Al Imam Ibnu Hazm
rahimahullah berkata tentang firman-Nya:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka (orang-orang
Nasrani) telah menjadikan para ahli ilmu dan para rahib mereka sebagai arbab
(tuhan-tuhan) selain Allah dan juga Al Masih Ibnu Maryam, padahal mereka itu
tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada ilah yang Esa, tidak
ada ilah (yang haq) kecuali Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.”
(At Taubah: 31)
Sungguh Allah telah
menamakan putusan dengan selain aturan-Nya sebagai thaghut, sebagaimana
firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ
مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
(٦٠)
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.” (An Nisa: 60)
Menegakkan syari’ah dalam konteks jinayat
baik hudud maupun ta’zir hal itu adalah kewenangan negara, bukan kewenangan
individu. "Andai saya berhasil menangkap maling di rumah saya, saya
tetap tidak berwenang melaksanakan jinayat (hudud) terhadap si pencuri”.
Perkataan Jahil Murokkab, pernyataan diatas untuk orang awan.
Pembebanan hukum Seorang Profesor (Super Pakar) yang Memproposed
(Mengendoser) atau membuat Undang-undang (Hukum positip, Bertentangan dengan
Syari’at Allah) tidak sama dengan orang Awam. Rakyat Awam bukan perusak hukum
Allah. Yang pertama bisa mengarah kepada kekafiran.
Belajar Hukum Positif dan Menjalani
Profesi sebagai Pengacara dan Hakim
(bukan pembuat Undang-undang)
Fatwa Komite Tetap
Belajar Hukum Positif dan Menjalani
Profesi sebagai Pengacara dan Hakim
Fatwa Nomor (3712):
Pertanyaan: Sekarang saya sedang belajar
di Fakultas Hukum pada tahun kedua, artinya: saya sudah menghabiskan waktu dua
tahun di fakultas. Saya benar-benar ingin mengetahui: apakah saya harus
meninggalkannya, karena (mata kuliah hukum) itu tidak memakai hukum syariat
Allah, dan yang dipelajari adalah hukum positif (buatan manusia)? Dan apakah
saya boleh menjadi jaksa penuntut umum (melakukan investigasi berdasarkan
hukum buatan manusia) Dan apakah mengajarkan ilmu hukum di fakultas kepada para
mahasiswa itu haram atau tidak? Dan apakah menjalani profesi pengacara sebagai
sumber penghasilan itu haram?
Jawaban 1: Pertama: Jika orang yang ingin
belajar hukum positif (buatan manusia) itu memiliki dasar pemikiran dan
pengetahuan ilmiah yang kuat sehingga dapat membedakan antara yang benar dan
batil, memiliki benteng pengetahuan keislaman yang kokoh yang mampu menjaganya
agar tidak menyeleweng dari kebenaran dan terjerumus dalam fitnah kebatilan.
(Nomor bagian 1; Halaman 794)
|
Juga berniat mempelajari hukum positif
ini untuk perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif, bisa menjelaskan
keistimewaan hukum Islam daripada hukum positif tersebut, dan menjelaskan bahwa
hukum Islam lebih komprehensif dan berguna bagi agama dan kehidupan duniawi
mereka dan sudah dapat mencukupi (kebutuhan) mereka. Juga bisa mempertegas yang
benar dan mengalahkan yang batil, menolak argumen orang yang mengagungkan hukum
positif yang mengira bahwa ia lebih cocok, komprehensif, dan mencukupi, jika seperti
itu yang dimaksud, maka belajar hukum positif itu boleh. Dan jika tidak seperti
itu, maka tidak diperbolehkan mempelajarinya, dan cukup baginya untuk
mempelajari hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan dari Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang shahih, sebagaimana yang dijalani oleh ulama
Islam terdahulu dalam mempelajari dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber
tersebut.
Kedua: Jika profesi sebagai pengacara
atau hakim itu bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil secara
hukum, bisa mengembalikan hak-hak manusia pada tempatnya, dan bisa menolong
orang yang terzalimi, maka profesi ini dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi jika
sebaliknya, maka tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat sikap
tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman: Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.
Anggota | Anggota | Wakil Ketua Komite | Ketua |
Abdullah bin Qu'ud | Abdullah bin Ghadyan | Abdurrazzaq `Afifi | Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz |
Fatwa Komite Tetap
Mempelajari Hukum Positif dan Bekerja
Sebagai Pengacara
(Nomor bagian 1; Halaman 792)
Pertanyaan Pertama dan Kedua dari Fatwa
Nomor (3532):
Pertanyaan 1: Kami telah disibukkan
dengan beberapa perkara, diantaranya terkait mempelajari undang-undang di
Fakultas Hukum. Beberapa teman berbeda pendapat dalam masalah ini. Saya memohon
kepada Allah semoga Anda bisa memberikan penjelasan dalam beberapa permasalahan
ini:
1 - Hukum mempelajari hukum positif
(buatan manusia);
2 - Hukum bekerja sebagai pengacara
(hakim)
Jawaban 1: Jika orang yang ingin belajar
hukum positif (buatan manusia) itu memiliki dasar pemikiran dan pengetahuan
ilmiah yang kuat hingga dapat membedakan antara yang benar dan batil, memiliki
benteng (pengetahuan) keislaman yang kokoh sehingga bisa menjaganya agar tidak
menyeleweng dari kebenaran dan terjerumus dalam fitnah kebatilan. Juga berniat
mempelajari hukum positif ini untuk perbandingan antara hukum Islam dan hukum
positif, bisa menjelaskan keistimewaan hukum Islam dari hukum positif tersebut,
dan menjelaskan bahwa hukum Islam lebih komprehensif dan berguna bagi agama dan
kehidupan duniawi mereka dan sudah mencukupi (kebutuhan) mereka, bisa
mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil. Juga mampu menolak argumen
orang yang mengagungkan hukum positif hingga mengira bahwa ia lebih cocok,
komprehensif dan mencukupi -- jika kondisinya seperti itu -- maka belajar hukum
positif itu boleh. Dan jika tidak seperti itu, maka tidak boleh mempelajarinya,
dan cukup baginya untuk mempelajari hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran
dan riwayat shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
sebagaimana yang dijalani oleh ulama Islam terdahulu dalam mempelajari dan
mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut.
(Nomor bagian 1; Halaman 793)
Kedua: Jika profesi sebagai pengacara
atau hakim itu bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil secara
hukum, bisa mengembalikan hak-hak manusia pada tempatnya, dan bisa menolong
orang yang terzalimi, maka profesi ini dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Akan tetapi jika sebaliknya,
maka tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong
dalam dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman: Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala
Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Berhukum dengan Selain yang Alloh
Turunkan bag. 2 :
Rincian Masalah Berhukum Dengan Selain
Yang Alloh Turunkan
Diskusi
Konstruksi Teori Ilmiah
Bandar bin Nayif Al Mihyany Al Utaiby
Pengantar Fadhilatu Syaikh Muhammad bin
Hasan bin Abdurrahman Al Syaikh
Bahasan Kedua
Keadaan kedelapan : Taqnien ( menyusun
undang-undang )
Bentuknya : memutuskan dengan selain yang
Alloh turunkan yaitu dengan hukum yang ia buat sendiri
Artinya, dialah yang membuat hukum atau
undang-undang itu, tanpa istihlal, tidak pula juhuud, tidak takdzieb atau pun
tafdhiel atau menyamakan, dan tidak menisbatkan hukum yang ia buat kepada agama
Alloh .
Hukumnya : kufur ashghar ( = tidak keluar
dari agama islam ).
Dalilnya : tidak ada dalil yang
menyebutkan takfirnya, sebab syariah tidak mengkaitkan kufur akbar dengan
sumber hukum, sebagaimana dalil-dalil tidak membedakan antara seorang yang
menghukumi dengan hukumnya sendiri dengan yang menggunakan hukum orang lain.
·Saya berkata : jika pembedaan itu benar
tentu tidak akan dilalaikan oleh syariat, dan tentu akan datang dalil-dalil
yang mendukungnya.
Keadaan ini berkaitan dengan empat
masalah :
Masalah pertama :
Pemerintah yang membuat hukum yang
menyelisihi syariat bisa jadi lebih besar kejahatannya daripada yang tidak
melakukannya. Namun pembahasan kita adalah kekufuran yang tidak ada dalilnya,
bukan tentang lebih berat atau lebih ringan kejahatannya.
Masalah kedua :
Sebagian tokoh yang berdalil atas takfir
dengan keadaan ini mengatakan bahwa dengan membuat undang-undang berarti ia
telah menyaingi Alloh Ta’ala dalam satu kekhususannya , yaitu : Tasyrie’ (
membuat syariat ).
Saya katakan : yang benar adalah bahwa
hal ini harus dirinci, sebab orang yang membuat undang-undang tidak lepas dari
dua keadaan :
Keadaan pertama : melakukan hal itu
dengan menganggap dirinya memiliki hak tasyrie’ dengan ia mengungkapkannya dengan
lisan dan tidak sekedar melakukan ; maka dia kafir dengan kufur akbar tanpa
ragu lagi ; karena ia menghalalkan perkara yang Alloh Ta’ala haramkan .
Keadaan kedua : melakukannya ( membuat
aturan ) tanpa mengklaim hal itu ; maka dia tidak kafir karena tiga sebab :
1. Tidak ada dalil atas kekafirannya.
2. Ahli sunnah tidak mengkafirkan teman
buruk yang merencanakan dosa dan menghiasinya dan mengajak kepadanya...orang
seperti ini kafir menurut mereka, padahal ia tidak kafir dengan kesepakatan
ahli sunnah.
3. Ahli sunnah tidak mengkafirkan tukang
gambar yang tidak menghalalkan menggambar yang haram. Allah berkata tentang
mereka dalam hadits qudsi : “ siapakah yang lebih dzalim daripada seorang yang
hendak menciptakan seperti yang Aku ciptakan ? “ ( Bukhary 5953, Muslim 5509 ).
Dan bersabda Rasululloh shollalloh alaihi wa sallam tentang mereka : “ manusia yang paling keras siksaannya pada
hari kiamat adalah yang menyaingi ciptaan Alloh “ ( Bukhary 5954, Muslim 5494
).
Dan tidak ada perbedaan antara keduanya,
sebab penggambar / pematung telah menjadikan dirinya pencipta bersama Alloh,
dan pembuat hukum menjadikan dirinya pembuat aturan bersama Alloh, sehingga
siapa yang mengkafirkan pembuat aturan maka ia harus mengkafirkan pembuat patung/gambar
. Keduanya sama...maka tukang gambar kafir menurut yang menetapkan ini ,
padahal ia tidak kafir dengan kesepakatan ahli sunnah .
Saya berkata : kesepakatan ahli sunnah
atas tidak kafirnya teman buruk dan tukang gambar adalah dalil qath’iy atas apa
yang saya terangkan tadi. Ingatlah hal penting ini !
Masalah ketiga :
Sebagian orang tersebut berdalil atas
kekafiran dengan keadaan ketiga ini dengan mengatakan bahwa seorang yang
menyusun undang-undang menjadi thaghut yang hukumnya dirujuk selain hukum
Alloh, pendalilan ini tidak benar dan dapat dijelaskan dari dua sisi :
Sisi pertama : pendapat ibni dibanguin
dari dasar yang tidak benar, yaitu bahwa setiap thaghut pasti kafir ! kesalahan
ini dilihat dari tiga hal ;
1. Kata thaghut dimaksudkan untuk : “
setiap pemimpin kesesatan “ , sebab kata ini diambil dari kata thughyan yang
artinya : melampaui batas.
Berkata Al Qurtubhy rahimahulloh : “
yaitu : tinggalkanlah setiap yang disembah selain Alloh ; seperti setan dan
dukun dan berhala, dan setiap yang mengajak kepada kesesatan “ ( tafsir 5/75,
tafsir QS. 16 ( Nahl ) : 36 )
Berkata Al Fairuz Abady rahimahulloh :
thaghut : ... dan setiap pemimpin kesesatan, dan berhala, dan apa saja yang
disembah selain Alloh, dan orang jahat dari ahli kitab ( Al Qamus Al Muhith
4/400, thogho ).
Saya berkata : thughyan – jika begitu –
kadang dikafirkan dan kadang tidak sampai derajat kafir, karena itulah Syaikh
Ibnu Baz rahimahulloh berkata : “ maka
batas bagimu adalah dengan menjadi seorang yang taat kepada Alloh, jika engkau
melewati batas itu maka engkau adalah thaghut dengan apa yang kau lakukan
itu....yang bisa kafir, bisa juga di bawah itu “ ( Syarh tsalatsatil Ushul ,
kaset 2, side b, produksi Bardain Riyadh ).
2. Ada sebagian ulama yang mensifati
seorang sebagai thaghut dengan sekedar melihat perbuatan melewati batas, tanpa
melihat keadaan pelaku :
a. Karena mereka mendefinisikan thaghut
sebagai : “ setiap yang hamba melampaui batas baik dengan diibadahi , diikuti
atau ditaati “ ( disebutkan ibnul qayyim rahimahulloh ( a’lamul muwaqiien 1/50
) )
Ibnu Utsaimin rahimahulloh mengomentari
dengan mengatakan : “ maksudnya yaitu
yang ridha, atau dikatakan : dia thaghut dengan melihat orang yang menyembah ,
mengikuti atau mentaatinya ; karena ia telah melewati batas kedudukan yang
diberikan oleh Alloh, sehingga perbuatan menyembah, mengikuti dan mentaatinya
itu disebut thughyan, karena melampaui batas dengan itu “ ( Al Qaul Al Mufid
1/30 ).
Saya berkata : maka tidak mesti seorang
yang disifati thoghut adalah kafir ; karena bisa disebut thaghut dengan hanya
melihat sikap orang kepadanya, bukan keadaan dia .
b. Sebagaimana para ulama menyebut
benda-benda mati yang diibadahi selain Alloh sebagai thaghut, padahal jelas
bahwa benda mati juga tidak disifati islam sebagai lawan kufur.
Berkata Ibnul Jauzi rahimahulloh : “
berkata ibnu qutaibah : setiap yang diibadahi : berupa batu atau gambar atau
setan, maka dia jibt dan thaghut. Demikian diceritakan Zajjaj dari para ahli
bahasa “ ( Nuzhatul A’yun An Nawadzir hal 410, bab thaghut )
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “
ia adalah ism jins ( kata jenis ) yang masuk padanya : setan, dan berhala dan
dukun , dan dinar serta dirham dan selainnya “ ( Al Fatawa 16/565 ).
Saya berkata : jika setiap thaghut
adalah kafir tentu bis mengkafirkan benda-benda mati .
3. Para ulama juga menyebut para pelaku
dosa yang tidak mengkafirkan sebagai thaghut .
Berkata Ar Raghib Al Ashfahany
rahimahulloh : “ Thaghut adalah istilah bagi ; setiap yang melampaui batas dan
setiap yang disembah dari selain Alloh .... dan karena itulah : disebut tukang
sihir dan dukun dan yang jahat dari jin dan yang menyimpangkan dari jalan kebaikan
sebagai thaghut “ ( Al Mufradaat hal 108 , thagha ).
Berkata Muhammad ibnu Abdil Wahhaab
rahimahulloh : “ dan thaghut itu banyak , yang jelas ada lima : yang pertama
setan dan pemimpin yang dzalim dan pemakan riba dan yang diibadahi dengan ia
ridha dan setiap yang beramal tanpa ilmu “ ( Durar Saniyyah 1/137 ).
Berkata Ibnu Utsaimin rahimahulloh : “
dan ulama buruk yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran atau menyeru kepada
bid’ah atau kepada menghalalkan apa yang Alloh haramkan atau mengharamkan yang
Alloh halalkan adalah : THAGHUT “ ( Syarh Ushul Tsalatsah hal 151 ).
·Saya berkata : jika setiap thaghut kafir
tentu tidak boleh dijelaskan dengan demikian, yang berkonsekuensi mereka
mengkafirkan dengan dosa maksiat .
Sisi kedua : hal ini berkonsekuensi juga mengkafirkan
orang yang Ahli sunnah telah sepakat ketidakkafirannya . yaitu seorang yang
merencanakan dosa ; sebab tidak ada perbedaan – dalam taqnien - antara seorang
yang menulis rencana maksiat dengan yang menulis undang-undang hukum yang
selain Alloh turunkan, sebab keduanya telah melakukan taqnien dalam perkara
yang haram .
Contohnya : segerombolan orang yang
bertekad merampok dan mengangkat pemimpin serta membuat aturan, maka pemimpin ini yang telah mengajak mereka lalu merencanakan kejahatan dan perampokan serta
menakuti kaum muslimin hingga menjalankannya, dialah pula yang memerintah ,
mereka ikut , melarang dan mereka mentaati, pemimpin seperti ini berarti telah
melakukan taqnien ( rencana tertulis ) , namun ia tidak kafir .
Saya katakan : jika pengkafiran dengan
hal ini benar , tentu harus mengkafirkan pelaku dosa seperti ini, padahal ia
termasuk pelaku maksiat yang Ahli sunnah bersepakat akan ketidakkafiran mereka
.
Masalah keempat :
Keadaan ini adalah perkara yang paling
sengit perdebatan antara penuntut ilmu, hanya saja ulama abad ini ; Ibnu Baz,
AlBany, dan Ibnu Utsaimin rahimahumulloh bersepakat akan ketidakkafirannya.
Berkata Ibnu Baz rahimahulloh : “ jika ia
membuat undang-undang yang berisi bahwa pezina tidak ada hukuman had, atau
pencuri tidak terkena hukum had.... maka undang-undang ini bathil, dan jika
pemimpin meyakini halal ( istihlal ) maka ia kafir “ ( Al Fatawa 7/124 )
Dan lihatlah pula ucapan Al Albany
rahimahulloh tentang ketidakkafiran seorang yang menyusun undang-undang kecuali
jika istihlal dalam “ Silsilah Al Huda
Wa Nur “ ( kaset 849 , menit 72 ).
Berkata Ibnu Utsaimin rahimahulloh : “
berhukum dengan selain yang Alloh turunkan bukan kufur yang mengeluarkan
seorang dari agama , namun kufur amaly ( ashghar ) , karena pemerintah yang
melakukannya berarti keluar dari jalan yang benar. Dan tidak dibedakan antara
yang mengambil undang-undang buatan dari luar lalu menerapkan di negaranya
dengan yang membuat dan menerapkan undang-undang buatan ini ; karena yang
penting adalah apakah undang-undang ini menyelisihi undang-undang langit ? atau
tidak ?[2] ( Fitnah Takfir hal 25,
footnote 1 )
Keadaan kesembilan : Tasyrie’ Aam (
pembuatan aturan umum )
Bentuknya : memutuskan dengan selain yang
Alloh turunkan dan menjadikan hukum ini berlaku umum bagi setiap yang di
bawahnya .
Artinya : ia mengganti hukum Alloh dengan
hukum selain-Nya, dan mewajibkan setiap orang yang di bawahnya melaksanakan
hukum ini, tanpa istihlal, tanpa juhuud, tanpa takdzieb , tanpa tafdhiel, tanpa
menyamakan dan tidak menisbatkan hukum yang dibuat kepada agama Alloh .
Hukumnya : kufur ashghar .
Dalilnya : tidak ada dalil yang mengkafirkannya, maka
syariah tidak pernah mengkaitkan kufur akbar dengan pemberlakuan umum atau
dengan mewajibkannya. Sebagaimana dalil-dalil tidak membedakan antara
pemerintah yang menerapkan secara umum atau yang tidak demikian, atau antara
pemerintah yang mewajibkan bagi yang dibawahnya atau yang tidak demikian .
Saya katakan : jika pembedaan ini benar
tentu tidak akan ditinggalkan oleh syariah, dan tentu akan datang dalil yang
banyak yang mendukungnya .
Ada enam masalah berkaitan dengan hal ini
:
Masalah pertama :
Benar bahwa seorang yang menetapkan hukum
umum dan mengharuskan semua orang yang di bawahnya untuk mengikuti bisa
dianggap lebih jahat daripada yang tidak membuat hukum umum atau mewajibkan.
Tetapi pembahasan kita adalah : kekafiran yang tidak ada dalilnya , bukan
meneliti yang lebih jahat .
Masalah kedua :
Sebagian orang yang utama berdalil akan
kekafiran keadaan kedua ini dengan Laazim ( konsekuensi ) ; yaitu tidak mungkin
seorang mengganti hukum Alloh dengan hukumnya lalu menjadikan hukumnya menjadi
hukum umum bagi siapa saja yang di bawahnya kecuali pasti ia berkeyakinan bahwa
hukumnya lebih bermanfaat dan lebih baik dari hukum Alloh, pendalilan ini
terbantah dari empat sisi :
Sisi pertama : para ulama telah
menetapkan bahwa lazim madzhab bukanlah madzhab kecuali jika ia mengetahui dan
menetapinya . Dan bahwa seseorang mungkin saja meyakini yang bukan menjadi
konsekuensi pendapatnya, walaupun disebut kontradiktif jika ia tidak berpendapat dengan lazim itu .
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “
lazim madzhab belum tentu menjadi madzhab, bahkan kebanyakan manusia
berpendapat dengan berbagai hal yang mereka tidak menerima konsekuensinya ;
sehingga seorang yang berpendapat dengan pendapat yang berkonsekuensi ta’thil
belum tentu berakidah ta’thil, bahkan kadang berpendapat itsbat namun ia tidak
mengetahui konsekuensinya “ ( Al Fatawa 16/461 ) .
Beliau juga berkata rahimahulloh : “
adapun jika konsekuensi itu diridhai olehnya setelah jelas baginya ; maka itu
uga pendapatnya , adapun jika tidak meridhainya, maka bukan pendapatnya,
walaupun ia akan kontradiktif.... adapun jika ia menafikan konsekuensi itu maka
tidak boleh dinisbatkan hukum konsekuensi itu kepadanya sama sekali “ ( Al
Fatawa 29/42 ).
Beliau rahimahulloh juga berkata ; “
adapun ucapan seorang : apakah laazim madzhab adalah madzhab ? ataukah bukan
madzhab ? maka yang benar : bahwa laazim madzhab seseorang bukanlah madzhabnya
jika ia tidak menetapinya , sebab jika ia telah mengingkari atau menafikan maka
penisbatan hal itu kepadanya adalah kedustaan atas namanya “ ( Al Fatawa 20/217
) .
Sisi kedua :
Konsekuensi ini kadang tidak terjadi ,
dimana terkadang dijumpai seorang yang melakukan itu dengan masih meyakini
bahwa syariah lebih bermanfaat daripada hukumnya ,seperti telah lalu
pencontohan Ibnu Taimiyyah rahimahulloh dengan pendapat yang seakan
berkonsekuensi ta’thil namun tidak otomatis orang tersebut termasuk ahli
ta’thil .
Saya berkata : tidak adanya konsekuensi
itu menunjukkan bahwa kaidah ini tidak pasti ; sehingga tidak bisa dijadikan
pegangan, terlebih dalam masalah pengkafiran yang tidak digunakan kecuali yang
meyakinkan.
Sisi ketiga : bahwa Ahli sunnah tidak
mengkafirkan kecuali dengan hal yang tidak ada kemungkinan lain padanya , sebab
hukuman dicegah dengan kerancuan ( al huduud tudra’ u bi syubuhat ) , dan pengkafiran
lebih berhak untuk dicegah .
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “
siapa yang telah ditetapkan keislamannya dengan yakin maka tidak dapat
dihilangkan ( status itu ) dengan syakk ( keraguan ) “ ( Al Fatawa 12/466 ) .
Dan berkata Muhammad Ibn Abdul Wahhaab
rahimahulloh : “ kami tidak mengkafirkan kecuali yang para ulama seluruhnya
telah bersepakat “ ( Durar Saniyyah 1/102 ) .
Sisi keempat : konsekunsi hal ini adalah
harus mengkafirkan orang yang ahli sunnah bersepakat ketidakkafirannya, yaitu
yang membuat aturan maksiat – yang di bawah kesyirikan - . Jika ada seorang
ayah yang menetapkan maksiat pada keluarganya dan mewajibkan mereka,
menyelesihi setelah diingkari dan tidak mendengar yang menasehati ; maka ia
tidak kafir menurut Ahli sunnah, sedang menurut mereka yang menetapi pendapat
ini maka ia kafir .
Masalah
ketiga :
Sebagian mereka berdalil atas pengkafiran
dengan keadaan ini berdasar hadits tahmiem yahudy ( lihat hal 22 ) , maka Alloh
turunkan pada mereka ( sebagaimana dalam shahih Muslim 4415 ) :
{يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ}
[المائدة: 41]
Artinya : hai rasul, janganlah hendaknya
kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya (
QS . Al Maidah 41 ) hingga firman Alloh :
{يَقُولُونَ
إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا} [المائدة:
41]
Artinya : mereka mengatakan: "Jika
diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka
terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". ( QS .
Al Maidah 41 )
Dan firman Alloh :
{وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} [المائدة:
44]
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS. Al Maidah : 44 )
{وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [المائدة:
45]
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim ( QS. Al Maidah : 45 )
{وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} [المائدة:
47]
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasiq ( QS. Al Maidah : 47 ).
Mereka berpandangan bahwa Alloh tidak
menghukumi dengan kekafiran mereka kecuali karena mereka menjadikan tahmiem
sebagai syariat umum . Dan pendalilan ini terbantah karena yahudi – yang
dimaksud kafir dalam pendalilan dalam taysrie’ aam ini – telah kafir dengan
selain tasyri ini, dapat dikjelaskan sebagai berikut :
1. Mereka mengingkari hukum Alloh pada
pezina yang muhshan , inilah yang ditegaskan dalam banyak riwayat hadits, maka
ketika Naby shollallohu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka : “ kalian
tidak mendapatkan rajam dalam taurat ? , mereka menjawab : kami tidak
mendapatkan apapun ! ( Bukhary 4556 ), dan ketika pembaca mereka membacakan
taurat , ia meletakkan tangannya di atas ayat rajam dan hanya membaca sebelum
dan sesudah ayat rajam ! ( Bukhary 4556 ), dan pengingkaran ini adalah juhuud
yang telah dijelaskan ( hal 15 ) bahwa sepakat bahwa ia kufur akbar .
2. Mereka melakukan tabdiel atau
perubahan terhadap hukum Alloh pada zina yang muhshan, maka saat Beliau
shollallohu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka : “ apakah yang kalian
dapatkan dalam taurat dalam hal rajam ? “ mereka menjawab : “ kami permalukan
dan cambuk mereka “ ( Bukhary 3635 ), mereka telah merubah hukum Alloh lalu
menisbatkan apa yang mereka buat sendiri kepada agama Alloh, inilah makna
tabdiel yang telah lalu ( hal 20 ) bahwa telah disepakati bahwa ia kufur akbar.
Karena itulah berkata Ibnu Abdil Barr rahimahulloh : “ dan dalam hadits ini
pula : dalil bahwa mereka mendustakan taurat mereka , dan menisbatkan
pendustaan mereka kepada Rabb mereka dan kitab mereka “ ( Tamhied 9 / 13 ) .
Dengan ini : maka tidak benar berdalil
dengan kisah ini untuk pengkafiran dengan Tasyrie’ Aam ; sebab yahudi terjatuh
dalam dua hal yang Ahli Sunnah bersepakat akan kekafiran yang terjatuh walaupun
dalam salah satu saja – apalagi keduanya – maka pengkafiran mereka dengan
tasyrie’ aam membutuhkan dalil lain .
Saya berkata : dan pengkaitan takfir
dengan perkara dhahir – dalam banyak riwayat -
yang ahli sunnah bersepakat atas kekafiran dengannya ( Juhuud atau
Tabdiel atau keduanya ) lebih utama daripada dikaitkan dengan perkara yang
diperselisihkan ini ( = tasyrie’ aam ) yang tidak ada dalil pengkafiran
dengannya , dan tidak ada dalil bahwa kekufuran yahudi dikaitkan dengannya .
Masalah keempat :
Dahulu Ibnu Utsaimin rahimahulloh
berfatwa pengkafiran dengan hal ini , hanya saja beliau rujuk / meralat
kembali. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Fatwa terdahulu
Beliau rahimahulloh berkata : “ .... dan
di antara mereka : ada yang menetapkan bagi manusia peraturan yang
menyelisihi syariat islam , untuk
menjadi jalan yang ditempuh manusia, maka mereka tidaklah menetapkan aturan yan
g menyelisihi syariat islam kecuali pasti mereka meyakini bahwa aturan itu
lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia, sebab diketahui secara pasti
dengan akal, dan fitrah kelaziman bahwa seorang tidak akan berpindah dari satu
jalan ke jalan lain yang menyelisihinya kecuali tentu ia meyakini keutamaan
yang ia pilih dan kekurangan yang ia tinggalkan “ . ( Al Fatawa 2/143 ).
Beliau rahimahulloh juga berkata : “
sebab pembuat undang-undang yang menyelisihi islam ini ; hanyalah menetapkannya
karena keyakinan bahwa itu lebih baik daripada islam dan lebih bermanfaat bagi
manusia “ ( Al Fatawa 2/143 )
Saya berkata : dalam fatwa ini ada tiga
hal yang mesti diperhatikan :
1. Beliau berdalil untuk kekafiran
pembuat hukum dengan laazim ( konsekuensi ), dan telah lalu ( hal 33 dan
seterusnya ) bahwa pendalilan ini perlu ditinjau ulang.
2. Beliau mengembalikan pengkafiran dalam
hal ini kepada akidah, maka sesungguhnya beliau sependapat dengan apa yang
telah saya sebutkan dalam keadaan ini ( hal 33 ), hanya saja beliau mengkaitkan
kekafiran dalam kondisi ini dengan laazim yang tidak pasti. Maka
hendaklahmemperhatikan ini mereka yang berpegang dengan ucapan beliau dalam
masalah ini dan berpandangan bahwa melihat keyakinan adalah irja ( murjiah ) !
3. Beliau tidak menetapi pendapat ini dan
tidak menerapkan pengkafiran dengan laazim di selain masalah ini, jikalau
pengkafiran dengan laazim adalah benar tentu selain beliau akan berpendapat
dengannya dalam seluruh permasalahan pengkafiran.
Fatwa Terakhir
Beliau rahimahulloh berkata : “ jika ia
mengetahui hukum syar’iy tetapi menghukumi dengan ini, atau menetapkan ini, dan
menjadikannya undang-undang yang dijalani manusia ; ia meyakini berbuat dzalim
dengan itu, dan bahwa yang benar adalah yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka
kita tidak dapat mengkafirkannya dengan ini “ ( lihat fatwa dengan sempurna hal
29 ).
Masalah kelima :
Sebagian pihak mengklaim bahwa kondisi
tasyrie’ aam tidak pernah terjadi kecuali di zaman belakangan ini, dibangun di
atas kerangka ini : bahwa tidak benar berpegang bahwa ketidakakfirannya karena
tidak ada dalil yang mengkafirkan, dan bahwa mutaqadimien / ulama terdahulu
tidak mengkafirkan dengan kondisi ini. Hal ini salah karena dua perkara :
1. Semestinya juga tidak bisa berdalil
untuk pengkafiran keadaan ini dalil apapun, dan ini tidak dikatakan oleh
siapapun; karena digunakan dalil hal ini kisah tahmiem, dan telah lalu ( hal 34
) jawaban pendalilan ini, dan bahwa manaath ( = sebab= illat ) pengkafiran
dalam kisah ini bukan tasyrie’ aam.
2. Kondisi tasyrie’ aam ini telah terjadi
sejak berabad yang lalu, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang berfatwa
pengkafirannya, diantara bentuknya : pajak yang diterapkan kepada muslimin
di banyak negeri mereka sejak lama, dan
diketahui bahwa pemerintah mewajibkan serta menghukum yang tidak mau
membayarnya, padahal ini perkara haram, bahkan termasuk bentuk berhukum dengan
selain yang Alloh turunkan, jika perkara ini mengkafirkan , tentu para ulama
telah berbicara, dan menetapkan bahwa tasyrie’ aam itu kufur, dan tentu mereka
tidak akan diam dari menjelaskan perkara yang mereka alami.
Masalah keenam :
Walaupun perkara ini termasuk perkara
yang paling sengit perdebatan di kalangan akademisi, hanya saja tiga ulama
besar abad ini : Ibnu Baaz dan Albany dan Ibnu Utsaimin rahimahumulloh sepakat
atas ketidakkafirannya , ( lihat hal 39 ) .
[1] . ucapan beliau : ( tidak ada serang
pun berkata dengan ( dzahir ) nya) : bisa difahami dari dua sisi; bisa jadi
maksud beliau adalah pendapat Ahli Sunnah dan beliau tidak menyinggung
khawarij, atau beliau bermaksud bahwa
dosa kecil dan dosa besar masuk dalam keumuman ayat ini, yang khawarij tidak
mengkafirkan kecuali dengan dosa besar saja.
[2] . maksud beliau rahimahulloh adalah :
yang menjadi penilaian adalah apakah uu itu sesuai atau menyelisihi hukum syar’iy,
dan tidak perlu dilihat sumber hukum itu, apakah pemerintah sendiri yang
membuat atau mengambil dari selainnya ?
Penterjemah : Ustadz Abdul Hakim Lc
Pakar Syari'at Islam Vs Pakar Hukum
Positif Saudi & Upaya Penyelarasan
Penasehat Hukum Saudi menyatakan bahwa
situasi pengadilan di Saudi mengalami kemacetan yang signifikan dalam hubungan
antara pakar hukum Syar’i dan pakar hukum positif di tingkat studi, metode dan
aplikasi hukum.
Dia menekankan perlunya konvergensi dan
kompatibilitas atara keduanya (syari’at dan hukum positif)dan menutup
perselisihan controversial yang melebar antara kedua belah pihak.
....... Dr Ahmad Al-Shuqyah
mengatakan bahwa tujuan syari’at Islam dan upayanya dalam merealisasikan
keadilan lebih tinggi dan komperhensif dibandingkan dengan hukum – hukum
positif yang ada, meskipun ia lebih tua secara historis dibandingkan syari’at
islam......
Pakar Hukum tersebut menunjukkan kalau
sebagian spesialis di bidang hukum positif mengatakan bahwa konstitusi Perancis
dipengaruhi, menurut mayoritas teks konstitusinya, oleh madzhab Maliki.
Dalam kuliah yang disampaikan di
Khamisiah Hamad Al-Jasser, Dr Ahmad Al-Shuqyah mengatakan bahwa tujuan syari’at
Islam dan upayanya dalam merealisasikan keadilan lebih tinggi dan komperhensif
dibandingkan dengan hukum – hukum positif yang ada, meskipun ia lebih tua
secara historis dibandingkan syari’at islam.
“Ada dikotomi antara pengajaar syari’at
Islam dan pengajar hukum – hukum positif. Mungkin sebab yang terpentingnya
adalah hilangnya sebagian mata kuliah hukum di fakultas syari’at di satu
sisi, dan hilangnya pokok – pokok fiqh dan ushul fiqh di fakultas hukum, yang
mana hal ini memperleba sengketa antara kedua belah pihak” tambah Dr Ahmad.
Ia mengakhiri bahwa perlu adanya keahlian
dan aplikasi dalam merumuskan teks konstitusi dan undang – undang di bawah
naungan syari’at Islam serta mengambil manfaat dari berbagai undang – undang
positif lainnya.[usamah/imo]