[1]- CAKUPAN BERHUKUM DENGAN
HUKUM ALLAH
“Saya katakan: Sungguh, tema ini (berhukum dengan hukum Allah) telah
menyibukkan umat ini dan banyak dari mereka yang kurang pemahamannya dalam
masalah ini.
Tatkala saya melihat bahwa hal ini sangatlah penting; maka saya ingin
menulis tentang permasalahan ini untuk menjelasakan -sebisa mungkin-: jalan
untuk mengamalkan konsekuensi dari berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa-, dan
bagaimana cara kita untuk mewujudkannya dan menjalankannya; agar tidak terjadi
fitnah (kejelekan) dan agar agama hanya bagi Allah.
Dan saya jelaskan bahwa hal ini (berhukum dengan hukum Allah) mencakup
setiap individu (perorangan). Maka setiap anak Adam (manusia) adalah pemimpin.
Sebagaimana penguasa adalah bertanggung jawab atas rakyat dan negaranya; maka
setiap dari kita juga bertanggung jawab atas rakyatnya: di rumahnya dan pada
keluarganya, bahkan -sebelum yang lainnya-: setiap diri kita adalah bertanggung
jawab atas diri sendiri.
Dan saya juga menjelaskan pentingnya ilmu dalam hal ini.”
[“Kaifa Tahkumu Nafsaka Wa Ahlaka Wa Man Talii Umuurahum Bihukmillaah”
(Bagaimana Engkau Menghukumi Dirimu, Keluargamu Dan Orang-Orang Yang Dibawah
Tanggung Jawabmu: Dengan Hukum Allah) (hlm. 7), karya Syaikh Husain bin ‘Audah
Al-‘Awayisyah -hafizhahullaah-]
[2]- BAGAIMANA CARA BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH
“Hal itu dilakukan dengan mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang
halal.
Dan untuk mengenal halal dan haram: haruslah dengan ilmu…
Maka, marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Shalat.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Puasa.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Zakat.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Haji.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam pernikahan dan
juga kematian.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam berpakaian.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam makanan dan
minuman.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam perkara-perkara
individu, keluarga, masyarakat dan umat.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam ekonomi.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam perdamaian dan
juga peperangan.
Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam segala aspek
kehidupan kita.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 13-14)]
[3]- HUKUM ALLAH HANYA DIKETAHUI DENGAN ILMU
“Urgensi (sangat pentingnya) meneliti, men-tahqiq, dan membahas (ilmu).
Sungguh, perwujudan berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- tidak akan
terlaksana -selama-lamanya- tanpa adanya: penelitian, tahqiq, mencari
(kebenaran) dan pembahasan (ilmu).
Hal itu dikarenakan bahwa: sungguh agama ini adalah (berdasarkan):
– Apa yang Allah firmankan,
– Apa yang Nabi sabdakan, dan
– Apa yang para Shahabat katakan.
* Untuk Al-Qur’an; maka -alhamdulillaah- kedustaan tidak akan mengenainya
sama sekali.
Akan tetapi kita harus meneliti tafsir dan makna yang menjelaskan maksud
Allah -Ta’aalaa-. Karena kalau tidak dilakukan hal ini; maka akan mengantarkan
kepada penyelisihan dalam penerapan berhukum kepada Allah -Subhaanahu Wa
Ta’aalaa-.
* Adapun untuk Sunnah (Nabi); maka jelas kita harus melakukan tahqiq dan
penelitian.
Karena perkataan kita: “Rasulullah -shalllallaahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda”; ini merupakan agama. Kalau ada kedustaan atas nama Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka ini juga kedustaan atas nama Allah,
sehingga akan ada pensyari’atan agama yang tidak diizinkan oleh Allah.
(Intinya bahwa) tidak adanya penelitian: akan menyampaikan kepada berhukum
dengan selain hukum Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 16-17)]
[4]- TASHFIYAH DAN TARBIYAH ADALAH JALAN UNTUK MENEGAKKAN BERHUKUM DENGAN
SYARI’AT ALLAH
Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berkata:
“Oleh karena itu; maka kita harus mulai dengan mengajarkan agama Islam yang
benar kepada manusia -sebagaimana Rasulullah -‘alaihish shalaatu was salaam-
memulai dengannya-.
Akan tetapi kita tidak boleh mencukupkan diri hanya sekedar mengajarkan
saja; karena sungguh, Islam telah dimasuki dengan hal-hal yang bukan berasal
darinya dan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengannya; berupa
bida’ah-bid’ah dan hal-hal yang baru; yang menyebabkan hancurnya bangunan Islam
yang kokoh.
Oleh karena itulah wajib atas para da’i untuk memulai dengan men-TASHFIYAH
(memurnikan) islam ini dari hal-hal yang masuk ke dalamnya.
Inilah PRINSIP YANG PERTAMA: TASHFIYAH.
Adapun PRINSIP YANG KEDUA; yaitu: Tashfiyah ini harus disertai TARBIYAH
(pembinaan) pemuda muslim di atas Islam yang sudah dimurnikan ini.”
[“Fitnatut Takfiir” (hlm. 42), dikumpulkan oleh: ‘Ali bin Husain Abu Luz.
Dan lihat: “Fiq-hus Siyaasah Asy-Syar’iyyah” (hlm. 96-111), karya Syaikh Doktor
Khalid bin ‘Ali Al-‘Anbari -hafizhahullaah-]
[5]- MEMULAI DARI DIRI SENDIRI
A. Secara Ilmu
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
…إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ
أَلاَ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“…Hukum
(keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Yusuf: 40)
“Al‑Baghawi
berkata dalam Tafsirnya: “Hukum (keputusan) itu” (Yakni): keputusan, perintah
dan larangan [“hanyalah milik Allah”].”
“Hukum
itu hanyalah milik Allah”; apakah dalam perkara yang kecil ataupun besar,
sedikit maupun banyak; maka keputusan, perintah dan larangan di dalamnya adalah
milik Allah -Ta’aalaa-. Terkadang hukum Allah diselisihi dikarenakan fanatik
terhadap keluarga dan kerabat, atau dikarenakan kecintaan kepada harta,
perdagangan, kelompok, golongan, guru, atau perkara-perkara yang semisalnya.
Maka
kita harus mengenal dalil-dalil yang berisi: pengharaman dan penghalalan, serta
perintah dan larangan; agar kita mengharamkan apa yang Allah haramkan, menghalalkan
apa yang Allah halalkan, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi apa yang
Allah larang.
Maka
ini berkonsekuensi agar kita mengerahkan segenap usaha kita untuk ilmu,
berlutut di hadapan para ahli ilmu, menyelami kitab-kitab, dan mengambil faedah
dari para ulama umat ini yang terdahulu. Semua itu sesuai kemampuan yang
dimiliki, sehingga akan ada:
–
orang ‘alim (berilmu) yang mengajarkan, dan
–
ada para penuntut ilmu yang belajar.
–
Adapun bagi yang tidak memilki kemampuan; maka jangan sampai dia berfatwa
ataupun memberikan pengajaran; akan tetapi tugasnya adalah belajar.
–
Dan jangan pula engkau menjadi orang yang mengahalangi (dari menuntut ilmu),
atau orang yang mengkritisi (orang yang menuntut ilmu; sehingga engkau
termasuk) orang-orang yang binasa.”
[“Kaifa
Tahkumu…” (hlm. 15-16)]
B.
Secara Amal
“Apakah
perbaikan dimulai dari pemerintah atau dengan cara memperbaiki umat?…
Maka
jawabannya…terdapat dalam nash ayat dan hadits -dan tidak boleh berijtihad
ketika ada nash-.
Allah
-Ta’aalaa- berfirman:
…إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا
مَا بِأَنْفُسِهِمْ…
“…Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Maka,
alangkah jelasnya ayat ini!
Akan
tetapi, walaupun jelas; tetap saja banyak orang-orang yang manamakan diri
mereka dengan harakah (pergerakan) Islami; mereka telah berijtihad, dan keadaan
mereka seolah-olah berkata:
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah pemerintah
mereka!!”
Laa
Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah. Seakan mereka menutup mata dari Siroh
(perjalanan hidup) Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang menafsirkan
penjelasan ini. Mereka mengabaikan bahwa: sesungguhnya mereka tidak akan jaya
sebelum mereka menjadikan agama ini sebagai sumber hukum dalam diri-diri
mereka; berdasarkan hadits Ibnu ‘umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-, bahwa Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا تَـبَايَـعْـتُـمْ بِـالْـعِـيْـنَـةِ،
وَأَخَــذْتُـمْ أَذْنَـابَ الْـبَقَرِ، وَرَضِيْـتُمْ بِـالـزَّرْعِ،
وَتَرَكْــتُمُ الْـجِهَـادَ؛ سَلَّـطَ اللهُ عَـلَيْكُمْ ذُلاًّ؛ لاَ
يَـنْـزِعُـهُ حَتَّى تَـرْجِــعُــوْا إِلَـى دِيْــنِـكُمْ
“Jika
kalian telah berjual beli dengan sistem Bai’ul ‘Iinah, kalian memegang ekor-ekor
sapi dan ridha dengan pertanian, dan kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah
akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabut (kehinaan)
itu dari kalian; hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan hadits ini Hasan.
Inilah
hukum Allah dan Rasul-Nya;
…فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ
“…maka
dengan perkataan mana lagi mereka akan beriman setelah Allah dan
ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-Jaatsiyah: 6).”
[Madaarikun
Nazhar Fis Siyaasah (hlm.132- cet. I), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad
Ar-Ramadhani Al-Jaza-iri -hafizhahullaah-]
Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ
فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي
بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا…
“Setiap
dari kalian adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas
rakyatnya. Imam (penguasa) adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas
rakyatnya. Laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan bertanggung jawab atas
rakyatnya. Wanita juga pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas
rakyatnya.”
[HR.
Al-Bukhari (no. 893) dan Muslim (no. 1829)]
“Demikianlah,
setiap orang adalah pemimpin dan penguasa di rumahnya, dan dia mempunyai banyak
tanggung jawab yang besar yang harus ditunaikan…”
[“Kaifa
Tahkumu…” (hlm. 44)]
Jika
anda menunda-nunda dalam pelaksanaan tanggung jawab anda -dengan alasan ingin mendahulukan
penegakan syar’iat di Negara ini-: Siapa yang bisa menjamin bahwa anda akan
tetap hidup sampai nantinya tegak syari’at di Negara ini?!
[Lihat:
“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 50)]
[6]-
LALU BAGAIMANA DENGAN MUSUH-MUSUH ISLAM
Syaikh
‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:
“Mungkin
ada orang yang akan mengatakan: “Kalau kami mengikuti jalan-jalan kalian…; maka
sungguh, musuh-musuh (Islam) itu tidak akan tinggal diam dan tidak akan
membiarkan kita.
Maka
jawabannya dari dua segi:
Pertama:
Bahwa jalan kita ini adalah jalan para Salaf, maka tidak membahayakan kita
setelah itu: apa yang akan menimpa kita -baik dari mereka (musuh-musuh Islam)
maupun dari yang lainnya-.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ…
“Dan
sungguh, ini adalah jalan-Ku yang lurus; maka ikutilah! Janganlah kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu
dari jalan-Nya…” (QS. Al-An’aam: 153)
Kedua:
Bahwa jalan kami ini adalah cara yang tepat untuk menghancurkan rancangan
mereka (musuh-musuh Islam) dan menggagalkan tipu daya mereka. Karena, tidak ada
alasan bagi mereka sama sekali untuk menyifati kami dan juga kalian dengan
sifat “Teroris” atau “Ekstrimis”!
Sedangkan
cara kalian justru mengajak dan mengingatkan mereka untuk terus menjalankan
rancangan mereka, dan mewujudkan keinginan mereka, serta menjadikan orang-orang
melampaui batas terhadap kalian.”
[“Ru’yah
Waaqi’iyyah Fil Manaahij Al-Jadiidah” (hlm. 93-94- cet. I)]
[7]-
TERAKHIR…JANGAN REMEHKAN ORANG-ORANG LEMAH
Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ابْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا
تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Carikanlah
orang-orang lemah untukku. Sungguh kalian diberi rizki dan ditolong: hanya
dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian.”
[HR.
Abu Dawud (no. 2594), dan lainnya dengan sanad yang Shahih]
Dalam
hadits lain beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهَ هٰذِهِ الْأُمَّةَ
بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ
“Allah
menolong umat ini hanyalah dengan sebab orang-orang lemahnya: dengan do’a
mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka.”
[Diriwayatkan
oleh An-Nasa-i dan lainnya. Lihat: “Ash-Shahiihah” (no. 779)]
“Demikianlah
Allah akan menolong umat ini disebabkan orang-orang lemahnya; maka tidak
sepantasnya kita meremehkan orang lemah dan bersombong atasnya. Karena dengan
do’anya, shalatnya dan keikhlasannya: kita diberikan pertolongan dan rizki
-dengan izin Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Dan kita tidak diperkenankan -sama
sekali- untuk meremehkan amalan shalih, tidak boleh pula kita meremehkan
kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim -sedikit maupun banyak-.”
[“Kaifa
Tahkumu…” (hlm. 69)]
-ditulis
oleh: Ahmad Hendrix-