluk yang bisa berbuat tanpa kehendak dari Allah,.
Sedangkan pada bagian kedua,
kita dipaksa menerima kejadian itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang
kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan kepada
kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan
yakin bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt. Prakteknya
dalam kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap
orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak boleh protes atau
mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh menyalahkan diri sendiri atas
kejadian itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat yang maha memberi
ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya pasti baik.
SALAH BESAR, arti TAKDIR
bukanlah itu,..
Pembagian perbuatan menjadi
yang bisa dipilih atau tidak, ini saja sudah keliru,. sehingga menganggap yang
bisa dipilih itu BUKANLAH BAGIAN DARI TAKDIR, dan yang tidak bisa dipilih,
itulah yang disebut sebagai TAKDIR,.. ini adalah pemahaman yang sangat ANEH,.
bukan pemahaman Ahlusunnah,. tapi paham MU’TAZILAH, saya sudah postingkan
disini
Adapun kalau makhluk
seolah-olah dipaksa untuk menjalani takdirnya, ini adalah paham JABARIYYAH,.
Setelah pembahasan ini, kita
menyadari bahwa tidak sepatutnya kita menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian
yang sebenarnya bisa kita pilih. Apa yang terjadi di masa yang lalu mungkin
beberapa diantaranya termasuk dalam hal yang bisa kita pilih. Masa depan pun
sesungguhnya bisa kita pilih, ingin menjadi apakah Anda?
Hebat bener,.. masa depan
bisa anda pilih,. emangnya anda siapa?
Pelajarilah akidah yang
benar,.. sungguh pemaparan anda tentang takdir ini, jauh dari kebenaran..
sumber pernyataan felix
diambil dari websit pribadinya, disini :
felixsiauw.com
Dan pelurusan tentang
pernyataannya itu dari admin web aslibumiayu.net
Tambahan referensi :
(47 Persoalan Qadar dan Qadha. Hafiz F irdaus
Abdullah)
https://pendakianmenujusurga.files.wordpress.com/2012/03/48195564-qadha-dan-qadar-ibnu-qayyim-al-jauziyah-693.pdf
Pahami
TAKDIR Dengan Benar, Sehingga Tidak Lagi Mengatakan Itu Adalah
"PILIHAN" Seperti Pemahaman Sekte Qadariyah
June 18, 2015
Memahami Takdir Ilahi
”Engkau tidak dikatakan
beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang
buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan
luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu.“
Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga
dimuliakan oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh
setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman
kepada takdir ada empat tingkatan :
[1] Beriman kepada ilmu Allah
yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman
bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
[2] Mengimani bahwa Allah
telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani masyi’ah
(kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah
telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan
selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama
dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan
di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj
[22] : 70).
Kemudian dalil dari tingkatan
ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 29).
Sedangkan untuk tingkatan
keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),”Allah menciptakan kamu
dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96).
Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’
(dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah
ciptaan Allah.
Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam :
[1] Takdir umum mencakup
segala yang ada.
Takdir ini dicatat di Lauhul
Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.
Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah
adalah qalam (pena).
Allah berfirman kepada qalam
tersebut,
“Tulislah”.
Kemudian qalam berkata,“Wahai
Rabbku, apa yang akan aku tulis?”
Allah berfirman,“Tulislah
takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan
rincian dari takdir yang umum.
Takdir ini terdiri dari :
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir
sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah
ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki,
(2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu
takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam
setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4).
Ibnu Abbas mengatakan,”Pada
malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan,
rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al
Baghowi)
Seorang muslim harus beriman
dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari
sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti
dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah,
ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam
menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal
dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi.
Kelompok pertama adalah yang
paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan
mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.
Mereka mengatakan bahwa Allah
memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan
berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu
Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada
lagi.
Kelompok kedua adalah yang
menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir
Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri
sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah
madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah
adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba
seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali.
Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh
karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di
atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di
antaranya adalah firman Allah (yang artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu
yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At
Takwir [81] : 28-29).
Ayat ini secara tegas
membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat,“(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan
bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak
(pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak
sendiri.
Kemudian pada ayat
selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”merupakan bantahan untuk
qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan
oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang
salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan
kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar dalam
Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah
bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan
ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba
yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah
dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk
melakukannya.
As Safariny mengatakan,
”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang
hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan
perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan
secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana
firman-Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29).
Maka dalam ayat ini Allah
menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak
terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh
Ahlus Sunnah.”
Jangan Hanya Bersandar pada
Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah
paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani
takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.
Contohnya adalah seseorang
yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian
dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya.
Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada
mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah
memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga
memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan.
Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang
sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini
sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah.
Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bersemangatlah dalam hal yang
bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila
kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu
wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.”
(HR. Muslim)
Buah dari Beriman kepada
Takdir
Di antara buah dari beriman
kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah
risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu
adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak
mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit,
beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada
Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan
engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput
darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu.
Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang
mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.”
(Shohih. LihatSilsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang
memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah
yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman
pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah
dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam
menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta
kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan
kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat
mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua
takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
[Sumber rujukan utama : [1]
Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan, [2] Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]
***
Penulis : Muhammad Abduh
Tuasikal
Bagaimana
Cara Memahami Takdir Dengan Benar? Salah Memahami BISA FATAL Akibatnya.
November 11, 2013
Keimanan seorang mukmin yang
benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir
Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat
berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa
permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang
benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.
Antara Qodho’ dan Qodar
Dalam pembahasan takdir, kita
sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak
sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki
makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja
maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan
bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada
makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap
sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah
sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan
qodho’.[2]
Empat Prinsip Keimanan kepada
Takdir
Pembaca yang semoga dirahmati
oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup
empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa
Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala
sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata
maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun
perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah
Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai
hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi
kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas
terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala
berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي
السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ
يَسِيرٌ {70}
“Apakah kamu tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?;
bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ
إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ
يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ
إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
“Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As
Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ
أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“… Allah telah menetapkan
takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi”[3]
Ketiga: Mengimani bahwa
kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak
terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang
tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas
kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan
makhluknya.
Keempat: Mengimani dengan
penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun
kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari
bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun
termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas
adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ
كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala
sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci
(perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
“Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]
Antara Kehendak Makhluk dan
Kehendak-Nya
Beriman dengan benar terhadap
takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat.
Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia
masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah
Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ
إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah hari yang pasti
terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali
kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)
نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ
أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)
Adapun tentang kemampuan
makhluk Allah menjelaskan,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}
“Maka bertakwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah
nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
Sedangkan realita yang ada
menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan
kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan
sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya
(seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti
gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi
dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28}
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada
satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki
oleh-Nya.[5]
Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah,
perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
[1] Takdir Azali. Yakni
ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala
menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ
لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
“Katakanlah: “Sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami.
Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal.” (QS. At Taubah:51)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk
sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[6]
[2] Takdir Kitaabah. Yakni
pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan
kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
} وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا
إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ
أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan:
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang
tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah
anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al
A’raaf 172-173).
[3] Takdir ‘Umri. Yakni
ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis
kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah
ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ
مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ
مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ
لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى
وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ
عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا
الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
“Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah.” (QS. Al Hajj:5)
[5] Takdir Hauli. Yakni
takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala
sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,
حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ {5}
“Haa miim . Demi Kitab (Al
Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari
sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad
Dukhaan:1-5)
[5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang
telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
“Semua yang ada di langit dan
bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar
Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al
Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu
Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan
yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan
kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]
Sikap Pertengahan Dalam
Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah
adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak
sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah
menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan
terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi
sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang
menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu
terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka
mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan
perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun
hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan
Allah terhadap amal hamba.
Kelompok yang lain adalah
yang terlalu melampaui batas dalam
menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan
dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya.
Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba
kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]
Kedua kelompok di atas telah
salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di
antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28}
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS.
At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yang artinya), “
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan
bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak
bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa
hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya),
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan
untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan
kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan
kehendak-Nya.[9]
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati
dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya.
Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat
sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang
merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir
disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan
tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu
pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan
hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang
ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih
jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang terkena kanker
tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi
(pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita
sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus
ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik.
Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan
amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir
yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang
hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun yang perlu
diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan
tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}
“Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada
akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam
takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil
akhir berupa kebaikan.[10]
Bersemangatlah, Jangan Hanya
Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki
anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir
tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang
nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan
kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita
sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita
tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan
Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal
yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku
lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi
takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena
perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap
takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama: Hanya bersandar
kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab
itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak
sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan
yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan
keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap
dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan
dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak
bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan
sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah.
Allah berfirman,
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ
وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ
وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al
Hadiid:22-23).[13]
Demikian paparan ringkas
seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi
tatimmush shaalihat.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika
Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Kata qodho dan qadar ini
serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan,
maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna
keduanya sama. [ed]
[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al
Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh
al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal
86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman
hal 53-54. Syaikh Muhammad bin Sholih al
‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7] Diringkas dari Ma’aarijul
Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub
‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8] Lihat Al Mufiid fii
Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus
Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil
I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil
Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah
al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa
Shahiihil I’tiqad hal 245-246.
[13] Syarh Ushuulil Iman hal
57-58.
Iman
Kepada Takdir
Definisi
Qadha` secara bahasa adalah
ketetapan hukum, firman Allah, “Dan telah Kami tetapkan terhadap bani Israil
dalam kitab itu..” (QS. Al-Isra`: 4).
Secara istilah qadhaâ adalah
perkara yang Allah tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan
atau perubahan.
Qadar secara bahasa adalah
takdir (ukuran, kadar dan ketentuan), firman Allah, “Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49). Firman Allah, “Lalu
Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (QS.
Al-Mursalat: 23).
Takdir adalah perkara yang
Allah takdirkan di azal untuk terjadi pada makhlukNya.
Oleh karena itu kami katakan,
bahwa qadhaâ dan qadar memiliki arti berbeda jika berkumpul dan arti sama jika
terpisah sesuai dengan ucapan ulama, keduanya adalah kata jika berkumpul
terpisah dan jika terpisah berkumpul. Kalau dikatakan ini adalah qadar Allah
maka ia mencakup qadhaâ. Kalau keduanya disebut secara bersama maka
masing-masing mempunyai makna sendiri.
Kewajiban beriman kepada
takdir
Takdir sebagai salah satu
rukun iman merupakan perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Rasulullah saw menetapkannya dalam hadits Jibril,
أنْ تُؤمِنَ باللهِ، وَمَلائِكَتِهِ ، وَكُتُبهِ،
وَرُسُلِهِ، وَاليَوْمِ الآخِر، وتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيرِهِ وَشَرِّهِ .
“Engkau beriman kepada Allah,
para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau
beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Takdir baik adalah yang
sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia menjadi baik, berbahagia
dan tenang, semua itu dari Allah.
Buruk dalam takdir adalah
yang tidak sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia tertimpa
kesulitan dan kesengsaraan.
Musykil, Bagaimana dikatakan
takdir buruk sementara keburukan tidak patut dinisbatkan kepada Allah
sebagaimana dalam hadits, “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya.” (HR.
Muslim)?
Jawab, Keburukan pada takdir
tidak berdasarkan kepada takdir Allah padanya akan tetapi berdasarkan apa yang
ditakdirkan, di sini ada qadar yang merupakan takdir dan apa yang ditakdirkan
sebagaimana ada penciptaan dan apa yang diciptakan (makhluk), ada iradah
(keinginan) dan apa yang diinginkan, kalau berdasar kepada takdir Allah maka ia
bukan keburukan, justru ia baik bahkan seandainya itu menyengsarakan dan
merugikan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya. Kalau berdasarkan apa
yang ditakdirkan maka ada yang baik dan ada yang buruk. Jadi maksud dari takdir
baik dan buruk adalah apa yang ditakdirkan baik dan buruk.
Contohnya adalah firman
Allah, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41).
Di dalam ayat ini Allah
menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya dan tujuan darinya. Kerusakan
adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia dan tujuannya
adalah, Supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Kerusakan yang terlihat di
daratan dan lautan mengandung hikmah meskipun ia sendiri buruk akan tetapi
karena hikmahnya yang besar maka pentakdirannya menjadi baik.
Begitu pula kemaksiatan dan
kekufuran, ia adalah keburukan, ia termasuk takdir Allah akan tetapi karena
hikmah yang besar, kalau bukan karena itu niscaya batallah syariat, kalau bukan
karena itu niscaya penciptaan manusia hanyalah main-main, kalau bukan karena
itu niscaya tidak diketahui mana yang taat dalam arti sebenarnya, kalau bukan
kerena itu niscaya tidak dibedakan mukmin sejati dengan mukmin yang
berpuara-pura, dan begitu seterusnya.
Demikian pula musibah yang
menimpa seseorang dalam bentuk lenyapnya harta atau wafatnya kerabat atau
sakitnya diri sendiri, ia buruk karena ia tidak sejalan dengan keinginannya,
akan tetapi ia baik dari sisi hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan
lenyapnya harta seseorang mengetahui bahwa ia tidak kekal, dengan wafatnya
kerabat dia mengatahui bahwa manusia pasti mati, dengan begitu dia akan
berbekal, dengan sakit dia menyadari nikmat sehat, dan begitu seterusnya.
Iman kepada takdir baik dan
buruknya tidak menuntut iman kepada segala apa yang ditakdirkan karena apa yang
ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar’i. Apa yang ditakdirkan secara
kauni; Apabila Allah mentakdirkan sesuatu yang tidak kamu sukai atasmu maka ia
pasti terjadi, kamu rela atau tidak.
Apa yang ditakdirkan secara
syar’i: Mungkin dilaksanakan oleh seseorang dan mungkin tidak, akan tetapi
dengan melihat kepada kerelaan kepadanya maka harus diperinci, jika ia adalah
ketaatan kepada Allah maka wajib rela kepadanya, jika ia adalah kemaksiatan
maka wajib dibenci, dihindari dan dilenyapkan
Dari sini maka kita wajib
beriman kepada segala apa yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan qadha
dari Allah. Adapun dari sisi ia sebagai keputusan maka kita mungkin rela dan
mungkin tidak, seandainya kekufuran terjadi pada seseorang maka kita tidak rela
terhadap kekufuran darinya akan tetapi kita rela sebagai ketetapan dari Allah.
Dari Syarah al-Aqidah
al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin.
Terlahir Sebagai Keturunan China Adalah TAKDIR,
Memilih Islam itu PILIHAN?? Ini Adalah Pemikiran Yang Menyimpang..
Tingkatan
Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir memiliki
empat tingkatan:
Pertama, Ilmu
Maksudnya adalah beriman
kepada ilmu Allah yang merupakan sifatNya sejak masa azali sampai masa abadi,
bahwa ilmu Allah ini menyeluruh, mencakup dan meliputi segala sesuatu, tidak
ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang terlepas dari ilmu Allah, ilmu Allah
mencakup apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi
sebagaimana ia terjadi. Ilmu Allah ini tidak didahului dengan ketidaktahuan dan
tidak tersusupi oleh kealpaan.
Dalil-dalil yang menetapkan
ilmu Allah
Firman Allah, “Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS.
Al-An’âm: 59).
Firman Allah, “Tidak ada
tersembunyi daripadaNya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di
bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar.” (QS.
Saba`: 3).
Ayat-ayat di dalam al-Qur’ân
dalam hal ini berjumlah besar.
Imam al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma, jawaban Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang anak-anak orang
musyrik, beliau menjawab,
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka
kerjakan ketika Dia menciptakan mereka.”
Dari akal, sudah diketahui
dengan akal bahwa Allah adalah pencipta dan bahwa selain Allah adalah makhluk,
secara akal Khalik pasti mengetahui makhluk. Allah telah menetapkan hal ini
dalam firmanNya, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (QS.
Al-Mulk: 14).
Tingkatan kedua, Kitabah
(Penulisan)
Beriman bahwa Allah menulis
takdir makhlukNya di Lauh Mahfuzh, seluruhnya tidak ada yang terlewatkan.
Apa itu Lauh Mahfuzh? Kita
tidak mengetahui hakikatnya, dari apa, apakah dari kayu, atau besi atau batu
atau emas atau perak atau jamrud? Allah lebih mengetahui tentang itu, yang
penting kita beriman kepadanya di mana padanya Allah menulis segala sesuatu dan
kita tidak mempunyai wewenang untuk membahas apa yang ada di balik itu akan
tetapi seandainya di dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat petunjuk tentangnya
maka kita wajib meyakininya.
Lauh ini dikatakan Mahfuzh
karena ia mahfuzh (terjaga) dari tangan-tangan makhluk, tidak seorang pun
menambah sesuatu atau merubah sesuatu darinya selama-lamanya. Kedua: Karena
mahfuzh dari perubahan. Allah tidak merubah sesuatu pun di dalamnya karena Dia
menulisnya dengan ilmuNya
Di antara dalil-dalil yang
menetapkan hal ini:
Firman Allah,“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab
(Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS.
Al-Haj: 70).
Firman Allah, “Tiada suatu
bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).
Dalam Shahih Muslim dari
Abdullah bin Amru radliyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Allah menulis takdir-takdir
lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.'”Nabi bersabda, “Dan
Arasy-Nya di atas air.”
Dalam Shahih Muslim dari
Jabir berkata, Suraqah bin Malik bin Ju’syam datang kepada Nabi, dia berkata,
“Ya Rasulullah, jelaskanlah agama kepada kami seolah-olah kita diciptakan
sekarang, untuk apa beramal hari ini, apakah untuk perkara yang telah ditulis
oleh pena dan berlaku padanya takdir? Ataukah untuk yang akan datang?”Nabi
menjawab, “Tidak, akan tetapi untuk perkara yang telah ditulis oleh pena dan
berlaku padanya takdir.” Dia bertanya, “Untuk apa beramal?” Nabi bersabda,
“Beramallah karena masing-masing dimudahkan.”
Dalam Musnad Ahmad dari
Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Makhluk pertama yang
diciptakan oleh Allah adalah pena, Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena
bertanya, “Apa yang aku tulis?” Dia berfirman,”Tulislah apa yang terjadi dan
apa yang bakal terjadi sampai Hari Kiamat!.
Tingkatan ketiga, Masyi`ah
(kehendak)
Yakni beriman kepada masyi`ah
Allah yang pasti berlaku atas makhlukNya secara menyeluruh. Apa yang Allah
kehendaki pasti terjadi karena kekuasaanNya dan apa yang tidak maka tidak,
bukan karena Dia tidak mampu akan tetapi karena tidak berkehendak. Oleh karena
itu kaum muslimin sepakat di atas ungkapan, masya Allah kana wa ma lam yasya`
lam yakun.
Firman Allah, “Dan tiada
sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS. Fathir: 44).
Firman Allah, “Sesungguhnya
keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,
‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82).
Kalau kita menetapkan
masyi`ah bagi Allah, hal ini tidak berarti kita menafikannya dari manusia,
karena manusia memiliki kehendak, hanya saja kehendaknya dalam ruang lingkup
kehendak Allah. Menetapkan kehendak Allah bukan berarti menetapkan akidah
jabariyah.
Firman Allah, “Dan kamu tidak
dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.
At-Takwir: 29).
Keempat, Khalqu (penciptaan)
Beriman bahwa Allah adalah
pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia, ia termasuk makhluk Allah.
Firman Allah, “Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar:
62). Manusia dan perbuatannya termasuk segala sesuatu.
Ayat-ayat yang menetapkan
Allah sebagai pencipta berjumlah besar baik secara langsung maupun melalui
isyarat.
Sesuatu yang Allah takdirkan
tidak luput dari empat tingkatan beriman kepada takdir ini, jika Allah
mentakdirkan perkara A misalnya, maka perkara itu dalam cakupan ilmuNya artinya
Dia mengetahuinya, Dia menulisnya, menghendakinya dan menciptakannya sehingga
ia terjadi.
Faedah beriman kepada takdir
Pertama: Bahwa ia temasuk
kesempurnaan iman, iman tidak sempurna kecuali dengannya, khususnya
kesempurnaan iman kepada rububiyah Allah karena takdir Allah termasuk
perbuatanNya.
Kedua: Mengembalikan
perkara-perkara kepada Allah, karena jika seseorang mengetahui bahwa segala
sesuatu dengan qadha dan takdir Allah maka dia akan kembali kepada Allah dalam
menolak dan menepis mudharat dan menisbatkan kebahagiaan kepada Allah dan dia
mengetahui bahwa ia adalah karunia Allah kepadanya.
Ketiga: Seseorang mengetahui
kadar dirinya, tidak sombong jika melakukan kebaikan, karena dia sadar bahwa
apa yang dilakukannya adalah dengan takdir.
Keempat: Ringannya musibah
atas hamba, karena jika dia mengetahui bahwa ia dari Allah niscaya ringanlah
baginya musibah, firman Allah, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Thaghabun: 11).
Alqamah berkata, “Dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui
bahwa ia dari Allah maka dia ridha dan menerima.”
Kelima: Menisbatkan nikmat
kepada pemberinya karena jika kamu tidak beriman kepada takdir niscaya kamu
akan menisbatkan nikmat kepada perantara nikmat, ini banyak terjadi pada
orang-orang yang menjilat kepada raja-raja, umara dan para menteri, jika mereka
mendapatkan apa yang mereka inginkan mereka menisbatkannya kepada mereka dan
melupakan karunia Allah kepadanya.
Benar kita wajib berterima
kasih kepada manusia berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa membuat kebaikan untukmu maka balaslah.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud). Akan tetapi harus tetap diyakini bahwa asalnya adalah karunia Allah
yang dititipkan melalui orang tersebut.
Keenam: Mengetahui hikmah
Allah karena jika seseorang melihat kepada alam ini dan perubahan-perubahan
yang mencengangkan yang terjadi padanya niscaya dia mengetahui hikmah Allah,
lain halnya dengan orang yang melalaikan qadar dan qadhaâ’, dia tidak mengambil
faedah ini.
Dari Syarah al-Aqidah
al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin dan Kitab Tauhid Ibnu Fauzan.
Berdamai
Dengan Takdir
“Apakah manusia dibiarkan
untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia
sisakan dari kenikmatan surga?“
Jika kita memiliki sebuah
keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun
ternyata Allah tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut, apakah
lantas kita berhak untuk ‘mencaci’ Allah? Apakah itu kemudian membuat kita sah
menyalahkan takdir?
Seorang teman beberapa saat
lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan beasiswa internasional bahwa
dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini
bukanlah kegagalan yang pertama. Rekan saya tersebut telah lima kali mengikuti
program ini, sejak menyelesaikan S1 Hukum di sebuah universitas kesohor di
Bandung. Dan yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu
hingga ke tahap-tahap akhir.
Yang terakhir diikutinya
–tahun ini-ia telah melewati seleksi awal, dari seribu orang, tinggal tersisa
seratus. Dari seratus orang yang tersisa, ia lolos ke lima puluh orang yang
mengikuti seleksi di Jakarta. Di sana, ia pun terpilih dalam lima kandidat
penerima beasiswa kuliah di Austria. Tapi, apa lacur… pengumuman terakhir tidak
mencantumkan namanya.
Kekecewaan, jelas saya bisa
menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes yang ia jalani
menunjukkan bahwa ia mampu dan layak. Usaha yang ia lakukan pun bukan lagi
sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tidak terhitung lagi berapa besar
biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian tes itu, dari penyediaan berkas,
akomodasi dan transportasi, juga kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi,
sekali lagi, ia mengalami kegagalan pada saat-saaat terakhir.
Dari teman saya itu saya
belajar banyak hal, namun satu yang begitu menera pada saya, bahwa pada suatu
saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri
sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang terjadi pada diri kita.
Ketidaklulusan teman saya
dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu.
Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa kali menunjukkan
bukti bahwa ia layak menerima. Tapi sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada
layak atau tidak.
Inilah yang saya katakan pada
teman saya tersebut.
Bermimpi bukanlah hal yang
memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur
dalam peperangan bukanlah pecundang.
Sampai hari ini, saya masih
menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi. Sungguh, saya masih menyimpan
impian untuk menjadi akuntan sebagaimana dari awal saya sekolah di SMEA, saya
telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya ‘tersesat’ ke
bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini,
saya berusaha untuk ‘berdamai’ dengan-Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.
Kalaupun hingga saat ini saya
tak juga ‘mampu’ untuk kuliah, bukan lantas saya berhak dengan semena-mena
mematikan impian saya yang saya anggap ‘mulia’ ini. Konon, saya telah
memaksimalkan usaha saya. Namun, biaya adalah hal pokok bagi saya, dan rasanya
memang tak cukup hanya dengan tekad.
Pernah ada seorang teman yang
mengatakan, “yang penting adalah niat.” Tapi, untuk saya, hal itu tidak
berlaku. Masih kurang besarkah niat saya? Seberapa besar kemampuan niat untuk
seorang dengan ekonomi di bawah pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat
SMEA pun saya harus pontang-panting mengejar bayaran-bayasan SPP dan
sebagainya.
Saat ‘uang tabungan’ saya
raib begitu saja, saya masih bisa menghibur diri, “Nantilah, saya akan
melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. Saat ini, yang harus saya
lakukan adalah menabung.” Tapi, lagi-lagi, kehendak Allah bicara lain. Ijazah
SMP dan SMEA saya ikut raib ulah sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu
saya sangat ‘bodoh’ dengan bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT
yang mengaku akan memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan
sesudah itu, saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.
Dengan semua itu, impian saya
untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya
tidak boleh demikian, menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya
Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan
atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat saya terantuk kegagalan,
yang saya lakuikan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara
pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah
impian.
Hidup bukanlah kegagalan sepanjang
kita berusaha. Dari ‘menulis,’ saya menemukan satu pelajaran berharga. Pertama
kali menulis, tulisan saya ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan
mencoba. Saya menulis dan menulis kembali. Hingga… akhirnya tulisan saya
diterima sebuah media, berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya
berikutnya. Di tahun 2001 untuk pertama kalinya ada sebuah penerbit yang mau
membukukan tulisan-tulisan tersebut.
Tulisan-tulisan saya yang
tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk sampah, bukanlah
sebuah kegagalan, tetapi proses. Jika tidak melewati fase itu, saya yakin saya
tak akan pernah sampai pada kondisi yang sekarang.
Kegagalan bagi saya adalah
sebuah perjalanan. Terserah apakah kita akan berhenti sebelum sampai ke tujuan
atau kita melanjutkannya dengan berbagai beban konsekuensi dari perjalanan itu
sendiri.
Saya mengambil sebuah
perumpamaan. Kita pernah sekolah di SD, lantas melanjutkan ke SMP, SMA, hingga
kemudian kuliah. Jika telah lulus kuliah dan melamar pekerjaan, apakah kita memakai
ijazah SD dan SMP untuk melamar pekerjaan? Tentu tidak. Kita hanya memakai
ijazah SMA atau sarjana.
Jika demikian adanya, mengapa
kita harus susah-susah sekolah di SD dan SMP? Mengapa kita tidak langsung saja
kuliah atau sekolah di SMA?
Ini pertanyaan konyol,
memang. Tapi bukankah benar demikian? Tanpa melalui SD dan SMP, kita tak akan
pernah sampai ke SMEA atau kuliah. Kendati tidak dipakai dalam melamar
pekerjaan, bukan lantas berarti ijazah SD dan SMP kita tidak berguna, bukan?
Begitulah dengan
kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang ‘tidak
berguna,’ sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada
kita tentang kematangan, konsep persaingan… atau barangkali Allah tengah
menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan. Kegagalan
membuat kita semakin mengimani takdir.
Belajar berdamai dengan
takdir, menerima kegagalan yang ‘dikaruniakan’ Allah kepada kita adalah seperti
kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan
ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup
bukanlah ‘ijazah’ kesuksesan, tetapi ‘proses’ dan ‘menjadi.’
Konon, seorang penulis
terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alenea
pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik.
Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di komputernya.
Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak berguna? Jika
demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alenea itu?
Silakan Anda menjawab
sendiri.
Hidup bukanlah kekalahan
sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam
penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita
menemui kegagalan dalam hidup.
“Bekerjalah kamu, maka Allah
dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu”.
Sakti Wibowo
sakti@syaamil.co.id
Memahami
Takdir Allah Menurut Perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Oleh Ustadz Abdullah Taslim,
M.A
Iman kepada takdir dan ketentuan
Allah Ta’alabagi semua makhluk-Nya adalah salah satu prinsip dasar dan landasan
utama agama Islam yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidaklah keimanan seorang hamba akan benar
di sisi Allah Ta’ala sehingga dia memahami dan meyakini masalah ini dengan
benar[1].
Hal ini disebabkan karena
iman kepada takdir Allah Ta’ala secara khusus berkaitan erat dengan tauhid
rububiyah (mengesakan Allah Ta’aladalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus
bagi-Nya, seperti mencipta, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada semua
makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah
Ta’ala, karena menakdirkan dan menetapkan adalah termasuk sifat-sifat
kesempurnaan-Nya[2].
Dalam hal ini, Imam Ibnu
Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Di antara sifat-sifat AlahTa’ala
adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatupun
yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari
keinginan-Nya. Tidak ada sesuatupun di alam semesta yang lepas dari takdir-Nya
dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Maka tidak ada seorangpun yang
(mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan
yang telah dituliskan-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh(kitab tempat penulisan semua
takdir dan ketentuan-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya), Dia maha menghendaki
semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia
menjaga mereka maka niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan
seandainya Dia menghendaki mereka semua mentaati-Nya maka niscaya mereka akan
mentaati-Nya. Dia-lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan
mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Dia memberikan hidayah
(petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya”[4].
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi
rahimahullah menjelaskan kewajiban mengimani takdir AllahTa’ala dalam ucapan
beliau: “Ini termasuk ikatan iman (yang utama), landasan utamama’rifatullah
(pengenalan terhadap Allah Ta’ala), serta pengakuan (keyakinan) terhadap tauhid
dan rububiyah-Nya”[5].
Syaikh Shaleh bin Fauzan
al-Fauzan hafidhahullah mengomentari ucapan di atas dengan mengatakan: “Inilah
akidah (keyakinan yang benar), meyakini ketentuan dan takdir Allah, yang
termasuk bagian dari iman kepada-Nya. Maka orang yang tidak mengimani ketentuan
dan takdir Allah berarti dia tidak beriman kepada Allah Ta’ala, bahkan dia
mencela/menentang Allah. Oleh karena itu, keimanan terhadap takdir Allah dalam
berakidah bukanlah termasuk masalah yang bersifat cabang atau pelengkap/nomor
dua, akan tetapi ini termasuk inti akidah Islam, bahkan salah satu dari rukun
(tiang penopang) keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Iman itu adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk”[6].
Definisi al-qadar (takdir
Allah) dan al-qadha’ (ketetapan-Nya)
Secara bahasa al-qadar
berarti akhir dan batas dari sesuatu[7], maka arti kalimat: “menakdirkan
sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[8].
Adapun pengertian al-qadar
dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allah yang terdahulu
terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia menciptakannya. Maka tidak
ada sesuatupun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allah telah mengetahui,
menghendaki dan menetapkannya[9], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha
sempurna[10].
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata: “Ketahuilah bahwa mazhab/keyakinan para pengikut kebenaran adalah
menetapkan (mengimani) takdir Allah, yang berarti bahwa Allah Ta’ala telah
menetapkan takdir (dari) segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia ‘Azza
wa jalla maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu
(tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu
terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya”[11].
Sedangkan pengertian
al-qadha’ secara bahasa adalah hukum, adapun dalam syariat pengertiannya kurang
lebih sama dengan al-qadar, keculai jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat
maka mempunyai arti sendiri- sendiri[12].
Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, beliau
berkata: “al-Qadar adalah apa yang Allah Ta’ala takdirkan secara
azali(terdahulu) tentang apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya.
Sedangkan al-qadha’adalah ketetapan Allah Ta’ala pada (semua) makhluk-Nya,
dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Maka
ini berarti takdir Allah mendahului (al-qadha)”[13].
Dalil-dalil penetapan takdir
Allah Ta’ala
1– Firman Allah Ta’ala:
{إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}
“Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Para Imam Ahli Sunnah berargumentasi dengan ayat yang mulia ini atas
(wajibnya) menetapkan takdir/ketetapan Allah yang mendahului semua makhluk-Nya,
yang berarti (meyakini bahwa) Dia maha mengetahui segala sesuatu sebelum
terjadinya, dan Dia telah menuliskannya (dalam al-Lauhul mahfuzh) sebelum Dia
menciptakannya”[14].
2– Firman Allah Ta’ala:
{مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Tiada sesuatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).
3– Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah,
para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta
beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”[15].
4- Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan
takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima
puluh ribu tahun”[16].
5- Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah
telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”. Para Sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja
pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan)?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lakukanlah amal (kebaikan),
karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah
ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia
(masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan
orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang
yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal
golongan orang-orang yang celaka”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca (firman Allah Ta’ala):
{فَأَمَّا
مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى*
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْعُسْرَى}
“Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan)
yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya
cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik,
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan)” (QS
al-Lail:5-10)[17].
6- Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, seandainya (seluruh) umat manusia
bersatu untuk memberikan suatu manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu
memberikan manfaat bagimu kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah
tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan
suatu (keburukan) maka mereka tidak mampu mencelakakanmu kecuali dengan suatu
(keburukan) yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena (untuk menuliskan
segala ketentuan takdir Allah) telah diangkat dan lembaran-lembaran (tempat
menuliskannya) telah kering”[18].
7- Dari Abdullah bin Fairuz
ad-Dailami[19] beliau berkata: “Aku datang (menemui sahabat NabiShallallahu
‘alaihi wa sallam) Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan aku berkata: “Timbul
dalam diriku suatu (kerancuan dalam memahami) takdir Allah, sehingga aku
khawatir agamaku (imanku) akan rusak, maka sampaikanlah kepadaku suatu
(nasehat), supaya Allah menghilangkan kerancuan ini dari hatiku”. Ubay bin
Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh seandainya Allah menyiksa semua
makhluk yang ada di langit dan bumi maka Dia akan menyiksa mereka dan dia tidak
berbuat zhalim/aniaya (dengan menyiksa mereka, karena mereka semua adalah
milik-Nya), dan seandainya Dia merahmati mereka semua maka sungguh rahmat-Nya
lebih baik bagi mereka daripada amal perbuatan mereka. Seandainya kamu
bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah maka Dia tidak akan menerimanya
darimu sampai kamu mengimani takdir-Nya dan kamu mengetahui (meyakini) bahwa
apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) akan menimpamu maka tidak mungkin luput
darimu, dan apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) tidak akan menimpamu maka tidak
mungkin menimpamu. Kalau kamu mati dalam keadaan tidak meyakini semua ini maka
kamu akan masuk neraka!”. Abdullah bin Fairuz ad-Dailami berkata: “Kemudian aku
datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Abdullah bin
Mas’udradhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa, lalu
aku datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Hudzaifah bin
al-Yaman radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa,
kemudian aku datang kepada (sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam) Zaid bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa dari
(sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[20]. Artinya: ucapan Ubay bin
Ka’ab di atas bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam[21].
Tingkatan-tingkatan iman
kepada takdir Allah Ta’ala[22]
Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Iman kepada takdir Allah tidak akan
sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara (sebagai berikut):
1- Mengimani bahwa Allah
Ta’ala mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara garis besar maupun
terperinci, dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya:
{أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي
كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Apakah kamu tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (al-Lauhul Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS al-Hajj:70).
2- Mengimani bahwa Allah
Ta’ala menulis dalam al-Lauhul Mahfuzh semua ketetapan takdir bagi segala
sesuatu, sebagaimana dalam firman-Nya:
{مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Tiada sesuatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).
Dan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan
takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima
puluh ribu tahun”[23].
3- Mengimani bahwa tidak ada
sesuatupun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan keinginan dan
kehendak Allah yang berkisar antara kasih sayang dan hikmah-Nya (yang maha
sempurna). Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih
sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia
tidak ditanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya, karena sempurnanya hikmah dan
kekuasaan-Nya, sedang mereka (manusia) ditanyakan (tentang perbuatan mereka).
Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya
yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}
“Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).
Juga firman-Nya:
{فَمَنْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ
يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي
السَّمَاءِ}
“Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
ia sedang mendaki kelangit” (QS al-An’aam:125).
(Dalam ayat ini) Allah
menetapkan terjadinya hidayah dan kesesatan (pada diri manusia) dengan
kehendak-Nya.
4- Mengimani bahwa segala
sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk AllahTa’ala, tidak ada
pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam
firman-Nya:
{وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا}
“Dia menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya” (QS al-Furqaan:2).
Juga dalam firman-Nya tentang
ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
{وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ}
“Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS ash-Shaaffaat:96)”[24].
Pembagian takdir Allah Ta’ala
Syaikh Shaleh al-Fauzan
hafidhahullah berkata: “Takdir Allah ada dua macam:
– Takdir (yang bersifat) umum
dan meliputi semua makhluk, yang tertulis dalam al-Lauhul mahfuzh, karena Allah
telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya
hari kiamat. Sebagaimana (yang disebutkan) dalam hadits riwayat Abu Dawud dalam
kitab “Sunan Abi Dawud” dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Makhluk)
yang Allah ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman
kepadanya: “Tulislah!”, maka dia bertanya: Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku
tulis? Allah Ta’ala berfirman: “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai
terjadinya hari kiamat”[25]. Takdir ini meliputi semua makhluk.
– Takdir (khusus) yang
memerinci takdir umum (di atas), takdir ini ada 3 macam:
1. Takdir (sepanjang) umur
(ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu[26] tentang ketentuan
takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa
ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.
2. Takdir tahunan, yaitu
takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) pada malam lailatul qadr (di bulan
Ramadhan) tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun, sebagaimana dalam
firman-Nya:
{إِنَّا
أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ
كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ}
“Sesungguhnya Kami menurunkan
al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci
segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[27]) yang muhkam (tidak bisa
berubah)” (QS ad-Dukhaan:3-4).
3. Takdir harian, yaitu
takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) tentang kejadian-kejadian dalam
sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain
sebagainya[28], sebagaimana dalam firman-Nya:
{كُلَّ
يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ}
“Setiap hari Dia (mengatur)
urusan (semua makhluk-Nya)” (QS ar-Rahmaan:29)”[29].
Mengingkari takdir Allah
Ta’ala sama dengan berburuk sangka kepada-Nya
Allah Ta’ala berfirman:
{يَظُنُّونَ
بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ
الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ}
“Mereka berprasangka yang
tidak benar terhadap Allah seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka
berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di
tangan Allah” (QS Ali ‘Imraan:154).
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” (persangkaan
orang-orang Jahiliyah) dalam ayat ini, beliau berkata: “Persangkaan orang-orang
Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh oleh para ulama ahli tafsir) dengan
mengingkari hikmah dan takdir Allah (atas seluruh makhluk-Nya), atau
mengingkari bahwa Allah akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya unggul di atas agama-agama
lainnya.
Inilah persangkaan buruk
kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang
musyrik (yang Allah Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya:
{وَيُعَذِّبَ
الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ
الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرً}
“Dan supaya Allah mengazab
orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki
dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan
mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai, mengutuk
serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah
seburuk-buruk tempat kembali” (QS al-Fath:6).
Persangkaan ini (disebut)
persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada
orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena merupakan
prasangka yang tidak pantas bagi nama-nama Allah yang maha indah dan
sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala
keburukan dan celaan…
Maka demikian pula (termasuk
berprasangka buruk kepada-Nya) orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas
semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan
hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya),
yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia
tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan.
(Allah Ta’alaberfirman):
{ذَلِكَ
ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ}
“Yang demikian itu adalah
prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu
karena mereka akan masuk neraka” (QS Shaad:27)”[30].
Prasangka buruk ini,
disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu
saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya, karena Allah akan
memeperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
“أنا
عند ظنّ عبدي بي”
“Aku (akan memperlakukan
hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[31].
Makna hadits ini: Allah akan
memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut
kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau
buruk dari hamba tersebut[32].
Apa arti “takdir yang buruk”?
Dalam beberapa hadits yang
shahih disebutkan bahwa ada takdir Allah Ta’ala yang bersifat “buruk”, misalnya
dalam hadits Jibril yang terkenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada
takdir-Nya yang baik maupun yang buruk”[33].
Juga dalam doa qunut pada
waktu shalat witir, yang diajarkan oleh Nabi r kepada cucu kesayangan beliau,
Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu: “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan
takdir yang Engkau tetapkan”[34].
Apakah arti “takdir-Nya yang
buruk”? Apakah ada perbuatan-Nya yang buruk? Bukankah AllahTa’ala maha indah
dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta maha suci dari semua bentuk
keburukan? Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa
iftitah: “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu, dan keburukan itu tidaklah ada
pada-Mu…”[35].
Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[36] dalam ucapan beliau:
“Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allah
(perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada)
al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar
(bisa) berarti at-taqdir (perbuatan Allah menakdirkan) dan (bisa) berarti
al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata
al-khalqu bisa berarti) menciptakan (perbuatan Allah Ta’ala) dan (bisa berarti)
makhluk (yang diciptakan-Nya)…
Oleh karena itu, (jika)
ditinjau dari perbuatan Allah menakdirkan maka tidak ada (padanya) keburukan
(sedikitpun) bahkan semua adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan
(keinginan) manusia dan meskipun menyakitkan baginya. Adapun kalau ditinjau
dari al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan:
ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan
yang buruk” adalah al-maqduur(sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang
baik dan ada yang buruk.
Kita bisa menjadikan contoh
dalam masalah ini dengan firman Allah Ta’ala:
{ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“Telah nampak kerusakan
(bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa)
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(QS ar-Ruum:41).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala
menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan
tujuan (hikmah)nya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya perbuatan
buruk (dosa) manusia, dan tujuan (ditimpakan-Nya) bencana tersebut adalah
“supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Maka terjadinya keburukan (bencana)
di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana
itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung
(yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti)
perbuatan Allah menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.
Demikian pula perbuatan
maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan
takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau
bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang
AllahTa’ala turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan
makna”[37].
Faidah dan manfaat mengimani
takdir-Nya[38]
1. Iman kepada takdir-Nya
merupakan hal yang menyempurnakan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala
dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa hal ini, karena iman kepada
takdir Allah Ta’ala termasuk rukun-rukun iman.
2. Iman kepada takdir-Nya
termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah
Ta’ala, sebagiamana penjelasan di awal tulisan ini.
3. Merasakan ketenangan hati,
kelapangan jiwa dan tidak merasa gelisah dalam menghadapi kesulitan dalam
kehidupan di dunia ini, karena semua itu terjadi dengan ketetapan Allah
Ta’aladan tidak mungkin dihindari.
4. Merasakan musibah menjadi
ringan, sehingga memudahkan seorang hamba untuk bersabar dan meraih pahala dari
Allah Ta’ala ketika ditimpa musibah dan bencana. Allah Ta’ala berfirman:
{مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ
قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidak ada sesuatu musibahpun
yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa
musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar
dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk
berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan
petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya
dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia
akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[39].
5. Orang yang mengimani
takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada AllahTa’ala, karena
jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan
ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan
kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua
kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan
bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allah Ta’ala[40].
6- Menjadikan seorang hamba
mengetahui kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga
dan lupa diri ketika melakukan perbuatan
baik.
7- Menjadikan orang yang beriman
semakin mengetahui sempurnanya hikmah Allah Ta’ala dalam semua perbuatan-Nya.
8- Menjadi motivasi bagi
orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan
hal-hal yang bermanfaat.
9- Berani dan tegar dalam
menegakkan agama Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam
kebenaran.
10- Merasakan
kekayaan/kecukupan dalam hati, dan inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…Ridhahlah (terimalah)
pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling
kaya (merasa kecukupan)”[41].
Penutup
Demikianlah, semoga Allah
Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai
kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua
kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia di dalam agama-Nya, dengan rahmat
dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan
permohonan hamba-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه
أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 21 Syawwal 1431
H
Abdullah bin Taslim
al-Buthoni
Artikel:
ibnuabbaskendari.wordpress.com dan dipublikasikan
olehhttp://salafiyunpad.wordpress.com
Catatan Kaki:
[1] Lihat kitab “at-Tamhiid
lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 549).
[2]
Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “al-Qaulul mufiid
‘ala kitaabit tauhiid” (3/159).
[3]
Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini
bersumber dari
kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab
“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).
[4]
Kitab “Lum’atul I’tiqaad” (hal. 114).
[5]
Kitab “al-‘Aqiidatuth Thahawiyyah” (hal. 32).
[6]
Kitab “Jaami’u syuruuhil ‘aqiidatith Thahawiyyah” (1/593).
[7]
Lihat kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (5/51).
[8]
Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[9]
Keterangan Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah dalam kitab “al-Irsyaad ila
shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[10]
Lihat kitab “Syarhu ushuulil iman” (hal. 50) tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin rahimahullah.
[11]
Kitab “Syarhu shahihi Muslim” (1/154).
[12]
Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “Syarhul
aqiidatil waasithiyyah” (2/187-188).
[13]
Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/188).
[14]
Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/341).
[15] HSR
Muslim (no. 8).
[16] HSR
Muslim (no. 2653).
[17] HSR
al-Bukhari (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).
[18] HR
at-Tirmidzi (no. 2516) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh imam
at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[19]
Beliau adalah seorang Tabi’in senior yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut
tahdziib” (hal. 317).
[20] HR
Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77) dan Ahmad (5/182), dinyatakan shahih
oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah”
(no. 2439).
[21]
Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (12/305).
[22]
Lihat kitab “al-‘Aqiidatul waasithiyyah” (hal. 22), “Syarhu ushuulil iimaan”
(hal. 50), dan kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226-227).
[23] HSR
Muslim (no. 2653).
[24]
Kitab “Syarhu lum’atil i’tiqaad” (hal. 92-93).
[25] HR
Abu Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 3319) dan Ahmad (5/317), dinyatakan
shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[26] HSR
al-Bukhari (no. 1226) dan Muslim (no. 2643).
[27]
Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/175).
[28]
Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 830).
[29]
Kitab “al-Irsyaad ila shahiihil i’tiqaad” (hal. 227).
[30]
Kitab “Zaadul ma’aad” (3/196).
[31] HSR
al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[32]
Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).
[33] HSR
Muslim (no. 8).
[34] HR
Abu Dawud (no. 1425), an-Nasa’i (no. 1745), Ibnu Majah (no. 1178), dan
lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (no. 1095),
Ibnu Hibban (no. 722) dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[35] HSR
Muslim (no. 771).
[36]
Lihat juga keterangan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam “Syarhu shahiihi
Muslim” (6/59).
[37]
Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/191-192).
[38]
Pembahasan ini kami rangkum dari kitab-kitab berikut: “Syarhul aqiidatil
waasithiyyah” (2/189-190), “al-Irsyad ila shahiihil i’tiqaad” (229-231), “Syarhu
usuulil iman” (hal. 55-56) dan “Arkaanul Islam wal iman” (78-81).
[39]
Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[40]
Sebagaimana keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Fawaa-id”
(hal. 97).
[41] HR
at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh Syaikh
al-Albanirahimahullah
Memahami Qadha’ Dan Qadar (Ketentuan Dan
Takdir Allah)
(Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar
Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).
Iman Kepada Qadar(Takdir) Baik Dan Buruk
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
[Disalin dari kitab Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
Memahami Qadha’ Dan Qadar (Ketentuan Dan
Takdir Allah)
(Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar
Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).
Tips
Ibnul Qayyim Dalam Menghadapi Takdir Yang Buruk
Bukanlah yang dimaksud dengan
kata takdir dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan
Allah menakdirkan suatu peristiwa. Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama,
sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi. Tidak
ada satupun keburukan yang terdapat pada diri Allah. Tidak boleh satupun
keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Apakah yang Dimaksud dengan
Takdir Buruk?
Maksudnya adalah peristiwa
pahit yang Allah takdirkan terjadi pada makhluk-Nya. Dalam menjalani kehidupan
terkadang seorang mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang
menyenangkan dirinya. Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan
kebaikan, dan mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah
takdir baik dan menggembirakan.
Tips Menghadapi Takdir Yang
Buruk
Namun, terkadang dalam
hidupnya seorang mukmin harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit
keras, ibunya meninggal, dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang
dirinya (difitnah) sampai merasa sakit hati. Nah, bagaimana sikap seorang
mukmin yang baik?
Tips 1
Di dalam kitab Al-Fawaid,
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur
إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله فيه ستّة
مشاهد
Jika sebuah takdir yang buruk
menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:
الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو الذي قدّره
وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
Pertama: Pandangan (kaca
mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan
kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki
tidak akan terjadi.
Penjelasan:
Seorang mukmin yang di dalam
hatinya mengakar kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu
dengan kaca mata iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya.
Hatinya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya
terjadi dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan
ataupun keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada
hikmahnya, baik kita ketahui atau tidak.
Oleh karena itu, ketika
mendapatkan musibah, Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka
pandanglah peristiwa itu dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan
musibah ini menimpa diri saya, Allahlah yang memilih saya untuk menjadi orang
yang tertimpa musibah ini ,
Allah lah yang memilih saya
menjadi korban fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi
Rabbku dan Sang Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya. Karena setiap
hari seorang hamba berpeluang tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup
yang seperti ini dalam Islam disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir
pagi dan sore, bahkan disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,
رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى
الله عليه و سلم نبيا
“Aku rela Allah sebagai
Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai Nabiku” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan
disetujui oleh Adz-Dzahabi).
Dengan demikian, setiap kali
seorang hamba tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan
menggantungkan harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia mendapatkan jalan keluar dan mampu bersabar
dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala dari-Nya.
Tips 2
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah melanjutkan
الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه حكمه، عدل فيه
قضاؤه
Kedua: Kacamata keadilan.
Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.
Penjelasan
Setiap peristiwa yang
ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan
tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba
selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِᄉ
“Dan sekali-kali tidaklah
Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).
Bukankah setiap musibah yang
ditakdirkan menimpa kita karena akibat dosa kita?
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang
menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa:
30).
Tips 3
Kemudian Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata:
الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في هذا المقدور
غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه
Ketiga: Kacamata kasih
sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan
dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.
Penjelasan:
Tidaklah Allah menakdirkan
atas diri seorang mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih
sayang-Nya kepada hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi
segala sesuatu” (Al-A’raaf:156).
Dalam sebuah Hadits Qudsi,
Allah berfirman,
إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya rahmat-Ku
mengalahkan kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .
Tips 4
Selanjutnya, Imam Ibnul
Qoyyim rahimahullah bertutur
الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت
ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا
Keempat: Kacamata hikmah.
Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia
menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu
ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.
Penjelasan:
Hikmah pentakdiran pastilah
ada. Namun hikmah tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak
tahu. Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu hikmah dari kejadian tertentu ,
tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Bahwa dengan
hikmah Allah, Allah memutuskan suatu takdir. Jadi, kita meyakini bahwa Allah
Ta’ala Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira,
bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah:
36).
Tips 5
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah bertutur:
الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه الحمد التام
على ذلك من جميع وجوهه
Kelima: Kacamata pujian. Bahwa
Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut,
dari segala sisi.
Penjelasan:
Allah terpuji dari segala
sisi, terpuji dzat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat
menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan
tuntutan hikmah-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya
ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup
doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).
Tips 6
Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah Menjelaskan
السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد محض من كل وجه
تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت أحكامه القدريّة
كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه
Keenam: Kacamata peribadatan.
Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata
dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku
pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di
bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya.
Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini
semuanya.
Penjelasan:
Sebagai seorang mukmin yang
meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan
mengakui kepemilikan Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan
bentuk pengaturan bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam
semesta, maka ia ridha dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar
menghamba kepada-Nya saja.
Seorang mukmin juga sadar
bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap
tertuntut untuk mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang
Pemiliknya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan
lapang, ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah
dan tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba
Allah, baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku
seorang hamba” (Maryam: 93).
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ
عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).
Semoga bermanfa’at.
***
Referensi:
Fawaidul Fawaid , Imam Ibnul
Qoyyim, ta’liq: Syaikh Ali Hasan.
Madarijus Salikin, Imam Ibnul
Qoyyim.
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
Bunuh
Diri, Apakah Mati Sebelum Waktunya? Apakah Itu Lari Dari Takdir?.. BUKAN,
Memang Dia Ditakdirkan Matinya Seperti Itu
RISALAH TENTANG BUNUH DIRI
bunuh diri itu bukan lari
dari takdirMusibah yang menimpa manusia adalah sebuah sunnatullah yang pasti
terjadi. Dengan musibah ini Allah hendak menguji para hamba-Nya, siapa yang
bersabar Allah akan merahmati dan mengangkat derajatnya, sementara siapa yang
tidak bersabar ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima siksa Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Kami sungguh-sungguh akan
menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa (kematian seseorang), dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi
orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah
mereka mengucapkan, ‘Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Mereka itulah yang
mendapat pujian dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapatkan petunjuk.” (Al Baqarah: 155-157)
Namun, terkadang seorang
hamba merasa berat untuk bisa bersabar. Ia merasa putus asa dan lelah mencari
jalan keluar bagi permasalahannya. Tak jarang dalam situasi seperti ini ia
tidak berpikir jernih, ia ingin segera terbebas namun tak tahu bagaimana
caranya? Akhirnya jalan pintas pun ia gunakan: bunuh diri! Na’udzubillahi min
dzalik.
Syaikh Abdurrahman Al Barrak
di dalam fatwa beliau menjelaskan mengenai seorang yang mati bunuh diri, beliau
berkata:
Bahwa bunuh diri itu
merupakan kejahatan besar. Orang yang bunuh diri untuk lari dari musibah,
kesulitan, kemiskinan, atau karena gejolak perasaan dan rasa marah, dengan
semua itu ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima siksa Allah.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam naar. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(An-Nisa : 29-30)
Diriwayatkan dengan tsabit
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan
bunuh diri dengan menggunakan sebilah besi di tangannya, maka ia akan
menusukkan besinya itu ke perutnya di Neraka Jahannam selama-lamanya. Dan
barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan racun di tangannya, maka ia akan
meminumnya terus-menerus di Neraka Jahannam nanti..” [Hadits riwayat Al-Bukhari
dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta
perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778]
Demikianlah ternyata bunuh
diri bukan jalan keluar yang menyelamatkan namun justru ia mengantarkan kepada
kesengsaraan.
Saudaraku, kenapa kita tidak
pernah berfikir bahwa turunnya musibah atau ujian ini adalah kehendak dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memuliakan hamba-hamba-Nya?
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang Allah inginkan
kebaikan baginya, maka Allah berikan musibah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no.
5645)
Dalil Haramnya Bunuh Diri
Bunuh diri adalah haram
secara mutlak. Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengan menggunakan alat apapun
merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
– Diantaranya adalah apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( من
قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها
أبدا ومن شرب سمافقتل تفسه فهو يتحساه في
نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في
نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ))
“Barangsiapa yang bunuh diri
dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam
yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan
barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan)
meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan
di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan
dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal
(dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
– Diriwayatkan pula oleh
Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( ومن
قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh
dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada
hari kiamat.”
– Diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Kemudian beliau
berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk
neraka.” Ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya
lalu terluka. Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan
bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur
dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu (dengan ucapan
tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia
belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Ketika malam hari
dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentang hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku
bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau
memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه
لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجلالفاجر))
“Sesungguhnya tidaklah ada
yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan
agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat
jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara
apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullahu: “Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab
apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah,
4/519). (2)
Terkait dengan hal ini,
apakah seseorang yang meledakkan dirinya dengan bom untuk meneror orang-orang
kafir di tempat mereka berkumpul bisa digolongkan sebagai aksi bunuh diri?
Al-Allamah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala berkata:
“Adapun yang dilakukan oleh
sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh diri) dengan cara membawa
peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya
setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri,
wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan
dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi
kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau
seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam
dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda
dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang
panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar,
pen). Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras
perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah
kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi
terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan sebab
peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari kaum
muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga tidak
mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang
diledakkan di barisan-barisan mereka. Oleh karena itu, kami melihat, apa yang
dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa
hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam
neraka, wal iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang
melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar
dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab,
dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad dan
dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/165. Lihat
pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24). (3)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz ditanya: Apa hukumnya orang yang memasang bom pada tubuhnya,
dengan tujuan membunuh sekelompok orang Yahudi?
Beliau menjawab: Pandangan
saya –dan kami telah peringatkan masalah itu bukan hanya sekali– bahwa ini
tidak benar, karena hal ini termasuk bunuh diri. Sementara Allah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian
membunuh diri kalian.” (An-Nisa`: 29)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh
dirinya dengan sesuatu maka dia akan diadzab dengannya di hari kiamat. ”
(Seseorang hendaknya)
berusaha untuk menjaga dirinya, dan apabila disyariatkan jihad maka hendaknya
berjihad bersama muslimin. Sehingga apabila terbunuh maka alhamdulillah. Adapun
dia membunuh dirinya dengan memasang ranjau/bom pada dirinya sehingga terbunuh
bersama mereka atau melukai dirinya bersama mereka (adalah) salah, tidak
diperbolehkan. Akan tetapi berjihad adalah bila disyariatkan jihad bersama
muslimin. Adapun apa yang dilakukan pemuda-pemuda Palestina, maka itu salah,
tidak boleh. Hanyalah yang wajib mereka lakukan adalah berdakwah kepada jalan
Allah, taklim dan bimbingan serta nasihat tanpa melakukan perbuatan tersebut.
(Dinukil dari buku Fatawa Al-A`immah Fin Nawazil Al-Mudlahimmah, hal. 179) (4)
Wallahu a’lam bish-shawab.
__________________________________
__________________________________
Bunuh Diri, Benarkah Mati
Sebelum Waktunya?
Katanya mati bunuh diri itu
mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu apakah
berarti yang mencabut nyawa bukan malaikat Izrail?
Dijawab oleh Al-Ustadz
As-Sarbini Al-Makassari:
Anggapan bahwa orang yang
mati bunuh diri mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah aqidah yang batil. Ini adalah aqidah kaum Mu’tazilah yang sesat,
yang mengingkari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, mereka
mengatakan bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri, adalah mati sebelum
ajal yang diketahui, dikehendaki dan ditetapkan dalam Kitab Lauhul Mahfuzh oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya mati di luar takdir Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kalau seandainya dia tidak terbunuh atau bunuh diri, dia akan hidup
hingga ajal yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi menurut
mereka, orang yang mati terbunuh punya dua ajal.
Yang benar menurut aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta ijma’ salaf, bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri adalah mati
sesuai ajal yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Orang yang mati terbunuh sama halnya dengan orang mati
lainnya. Tidak ada seorang pun yang kematiannya mundur dari ajalnya. Sebab ajal
setiap sesuatu adalah batas akhir umurnya, dan umurnya adalah jangka waktu
kehidupannya (di dunia). Jadi umur adalah jangka waktu kehidupan (di dunia) dan
ajal adalah berakhirnya batas umur/kehidupannya.”
Syaikhul Islam juga berkata:
“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya dan Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menulisnya. Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa
orang ini akan mati dengan sebab penyakit perut, radang selaput dada, tertimpa
reruntuhan, tenggelam dalam air, atau sebab-sebab lainnya. Demikian pula, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati terbunuh, apakah
dengan pedang, batu, atau dengan sebab lain yang menjadikan terbunuhnya
seseorang.”
Jadi Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menakdirkan kematiannya dengan sebab itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Tidaklah suatu jiwa akan
meninggal kecuali dengan seizin Allah (takdir Allah), Allah telah menulis ajal
kematian setiap.” (Ali ‘Imran: 145)
As-Sa’di rahimahullah
menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan bahwa seluruh jiwa tergantung ajalnya dengan izin Allah Subhanahu
wa Ta’ala, takdir dan ketetapan-Nya. Siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetapkan kematian atasnya dengan takdir-Nya, niscaya dia akan mati meskipun
tanpa sebab. Sebaliknya, siapa saja yang dikehendaki-Nya tetap hidup, maka
meskipun seluruh sebab yang ada telah mengenainya, hal itu tidak akan
memudharatkannya sebelum ajalnya tiba. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menetapkan, menakdirkan dan menulis hidupnya hingga ajal yang ditentukan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka jika ajal mereka telah
datang mereka tidak mampu mengundurkannya sesaat pun dan mereka tidak mampu
memajukannya (sesaat pun).” (Al-A’raf: 34)
Sebaliknya, kaum yang
menafikan dan menolak adanya sebab musabab dalam terjadinya sestatu yang
ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwa seandainya dia
tidak terbunuh, maka dia tetap akan mati saat itu.
Maka hal ini juga batil, dan
dibantan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan mengatakan: “Kalau seandainya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa orang tersebut tidak akan mati
terbunuh, maka ada kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan
kematiannya pada saat itu dan ada kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menakdirkan tetap hidupnya dia hingga waktu yang akan datang. Maka penetapan
salah satu dari dua kemungkinan tersebut atas takdir yang belum terjadi adalah
kejahilan. Hal ini seperti perkataan seseorang: ‘Kalau orang ini tidak makan
rezeki yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya, maka mungkin saja
dia akan mati atau dia diberi rezeki yang lain’.” (Majmu’ Al-Fatawa [8/303-304]
cet. Darul Wafa’, Syarhu Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz hal.
143, cet. Al-Maktab Al-Islami, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Yang mencabut nyawa orang
yang mati bunuh diri juga malaikat pencabut nyawa, yaitu Malakul Maut. Adapun
penamaan malaikat Izrail, maka penamaan ini tidak tsabit (shahih) dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penamaan ini diingkari oleh para
ulama.
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani
dalam Syarhu wa Ta’liq Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 84, cet. Maktabah
Al-Ma’arif) ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
rahimahullah: “Kita juga beriman dengan Malakul Maut yang diperwakilkan untuk
mencabut ruh-ruh alam.” Al-Albani berkata dalam syarahnya: “Inilah namanya
dalam Al-Qur’an. Adapun penamaan Izrail sebagaimana yang tersebar di kalangan
manusia, tidak ada dalil (dasar)nya. Hanyalah sesungguhnya hal itu berasal dari
cerita Al-Isra’iliyat (cerita Bani Isra’il).”
Al-Imam Al-Faqih Al-’Utsaimin
rahimahullah berkata dalam Syarhu Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 46, cet.
Daruts Tsurayyah lin Nasyr): “Demikian pula kita mengetahui bahwa di antara
para malaikat ada yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh Bani Adam atau ruh-ruh
setiap makhluk yang bernyawa. Mereka adalah Malakul Maut dan rekan-rekan
malaikat yang membantunya. Malakul Maut tidak bernama Izrail, karena penamaan
tersebut tidak tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Wallahu a’lam.
Sumber:
Majalah Asy Syariah no.
59/V/1431 H/2010, hal. 71, 72 dan 76.
Reposting : abuayaz.blogspot.co.id
Rujukan Pendalaman :
Apakah Rezki Dan Jodoh Telah Ditulis Di
Lauh Mahfudz
https://almanhaj.or.id/325-apakah-rezki-dan-jodoh-telah-ditulis-di-lauh-mahfudz.html
https://almanhaj.or.id/325-apakah-rezki-dan-jodoh-telah-ditulis-di-lauh-mahfudz.html
Apakah
Point ke ( 2 ) Risalah Amman "Iman Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai
Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Apa Makna
Salaf, Salafi, atau Salafiyun?
https://konsultasisyariah.com/523-apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.html
https://konsultasisyariah.com/523-apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.html
[IT]
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (12) – Beriman kepada Taqdir
Keyakinan Ahlussunnah Mengenai Qadha’ dan
Qadar Secara Umum
Perbuatan
Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti
Takdirnya. Kalau Memang Sudah Ditaqdir ( Allah Menciptakan Manusia ), Buat Apa
Allah Menyiksanya Di Neraka? Apakah Allah Tidak Adil Jika Memasukkan Hambanya
Ke Neraka? ( Bagian I )
Pentingnya
Iman Kepada Hari Akhir. Allah Subḥānahu Wa Ta'alā Menjadikan Orang Yang
Mengingkari Akherat Sebagai Orang Yang Kafir, Karena Ia Mengingkari
KemampuanNya Dan KetuhananNya
www.jalyat.com/jalyatcm/wp-content/uploads/اندونيسي-القضاء-والقدر-عنيزة.pdf
Page 1. Page 2. @ADI-IA'. »¿ QADAR. Syaikh
Muhammad Shalih. AI-Utsaimin. Page 3. Syaikh Muhammad Shalih AI-Utsaimin.
QADHA'. _ &. QADAR.
Qadha dan qadar [indonesia ]
Muhammad bin shalehal-‘utsaimin
Penerjemah: masykur. Mz
Qadha dan Qadar
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin