Friday, September 29, 2017

Ilmu Dulu, Baru Amal (Ilmu Adalah Pemimpin Amalan)

Hasil gambar untuk ilmu dulu, baru amal

Ammi Nur Baits
Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.

Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.

Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:

إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ

Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah

(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)

Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.

Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas  ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.

Ilmu Syarat Sah Amal

Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:

بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ

“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”

(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)

Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku  mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغفِرْ لِذَنبِكَ

“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah

dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)

Di ayat ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.

Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut:

Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan.        Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu        didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan     niat adalah yang men-sahkan amal.

(Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).

Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan:

Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti     dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta           memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini,            bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului             dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan       pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini        seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya.

(Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal,    Syamilah, 1/145)

Lebih dari itu, setiap orang yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima. Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya: Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan?

Sesungguhnya setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan:

Imam Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak   didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal.          Pemahaman ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam       mencari ilmu.
[Umadatul Qori Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, as-Syamilah, 2/476]

Apa itu Ilmu?

Yang kami maksud dengan ilmu adalah dalil, baik dari al Qur’an maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani mengatakan:

العِلمَ مَا قَامَ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ وَالنَّافِعُ مِنْهُ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ

“Ilmu adalah kesimpulan yang ada dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah

ilmu yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”

(Majmu’ Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal. 388)

Bagian ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman. Intinya ingin menjelaskan, setiap orang yang beramal dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan, orang ini telah beramal atas dasar ilmu. Sebaliknya, beramal namun tidak ada landasan dalil belum dikatakan beramal atas dasar ilmu.

Lantas bagaimana dengan orang awam yang tidak faham dalil? Apakah dia diwajibkan mencari dalil? Jawabannya, untuk orang awam, dalil bagi mereka adalah keterangan dan fatwa ulama yang mendasari nasehatnya dengan dalil. Bukan keterangan ulama yang pemikirannya bertolak belakang dengan al-Qur’an dan sunnah. Dalilnya adalah firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)

Muslim Vs Nasrani Vs Yahudi

Tekait masalah ini, ada tiga kelompok manusia yang sangat esktrim perbedaannya. Ketiga jenis manusia ini Allah sebutkan dalam al-Qur’an, di surat al-Fatihah. Allah berfirman:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

“Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus {} yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat {} Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.”

(QS. Al-Fatihah: 5 – 7)

Pada ayat di atas, Allah membagi manusia terkait dengan hidayah ilmu menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan orang yang mendapat nikmat. Merekalah golongan yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam beragama.

Kedua, golongan orang-orang yang dimurkai. Merekalah orang-orang yahudi

Ketiga, golongan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang nasrani.

Syaikhul Islam menjelaskan sebab kedua umat yahudi dan nasrani dikafirkan:

Kesimpulannya, bahwa kekafiran orang yahudi pada asalnya disebabkan mereka tidak              mengamalkan ilmu mereka. Mereka memahami kebenaran, namun mereka tidak mengikuti             kebenaran tersebut dengan amal atau ucapan. Sedangkan kekafiran nasrani disebabkan amal               perbuatan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka rajin dalam melaksanakan berbagai                 macam ibadah, tanpa adanya syariat dari Allah… karena itu, sebagian ulama, seperti Sufyan   bin Uyainah dan yang lainnya mengatakan: “Jika ada golongan ulama yang sesat, itu karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang yahudi. Sedangkan golongan ahli ibadah yang      rusak karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang nasrani” (Iqtidha’ Shirathal       Mustaqim, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani, dengan Tahqiq Dr. Nashir al-`Aql, Kementrian           Wakaf dan Urusan Islam KSA, 1419 H, jilid 1, hal. 79 )

Penjelasan yang bagus di atas memberikan kesimpulan, titik perbedaan antara umat islam dengan kaum yahudi dan nasrani adalah terkait masalah ilmu dan amal. Umat islam menduduki posisi pertengahan, dengan menggabungkan antara ilmu dan amal.

Tingkatan Ilmu

Untuk melengkapi pembahasan, berikutnya kita kupas tentang tingkatan ilmu berdasarkan hukumnya. Sesungguhnya hukum belajar ilmu syar`i itu ada dua tingkatan:

Pertama, fardhu `ain (menjadi kewajiban setiap orang)

Ilmu syar`i yang wajib diketahui dan dipelajari semua orang adalah ilmu syar`i yang menjadi syarat seseorang untuk bisa memahami aqidah pokok dengan benar dan tata cara ibadah yang hendak dikerjakan. Termasuk juga ilmu tentang praktek mu`amalah yang hendak dia lakukan.

Kedua, fardhu kifayah

Tingkatan yang kedua adalah ilmu syar`i yang harus dipelajari oleh sebagian kaum muslimin dengan jumlah tertentu, sehingga memenuhi kebutuhan untuk disebarkan kepada umat. Dalam kondisi ini, jika sudah ada sebagian kaum muslimin dengan jumlah yang dianggap cukup, yang melaksanakannya maka kaum muslimin yang lain tidak diwajibkan.

Catatan:

Bagi mereka yang ingin mengkhususkan diri mempelajari ilmu syar`i lebih mendalam, hendaknya dia meniatkan diri untuk melaksanakan tugas fardhu kifayah dalam bentuk mencari ilmu. Agar dia mendapatkan tambahan pahala mengamalkan amalan fardhu kifayah, disamping dia juga mendapatkan ilmu. Allahu a’lam

[lih. Kitab al-Ilmu, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Mauqi` al-Islam, hal. 14]
Penulis: Ammi Nur Baits

Ilmu adalah Pemimpin Amalan

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 
Ketahuilah Ilmuilah Segala Hal Al Ilmu Qoblal Amal Kultum Ilmu Adalah Pemimpin Amalan Ilmu Adalah Pemimpin Amal Teks Ceramah Tentang Ilmu Adalah Pemimpin Amalan

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)“. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan.  Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.

Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia

Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat  orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan.  Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.

Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.

Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if  Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)

Ilmu yang Wajib Dipelajari Lebih Dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

Penutup
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,

من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,

مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disusun di Mediu-Jogja, 21 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ketika Beramal Tanpa Ilmu

Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]

Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].

Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].

Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”

KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].

Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .

Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].

وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].

Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.

Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu,”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah,”Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya.” [Al Maidah:4] [5]

Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.

Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.

Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib … Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja … Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad …

Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.

Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.

Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya …

Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid …dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.

Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”

Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?

Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.

Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.

Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.

Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!

Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:

… Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar … Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “

Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:

إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ

Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka

Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]

Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).

Keharusan Beramal Dan Dakwah Berdasarkan Ilmu

Oleh : Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Berikut ini terdapat beberapa tulisan/ pernyataan dari sebagian saudara kita yang mempertanyakan tentang keharusan berilmu sebelum beramal dan berdakwah.
Akan kami kutipkan pernyataan tersebut, kemudian setelah itu akan disebutkan tanggapan dan penjelasannya, bi idznillah. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua :
KUTIPAN PERNYATAAN :
BERILMU SEBELUM BERAMAL
(a) Beramal itu memerlukan ilmu, dan ini sudah jelas dipahami semua orang.
(b) Berilmu itu berarti “mempunyai ilmu”, TETAPI pengertiannya BUKAN BERATI “menumpuk-numpuk ilmu”.
(c) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?
(d) Abu Bakar RA masuk Islam, kemudian Abu Bakar RA langsung terjun da’wah dan besoknya 5 orang masuk Islam di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seberapa BANYAK ILMU Abu Bakar RA ketika masuk Islam dan langsung terjun da’wah saat itu?
(e) Seorang ayah menyuruh anak-anaknya puasa di bulan Ramadhan. Seberapa BANYAK ILMU PUASA ketika menyuruh anak-anaknya untuk puasa di bulan Ramadhan?
– Apakah ayah itu harus hafal seluruh dalil-dalil perihal puasa, kemudian menyuruh anaknya puasa di bulan ramadhan?
– Apakah anak-anaknya itu harus hafal dahulu dalil puasa, kemudian puasa di bulan ramadhan?
(f) Artinya “BERILMU SEBELUM BERAMAL”, itu memang benar adanya. TETAPI ummat Islam harus bisa memahami pemahaman yang benar, jangan akhirnya harus banyak dahulu dalil, kemudian terjun da’wah. Nanti akhirnya banyak dahulu dalil, baru menyuruh anaknya untuk sholat dan puasa. Akhirnya anak-anaknya banyak yang tidak sholat dan puasa, KARENA orangtuanya harus harus BANYAK ILMU DAHULU baru menyuruh sholat.
(g) sama halnya dengan Ummat Islam, karena HARUS BANYAK ILMU DAHULU UNTUK DA”WAH, maka akhirnya ummat Islam banyak yang TIDAK SHOLAT, TIDAK PUASA, dikarenakan ummat Islam meninggalkan dari da’wah itu sendiri.
(h) KESALAHAN MEMAHAMI, MAKA AKAN BERDAMPAK PADA KEKERDILAN BERPIKIR DAN BERAMAL. Dan ini yang banyak terjadi di kalangan Ummat Islam sekarang ini.
Pikirkan!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?kalau menunggu tahu betul dan hapal dalil-dalilnya sholat maka Insya Alloh umur 7 tahun belum sholat..
—— akhir kutipan ——–
TANGGAPAN DAN PENJELASAN:
Telah kita maklumi bersama bahwa sebelum seorang mengamalkan suatu amal ibadah, ia harus berilmu terlebih dahulu. Sebelum ia berdakwah, ia harus berilmu terlebih dahulu.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya : Ilmu (Didahulukan) sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau berdalil dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwasanya tidak ada yang sesembahan yang haq kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan untukmu dan untuk kaum beriman laki-laki maupun wanita”. (Q.S Muhammad: 19).
Dalam ayat ini, Allah perintahkan untuk berilmu terlebih dahulu, kemudian berakidah bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan beristighfar (beramal atau berucap). Itu menunjukkan bahwa ilmu adalah pondasi sebelum seorang berakidah, berucap dan berbuat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah engkau berkata terhadap apa yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Q.S al-Israa’: 36).
Dakwah (mengajak orang ke jalan Allah) juga harus didasarkan pada ilmu.
Seseorang ketika akan berdakwah, ia harus mendasarkan dakwahnya pada ilmu. Berdakwah dengan dilandasi ilmu adalah sikap dan perbuatan para pengikut Nabi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah: Ini adalah jalanku. Aku berdakwah (mengajak manusia) menuju Allah, di atas bashirah. (Ini dilakukan oleh ) aku dan orang-orang yang mengikuti aku…” (Q.S Yusuf ayat 108)
Apa yang dimaksud dengan bashirah? Padahal dakwah harus didasarkan pada bashirah. Makna bashirah adalah pengetahuan (ilmu) yang membedakan antara al-haq dengan al-batil. Definisi itu dijelaskan oleh al-Imam al-Baghowy (salah seorang Ulama bermadzhab Syafii) dalam tafsirnya (4/284)).
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa
al-bashirah mengandung 3 hal:
Berilmu ttg materi yang akan disampaikan/ didakwahkan berdasarkan dalil-dalil al Quran dan Sunnah Nabi.
Berilmu ttg keadaan orang-orang yang didakwahi.
Berilmu ttg cara yang terbaik utk mendakwahi orang-orang tsb.
Karena itu landasan untuk beramal atau berdakwah tidak boleh sekedar ikut-ikutan (taklid: hanya berdasarkan katanya….katanya….), tapi harus ittiba’ (mengikuti dalil). Dalil yang dijadikan acuan adalah al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih, dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
Dalam sebagian hadits,Nabi menyebutkan keadaan orang yang diadzab di alam kubur adalah orang-orang munafik atau kafir yang mendasarkan akidahnya pada katanya dan katanya (hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dalil).
وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Sedangkan orang kafir atau munafiq mereka mengatakan: “Saya tidak mengetahui (tidak berilmu). Saya katakan seperti yang diucapkan orang-orang”. Maka dikatakan kepadanya (orang itu): Engkau tidak (mau) mengetahui dan engkau tidak (mau) membaca. Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi sekali pukul di antara kedua telinganya, maka ia berteriak dengan teriakan yang didengar makhluk di sekelilingnya kecuali Jin dan manusia” (H.R al-Bukhari no 1252 dari Anas bin Malik)
Hadits ini memberikan pelajaran kepada kita untuk cermat dan semangat dalam mempelajari ilmu Dien. Karena sangat banyak sekali yang beredar di tengah-tengah masyarakat kita hal-hal yang sekedar katanya dan katanya, padahal hal itu tidak berdasar dalil al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih. Padahal, jika kita melandaskan pengamalan Dien kita hanya berdasarkan katanya orang-orang awam, maka kita terancam mendapatkan adzab kubur seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, karena kita tidak tergerak untuk mencari tahu dalilnya, dan belajar ilmu Dien secara benar. Merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki padahal pengetahuannya hanya berdasarkan asumsi dan persangkaan saja.
Merasa diri sudah berilmu tentang itu padahal belum.Salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap ilmu adalah ketidakpedulian terhadap penelitian status keshahihan hadits. Padahal itu adalah salah satu bentuk bashirah dalam berdakwah. Seseorang dikatakan memiliki bashirah dalam dakwah jika ia menyampaikan hadits-hadits yang jelas berasal dari Nabi, dan tidak menyampaikan hadits-hadits palsu atau lemah yang dianggap kebanyakan orang berasal dari Nabi. Memisahkan mana hadits yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak adalah bagian dari memisahkan al-haq dengan yang batil, dan itulah bashirah yang . merupakan salah satu syarat dalam berdakwah, seperti dalam surat Yusuf ayat 108 di atas.
Lalu, sampai batas mana ilmu yang kita miliki kita dakwahkan kepada orang lain?
Sebatas yang kita tahu ilmunya, itulah yang kita sampaikan. Jangan memaksakan diri menyampaikan hal-hal yang kita sendiri belum tahu ilmunya.
Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang mengetahui (berilmu) tentang sesuatu, maka ucapkanlah (sampaikan) sesuai ilmunya. Barangsiapa yang tidak mengetahui sesuatu, maka katakanlah : Allaahu A’lam (Allah yang Paling/ Lebih Tahu). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu adalah seseorang mengatakan Allahu A’lam dalam hal-hal yang tidak diketahuinya”. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Bukanlah sebuah keharusan kita mengetahui dalil secara lengkap dengan tepat persis lafadznya kata per kata. Bukanlah sebuah keharusan setiap kali kita mengajak orang untuk mengamalkan sesuatu, kemudian kita sampaikan lafadz haditsnya diriwayatkan oleh siapa dari Sahabat siapa. Itu bukan keharusan. Jika itu dilakukan, itu adalah tambahan kebaikan dan kesempurnaan, tapi bukan keharusan.
Cukup seseorang yang melarang saudaranya sesama muslim laki-laki yang memakai sutera atau emas menyatakan: Wahai saudaraku, janganlah memakai itu. Bukankah Nabi kita telah melarangnya dalam hadits-hadits yang shahih? Ucapan demikian sudah termasuk menyertakan dalil. Tidak harus dia tahu dan hafal persis lafadz haditsnya. Tapi yang jelas ia tahu dengan yakin – karena pernah mendengar dari majelis ilmu atau sumber lain yang berasal dari Ahlul Ilmi- bahwa itu memang berasal dari hadits yang shahih. Maka, dalam hal ini ia telah berdakwah sesuai dengan dalil.
Tidak sedikit para Sahabat Nabi ketika melarang dari suatu hal mereka sekedar menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang dari hal itu. Atau, para Sahabat menyatakan: termasuk Sunnah adalah begini dan begini…Kadangkala sebagian Sahabat menyatakan : Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam), atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Itu semua adalah bentuk penyampaian dalil. Walaupun banyak pula penyampaian dari Sahabat Nabi yang meriwayatkan persis secara lafadz kata per kata.
Dalam kondisi tertentu, dalam berdakwah cukup bagi kita untuk menyampaikan fatwa Ulama’ saja, karena fatwa Ulama Ahlussunnah adalah berisi ilmu. Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada para Ulama’ dalam permasalahan agama jika kita tidak tahu.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada Ulama jika kalian tidak mengetahui “. (Q.S anNahl ayat 43 dan al-Anbiyaa’ ayat 7).
Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada Ulama dalam hal-hal yang tidak kita ketahui. Jawaban para Ulama itu berupa fatwa-fatwa. Kadangkala mereka sertakan dalil. Kadangkala dengan keadaan tertentu, mereka jawab secara ringkas, tanpa menyertakan dalil. Bukan karena mereka tidak tahu, tapi justru tidak disertakannya dalil itu sebagai bentuk kasih sayang kepada kita. Karena jika disebutkan semua dalil, kita yang lemah ilmu itu justru sulit menyimpulkan keterkaitan antar dalil itu. Karena kelemahan kita, kadangkala suatu dalil yang memang menunjukkan suatu hal, kita anggap tidak ada hubungannya sama sekali.
Inilah bedanya jika kita ikuti ucapan orang awam yang katanya dan katanya –seperti disebutkan contoh taklid di atas- dengan kalau kita beramal dengan fatwa Ulama’. Dalam kondisi kita belum sempat atau belum mampu mencari dalilnya secara langsung, fatwa Ulama bisa dijadikan patokan. Fatwa Ulama juga menjadi pedoman dalam memahami dan menerapkan dalil.
Hal yang salah adalah jika seseorang memanfaatkan ketergelinciran seorang Ulama dalam sebagian fatwanya padahal jelas bertentangan dengan dalil shahih –karena belum sampainya hujjah kepada beliau-, dan berbeda dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah yang lain yang berhujjah dengan hujjah yang kuat dan benar.
Kadangkala, kita hanya perlu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar tanpa harus menyertakan dalil.
Karena itu, seorang ayah yang memerintahkan anaknya usia tamyiz 7 tahun untuk sholat, tidaklah mesti menyajikan dalil-dalil yang detail dalam perintahnya. Karena dalam hadits Nabi, kewajiban sang ayah adalah sekedar ‘memerintahkan’, tidak harus menyertakan dalil.
Tentunya perintah ini harus diiringi dengan adab dan teladan yang baik serta pengarahan bagaimana tata cara sholat yang benar. Tentunya hal itu harus dilandasi dgn ilmu, bukannya tanpa ilmu sama sekali.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk sholat pada saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan sholat) pada saat usia 10 tahun”. (H.R Abu Dawud)
Sedangkan untuk menyuruh anak berpuasa, bisa melalui latihan berpuasa saat mereka masih belum baligh, dan barulah mereka berkewajiban menunaikan puasa saat sudah mencapai usia baligh (sekitar 15 tahun atau sebelum itu jika telah terpenuhi syarat-syarat baligh).
Menuntut ilmu bukanlah sekedar mengumpulkan riwayat dan hafalan atau tulisan. Bukan itu tujuannya. Menuntut ilmu bertujuan untuk membuahkan amal sholih, meningkatkan taqwa dan perasaan takut kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita.
Menuntut ilmu bertujuan –dengan niat ikhlas karena Allah- untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kita sendiri kemudian setelah itu menghilangkan kebodohan (ketidaktahuan) pada saudara kita yang lain melalui ta’lim, dakwah, dan penyampaian (tabligh).
Sebagian orang meremehkan diadakannya majelis ilmu dan ta’lim, dianggap tidak berkontribusi banyak dan kurang manfaatnya bagi kaum muslimin. Padahal melalui majelis ilmu di masjid-masjidlah lahir para Ulama besar, bertaubat serta mendapat hidayah sekian banyak orang, tercetak generasi-generasi yang berakidah Islam dengan benar. Tidak ada yang bisa menghitung demikian banyak dan besar manfaatnya majelis-majelis ilmu itu secara pasti selain Allah.
Melalui majelis ilmu-lah terkumpul dua hal utama: menuntut ilmu dan dakwah (tabligh).
Majelis ilmu adalah Sunnahnya Nabi dan para Sahabatnya. Melalui majelis ilmu itulah kemudian berkembang dakwah Islam.
Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu segera bersemangat untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang yang dikenalnya. Sehingga melalui beliau masuk Islamlah beberapa Sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Hal yang dilakukan oleh Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah:
Mendakwahkan kepada orang –orang dekat dan yang sudah dikenal.
Mendakwahkan tauhid (Laa Ilaaha Illallah)/ akidah sehingga mereka mau masuk Islam.
Hal ini bertentangan dengan yang dilakukan sebagian orang yang meniatkan safar untuk berdakwah ke luar kota, mengajak orang-orang yang tidak dikenal. Dengan alasan, kalau menyampaikan kepada orang yang belum dikenal akan lebih mudah dan tidak malu. Sedangkan orang-orang terdekat dan yang dikenal serta bisa menerima dakwah masih butuh dengan dakwahnya, tapi lebih sering ia tinggalkan untuk tujuan dakwah ke tempat yang lebih jauh dan berpindah-pindah. Selain itu, mereka hanya mengajarkan fadhilah-fadhilah amal saja. Tidak menjelaskan tentang akidah dan fiqh Islam dengan alasan itu banyak khilafiyah di dalamnya dan bisa memecah belah kaum muslimin.
Padahal, yang didakwahkan Abu Bakr as-Shiddiq adalah masalah akidah. Akibat dari dakwah Abu Bakr itulah kemudian Sahabat-Sahabat yang diajaknya itu menjadi masuk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Berbeda dengan sekelompok orang-orang tersebut yang justru meninggalkan pembicaraan tentang tauhid Uluhiyyah dan kesyirikan karena khawatir memecah belah kaum muslimin. Belum lagi tentang masalah fiqh, mereka juga tidak membahasnya. Padahal dengan pembahasan fiqh yang didasarkan pada dalil yang shahih seseorang bisa sholat dan beribadah dengan cara yang benar. Mereka hanya mengajak orang untuk sholat, tapi tidak mendetailkan bagaimana tata cara sholat yang benar. Sekali lagi pembahasan itu ditinggalkan/ diabaikan dengan alasan khawatir memecah belah umat.
Tidaklah umat bisa bersatu kecuali dengan cara bersatunya para Sahabat Nabi. Mereka hanya bisa dipersatukan di atas tauhid dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Konsekuensi dari menyampaikan tauhid adalah memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Konsukensi dari menyampaikan Sunnah Nabi adalah memperingatkan dari bahaya kebid’ahan. Dua sisi yang tidak bisa terpisahkan.
Selain itu, safar untuk tujuan dakwah (menyampaikan ilmu) di masa Nabi tidak dilakukan oleh setiap Sahabat Nabi. Tapi Sahabat-Sahabat pilihan yang telah kokoh keilmuannya. Tidak setiap orang yang baru kenal Islam, atau baru semangat untuk belajar Islam langsung diarahkan untuk berdakwah secara khusus dengan melakukan safar 3 hari, 7 hari, atau 40 hari, dan semisalnya.
Nabi mengutus Muadz ke Yaman untuk berdakwah karena beliaulah (Muadz) yang paling mengenal halal dan haram di kalangan umat Nabi. Karena itu, sebagai penyampai dakwah ke luar, bukanlah setiap orang bisa. Tapi hanya orang yang berilmu.
Orang yang baru kenal Islam atau baru semangat untuk kembali mempelajari Islam, harusnya lebih banyak diarahkan untuk mempelajari ilmu yang benar (bukan sekedar fadhilah-fadhilah amal saja). Bukannya diarahkan untuk safar dengan tujuan utama berdakwah. Kalaulah diarahkan untuk safar, mestinya tujuan utamanya adalah untuk menuntut ilmu, bukan dakwahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi di masa dulu. Mereka melakukan perjalanan lintas kota bahkan negara untuk mendengar satu atau beberapa hadits saja. Tujuan utama adalah menuntut ilmu.
Tentu saja sekali lagi ditekankan, setiap orang yang telah berilmu dituntut beramal dan berdakwah sesuai ilmunya. Sesuai kadarnya. Namun, untuk tujuan utama berdakwah hingga melakukan safar, tidaklah yang melakukannya kecuali orang yang benar-benar kokoh keilmuannya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh para Sahabat Nabi.
Sedangkan untuk menuntut ilmu dengan safar, sebelumnya telah dilakukan Nabiyullah Musa ‘alaihissalam atas perintah Allah untuk melakukan safar dalam rangka menuntut ilmu ke Khidhr. Seperti yang dikisahkan dalam Surat al-Kahfi ayat 60-82.
Karena itu, jika ada sekelompok orang yang bertujuan menyampaikan dakwah (tabligh), namun :
– Tidak menguatkan pondasi ilmu sebelumnya
– Tidak membahas akidah dalam tablighnya
– Tidak membahas fiqh dalam tablighnya
– Hanya membahas fadhilah-fadhilah amal atau adab-adab saja.
– Tidak perhatian terhadap keshahihan atau kelemahan hadits.
– Menganjurkan setiap orang untuk keluar berdakwah, meski mereka masih sangat butuh dengan ilmu yang benar.
Maka ketahuilah bahwa apa yang dilakukan itu pada hakekatnya bukanlah tabligh (penyampaian ilmu), akan tetapi justru tabliid (pembodohan).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan ampunanNya kepada seluruh kaum muslimin…..
Sumber : WA al-I’tishom – Probolinggo