Ammi Nur Baits
Ada seseorang yang bercerita, dalam
sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan
banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka
jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing.
Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa
bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka
khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima
oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan
tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah gambaran semangat orang
terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan
kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah
memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang
sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini
hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam
setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap
enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang
penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu
merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk
menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا
بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan menggaruk
kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab
as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar setiap amal
yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam
masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap
sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang
dikatakan mengamalkan dalil.
Namun sayangnya, masih banyak di antara
kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang
sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin,
semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan
setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari
anggapan, amal rutinitas ini terlalu
ringan dan mudah untuk dilakukan.
Ilmu Syarat Sah Amal
Mengapa harus berilmu sebelum beramal?
Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk
senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah
kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari
mengatakan:
بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ
“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”
(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab
al ilmu qabla al-qoul wa al amal)
Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan
perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak
dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman
Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَاسْتَغفِرْ لِذَنبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah
dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS.
Muhammad: 19)
Di ayat ini, Allah memulai perintahnya
dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”,
yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal
yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan
ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.
Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz
al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari mengutip perkataan Ibnul Munayir
berikut:
Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu
adalah syarat sah ucapan dan perbuatan.
Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab
itu, ilmu didahulukan sebelum
ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal.
(Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari,
al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).
Dari keterangan Ibnul Munayir dapat
disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena
seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia
memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan
yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab,
yang mengatakan:
Amal itu tidak mungkin diterima kecuali
yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami
(mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada
Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan
bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika
amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah
maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini
seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya.
(Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu
Batthal, Syamilah, 1/145)
Lebih dari itu, setiap orang yang hendak
beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar tidak
terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima. Mungkin dari
tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya: Untuk apa kita
harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan?
Sesungguhnya setiap orang dituntut untuk
senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari belum waktunya untuk
diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan
untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi
dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika menjelaskan perkataan Imam
Bukhari di atas, beliau menyatakan:
Imam Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak
didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika
disertai dengan amal. Pemahaman
ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari ilmu.
[Umadatul Qori Syarh Shahih Bukhari,
al-Hafidz al-Aini, as-Syamilah, 2/476]
Apa itu Ilmu?
Yang kami maksud dengan ilmu adalah
dalil, baik dari al Qur’an maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani mengatakan:
العِلمَ مَا قَامَ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ
وَالنَّافِعُ مِنْهُ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ
“Ilmu adalah kesimpulan yang ada
dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah
ilmu yang dibawa oleh Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam”
(Majmu’ Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal.
388)
Bagian ini perlu ditegaskan agar tidak
terjadi kesalah-pahaman. Intinya ingin menjelaskan, setiap orang yang beramal
dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan, orang ini telah beramal atas dasar
ilmu. Sebaliknya, beramal namun tidak ada landasan dalil belum dikatakan
beramal atas dasar ilmu.
Lantas bagaimana dengan orang awam yang
tidak faham dalil? Apakah dia diwajibkan mencari dalil? Jawabannya, untuk orang
awam, dalil bagi mereka adalah keterangan dan fatwa ulama yang mendasari
nasehatnya dengan dalil. Bukan keterangan ulama yang pemikirannya bertolak
belakang dengan al-Qur’an dan sunnah. Dalilnya adalah firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika
kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)
Muslim Vs Nasrani Vs Yahudi
Tekait masalah ini, ada tiga kelompok
manusia yang sangat esktrim perbedaannya. Ketiga jenis manusia ini Allah
sebutkan dalam al-Qur’an, di surat al-Fatihah. Allah berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7)
“Berilah kami petunjuk ke jalan yang
lurus {} yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat {} Bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.”
(QS. Al-Fatihah: 5 – 7)
Pada ayat di atas, Allah membagi manusia
terkait dengan hidayah ilmu menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan orang yang mendapat
nikmat. Merekalah golongan yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat dalam beragama.
Kedua, golongan orang-orang yang
dimurkai. Merekalah orang-orang yahudi
Ketiga, golongan orang-orang yang sesat,
yaitu orang-orang nasrani.
Syaikhul Islam menjelaskan sebab kedua
umat yahudi dan nasrani dikafirkan:
Kesimpulannya, bahwa kekafiran orang yahudi
pada asalnya disebabkan mereka tidak mengamalkan ilmu mereka. Mereka
memahami kebenaran, namun mereka tidak mengikuti kebenaran tersebut dengan amal
atau ucapan. Sedangkan kekafiran nasrani disebabkan amal perbuatan mereka yang tidak
didasari ilmu. Mereka rajin dalam melaksanakan berbagai macam ibadah, tanpa adanya
syariat dari Allah… karena itu, sebagian ulama, seperti Sufyan bin Uyainah dan yang lainnya mengatakan:
“Jika ada golongan ulama yang sesat, itu karena dalam dirinya ada kemiripan
dengan orang yahudi. Sedangkan golongan ahli ibadah yang rusak karena dalam dirinya ada kemiripan
dengan orang nasrani” (Iqtidha’ Shirathal
Mustaqim, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani, dengan Tahqiq Dr. Nashir
al-`Aql, Kementrian Wakaf dan
Urusan Islam KSA, 1419 H, jilid 1, hal. 79 )
Penjelasan yang bagus di atas memberikan
kesimpulan, titik perbedaan antara umat islam dengan kaum yahudi dan nasrani
adalah terkait masalah ilmu dan amal. Umat islam menduduki posisi pertengahan,
dengan menggabungkan antara ilmu dan amal.
Tingkatan Ilmu
Untuk melengkapi pembahasan, berikutnya
kita kupas tentang tingkatan ilmu berdasarkan hukumnya. Sesungguhnya hukum
belajar ilmu syar`i itu ada dua tingkatan:
Pertama, fardhu `ain (menjadi kewajiban
setiap orang)
Ilmu syar`i yang wajib diketahui dan
dipelajari semua orang adalah ilmu syar`i yang menjadi syarat seseorang untuk
bisa memahami aqidah pokok dengan benar dan tata cara ibadah yang hendak
dikerjakan. Termasuk juga ilmu tentang praktek mu`amalah yang hendak dia
lakukan.
Kedua, fardhu kifayah
Tingkatan yang kedua adalah ilmu syar`i
yang harus dipelajari oleh sebagian kaum muslimin dengan jumlah tertentu,
sehingga memenuhi kebutuhan untuk disebarkan kepada umat. Dalam kondisi ini,
jika sudah ada sebagian kaum muslimin dengan jumlah yang dianggap cukup, yang
melaksanakannya maka kaum muslimin yang lain tidak diwajibkan.
Catatan:
Bagi mereka yang ingin mengkhususkan diri
mempelajari ilmu syar`i lebih mendalam, hendaknya dia meniatkan diri untuk
melaksanakan tugas fardhu kifayah dalam bentuk mencari ilmu. Agar dia
mendapatkan tambahan pahala mengamalkan amalan fardhu kifayah, disamping dia
juga mendapatkan ilmu. Allahu a’lam
[lih. Kitab al-Ilmu, Muhammad bin Shaleh
al-Utsaimin, Mauqi` al-Islam, hal. 14]
Penulis: Ammi Nur Baits
Ilmu adalah Pemimpin Amalan
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Ketahuilah Ilmuilah Segala Hal Al Ilmu
Qoblal Amal Kultum Ilmu Adalah Pemimpin Amalan Ilmu Adalah Pemimpin Amal Teks
Ceramah Tentang Ilmu Adalah Pemimpin Amalan
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu
berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil
Mungkar, hal. 15)
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala
Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid
diin.
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu
berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil
Mungkar, hal. 15)
Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan
daripada Amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari
berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)“.
Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya
tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah
perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah
amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil
dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana
dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan,
“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan
‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu
Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan,
“Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan
ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena
tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti
amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni
Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang
dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan
dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan
itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah,
ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat
nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)
Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i
Setelah kita mengetahui hal di atas,
hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih
dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu
syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat
orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan
derajat orang yang berilmu beberapa
derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang
yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia
lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya
yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat
terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99
nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara
penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli
ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat
untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia
mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka
dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh
laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi,
kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan
kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada
pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu
taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat.
Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri
yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung
yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu,
dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai
ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah
dan ahli ilmu.
Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا
وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu
Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if
Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if
Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan
Mendapatkan Seluruh Kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ
فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki
mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi
kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman
dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada
dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)
Ilmu yang Wajib Dipelajari Lebih Dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia
adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan
tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari.
Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan
adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu
ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang
berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya
yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu
tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum
mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini.
Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang
haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid,
tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan
yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan
ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena
selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi
dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Penutup
Marilah kita awali setiap keyakinan dan
amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah
yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun
tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah
tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan
kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Di samping itu pula, setiap ilmu
hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah
–rahimahullah- mengatakan,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ
شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ
النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak
mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi.
Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki
keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
Semoga Allah senantiasa memberi kita
bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan
ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang
sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.
Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Disusun di Mediu-Jogja, 21 Jumadil Ula
1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Ketika Beramal Tanpa Ilmu
Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali
mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu
meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama
dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan
orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan
orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok
diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi,
sedangkan orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan
perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan
orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi
kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya,
orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan.
Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat
kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani,
ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya,
karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran.
Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak
amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya,
sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah
sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin.
Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini,
maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari
besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran
di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al
Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap
sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api
neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang)
hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi
kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi
tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah
beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang
apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam
kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan
ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4].
Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang
yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang
buta? [Ar Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi
juga tuli dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah
l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. [Al Araf:187].
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al
Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang,
dan lebih dungu daripada binatang:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ
الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang
tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan,
bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan
macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari
binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para
rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan
sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi
tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang
diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ
عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu,”Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah,”Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah
nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya.” [Al Maidah:4] [5]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat
banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim
mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada
Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan.
Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan.
Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman
Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang
disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya
jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka,
jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli
ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya
bagaikan rahib … Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah
mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja …
Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya;
mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh
mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu
dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya
kaum `Ad …
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang
suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan
syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para
pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah,
Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid.
Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan
orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid
tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid
Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara
aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab
tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka;
maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta
shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus
kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering
dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada
Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi
mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang
pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah,
melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat,
syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga
dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan
khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya …
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah,
bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama,
berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka
dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun
shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap
hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru
dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan
alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid …dan mereka
permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam
yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa
dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam
tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang
sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian
junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara
mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak!
Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga
kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa kalian tidak
bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah
ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar
warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian
yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode
dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan
kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada
di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa
saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena
ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa
memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah
serta sebagai penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh
suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu
yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas
bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki
oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan
pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri
kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala
terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah
mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal
mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah
keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan
membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah
ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman
Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah
moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:
… Benar, ia telah mengeluarkan
orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang
mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat
tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah,
dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan
mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam
thariqat tasawuf? Benar … Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari
jahiliyah kepada jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada
pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu
thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat
diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu
mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi
peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang secara jelas nampak
ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di
sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia
telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum
dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya,
tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi
sebagaimana kata syair:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
Jika seandainya tuan rumah berdendang
dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari
kegemaran mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan
makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan
kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa
yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat
tersebut? [7]
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai
para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud
, Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir
Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi,
Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan
permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah
untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki
yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal.
1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …,
Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah
As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).
Keharusan Beramal Dan Dakwah Berdasarkan
Ilmu
Oleh : Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Berikut ini terdapat beberapa tulisan/
pernyataan dari sebagian saudara kita yang mempertanyakan tentang keharusan
berilmu sebelum beramal dan berdakwah.
Akan kami kutipkan pernyataan tersebut,
kemudian setelah itu akan disebutkan tanggapan dan penjelasannya, bi idznillah.
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua :
KUTIPAN PERNYATAAN :
BERILMU SEBELUM BERAMAL
(a) Beramal itu memerlukan ilmu, dan ini
sudah jelas dipahami semua orang.
(b) Berilmu itu berarti “mempunyai ilmu”,
TETAPI pengertiannya BUKAN BERATI “menumpuk-numpuk ilmu”.
(c) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk
SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?
(d) Abu Bakar RA masuk Islam, kemudian
Abu Bakar RA langsung terjun da’wah dan besoknya 5 orang masuk Islam di hadapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seberapa BANYAK ILMU Abu Bakar RA
ketika masuk Islam dan langsung terjun da’wah saat itu?
(e) Seorang ayah menyuruh anak-anaknya
puasa di bulan Ramadhan. Seberapa BANYAK ILMU PUASA ketika menyuruh
anak-anaknya untuk puasa di bulan Ramadhan?
– Apakah ayah itu harus hafal seluruh
dalil-dalil perihal puasa, kemudian menyuruh anaknya puasa di bulan ramadhan?
– Apakah anak-anaknya itu harus hafal
dahulu dalil puasa, kemudian puasa di bulan ramadhan?
(f) Artinya “BERILMU SEBELUM BERAMAL”,
itu memang benar adanya. TETAPI ummat Islam harus bisa memahami pemahaman yang
benar, jangan akhirnya harus banyak dahulu dalil, kemudian terjun da’wah. Nanti
akhirnya banyak dahulu dalil, baru menyuruh anaknya untuk sholat dan puasa.
Akhirnya anak-anaknya banyak yang tidak sholat dan puasa, KARENA orangtuanya
harus harus BANYAK ILMU DAHULU baru menyuruh sholat.
(g) sama halnya dengan Ummat Islam,
karena HARUS BANYAK ILMU DAHULU UNTUK DA”WAH, maka akhirnya ummat Islam banyak
yang TIDAK SHOLAT, TIDAK PUASA, dikarenakan ummat Islam meninggalkan dari
da’wah itu sendiri.
(h) KESALAHAN MEMAHAMI, MAKA AKAN
BERDAMPAK PADA KEKERDILAN BERPIKIR DAN BERAMAL. Dan ini yang banyak terjadi di
kalangan Ummat Islam sekarang ini.
Pikirkan!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT.
Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?kalau menunggu tahu
betul dan hapal dalil-dalilnya sholat maka Insya Alloh umur 7 tahun belum
sholat..
—— akhir kutipan ——–
TANGGAPAN DAN PENJELASAN:
Telah kita maklumi bersama bahwa sebelum
seorang mengamalkan suatu amal ibadah, ia harus berilmu terlebih dahulu.
Sebelum ia berdakwah, ia harus berilmu terlebih dahulu.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus
dalam Shahihnya : Ilmu (Didahulukan) sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau
berdalil dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwasanya
tidak ada yang sesembahan yang haq kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan
untukmu dan untuk kaum beriman laki-laki maupun wanita”. (Q.S Muhammad: 19).
Dalam ayat ini, Allah perintahkan untuk
berilmu terlebih dahulu, kemudian berakidah bahwa tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah, dan beristighfar (beramal atau berucap). Itu menunjukkan bahwa
ilmu adalah pondasi sebelum seorang berakidah, berucap dan berbuat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah engkau berkata terhadap apa
yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati
semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Q.S al-Israa’: 36).
Dakwah (mengajak orang ke jalan Allah)
juga harus didasarkan pada ilmu.
Seseorang ketika akan berdakwah, ia harus
mendasarkan dakwahnya pada ilmu. Berdakwah dengan dilandasi ilmu adalah sikap
dan perbuatan para pengikut Nabi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي…
“Katakanlah: Ini adalah jalanku. Aku
berdakwah (mengajak manusia) menuju Allah, di atas bashirah. (Ini dilakukan
oleh ) aku dan orang-orang yang mengikuti aku…” (Q.S Yusuf ayat 108)
Apa yang dimaksud dengan bashirah?
Padahal dakwah harus didasarkan pada bashirah. Makna bashirah adalah
pengetahuan (ilmu) yang membedakan antara al-haq dengan al-batil. Definisi itu
dijelaskan oleh al-Imam al-Baghowy (salah seorang Ulama bermadzhab Syafii)
dalam tafsirnya (4/284)).
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah
menjelaskan bahwa
al-bashirah mengandung 3 hal:
Berilmu ttg materi yang akan disampaikan/
didakwahkan berdasarkan dalil-dalil al Quran dan Sunnah Nabi.
Berilmu ttg keadaan orang-orang yang
didakwahi.
Berilmu ttg cara yang terbaik utk
mendakwahi orang-orang tsb.
Karena itu landasan untuk beramal atau
berdakwah tidak boleh sekedar ikut-ikutan (taklid: hanya berdasarkan
katanya….katanya….), tapi harus ittiba’ (mengikuti dalil). Dalil yang dijadikan
acuan adalah al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih, dengan pemahaman para Sahabat
Nabi.
Dalam sebagian hadits,Nabi menyebutkan
keadaan orang yang diadzab di alam kubur adalah orang-orang munafik atau kafir
yang mendasarkan akidahnya pada katanya dan katanya (hanya sekedar ikut-ikutan
tanpa dalil).
وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ
لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا
تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ
فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Sedangkan orang kafir atau munafiq
mereka mengatakan: “Saya tidak mengetahui (tidak berilmu). Saya katakan seperti
yang diucapkan orang-orang”. Maka dikatakan kepadanya (orang itu): Engkau tidak
(mau) mengetahui dan engkau tidak (mau) membaca. Kemudian ia dipukul dengan
palu dari besi sekali pukul di antara kedua telinganya, maka ia berteriak
dengan teriakan yang didengar makhluk di sekelilingnya kecuali Jin dan manusia”
(H.R al-Bukhari no 1252 dari Anas bin Malik)
Hadits ini memberikan pelajaran kepada
kita untuk cermat dan semangat dalam mempelajari ilmu Dien. Karena sangat
banyak sekali yang beredar di tengah-tengah masyarakat kita hal-hal yang
sekedar katanya dan katanya, padahal hal itu tidak berdasar dalil al-Quran
maupun hadits Nabi yang shahih. Padahal, jika kita melandaskan pengamalan Dien
kita hanya berdasarkan katanya orang-orang awam, maka kita terancam mendapatkan
adzab kubur seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, karena kita tidak
tergerak untuk mencari tahu dalilnya, dan belajar ilmu Dien secara benar. Merasa
cukup dengan pengetahuan yang dimiliki padahal pengetahuannya hanya berdasarkan
asumsi dan persangkaan saja.
Merasa diri sudah berilmu tentang itu
padahal belum.Salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap ilmu adalah
ketidakpedulian terhadap penelitian status keshahihan hadits. Padahal itu
adalah salah satu bentuk bashirah dalam berdakwah. Seseorang dikatakan memiliki
bashirah dalam dakwah jika ia menyampaikan hadits-hadits yang jelas berasal
dari Nabi, dan tidak menyampaikan hadits-hadits palsu atau lemah yang dianggap
kebanyakan orang berasal dari Nabi. Memisahkan mana hadits yang bisa dijadikan
hujjah dan mana yang tidak adalah bagian dari memisahkan al-haq dengan yang
batil, dan itulah bashirah yang . merupakan salah satu syarat dalam berdakwah,
seperti dalam surat Yusuf ayat 108 di atas.
Lalu, sampai batas mana ilmu yang kita
miliki kita dakwahkan kepada orang lain?
Sebatas yang kita tahu ilmunya, itulah
yang kita sampaikan. Jangan memaksakan diri menyampaikan hal-hal yang kita
sendiri belum tahu ilmunya.
Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu anhu menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا
فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ
الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang
mengetahui (berilmu) tentang sesuatu, maka ucapkanlah (sampaikan) sesuai
ilmunya. Barangsiapa yang tidak mengetahui sesuatu, maka katakanlah : Allaahu
A’lam (Allah yang Paling/ Lebih Tahu). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari
ilmu adalah seseorang mengatakan Allahu A’lam dalam hal-hal yang tidak
diketahuinya”. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Bukanlah sebuah keharusan kita mengetahui
dalil secara lengkap dengan tepat persis lafadznya kata per kata. Bukanlah
sebuah keharusan setiap kali kita mengajak orang untuk mengamalkan sesuatu,
kemudian kita sampaikan lafadz haditsnya diriwayatkan oleh siapa dari Sahabat
siapa. Itu bukan keharusan. Jika itu dilakukan, itu adalah tambahan kebaikan
dan kesempurnaan, tapi bukan keharusan.
Cukup seseorang yang melarang saudaranya
sesama muslim laki-laki yang memakai sutera atau emas menyatakan: Wahai
saudaraku, janganlah memakai itu. Bukankah Nabi kita telah melarangnya dalam
hadits-hadits yang shahih? Ucapan demikian sudah termasuk menyertakan dalil.
Tidak harus dia tahu dan hafal persis lafadz haditsnya. Tapi yang jelas ia tahu
dengan yakin – karena pernah mendengar dari majelis ilmu atau sumber lain yang
berasal dari Ahlul Ilmi- bahwa itu memang berasal dari hadits yang shahih.
Maka, dalam hal ini ia telah berdakwah sesuai dengan dalil.
Tidak sedikit para Sahabat Nabi ketika
melarang dari suatu hal mereka sekedar menyatakan: Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam melarang dari hal itu. Atau, para Sahabat menyatakan: termasuk
Sunnah adalah begini dan begini…Kadangkala sebagian Sahabat menyatakan : Hal
itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam), atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Itu
semua adalah bentuk penyampaian dalil. Walaupun banyak pula penyampaian dari
Sahabat Nabi yang meriwayatkan persis secara lafadz kata per kata.
Dalam kondisi tertentu, dalam berdakwah
cukup bagi kita untuk menyampaikan fatwa Ulama’ saja, karena fatwa Ulama
Ahlussunnah adalah berisi ilmu. Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya
kepada para Ulama’ dalam permasalahan agama jika kita tidak tahu.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada Ulama jika
kalian tidak mengetahui “. (Q.S anNahl ayat 43 dan al-Anbiyaa’ ayat 7).
Allah perintahkan kepada kita untuk
bertanya kepada Ulama dalam hal-hal yang tidak kita ketahui. Jawaban para Ulama
itu berupa fatwa-fatwa. Kadangkala mereka sertakan dalil. Kadangkala dengan
keadaan tertentu, mereka jawab secara ringkas, tanpa menyertakan dalil. Bukan
karena mereka tidak tahu, tapi justru tidak disertakannya dalil itu sebagai
bentuk kasih sayang kepada kita. Karena jika disebutkan semua dalil, kita yang
lemah ilmu itu justru sulit menyimpulkan keterkaitan antar dalil itu. Karena
kelemahan kita, kadangkala suatu dalil yang memang menunjukkan suatu hal, kita
anggap tidak ada hubungannya sama sekali.
Inilah bedanya jika kita ikuti ucapan
orang awam yang katanya dan katanya –seperti disebutkan contoh taklid di atas-
dengan kalau kita beramal dengan fatwa Ulama’. Dalam kondisi kita belum sempat
atau belum mampu mencari dalilnya secara langsung, fatwa Ulama bisa dijadikan
patokan. Fatwa Ulama juga menjadi pedoman dalam memahami dan menerapkan dalil.
Hal yang salah adalah jika seseorang memanfaatkan
ketergelinciran seorang Ulama dalam sebagian fatwanya padahal jelas
bertentangan dengan dalil shahih –karena belum sampainya hujjah kepada beliau-,
dan berbeda dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah yang lain yang berhujjah dengan
hujjah yang kuat dan benar.
Kadangkala, kita hanya perlu
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar tanpa harus
menyertakan dalil.
Karena itu, seorang ayah yang
memerintahkan anaknya usia tamyiz 7 tahun untuk sholat, tidaklah mesti
menyajikan dalil-dalil yang detail dalam perintahnya. Karena dalam hadits Nabi,
kewajiban sang ayah adalah sekedar ‘memerintahkan’, tidak harus menyertakan
dalil.
Tentunya perintah ini harus diiringi
dengan adab dan teladan yang baik serta pengarahan bagaimana tata cara sholat
yang benar. Tentunya hal itu harus dilandasi dgn ilmu, bukannya tanpa ilmu sama
sekali.
Nabi shollallahu alaihi wasallam
bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk
sholat pada saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan
sholat) pada saat usia 10 tahun”. (H.R Abu Dawud)
Sedangkan untuk menyuruh anak berpuasa,
bisa melalui latihan berpuasa saat mereka masih belum baligh, dan barulah
mereka berkewajiban menunaikan puasa saat sudah mencapai usia baligh (sekitar
15 tahun atau sebelum itu jika telah terpenuhi syarat-syarat baligh).
Menuntut ilmu bukanlah sekedar
mengumpulkan riwayat dan hafalan atau tulisan. Bukan itu tujuannya. Menuntut
ilmu bertujuan untuk membuahkan amal sholih, meningkatkan taqwa dan perasaan
takut kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita.
Menuntut ilmu bertujuan –dengan niat
ikhlas karena Allah- untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kita sendiri
kemudian setelah itu menghilangkan kebodohan (ketidaktahuan) pada saudara kita
yang lain melalui ta’lim, dakwah, dan penyampaian (tabligh).
Sebagian orang meremehkan diadakannya
majelis ilmu dan ta’lim, dianggap tidak berkontribusi banyak dan kurang
manfaatnya bagi kaum muslimin. Padahal melalui majelis ilmu di masjid-masjidlah
lahir para Ulama besar, bertaubat serta mendapat hidayah sekian banyak orang,
tercetak generasi-generasi yang berakidah Islam dengan benar. Tidak ada yang
bisa menghitung demikian banyak dan besar manfaatnya majelis-majelis ilmu itu
secara pasti selain Allah.
Melalui majelis ilmu-lah terkumpul dua
hal utama: menuntut ilmu dan dakwah (tabligh).
Majelis ilmu adalah Sunnahnya Nabi dan
para Sahabatnya. Melalui majelis ilmu itulah kemudian berkembang dakwah Islam.
Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu
segera bersemangat untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang yang dikenalnya.
Sehingga melalui beliau masuk Islamlah beberapa Sahabat Nabi seperti Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan
Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Hal yang dilakukan oleh Abu Bakr
as-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah:
Mendakwahkan kepada orang –orang dekat
dan yang sudah dikenal.
Mendakwahkan tauhid (Laa Ilaaha
Illallah)/ akidah sehingga mereka mau masuk Islam.
Hal ini bertentangan dengan yang
dilakukan sebagian orang yang meniatkan safar untuk berdakwah ke luar kota,
mengajak orang-orang yang tidak dikenal. Dengan alasan, kalau menyampaikan
kepada orang yang belum dikenal akan lebih mudah dan tidak malu. Sedangkan
orang-orang terdekat dan yang dikenal serta bisa menerima dakwah masih butuh
dengan dakwahnya, tapi lebih sering ia tinggalkan untuk tujuan dakwah ke tempat
yang lebih jauh dan berpindah-pindah. Selain itu, mereka hanya mengajarkan
fadhilah-fadhilah amal saja. Tidak menjelaskan tentang akidah dan fiqh Islam
dengan alasan itu banyak khilafiyah di dalamnya dan bisa memecah belah kaum
muslimin.
Padahal, yang didakwahkan Abu Bakr
as-Shiddiq adalah masalah akidah. Akibat dari dakwah Abu Bakr itulah kemudian
Sahabat-Sahabat yang diajaknya itu menjadi masuk Islam dan meninggalkan
kesyirikan. Berbeda dengan sekelompok orang-orang tersebut yang justru
meninggalkan pembicaraan tentang tauhid Uluhiyyah dan kesyirikan karena
khawatir memecah belah kaum muslimin. Belum lagi tentang masalah fiqh, mereka
juga tidak membahasnya. Padahal dengan pembahasan fiqh yang didasarkan pada
dalil yang shahih seseorang bisa sholat dan beribadah dengan cara yang benar.
Mereka hanya mengajak orang untuk sholat, tapi tidak mendetailkan bagaimana
tata cara sholat yang benar. Sekali lagi pembahasan itu ditinggalkan/ diabaikan
dengan alasan khawatir memecah belah umat.
Tidaklah umat bisa bersatu kecuali dengan
cara bersatunya para Sahabat Nabi. Mereka hanya bisa dipersatukan di atas
tauhid dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Konsekuensi dari
menyampaikan tauhid adalah memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Konsukensi
dari menyampaikan Sunnah Nabi adalah memperingatkan dari bahaya kebid’ahan. Dua
sisi yang tidak bisa terpisahkan.
Selain itu, safar untuk tujuan dakwah
(menyampaikan ilmu) di masa Nabi tidak dilakukan oleh setiap Sahabat Nabi. Tapi
Sahabat-Sahabat pilihan yang telah kokoh keilmuannya. Tidak setiap orang yang
baru kenal Islam, atau baru semangat untuk belajar Islam langsung diarahkan
untuk berdakwah secara khusus dengan melakukan safar 3 hari, 7 hari, atau 40
hari, dan semisalnya.
Nabi mengutus Muadz ke Yaman untuk
berdakwah karena beliaulah (Muadz) yang paling mengenal halal dan haram di
kalangan umat Nabi. Karena itu, sebagai penyampai dakwah ke luar, bukanlah
setiap orang bisa. Tapi hanya orang yang berilmu.
Orang yang baru kenal Islam atau baru
semangat untuk kembali mempelajari Islam, harusnya lebih banyak diarahkan untuk
mempelajari ilmu yang benar (bukan sekedar fadhilah-fadhilah amal saja).
Bukannya diarahkan untuk safar dengan tujuan utama berdakwah. Kalaulah diarahkan
untuk safar, mestinya tujuan utamanya adalah untuk menuntut ilmu, bukan
dakwahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para
Sahabat Nabi di masa dulu. Mereka melakukan perjalanan lintas kota bahkan
negara untuk mendengar satu atau beberapa hadits saja. Tujuan utama adalah
menuntut ilmu.
Tentu saja sekali lagi ditekankan, setiap
orang yang telah berilmu dituntut beramal dan berdakwah sesuai ilmunya. Sesuai
kadarnya. Namun, untuk tujuan utama berdakwah hingga melakukan safar, tidaklah
yang melakukannya kecuali orang yang benar-benar kokoh keilmuannya. Sebagaimana
hal itu dilakukan oleh para Sahabat Nabi.
Sedangkan untuk menuntut ilmu dengan
safar, sebelumnya telah dilakukan Nabiyullah Musa ‘alaihissalam atas perintah
Allah untuk melakukan safar dalam rangka menuntut ilmu ke Khidhr. Seperti yang
dikisahkan dalam Surat al-Kahfi ayat 60-82.
Karena itu, jika ada sekelompok orang
yang bertujuan menyampaikan dakwah (tabligh), namun :
– Tidak menguatkan pondasi ilmu
sebelumnya
– Tidak membahas akidah dalam tablighnya
– Tidak membahas fiqh dalam tablighnya
– Hanya membahas fadhilah-fadhilah amal
atau adab-adab saja.
– Tidak perhatian terhadap keshahihan
atau kelemahan hadits.
– Menganjurkan setiap orang untuk keluar
berdakwah, meski mereka masih sangat butuh dengan ilmu yang benar.
Maka ketahuilah bahwa apa yang dilakukan
itu pada hakekatnya bukanlah tabligh (penyampaian ilmu), akan tetapi justru
tabliid (pembodohan).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan ampunanNya kepada seluruh kaum
muslimin…..
Sumber : WA al-I’tishom – Probolinggo