Vonis sesat terhadap Syiah dinilai
sebagian orang hanyalah ungkapan emosional semata. Dianggap sebagai ekspresi
kepuasan, ‘kamu sesat dan saya tidak’. Padahal tujuannya lebih bernilai dan
memiliki dampak membangun tatanan masyarakat. Hal ini berdasarkan fakta
sejarah. Ketika Syiah memiliki kekuatan, maka kecenderungan rusaknya tatanan
sosial semakin besar.
Lihat saja upaya Syiah Houthi di Yaman
yang merupakan boneka Iran di Arab, baru-baru ini mereka menembakkan rudal
mereka mengarah ke tanah suci Mekah. walaupun berhasil digagalkan oleh koalisi
yang dipimpin Arab Saudi, namun tindakan keji ini adalah permasalahan serius,
dan bisa kita jadikan tolok ukur, Syiah itu bagian mananya yang dikatakan Islam
ketika mereka sudah berani menyerang Mekah.
Syiah atau Rafidhah dalam kurun sejarah
perjalanan sekte ini selalu membawa misi mendirikan negara. Setelah runtuhnya
Daulah al-Ubaidiyah (Fatimid) di Mesir, Syiah tidak lagi memiliki negara besar
dan kuat semisal itu. Keadaan ini terus berlangsung hingga Ismail bin Haidar
ash-Shafawi berhasil mendirikan kerajaan Syiah yang baru yakni Daulah
Shafawiyah.
Daulah Shafawiyah didirikan dengan
ideologi Syiah Itsna ‘Asyari (Syiah 12 Imam). Negara yang berdiri di Iran pada
tahun 907 H/1502 M ini disebut-sebut sebagai negara yang paling buruk
perlakuannya terhadap kaum muslim sunni. Mereka memiliki kesan yang mendalam
terhadap sejarah Iran secara khusus, dan sejarah dunia Islam secara umum.
Ismail Syah ash-Shafawi adalah seorang
Syiah fanatik. Ia membunuh hampir satu juta kaum muslim sunni. Ia menyiksa
ulama sunni dengan cara dibakar hidup-hidup. Kebijakannya sangat represif, ia
mewajibkan semua warga negara untuk memeluk ajaran Syiah Itsna ‘Asyari. Fanatik
kabilah ia jadikan senjata memaksa masyarakat mengubah keyakinan mereka.
Kabilah yang ia pakai sebagai kekuatan politik adalah Kabilah Kızılbaş, salah
satu suku Turki. Ismail adalah seorang yang sangat kejam dan ditakuti.
Sampai-sampai pasukannya sujud kepadanya karena begitu mengagungkannya.
Tidak hanya memaksa masyarakat di
wilayahnya saja untuk memeluk Syiah, Ismail juga menyebarkan ideologi sesatnya
ini ke luar batas wilayah kekuasaannya. Kebijakannya ini membuat Daulah Shafawi
harus berhadapan dengan kerajaan besar lainnya, yaitu Turki Utsmani yang
berpaham sunni. Bahkan, kala itu, Turki Utsmani dianggap sebagai pemimpin
masyarakat sunni di dunia. Setelah kerajaan Sunni lainnya, Kerajaan Mamluk,
melemah.
Ketegangan dengan Turki Utsmani membuat
Ismail mengadakan kerja sama militer dengan tentara salib Portugal. Yang juga sama-sama
memerangi umat Islam. Saat itu Portugal berambisi besar menguasai
wilayah-wilayah Islam. Mereka berencana mengekspansi Kota Madinah dan menggali
makam Nabi Muhammad ﷺ.
Kesepakatan Ismail dengan Portugal ini
tentu menjadi aib sejarah tersendiri bagi kerajaan Syiah Shafawi dan Ismail
sendiri. Dan demikianlah perjalanan sejarah kaum Syiah. Penuh dengan makar,
pengkhianatan, dan konspirasi.
Apa yang dilakukan oleh Ismail
ash-Shafawi inilah yang memicu peperangan antara Daulah Utsmani dengan Daulah Shafawi.
Hingga akhirnya pada pertempuran 2 Rajab 920 H bertepatan dengan 22 Agustus
1514 M, Turki Utsmani berhasil memenangkan peperangan. Ibu kota Shafawi,
Tabriz, jatuh ke tangan Turki Utsmani.
Diterjemahkan dengan sedikit penambahan
dari tulisan Raghib as-Sirjani yang berjudul Daulah Syiah Qatalat Miliyun Sunni
Sumber: