Disusun oleh
Abdullah bin Muhammad As Salafi
Adalah Rafidhah orang yang pertama kali
mengatakan tajsiim (bersifat seperti tubuh manusia). Sungguh Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah menentukan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan ini
dari kalangan kaum Rafidhah adalah Hisyam ibnul Hakam[1], dan Hisyam bin Salim
Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman Al Qummi, dan Abu Ja’far Al Ahwal [2].
Seluruh orang yang disebutkan tadi
termasuk syaikh-syaikh besar golongan Itsna Asyariyah (Rafidhah), kemudian
mereka menjadi pemeluk paham Jahmiyah mu’athilah, sebagaimana sekumpulan
riwayat mereka menyifati Rabb semesta alam dengan sifat-sifat negetif yang
mereka masukkan sebagai sifat yang tetap bagi Allah. Dan sungguh Ibnu Babawaih
meriwayatkan lebih dari tujuhpuluh riwayat yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala,
tidak disifiti dengan jaman, tidak dengan tempat, tidak dengan bagaimananya,
tidak dengan gerak, tidak dengan berpindah, tidak dengan sesuatupun dari
sifat-sifat tubuh, Dia bukan yang bisa diraba, bukan bertubuh dan berbentuk”.
[3] Maka syeikh-syeikh
mereka mengikuti jalan (metode) yang sesat ini dengan menta’til (menghilangkan)
sifat-sifat yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sebagaimana
mereka mengingkari turunnya Allah yang Maha Agung. Mereka mengatakan Al Quran
makhluk, mereka mengingkari ru’yah (melihat kepada Allah) pada hari akhirat. Tercantum dalam kitab Biharul Anwar,
bahwasanya Abu Abdillah Ja’fat As Shodiq ditanya tentang Allah Ta’ala, apakah
bisa dilihat pada hari akhirat? Beliau berkata : Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar, sesungguhnya pandangan tidak
akan bisa mencapai kecuali hal-hal yang mempunyai warna dan bentuk, dan Allah
yang menciptakan warna-warni dan bentuk.
Bahkan mereka mengatakan : Jika seandainya
dinisbatkan kepada Allah sebagian sifat seperti ru’yah, maka dihukum sebagai
murtad, sebagaimana yang didapatkan dari syeikh mereka Ja’far Al Najfi di kitab
Kasyful Ghitho hal : 417. Perlu diketahui bahwasanya melihat kepada Allah pada
hari akhirat adalah benar adanya dan sudah konsisten dalam Kitab dan Sunnah
tanpa meliputi seluruhnya dan tanpa bagaimananya, sebagaimana firman Allah :
Artinya : Wajah-wajah pada saat itu
berseri-seri, kepada Rabbnya melihat [Al Qiyamah :
22,23]
Dan dari sunnah apa yang tercantum dalam
Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Jarir bin Abdillalh Al Bajali, berkata :
Adalah kami duduk-duduk bersama Rasulullah, lalu beliau melihat kepada purnama,
pada malam empat belas, lalu bersabda : Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
dengan mata telanjang, sebagaimana kalian melihat ini (purnama), dimana kalian
tidak berdesakan melihatnya [4]. Dan ayat-ayat serta hadits-hadits dalam
masalah itu banyak sekali, yang tidak memungkinkan kita untuk menyebutkannya.
[5]
[Disalin dari kitab Diantara Aqidah
Syi’ah, Disusun oleh Abdullah bin Muhammad As Salafi, Diterjemahkan oleh Abu
Abdillah Muhammad Elvi Syam, Lc.]
Foote Note
[1] Minhaaj sunnah (1/20) oleh Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
[2] ‘Itiqadaat Firaqul Muslimin Wal
Musyrikin, hal : 97.
[3] At Tauhid, oleh Abu Babawaih, hal :
57.
[4] Bukhari no : 544, dan Muslim no :
633.
[5] Lihat karangan-karangan Ahli Sunnah
Wal Jamaah dalam menetapkan ru’yah, seperti kitab Ar Ru’yah oleh Daruqutni, dan
kitab imam Al Lalikai dan lainnya.